Home » » Corona, Altruisme, dan Varietas Penyakit Sosial

Corona, Altruisme, dan Varietas Penyakit Sosial

Posted By Alfian Nawawi on Selasa, 14 Juli 2020 | Juli 14, 2020

Salah satu nutrisi penting bagi peradaban adalah altruistik. Dia vitamin sosial. Memberi sedekah ataupun pelbagai bentuk bantuan kepada orang lain -khususnya kaum dhuafa-sering dianggap sebagai tindakan altruistik. Dan altruisme tidak pernah mengenal sistem balas budi.

Altruisme juga adalah prinsip dan praktik moral yang memperhatikan kebahagiaan manusia atau hewan lain, yang menghasilkan kualitas hidup baik materi maupun spiritual.

Altruisme dapat menjadi sinonim dari keegoisan. Altruisme pun diajarkan oleh nyaris semua agama di dunia.

Jika corona telah melahirkan berbagai tindakan altruisme di tengah masyarakat maka corona pun melahirkan varietas penyakit sosial. Penyakit sokta alias sok tahu mungkin sudah biasa. Mendadak banyak netizen berganti profesi menjadi pakar kesehatan, dokter, filsuf, sampai ustad. Sebagian di antara mereka mungkin saja berniat baik. Maksudnya ingin saling mengingatkan.

Wilayah hati tentunya adalah juga “wilayah Ilahi”. Kadar keikhlasan
Setiap orang tidak dapat ditakar melalui postingan di medsos atau tindak tanduk apapun.

 Yang sedang mewabah akhir-akhir ini juga penyakit “tidak seru tanpa dokumentasi.” Altruistiknya berupa adegan menyemprotkan disinfektan di kompleks perumahan. Namun tidak segera dimulai sebelum wartawan yang sudah dikonfirmasi sebelumnya telah datang ke lokasi. Bagi-bagi masker dan sembako tidak akan dimulai kalau belum ada kamera hp yang siap. Kalau hp lagi lowbet maka aksi sosial ditunda beberapa puluh menit, menunggu hp dicas dulu.

Penyakit sosial itu pun dibalas oleh munculnya penyakit sosial lainnya. Ada netizen yang memposting, misalnya berbunyi, “Menyumbang kok pamer, sih” padahal si netizen sendiri tidak pernah sama sekali menyumbang. Dia memang mungkin tidak punya tradisi altruisme.

Aksi-aksi sosial yang divisualisasikan kepada khalayak melalui berbagai media, di satu sisi bisa menginspirasi banyak orang untuk melakukan hal sama bahkan lebih. Dan itu sah-sah saja. Sepanjang tidak dibaluri tendensi tertentu. Semisal tendensi politis.

Satu-satunya jalan tengah bagi para aktivis sosial melakukan aksi amal adalah tetap bergerak dengan jalannya masing-masing. Dengan atau tanpa dokumentasi untuk publik. Sedangkan bagi penyinyir maka harus menempuh jalan: mencoba ikut beraksi dan mencoba sama sekali tanpa alat dokumentasi apapun. Sebab keikhlasan adalah wilayah hati dan tidak dapat ditakar kadarnya oleh orang lain.

Sebenarnya ada banyak kasus di mana para dermawan awalnya tidak bermaksud mempublikasikan aksinya. Namun mereka tiba-tiba terendus oleh wartawan. Ada pula yang awalnya tidak mau foto bersama namun si penerima sumbangan yang justru ngotot foto bersama.

Kadang yang kita anggap sebagai penyakit sosial seperti pamer dan semacamnya mungkin sangat mengusik pikiran. Namun adalah juga penyakit sosial yang parah jika kita tidak bertabayyun dan berpikir positif pada hal-hal yang nampak.

Semisal postingan makanan ataupun minuman. Mungkin saja pemilik postingan tidak bermaksud pamer atau sengaja bikin ngiler orang lain. Siapa tahu dia hanya bermaksud untuk memberitahu kita bahwa ada sejenis cemilan yang paling mudah dibuat sendiri selama tinggal di rumah saja.

Oh ya, Anda sendiri mengidap penyakit yang mana? Kalau saya, jujur saat ini sedang mengidap penyakit “menulis apa saja.” Lebih banyak di rumah saja sebab di luar badai corona belum usai. (*)

Pelajaran moral: penyakit terparah dari kebanyakan politisi adalah gelisah luar biasa ketika nomor kontak wartawan hilang di hp-nya.


 Dimuat jauh sebelumnya di kolom Catatan Tumit LaCulleq BeritaBulukumba.Com


Share this article :
Komentar

0 apresiator:

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday