Home » » Seni Religius dan Sekuler

Seni Religius dan Sekuler

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 23 April 2009 | April 23, 2009

Kelompok musik U2 dari Irlandia tercatat yang paling berhasil mempengaruhi penggemarnya dengan lirik lagu dan musik mereka. Aksi sosial personel U2 pun mampu diteladani oleh sebahagian penggemarnya dalam upaya membuat tatanan dunia yang lebih baik. Mulai gerakan cinta lingkungan sampai kesadaran untuk membantu anak-anak sedunia yang kelaparan. Kasus yang sama dalam konteks yang berbeda dengan Jim Morisson. Salah seorang dewa musik rock ini juga berhasil menggiring penggemarnya di seluruh dunia ke dalam drugs, free sex sebagaimana "ajaran" dalam lagu-lagu dan keseharian sang idola.

Mari kita ke Timur. Saya pernah sempat menikmati puisi sketsa sosial karya WS Rendra yang dibacakan oleh seorang pejabat. Tapi saya hanya bisa menikmati puisi itu sebab isinya memang bagus dan kritis. Penampilan pejabat itu tidak bisa saya apresiasikan sebab dua tahun sebelumya ternyata dia pernah menjadi tersangka pelecehan seksual! Lagu Iwan Fals Surat Buat Wakil Rakyat mungkin sah-sah saja dinikmati meski dinyanyikan oleh seorang maling. Lalu apa yan terjadi ketika seorang pemabuk dengan santainya menyanyikan sebuah lagu milik Rhoma Irama,"..kenapa eh kenapa minuman itu haram...?"

Haruskah ada dikotomi seni religius dan sekuler? Di belahan dunia Timur, seni termasuk karya sastra dipandang sebagai bagian dari moralitas intelektual dan spiritual. Sementara di Barat menggeliat kebebasan estetika yang memisahkannya dengan spiritualitas, etika bahkan metafisika. Sumber pendukung utama eksistensi karya seni termasuk sastra di Barat adalah kebudayaan materialistis yang hidup dalam dunia global. Tapi satu kelebihan utama, mereka mampu mengelola aksi reaksi penikmatnya sesuai misi karya seni yang diciptakan.

Karya seni sekuler yang biasanya khas dengan "telanjang" atau liberalisme serta karya seni religius yang berciri agama mungkin saja sama-sama laris manis. Terkhusus ruang sempit sastra religius. Sastra religius yang secara dominan menyempit ke sastra sufistik, tergiring menjadi sekadar ekspresi dzikir, cinta dan kerinduan untuk menyatu dengan Tuhan serta konsep tentang "kesatuan" itu sendiri. Benarkah para sastrawan sufistik kita lebih sibuk mengurus hubungan vertikal daripada hubungan horisontal? Karena keterbatasan itu seni religius kita kurang mampu menyumbang proses pencerahan sosial.

Segala bentuk dari produk seni budaya di Indonesia muasalnya karena agama. agama-agama yang berkembang di Indonesia telah memberi kontribusi besar pada budaya dan karya sastra. Banten pernah jaya karena agama Islam, Bali terkenal seni budayanya karena agama Hindu. Sulawesi Selatan termasyhur karena kitab sastra La Galigo. Yang menggangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia di mata dunia adalah agama Hindu, Budha, dan Islam, bukan agama Yahudi. Haruskah ada dikotomi sastra religius dan sekuler? Seorang teman saya masih tetap bingung,"Kenapa seni religius justru kurang mampu menggiring religisiutas penikmatnya? Haruskah ada pemaknaan yang berbeda dengan karya seni sekuler yang sebaliknya mampu memberikan penyadaran sosial?
Share this article :
Komentar

0 apresiator:

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday