Home » » Platoisme adalah Aristokrasi Gaya Baru

Platoisme adalah Aristokrasi Gaya Baru

Posted By Alfian Nawawi on Senin, 13 Juli 2020 | Juli 13, 2020

Kaum skeptis mengatakan, “Kalau kamu penggemar mimpi maka berkawanlah dengan gagasan Plato terkait konsep negara ideal”. Filsuf Yunani kuno itu memang punya banyak rumusan terkait “kekuasaan rakyat”.
Plato meyakini bahwa negara ideal menganut prinsip kebajikan yang bersumber dari pengetahuan. Pengetahuan hanya dimiliki seorang filsuf, bukan lainnya. 
Pemikiran plato itulah melahirkan istilah platoisme. Istilah itu merujuk pada absurditas negara yang ideal. Pikiran yang menafikan realitas politik yang bekerja dari berbagai kepentingan kelompok.
Barangkali dengan menganut platoisme maka plato-plato kecil bisa dilahirkan. Benarkah platoisme menjadikan idiom “negara” kian absurd? Di sisi lain absurditas juga sesekali mampu menjadi realitas dalam tahapan tertentu, sebuah zaman yang tepat, dan perubahan yang disepakati oleh mayoritas. Meskipun temporer.
Plato menggagas aristokrasi. Peradaban modern justru mengadaptasinya dengan lihai. Sistem pemerintahan modern yang paling banyak dianut negara saat ini adalah demokrasi. Setiap orang memiliki hak setara terlibat dalam pengambilan keputusan tentang hidup mati mereka.
Demokrasi berhasil karena ideologi liberalisme. Setiap orang memiliki kebebasan dan kesamaan hak. Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan. Pengetahuan yang diharapkan mampu melahirkan pemimpin filsuf, seperti harapan Plato, justru lebih banyak melahirkan para pemuja materialisme.
Pemuja modernisme, sebenarnya, menerjemahkan absurditas plato dalam bentuk demokrasi liberalisme. Hasilnya melahirkan kesenjagan ekonomi. Demokrasi adalah wadah borjuis yang mengekang kekuasaan rakyat dalam bentuk hura-hura politik. Mereka sedang menerjemahkan negara ideal bentuk oligarki yang dibungkus dalam kemasan demokrasi.
Plato hanyalah seorang filsuf yang membayangkan dirinya menjadi seorang pemimpin. Ia lahir bukan sebagai pemimpin tapi hanya pemikir. Andaikan Plato pernah memimpin kelompok, masyarakat, lalu membentuk suatu pemerintahan negara, tentu ia akan melahirkan konsep negara ideal yang implementatif.
Mari sejenak membayangkan Plato hidup sezaman dalam lokasi yang sama dengan Nabi Muhammad SAW pada 14 abad silam. Bukan saja kita akan melihat Plato mengenakan kafiyeh. Niscaya Plato juga mengurungkan niat menulis buku berjudul “Republic” yang termasyhur itu. Konsep negara madani di Kota Madinah terlalu detail dan unggul. Penerapan Madaniyah terlalu sempurna dibanding utopia di atas kertas hasil gagasan Plato, aristokrasi.
Satu-satunya kemasygulan Plato yang sangat mungkin, yakni kekhawatirannya pada pengkhianatan terhadap sistem madani atau madaniyah. Kota Madinah menghimpun pluralisme, kebhinnekaan. Di sana pun terdapat hitam-putih. Perjanjian madani disepakati oleh berbagai bangsa dan agama dalam satu kota besar. Perjanjian yang diawali dari konsep keadilan, kemanusiaan, dan ketuhanan. Ketiga konsep itu adalah dimiliki setiap manusia sebagai konsep primordial. Konsep primordial itu telah termanifestaikan dalam kepemimpinan seseorang. Dialah Muhammad bin Abdullah, seorang manusia biasa yang terpilih menjadi model kepemimpinan paripurna, baik kepemimpinan pribadi, keluarga, kelompok, negara, dan agama. Kepemimpinan yang tidak dibatasi oleh sekat-sekat sosial, negara, dan tradisional.
Kepemimpinan Muhammad SAW mampu mewadahi harapan semua orang sehingga terbentuk suatu ikatan perjanjian bersama, Perjanjian Madinah. Piagama Madinah sebagai konstitusi tertulis pertama di dunia yang mengatur hubungan masyarakat berbagai suku, ras, agama berdasarkan asas keadilan.
Perjanjian yang lahir bukan karena adanya ikatan darah ataupun ikatan agama melainkan perjanjian karena adanya kebutuhan bersama, rasa keadilan. Salah satunya, mereka berjanji untuk saling melindungi satu sama lain manakala ancaman datang dari luar. Perjanjian atas kesepakatan dan kesepahaman itu adalah bentuk lain konstitusi dalam dunia modern.
Plato benar jika menyimpulkan bahwa Madinah tidak mengenal mitologi. Tidak ada kompetisi sebagaimana yang diperbuat Dewi Athena dan Dewa Poseidon dalam memberikan nama yang akan menjadi pelindung bagi Kota Athena. Dewi Athena menghadiahkan pohon buah zaitun kepada penduduk. Sedangkan Dewa Poseidon memberikan mata air asin. Pemberian Dewi Athena dipandang lebih berharga. Namanya diabadikan pada kota kuno itu sebagai imbalan para pemujanya.
Athena memang luar biasa. Toh aristokrasi yang disukai Plato itu tumbang juga. Kota itu melahirkan demokrasi. Athena bersama Sparta telah menyingkirkan para raja dan tiran. Para bangsawan mereka gulingkan. Pemerintahan demoktratis pertama di dunia terbentuk menjelang 500 SM, ketika Perang Persia (499-479 SM) berakhir. Sejarah Yunani berpusat di kota Athena setengah abad lamanya.
Herodotus, Bapak Sejarah, menyebut rakyat Athena sebagai penyelamat Yunani. “Didampingi para dewa, mereka mengusir penyerbu,” ungkapnya. Itu juga yang membuat Plato membenci demokrasi karena telah menghancurkan Athena, kota kesayangannya.
Athena terbentuk dengan model kekaisaran, namun mereka melakukannya dengan demokratis. Rakyat Athena paham bagaimana ketidakadilan dijadikan ‘norma’ bagi raja, tiran, ataupun aristokrasi dalam bungkusan yang memiliki hak-hak istimewa. Karena itu, Athena mengusahakan setiap penduduk bebas, baik kaya maupun miskin, bangsawan maupun orang biasa, agar berkesempatan memiliki jabatan di pengadilan serta berpartisipasi dalam pembuatan undang-undang.
Setelah pengembaraan yang sangat jauh bagi demokrasi, ternyata tak satu pun sistem demokrasi yang setangguh konsep madaniyah di Kota Madinah. Sebagian orang pernah memaksakan pendapat bahwa madani lebih dekat dengan konsep Pancasila. Mereka lupa bahwa Pancasila hanyalah asas bernegara atau falsafah bangsa.
Para penguasa mampu melahirkan berbagai produk hukum yang ditafsirkan berbeda dengan Pancasila. Pancasila bisa bergaya nasionalis ketika penguasanya nasionalis. Pancasila bisa agamais ketika kita dipimpin orang agamais. Bahkan Pancasila bisa bergaya komunis ketika kelompok penguasa beraliran komunis. Demokrasi memang luwes. Ia dicangkokkan langsung ke urat-urat nadi kekuasaan dan negara-negara.
Dalam perbenturan ide-ide tentang kekuasaan rakyat dan konsep negara ideal, yang kebanyakan menang justru revolusi. Hanya dengan kesepakatan kuat bersama persenjataan kuat yang bisa membuat Kota Madinah aman.
Masalahnya, platoisme mungkin bisa serupa nehruisme, revolusi tanpa kekerasan. Padahal kemerdekaan dan proses tatanan baru selalu dilengkapi dengan perjuangan bersenjata.
Hari-hari ini “platoisme telah menjadi aristokrasi gaya baru” dengan versi mencengangkan bersama “hak-hak istimewanya” itu justru lebih dulu memperkuat persenjataan. Bukankah Platoisme terlalu kuno di era digital?

Tulisan ini jauh sebelumnya juga dimuat di kolom Kritik situs Aksiografi.Com

Share this article :
Komentar

0 apresiator:

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday