Oleh: Alfian Nawawi
Kampung jaman dulu yang penduduknya bersahaja itu bernama Buhung Bundang. Jauh dari kotaraja. Dikelilingi hutan belantara melengkapi kebersahajaan mereka. Lalu semakin lengkaplah ketika sekali waktu kemarau panjang datang berlama-lama.
Air bersih begitu sulit diperoleh. Sungai-sungai dan sumber air menjadi kering. Hujan tidak kunjung turun menyapa. Para penduduk terpaksa harus mengambil air dari sebuah mata air yang jaraknya pun teramat jauh dari kampung.
Satu-satunya jenis ternak yang dapat membantu mereka cepat mencapai sumber mata air itu adalah kuda. Bersama kuda pun perjalanan harus ditempuh selama berhari-hari. Kemudian bagian yang paling menyeramkan yaitu ketika harus melewati sebuah hutan rimba yang dikenal sangat angker.
Menurut cerita para penduduk sejak dulu, di hutan itu hiduplah penunggu hutan yang berwujud seorang nenek tua yang buruk rupa dan sangat jahat. Konon nenek tua itu selalu memangsa setiap orang yang ditemuinya di pinggiran hutan. Sudah banyak penduduk yang hilang tanpa diketahui keberadaannya. Menurut cerita yang beredar dari mulut ke mulut, nenek tua itu sering berpura-pura minta tolong kepada orang yang ditemuinya dan kemudian memangsanya. Itulah sebabnya, para penduduk yang melewati hutan itu biasanya tidak mau menggubris jika mendengar ada suara minta tolong dari nenek tua itu. Mereka takut diperdayai oleh penunggu hutan angker tersebut.
Di kampung Buhung Bundang hiduplah seorang janda tua bersama putranya yang bernama I Sodding. Meskipun masih kecil namun I Sodding sudah menunjukkan bakti dan cinta kepada ibunya. Dengan menunggang kudanya I Sodding selalu berangkat seorang diri untuk mengambil air. Setiap kali sebelum berangkat, ia dibekali makanan oleh ibunya.
Pada suatu hari, persediaan air bersih di rumahnya habis. I Sodding harus bersiap lagi untuk mengambil air. Ia menunggang kudanya melewati bukit-bukit dan hutan belantara.
Ketika melewati hutan belantara, I Sodding tiba-tiba dikejutkan oleh suara minta tolong.
“Tolooong...toloooong! Lepaskan aku dari pohon kayu ini! Tolooong...siapa saja yang dapat mendengarkan suaraku! Tolooong!”
I Sodding melihat seorang nenek tua yang
terbaring tidak berdaya. Kedua kakinya ditindih oleh sebuah pohon kayu.
Timbullah perasaan iba di hati I Sodding.
Tanpa berpikir panjang I Sodding lalu berusaha menolong nenek tua itu. I Sodding dengan sekuat tenaga mengangkat pohon kayu itu.
Nenek tua itu tersenyum kepada I Sodding. Meskipun wajahnya sangat buruk namun I Sodding sama sekali tidak merasa takut. I Sodding adalah seorang anak pemberani. Ia juga seorang anak yang suka menolong sesama.
“Terimakasih, anak muda. Kamu memang seorang anak yang baik hati. Sebagai rasa terimakasih aku hadiahkan kepadamu sebatang ranting pohon kelor ajaib,” kata nenek tua itu.
“Terimakasih, nek. Tapi, ranting pohon kelor ini untuk apa, nek?” Tanya I Sodding sambil keheranan.
“Bawa saja ranting ajaib ini dan tanamlah di depan rumahmu, anak muda,” kata nenek tua sambil tersenyum.
Belum habis rasa heran I sodding, tiba-tiba nenek tua di hadapannya menghilang secara ghaib.
I Sodding memutuskan untuk segera menyelesaikan tugasnya. Setelah mengambil persediaan air ia pun bergegas pulang menuju kampungnya. Persediaan air kali ini dirasa cukup untuk digunakan beberapa hari.
I Sodding tiba di rumahnya setelah menempuh perjalanan dua hari dua malam. Sesuai pesan nenek tua itu, ia pun menanam ranting pohon kelor itu di depan rumahnya.
Masih pagi buta, I Sodding dikejutkan oleh suara ibunya yag membangunkannya tiba-tiba.
“Sodding, Soding! Bangunlah nak! Ada kejadian ajaib di halaman rumah kita!” Seru ibunya.
I Sodding bergegas bangun dan segera keluar. Di halaman rumahnya tampak ramai para penduduk sedang mengerumuni sesuatu. Ternyata mereka sedang mengerumuni sebuah sumur yang kelihatannya sangat dalam. Airnya begitu jernih dan melimpah. Sumur itu tiba-tiba saja muncul secara ajaib di halaman rumah I Sodding.
Rupanya, dari tempat ranting pohon ajaib dari nenek tua itu ditanam, muncul sumur ajaib.
Oleh penduduk setempat, sumur ajaib tersebut diberi nama Buhung Lantang yang artinya sumur yang sangat dalam. Sampai saat ini tidak seorang pun yang dapat memperkirakan berapa kedalaman sumur itu. Beberapa orang pernah mencoba menyelam ke dalam sumur itu dan mereka takjub menemukan kenyataan, ternyata sumur itu tanpa dasar.
Buhung Lantang hingga kini masih ada di Desa Buhung Bundang, Kecamatan Bontotiro, Kabupaten Bulukumba. Airnya tetap melimpah dan dimanfaatkan oleh para penduduk setempat untuk berbagai keperluan.(*)
(Cerita rakyat Bulukumba, Sulawesi Selatan. Diriset oleh Alfian Nawawi pada tahun 2011. Warisan sastra tutur atau sastra lisan turun temurun yang kemudian ditransformasi ke dalam bentuk teks.)