Home » » Anis Kurniawan, Something In Bulukumba

Anis Kurniawan, Something In Bulukumba

Posted By Redaksi on Rabu, 05 Agustus 2020 | Agustus 05, 2020

Sastra dan politik merupakan dua ranah yang sama sekali berbeda kutub. Namun bagi Anis, justru kedua dunia unik tersebut dapat saling mewarnai dan menyetubuhi satu sama lain. Ibarat dua sisi pada sebuah mata uang logam. Sastra dan politik adalah termasuk alasan penting dirinya agar tetap intens menulis.

Sebagaimana salah satu buku karyanya yang berjudul “Something In Bulukumba”, sebuah buku yang menjelajahi local genius, maka Anis adalah juga merupakan “sesuatu” di Bulukumba.             


Salah satu tujuan proses penciptaan manusia adalah manusia dilahirkan untuk membaca. Setelah itu manusia harus menulis sambil bercakap-cakap dengan alam dan kehidupan. Manusia dengan keragaman jiwanya menjadi begitu plural dengan proses itu. Proses itulah yang sedikit banyak mempengaruhi Anis Kurniawan untuk selalu menulis dalam berbagai genre.

“Teks sangat lekat dengan kebudayaan manusia dari masa ke masa. Teks adalah bahasa penyampai paling efektif dan unik setelah lisan. Apa-apa yang tidak dapat disampaikan oleh lisan, maka teks menyediakan dirinya sebagai solusi khas,” katanya.

Gagasan dan pemikirannya ditulis dalam banyak cerpen, esei dan artikel di berbagai media lokal dan nasional. Ia terpilih sebagai delegasi Indonesia dalam temu Cerpenis Muda se-ASEAN pada tahun 2008. Salah satu tulisannya pun dimuat dalam buku antologi cerita pendek pengarang ASEAN pada 2009 dan diterbitkan oleh Balai Bahasa Jakarta.


Buku-bukunya yang lain yang telah diterbitkan dalam bentuk karya sastra: Ingin Kukencingi Mulut Monalisa Yang Tersenyum (antologi sastra berdua bersama Andhika Mappasomba, 2003), Wajah dan Wajah (kumpulan cerpen, 2008).

Bukunya yang cukup fenomenal “Something In Bulukumba” disusun bersama Arie M. Dirganthara dan Tengku Firmansyah dan diterbitkan pada pertengahan 2012. Buku itu memuat tentang perjalanan jurnalisme sastra dari seorang Anis yang berhasil merekam berbagai kekayaan local genius  di Bulukumba.

Anis menulis biografi seorang tokoh muda Bulukumba, Hamzah Pangki pada tahun 2012.  Anis juga pernah ikut terlibat dengan penulis dalam menyusun buku “Kumpulan Cerita Rakyat Bulukumba untuk bahan muatan lokal anak-anak sekolah dasar, 2013.

Menyelesaikan pendidikan S1 di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra di Universitas Negeri Makassar, tahun 2007.

Sebelum menyelesaikan studi di UNM, ia sempat menerima penghargaan sebagai Cerpenis Terbaik UNM. Sejak selesai di UNM, puluhan tulisannya bertebaran di media massa. Selain sebagai penulis lepas dan editor buku, ia bekerja sebagai Redaktur di Majalah Sinergi Hijau. Sebuah majalah Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) untuk isu-isu lingkungan di Sulawesi, Maluku dan Papua.

Tubuhnya yang kecil namun dengan kapasitas intelektual yang besar menjadikan Anis kerap menjadi pembicara dalam berbagi forum dan kajian ilmiah. Latar belakang disiplin ilmunya membawanya menjadi Direktur Jaringan Riset Nasional (JRN), Founder dan Direktur P3i Cipta Media Makassar dan even organizer P3i Intermedialine.

Sampai hari ini Anis tetap menulis dalam berbagai genre. Salah satu mimpinya adalah menemukan dan menyemangati lebih banyak lagi anak-anak muda Bulukumba untuk menulis. Perjalanan panjang Anis sebagai penulis juga mengantarkannya pada obsesi untuk memiliki penerbitan sendiri.

Menurutnya, Bulukumba harus memiliki paling tidak sebuah penerbitan besar. Penerbitan itu harus dikelola secara profesional dan dapat memberikan ruang positif bagi penulis-penulis Bulukumba.

Ruang-ruang menulis di Bulukumba kini berada dalam iklim yang cukup segar. Apalagi dengan munculnya penulis-penulis muda dari berbagai genre. Berbagai media yang ada juga cukup kondusif mendukung budaya teks di kalangan generasi muda.

“Iklim positif itu seyogyanya menjadi penanda untuk pemerintah bahwa Bulukumba sudah saatnya digali lebih dalam lagi pada budaya teks,katanya sekali waktu dengan wajah penuh optimis.     

Anis mengungkapkan bahwa keterampilan menulis sebenarnya tidak bisa diperoleh secara alamiah, tetapi diperoleh melalui proses pembelajaran yang bertahap dan sistematis. Misalnya aktifitas membaca itu adalah suatu aktivitas yang disengaja dan terencana. Dengan melakukan aktivitas proses membaca berarti melakukan aktivitas memproses makna kata, memahami konsep, memahami informasi dan memahami ide yang disampaikan penulis dan dihubungkan dengan pengalaman dan pengetahuan yang telah dimiliki oleh pembaca. Pengalaman empirik itulah yang menjadi kekuatan untuk memiliki keterampilan menulis. “Intinya, kebiasaan menulis harus diawali dari membaca,” ungkapnya.


Anis menjelaskan bahwa latar belakang budaya juga menentukan potensi membaca. Kesesuaian latar belakang budaya dengan isi bacaan yang akan dibaca dapat mempengaruhi interpretasi isi bacaan. Dengan memiliki kemampuan interpretasi akan mudah memahami isi bacaan. Anis memberi contoh, anak membaca teks bacaan sesuai latar belakang budaya dapat mudah memahami isi bacaan. Sementara anak membaca topik bacaan yang tidak sesuai latar belakang budayanya akan mengalami kesulitan memahami isi bacaan.” 

Pada tahun 2009 akhir, Anis melakukan migrasi secara intelektual dengan melanjutkan studi pada Pascasarjana Universitas Gadja Mada (UGM) Yogyakarta Jurusan Ilmu Politik. Sejak itu penulis yang pernah mengajar di beberapa kampus di Makassar ini mulai terlibat aktif dalam riset berkaitan dengan wacana politik. Sekaligus juga terlibat dalam pendampingan kandidasi politik di sejumlah pilkada di Indonesia. Dunia politik dan dunia kepengarangan tetap diarunginya secara bersama-sama. Belakangan Anis juga bergiat di wilayah literasi hijau yang mengusung isu-isu lingkungan hidup.(*)

Penulis: Alfian Nawawi
Share this article :
Komentar

0 apresiator:

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday