Sastra dan politik merupakan
dua ranah yang sama sekali berbeda kutub. Namun bagi Anis, justru kedua dunia unik
tersebut dapat saling mewarnai dan menyetubuhi satu sama lain. Ibarat dua sisi pada sebuah mata
uang logam. Sastra dan politik adalah termasuk alasan penting dirinya agar
tetap intens menulis.
Sebagaimana
salah satu buku karyanya yang berjudul “Something
In Bulukumba”, sebuah buku yang menjelajahi local genius, maka Anis adalah juga merupakan “sesuatu” di
Bulukumba.
Salah satu
tujuan proses penciptaan manusia adalah manusia dilahirkan untuk membaca.
Setelah itu manusia harus menulis sambil bercakap-cakap dengan alam dan
kehidupan. Manusia dengan keragaman jiwanya menjadi begitu plural dengan proses
itu. Proses itulah yang sedikit banyak mempengaruhi Anis Kurniawan untuk selalu
menulis dalam berbagai genre.
“Teks
sangat lekat dengan kebudayaan manusia dari masa ke masa. Teks adalah bahasa
penyampai paling efektif dan unik setelah lisan. Apa-apa yang tidak dapat disampaikan
oleh lisan, maka teks menyediakan dirinya sebagai solusi khas,” katanya.
Gagasan dan pemikirannya ditulis dalam banyak cerpen, esei dan artikel di berbagai
media lokal dan nasional. Ia terpilih sebagai
delegasi Indonesia dalam temu Cerpenis Muda se-ASEAN pada tahun 2008. Salah satu tulisannya pun dimuat dalam buku antologi
cerita pendek pengarang ASEAN pada 2009 dan diterbitkan oleh Balai Bahasa
Jakarta.
Buku-bukunya yang lain yang telah diterbitkan dalam bentuk karya
sastra: Ingin Kukencingi Mulut Monalisa Yang Tersenyum (antologi sastra berdua
bersama Andhika Mappasomba, 2003), Wajah dan Wajah (kumpulan cerpen, 2008).
Bukunya yang cukup fenomenal “Something In
Bulukumba” disusun bersama Arie M. Dirganthara dan Tengku Firmansyah dan diterbitkan pada pertengahan 2012. Buku itu
memuat tentang perjalanan jurnalisme sastra dari seorang Anis yang berhasil
merekam berbagai kekayaan local genius di Bulukumba.
Anis menulis biografi
seorang tokoh muda Bulukumba, Hamzah Pangki pada tahun 2012. Anis juga pernah ikut terlibat dengan penulis dalam menyusun buku “Kumpulan Cerita Rakyat Bulukumba” untuk bahan muatan lokal anak-anak sekolah dasar, 2013.
Menyelesaikan pendidikan S1 di Jurusan Sastra Indonesia
Fakultas Sastra di Universitas Negeri Makassar, tahun 2007.
Sebelum menyelesaikan
studi di UNM, ia sempat menerima penghargaan sebagai Cerpenis Terbaik UNM.
Sejak selesai di UNM, puluhan tulisannya bertebaran di media massa. Selain
sebagai penulis lepas dan editor buku, ia bekerja sebagai Redaktur di Majalah
Sinergi Hijau. Sebuah majalah Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH)
untuk isu-isu lingkungan di Sulawesi, Maluku dan Papua.
Tubuhnya yang kecil namun dengan kapasitas intelektual yang
besar menjadikan Anis kerap menjadi pembicara dalam berbagi forum dan kajian ilmiah. Latar belakang disiplin ilmunya membawanya
menjadi Direktur Jaringan Riset Nasional (JRN), Founder dan Direktur P3i Cipta
Media Makassar dan even organizer P3i Intermedialine.
Sampai hari ini Anis tetap menulis dalam berbagai genre.
Salah satu mimpinya adalah menemukan dan menyemangati lebih banyak lagi anak-anak
muda Bulukumba untuk menulis. Perjalanan panjang Anis sebagai penulis juga
mengantarkannya pada obsesi untuk memiliki penerbitan sendiri.
Menurutnya,
Bulukumba harus memiliki paling tidak sebuah penerbitan besar. Penerbitan itu
harus dikelola secara profesional dan dapat memberikan ruang positif bagi
penulis-penulis Bulukumba.
Ruang-ruang
menulis di Bulukumba kini berada dalam iklim yang cukup segar. Apalagi dengan munculnya
penulis-penulis muda dari berbagai genre. Berbagai media yang ada juga cukup
kondusif mendukung budaya teks di kalangan generasi muda.
“Iklim
positif itu seyogyanya menjadi penanda untuk pemerintah bahwa Bulukumba sudah
saatnya digali lebih dalam lagi pada budaya teks,” katanya sekali waktu dengan wajah penuh optimis.
Anis
mengungkapkan bahwa keterampilan menulis sebenarnya tidak bisa diperoleh secara alamiah, tetapi
diperoleh melalui proses pembelajaran yang bertahap dan sistematis. Misalnya
aktifitas membaca itu adalah suatu aktivitas
yang disengaja dan terencana. Dengan melakukan aktivitas proses membaca berarti
melakukan aktivitas memproses makna kata, memahami konsep, memahami informasi
dan memahami ide yang disampaikan penulis dan dihubungkan dengan pengalaman dan
pengetahuan yang telah dimiliki oleh pembaca. Pengalaman empirik itulah yang menjadi kekuatan untuk memiliki keterampilan
menulis. “Intinya, kebiasaan menulis harus diawali dari membaca,” ungkapnya.
Anis menjelaskan bahwa latar belakang budaya
juga menentukan potensi membaca. Kesesuaian latar belakang budaya dengan isi
bacaan yang akan dibaca dapat mempengaruhi interpretasi isi bacaan. Dengan
memiliki kemampuan interpretasi akan mudah memahami isi bacaan. Anis memberi
contoh, anak membaca teks bacaan sesuai latar belakang budaya dapat mudah
memahami isi bacaan. Sementara anak membaca topik bacaan yang tidak sesuai
latar belakang budayanya akan mengalami kesulitan memahami isi bacaan.”
Pada tahun 2009 akhir,
Anis melakukan migrasi secara intelektual dengan melanjutkan studi pada
Pascasarjana Universitas Gadja Mada (UGM) Yogyakarta Jurusan Ilmu Politik.
Sejak itu penulis yang pernah mengajar di beberapa kampus di Makassar ini mulai
terlibat aktif dalam riset berkaitan dengan wacana politik. Sekaligus juga
terlibat dalam pendampingan kandidasi politik di sejumlah pilkada di Indonesia.
Dunia politik dan dunia kepengarangan tetap diarunginya secara bersama-sama. Belakangan Anis juga bergiat di wilayah literasi hijau yang mengusung isu-isu lingkungan hidup.(*)
Penulis: Alfian Nawawi