Home » » Kantong Celana Anda Memiliki Alat Penghantar Virus Paling Efektif

Kantong Celana Anda Memiliki Alat Penghantar Virus Paling Efektif

Posted By Alfian Nawawi on Senin, 13 Juli 2020 | Juli 13, 2020


Dunia tidak mengenal George Floyd sebelumnya. Namun dunia segera menyimak Amerika Serikat yang rusuh berhari-hari di puluhan kota dan negara bagian. Bukan media besar yang pertama kali menghembuskannya, melainkan media sosial. Rupanya informasi adalah juga penghantar virus paling efektif. Ia menjejali android Anda yang bahkan belum Anda keluarkan dari kantong celana.
Varietas virus melalui informasi memadat dalam berbagai platform media sosial. Platform media sosial pencari perempuan prostitusi di sekitar lingkungan kita masing-masing dapat didownload gratis. Begitulah sehingga media sosial adalah juga penyumbang terbesar meningkatnya jumlah pengidap penyakit yang terkait penyalahgunaan kelamin. Belum lagi korban penipuan online, hoaks berantai, akun palsu, provokasi sistematis, dan seterusnya.
WHO memperkirakan jumlah pengidap penyakit kencing nanah akibat seks bebas setiap tahunnya melebihi 250 juta orang. Sementara jumlah pengidap spilis setiap tahunnya mencapai 50 juta orang. Ternyata angka korban covid-19 jauh lebih kecil.
Majalah The Times tanggal 4 Juli 1983 menyebutkan, 20 juta warga Amerika Serikat mengidap penyakit penurunan kekebalan herpes, dan mengumumkan bahwa di Afrika saja 30 juta orang mati setiap tahun dengan sebab penyakit AIDS yang muncul akibat hubungan seks bebas. Apakah Anda sudah punya sedikit bayangan grafiknya pada tahun 2020?
Sedikit yang menyadari bahwa solidaritas juga disebarkan oleh informasi. Solidaritas toh juga membawa serta anarkisme. Puncak kejayaan kaum anarkis adalah instabilitas, kalau perlu secara global. Ribuan hingga jutaan orang langsung terkoneksi di media sosial untuk melakukan aksi. Minimal sebentuk opini.
George Floyd adalah seorang Afro-Amerika. Dan itu sudah lebih dari cukup menjadi alasan meniup api kekisruhan di dunia maya. Rasisme memang tidak pernah hilang. Siapa saja boleh mengutuknya. Para demonstran dan kaum anarko tidak mengenal George Floyd secara personal. Tapi bumbu penyedap itu segera tersaji di jalanan, rasisme!
Koneksi kita di dunia nyata memang sejak lama sudah jauh berkurang. Jauh sebelum pandemi covid-19 menyerang. Sebelum sebagian kita memahami bahwa rumah sendiri adalah surga yang terlupakan.
Bertemu dan bercengkerama dengan sahabat atau keluarga, atau melakukan hobi-hobi mungkin telah lama kita tinggalkan. Bukan pandemi pelaku utamanya. Sejak kita terlalu sibuk dengan era digital dan teknologi informasi maka sekali saja disulut kita bisa mendadak berkumpul merayakan pertemuan beraroma anarki.
Titik awal gerakan bergelombang anti rasisme di AS itu mengusung bendera solidaritas. Namun media-media tidak hanya menayangkan tulisan-tulisan anti rasisme pada spanduk demonstran. Di sana-sini juga berlangsung penjarahan. Rupanya itu juga bahan empuk untuk pemberitaan. Informasi disebarluaskan, orang-orang afro-Amerika dan imigran pun semakin tidak terkendali. Lalu, benarkah aksi-aksi penjarahan hanya merupakan sekadar simbol perlawanan warga kulit hitam dan imigran yang merasa senasib dianggap warganegara kelas dua?
Media-media senada seirama menyebutnya bemula dari cara bekuk yang “tidak biasa” ala seorang polisi di Minneapolis. Sebuah cara “melumpuhkan” yang tidak konvensional mengakibatkan George Floyd meregang nyawa. Dan itulah narasi paling sexi di media.
Jaman digital memudahkan penyebarluasan emosi dengan tingkat frekuensi yang sama. Rasisme, kini kata itu kembali berdengung-dengung. Tidak butuh waktu lama untuk memancing para anti rasial keluar dari sarangnya di Australia, Inggris, Brazil, dan negara-negara lainnya.
Setiap informasi adalah juga bubuk mesiu. Valid atau tidak, fakta atau hoaks, maka kegunaannya sama saja ketika dihamburkan tanpa perhitungan. Ia serupa kanon. Revolusi Prancis yang sangat berpengaruh itu dimulai dari bisik-bisik serius di kedai kopi. Rencana melengserkan Soeharto pada tahun 1990-an didiskusikan sambil makan bakso di kantin-kantin kampus. Banyak kejadian besar dimulai dari hal-hal yang tidak diperhitungkan.
Namun tidak ada yang bisa menyalahkan media online. Sedangkan media sosial punya permakluman tersendiri. Ia punya otoritasnya sendiri sebagai alat berjejaring yang sah bagi keberlangsungan peradaban. Walaupun setiap saat mungkin bisa saling menyesatkan antar pengguna.
Pemicu emosi secara individu biasanya dialami kondisi tubuh yang sedang kurang fit. Begitu pun secara kolektif, kondisi dunia sedang tidak fit.
Stress menjadi pemicu utama dari emosi. Kapitalisme yang menguasai mesin-mesin produksi mengakibatkan kaum pekerja kurang tidur. Kelelahan bisa menyulut emosi. Ketidaknyamanan fisik memicu orang mudah marah. Konsumsi terhadap berbagai macam obat yang mengandung kimiawi itu sekaligus memicu ketersinggungan lebih cepat bereaksi. Dan obat-obat farmasi itu kebanyakan diproduksi oleh mesin milk kapitalis. Sembari mereka pun menyumbangkan industrinya yang besar, media-media mainstream!
Masa pagebluk bisa membuat kita saling baku gebuk. Anehnya, yang paling diwaspadai oleh setiap pemerintahan di dunia biasanya bukan konflik horisontal, melainkan vertikal. Bukankah kebanyakan mereka memang sangat mencintai kekuasaan? Mereka pun senantiasa membutuhkan alat penyampai, media-media mainstream!
Media sosial menjadi semacam katalis bagi perilaku destruktif seperti membanding-bandingkan, cyberbullying, dan pencarian pengakuan. Video perlakuan polisi terhadap George Floyd jelas virus berbahaya. Ia berinkubasi sekaligus menyebar cepat melalui media sosial. Ia membawa serta emosional dan rasa sakit.
Sebuah studi di Inggris yang dilakukan oleh Royal Society for Public Health menguji dampak psikologis dari media sosial terhadap 1.500 generasi muda. Mereka menyimpulkan bahwa hampir semua media sosial memiliki dampak buruk bagi kesehatan mental. Mulai dari gangguan seperti anxiety (kegelisahan) hingga rasa rendah diri.
Hasil riset tersebut cukup jelas; kasus-kasus depresi semakin meningkat seiiring semakin lekatnya manusia dengan media sosial, dan semakin seringnya kita menggunakan media sosial semakin meningkatnya kemungkinan mendapatkan mood disorder. Hanya saja yang tidak terlihat dari riset tersebut adalah apakah penggunaan media sosial berlebih menjadi penyebab depresi, ataukah orang yang dilanda depresi akan cenderung menggunakan media sosial dengan berlebihan.
Sekali-sekali memang kita perlu berjalan melintasi waktu. Pada jaman “kitab kuning”, informasi berupa kajian literatur terhadap kitab-kitab dilembagakan secara rutin hanya oleh pondok pesantren. Kajian informasinya boleh diikuti warga setempat. Bukan hanya sebatas santri yang bisa mengakses. Informasi yang dirapikan semacam itu tentu sulit diterapkan dalam jaman tik tok.
Untuk kepentingan yang salah, ekses teknologi informasi berupa penipuan, pencurian data, penculikan, penjualan manusia, perdagangan organ tubuh, dan lain-lainnya mungkin sudah tiba sejak lama di rumah kita. Mengintai sambil menunggu waktu yang tepat.
Apakah tidak sebaiknya kita dorong saja agar kaum kapitalis tidak perlu memiliki media? Pertanyaan itu bisa juga direvisi: apakah tidak sebaiknya para pemilik media besar tidak ikut-ikutan menjadi kapitalis tulen? Mark Zuckerberg juga dulunya konon adalah mahasiswa idealis di Harvard. Dan masih pakai kata konon, sekarang ia seorang kapitalis tulen. Mark bahkan membolehkan penggunaan Facebook tanpa kuota internet. Hanya dengan mode gratis di Messenger Facebook, seseorang yang tidak Anda kenal dari belahan bumi lainnya mungkin saat ini sedang menunggu Anda membaca pesannya. Entah pesan dan interest apa gerangan yang dia kirimkan. Dan Anda tidak bisa memintai tanggung jawab Mark jika terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan.(*)

Tulisan ini sebelumnya juga dimuat di kolom Opini situs Mengeja.Id

Share this article :
Komentar

0 apresiator:

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday