Home » » Dari Indunesian sampai Badduluha

Dari Indunesian sampai Badduluha

Posted By Alfian Nawawi on Kamis, 14 November 2019 | November 14, 2019

Adalah kelaziman di wilayah ilmiah ketika seorang ahli mengajukan nama bagi sebuah kawasan di muka bumi yang sebelumnya belum memiliki nama. Seperti yang dilakukan George Windsor Earl, seorang navigator Inggris dan penulis karya buku tentang Kepulauan Melayu. Dialah yang mencetuskan nama "Indunesian." Kata 'indus' berasal dari kata 'Hindia' dan 'nesos' dari Bahasa Yunani yang berarti 'pulau.' Dalam karya ilmiah berjudul On The Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations (1850) Earl mengusulkan sebutan khusus bagi warga Kepulauan Melayu atau Kepulauan Hindia (Hindia-Belanda) dengan dua nama yang diusulkan, yakni Indunesia atau Malayunesia.

Masih di tahun yang sama, seorang editor majalah dari Skotlandia bernama James Richardson Logan mengganti huruf 'u' menjadi 'o'.  Wacananya pertama kali tertuang dalam Journal of Indian Archipelago and Eastern Asia, tahun 1850. Akhirnya Indunesian atau Indunesia menjadi Indonesia. Tampaknya perubahan itu dianggap permanen. Sejak itulah orang-orang terpelajar mengenal nama "Indonesia" untuk merujuk sebuah tanah eksotis yang membentuk etinitas dari banyak pulau, suku, budaya, agama, dan ras yang dilintasi sebuah garis imajiner bernama khatulistiwa.

Kemudian seorang ilmuwan Jerman, Adolf Bastian, Guru Besar Etnologi di Universitas Berlin, berhasil mempopulerkan nama Indonesia di kalangan sarjana Belanda. Dalam bukunya berjudul Indonesien; Oder Die Inseln Des Malayischen Archipel terbitan 1884 sebanyak lima jilid memuat hasil penelitiannya di Nusantara dalam kurun 1864-1880. Bastian membagi wilayah Nusantara dalam zona etnis dan antropologi.

Penduduk negeri ini menamakan wilayah luas mereka sebagai Nusantara. Bangsa China menyebutnya dengan nama Nan-hai. Bangsa Arab menamainya Jaza'ir Al Jawi atau Kepulauan Jawa. Orang-orang dari India mengenalnya dengan sebutan Dwipantara atau Tanah Seberang. Namun tetap saja Belanda yang menjajah negeri itu menamakannya "Hindia Belanda."

Sebutan bisa berbeda-beda pada suatu entitas, obyek, bahkan individu. Saya saja disebut dengan jumlah nama yang lebih dari tiga sampai lima oleh orang-orang. Semasa bayi hingga bisa merangkak dan berlari saya dipanggil dengan nama "Baco" atau "Aco." Di kemudian hari Si Baco itulah yang menciptakan nama #LaCulleq sebagai tokoh fiksi. Dampaknya, orang-orang lalu mengidentikkannya sebagai La Culleq sehingga nama itu dianggap sebagai namanya sendiri. Padahal dia pernah memiliki empat nama keren: Daeng Janggo, Igo, dan Ivan Kavalera. Setelah diusut, di KTP-nya tertulis Alfian Nawawi. 😁

Lain lagi dengan teman saya yang bernama Burhanuddin. Dia lebih suka memakai nama samaran "Boy." Namun orang-orang di sekitarnya lebih suka memanggilnya "Badduluha." Entah apa arti nama itu. Begitulah, nama dan sebutan apapun itu merupakan proyeksi dari perspektif terhadap segala sesuatu. Yang jelas, orang-orang selalu jujur dalam perspektifnya terkait nama kita.

Share this article :
Komentar

0 apresiator:

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday