Oleh: Assyifa Barizza
Kenapa kau suka hujan?
Masih ingatkah kau dengan pertanyaan itu? Beberapa tahun yang lalu, secara tidak sengaja kita bertemu di sebuah kampung yang terletak di pinggiran kota, menumpang berteduh di teras rumah yang tak berpenghuni.
Suasana di situ sepi dan lengang. Hanya ada beberapa rumah penduduk, itupun berjauhan jaraknya. Namun hujan memaksaku untuk mampir.
Kala itu, hujan sangat deras. Tidak ada siapa-siapa, hanya kita berdua. Rasa bosan menunggu hujan reda, akhirnya kita saling menyapa.
"Dari mana?" Kau yang memulai percakapan. Sebagaian bajuku telah basah. Aku memilih duduk di pojokan, tangan bersedekap untuk menghalau rasa dingin.
"Dari rumah teman." Singkat jawabanku.
Mungkin karena iba melihatku, kau membuka jaketmu dan meminjamkannya padaku. "Pakailah."
"Tapi, kau juga butuh jaket itu," tolakku halus. Aku enggan menerima pemberiannya. Karena kami baru pertama kali bertemu. Siapa dia, siapa namanya, apakah dia orang baik atau jahat. Itu yang ada di pikiranku saat itu.
"Bajuku tebal. Dan kau lebih membutuhkannya. Maaf, lekuk tubuhmu tercetak jelas dengan pakaian basah seperti itu. Tapi kalau kau menolak …."
"Baiklah. Aku menerimanya." Segera kuraih jaket di tangannya dan memakainya. Aroma parfum jaketnya maskulin, sepertinya parfum bermerk. aku menyukainya. Rasa hangat pun menjalari tubuhku.
"Terima kasih," ucapku sembari menatapnya sekilas. Malu.
"Namamu siapa?" Kau bertanya tanpa mengulurkan tangan padaku.
"Lavina."
"Nama yang manis. Seperti orangnya."
Aku tersenyum mendengar ucapanmu. Entahlah, merasa senang saja. Sekali lagi aku mencuri pandang padamu. Tampan, kulit hitam manis dan menawan. Badan proporsional. Aku melihatmu, sepertinya sikapmu terkesan angkuh. Sudah 30 menit di sini, namun tak pernah sekalipun kau tersenyum. Aku yakin, kalau kau tersenyum, pasti akan tambah gagah.
"Kuliah?" tanyamu lagi. Kali ini, kau menyulut rokok dan sesekali mengembuskannya ke udara. Ah, kau semakin cool saat merokok.
Aku mengangguk. "Iya."
"Jurusan apa?"
"Keperawatan."
"Bagus."
Hujan yang enggan berhenti, membuat kita bercakap lama. Tentang hobi, makanan kesukaan dan tempat-tempat yang menarik untuk dikunjungi.
"Aku tidak pernah bosan berkunjung ke pantai. Aku suka diving, menikmati keindahan bawah laut. Sesekali mendaki gunung bersama teman, menikmati keindahan alam."
"Wah. Kakak keren sekali." Aku tidak bisa menyembunyikan kekaguman.
"Kau sendiri suka apa?" tanyamu.
"Aku suka hujan," lirihku sambil menatap butiran hujan yang jatuh ke tanah.
"Kenapa?"
"Tidak ada alasan, sih. Aku suka aroma tanah sehabis hujan."
"Kau lucu. Sekali waktu, aku ingin mengajakmu berhujan-hujanan."
Aku tersenyum. Sepertinya tawaranmu menarik. Aku memang menyukai hujan sedari kecil. Entahlah, bunyinya seperti musik alam yang akan membuatku tertidur lelap.
Baru pertama kali bertemu, tapi aku merasa nyaman berbincang denganmu. Apakah aku jatuh cinta pada pandangan pertama? Hujan pun seakan mengerti, dia masih saja betah berlama-lama di sini, tempat kita berteduh.
"Kau sepertinya kedinginan. Kemarilah."
Saat itu, aku tidak kuasa menolak saat kau tarik tubuhku untuk bersandar di dadamu. Pelukanmu memberikan kehangatan pada tubuhku. Aku menikmatinya. Sungguh.
Hujan semakin lebat, tak ada siapapun di sini selain kita berdua sehingga kita bebas untuk meniadakan jarak. Entah karena pengaruh dingin atau nafsu, tanpa permisi kau mengecup keningku, lalu berpindah ke bibirku.
Aku? Tentu saja terkejut dengan apa yang kau lakukan. Ini pertama kalinya, aku dicium. Namun kenapa begitu indah? Aku tidak bisa menghentikanmu. Aroma rokok dan mint yang terasa dari mulutmu, seperti menjadi candu. Manis dan memabukkan.
Awalnya aku tidak tahu cara berciuman. Namun setelah beberapa saat, aku bisa dan membalas ciumanmu. Hati ingin berteriak, hentikan. Namun tubuh tak kuasa menolak. Aku menyukainya.
Apakah aku seperti perempuan murahan? tidak menolak berciuman pada pria yang baru saja kukenal. Ah, akal sehatku entah ke mana. Tidak ada ada kata jangan yang keluar dari mulut, hanya pasrah.
Entah beberapa menit kami larut dalam ciuman, hanya beberapa saat berhenti untuk mengambil napas, lalu melanjutkan kembali.
"Maaf. Aku lupa diri," ucapmu lalu melepaskan diri. Kau memperbaiki letak rambutku yang acak-acakan akibat ulah tanganmu itu.
Aku tertunduk malu. Tubuhku masih menyisakan getaran. Sulur-sulur cinta tak bisa kutampik, datang saat itu juga. Apa yang baru saja kita lakukan, itu pengalaman yang paling berkesan.
Hujan sudah mulai reda. Tinggal menyisakan rinai. Hari pun sudah sore. Kita segera bersiap-siap untuk meninggalkan tempat itu.
"Aku tidak ingin hubungan ini berakhir sampai di sini. Kalau kita berjodoh, kita akan dipertemukan kembali. Oh, ya, namaku Gali." Sekali lagi kau mengecup bibirku.
Kita pun berjalan ke arah motor yang terparkir di sisi jalan. Meninggalkan tempat itu dengan mengambil jalan yang berbeda. Aku ke arah Timur dan kau ke arah Barat.
Satu hal yang paling kusesali dalam pertemuan itu, kenapa aku tidak bertanya berapa nomor ponselmu? Tinggal di mana dan berasal dari kota mana?
Sepertinya ini, hanyalah kisah cinta sesaat. Datang begitu saja dan tidak terulang lagi.
Menyedihkan.
***
Hujan di bulan Juli. Mengingatkan kembali kenangan bersama Gali. Sudah lima tahun sejak kejadian itu, tapi tak pernah dipertemukan kembali.
Namun, dia telah membawa sepotong hati dan cintaku.
Kau gadis bodoh Lavina. Gali tidak akan pernah datang. Dia tak pernah menganggapmu ada. Jangan buang-buang waktu menunggu yang tak pasti. Aku bermonolog dalam hati.
Jaket dari Gali masih ada, tersimpan rapi dalam lemari. Menjadi obat rindu. Aroma badannya masih tersimpan di sana.
Aku merindukanmu Gali.
Kembali aku menatap hujan. Hujan ini sama saat pertama kali bertemu dengan Gali. Enggan berhenti.
"Lavina."
Lamunanku terhenti saat seorang pria datang menghampiriku. Aku menoleh dan tersenyum pada yang baru saja masuk ke Cafe ini.
"Maaf. Aku Membuatmu menunggu lama. Seharusnya aku yang datang pertama kali ke Cafe ini, dan tidak membiarkanmu menunggu. Namun hujan menghalangi."
"Tidak apa-apa, Aldi."
Sore ini, Aldi mengajakku bertemu di Cafe Paradise. Cafe yang terletak di tepi pantai Kayangan. Saat ini, Cafe kurang pengunjungnya. Mungkin karena hujan. Hanya satu dua pengunjung.
"Ada hal penting yang ingin kubicarakan," tutur Aldi saat sudah duduk di depanku. Pramusaji pun datang menghidangkan Sanggara' peppe dan dua gelas Sarabba, makanan dan minuman khas kota kami.
"Apa?" tanyaku sambil meniup Sarabba lalu mencicipinya.
"Pertanyaanku tempo hari, kau belum jawab. Bersediakah engkau menjadi istriku?"
Aku tersedak saat mendengar penuturan Aldi. Yah, beberapa bulan yang lalu, dia pernah menanyakan hal yang sama. Namun sampai saat ini, aku belum memberinya jawaban.
Hatiku sudah ada bersama Gali.
"Apa kurangnya aku, La? Aku mencintaimu dan aku berjanji untuk membahagiakanmu, sebisaku." Aldi menggenggam tanganku lalu mengecupnya.
"Kamu tidak kurang apa-apa, Al. Kau baik, tampan dan sempurna."
"Terus, kenapa kau tidak menerimaku?" tuntut Aldi.
"Ini masalah hati, Al. Aku tidak mencintaimu." Dengan berat hati kukatakan itu. Aku melihat raut kecewa di wajahnya.
"Aku bersedia menunggumu untuk jatuh cinta padaku, La."
Aku terdiam. Aldi terlalu baik. Seharusnya pria yang bekerja di kepolisian itu mendapat perempuan yang mencintainya dengan tulus.
Melihat ketulusan dan keseriusan di wajah Aldi, hatiku tergerak untuk belajar mencintainya. Mungkin, aku harus belajar membuka hati untuk pria lain.
Aku sudah di ambang keputus-asaan menunggu Gali. Lelah dan capek menunggu yang tidak pasti. Saatnya, harus melupakannya.
"Baiklah. Aku bersedia untuk menjadi istrimu. Aku akan belajar mencintaimu, Al."
Aldi tersenyum lebar mendengar apa yang kuucapkan. Dia kemudian meraih tanganku dan menggenggamnya erat. "Terima kasih, La. Percayalah, aku akan membahagiakanmu."
Aku membalas genggaman tangannya. Hujan telah berhenti. Aroma petrikor menguar masuk ke dalam cafe. Tak ada kata lagi yang terucap, hanya mata yang saling berbicara.
Penantianku telah berakhir Gali. Aku mencintaimu, namun kau hanya ilusi. Rasa ini harus kumatikan dan menghidupkan kembali pada pria yang setia menantiku selama setahun ini. Aldi Gunawan, pria berpangkat Bripda di kepolisian. Kepadanya, aku akan belajar melabuhkan hati.
***
Hari ini, aku agak telat ke rumah sakit tempatku bekerja. Alasannya, karena hujan. Bulan Juli ini, hujan memang mengganas. Matahari jarang muncul, hanya sesekali.
Di koridor, beberapa teman sejawatku asyik bercerita. Entah apa yang mereka perbincangkan, hingga tawa tak pernah lepas dari mulut mereka.
"Lavina. Sini, ada hal penting." Ariella, melambaikan tangan padaku.
"Hal penting apa sih?" Aku mengerutkan kening. "Gaji kita dinaikkan?"
"Bukan. Ada dokter baru di rumah sakit ini. Ganteng banget lo. Sekarang dia ada di ruangan kepala rumah sakit."
"Tidak menarik," tandasku pelan.
"Itu dia." Nayya yang sedari tadi diam, ikut berbicara.
Aku segera menoleh, menatap pria yang yang berjalan ke arah kami. Dia bersisian dengan Dokter Fahmi, kepala rumah sakit ini.
"Gali?" Tanpa sadar, aku berteriak. Tidak salah lagi, dia adalah Gali, pria yang pernah kutemui lima tahun lalu. Tidak banyak berubah padanya. Hanya tambah dewasa dan gagah. Memakai celana hitam, dan jas berwarna putih, pakaian kebesaran dokter, membuat penampilannya nyaris sempurna.
Ingatan beberapa tahun lalu kembali menyeruak. Bagaimana dia menciumku dan menyentuhku. Kenapa sekarang dia baru hadir?
"Lavina?" Ternyata dia mengenaliku. Aku yang saat itu berdiri di sisi koridor hanya menundukkan kepala, tidak kuasa menatap ke arah Gali. Apalagi saat ini, ada dokter Fahmi. Tidak elok rasanya bernostalgia di depannya. Bagaimanapun, dia adalah pemimpin tertinggi di rumah sakit ini.
"Aku kembali ke sini untukmu, Lavina." Setelah memeriksa pasien di perawatan Edelweiss, Dokter Gali menemuiku di perawatan Tulip, tempatku jaga hari ini. Mengajakku ke cafe yang terletak tidak jauh dari rumah sakit.
"Kamu terlambat, Gali. Setelah sekian tahun menunggumu, kau tidak datang. Aku lelah."
"Maaf. Seharusnya saat itu kita bertukaran nomor ponsel. Saat itu, aku fokus menyelesaikan kuliahku di kedokteran. Kemudian lanjut lagi ambil specialis jantung. Tapi percayalah, aku tidak pernah melupakanmu."
Aku menatap pria di depanku ini. Laki-laki yang sempurna. Siapa yang tidak bangga punya calon suami dokter? Sampai saat ini, hatiku seutuhnya masih milik Gali.
"Kau tahu? Sejak pertemuan pertama kita. Aku langsung jatuh cinta padamu. Setiap hari aku merindukanmu. Namun, aku tidak tahu harus menemuimu di mana." Aku merasa, bulir air mataku jatuh membasahi pipi. Ingin rasanya, aku memeluk Gali untuk menuntaskan rasa rindu yang sekian tahun terpendam.
"Aku sudah datang, La. Aku janji tidak akan meninggalkanmu lagi." Gali mengusap air mataku. Lembut.
"Terlambat. Tidak lama lagi, aku akan menikah."
Bulan Juli, bukan saja bulan hujan. Namun, bulan di mana air mataku banyak tumpah. Aku hanya bisa memandangi kepergian Gali dari cafe dengan air mata yang tak kunjung berhenti.
Apakah Gali juga terluka? Entahlah.
Satu bulan lagi, aku akan melangsungkan pernikahan dengan Aldi Gunawan. Tidak ada yang bisa kami lakukan, selain membunuh perasaan yang terlanjur tumbuh di antara kami.
Kau tahu Gali? Aku pernah terbunuh oleh rindu. Tapi tidak dengan cintaku, aku tetap merawatnya, meski tidak harus bersamanya. Kisah kita akan tetap abadi di sini. Di hatiku.
Aku tidak menyesali pertemuan kita. Mungkin itu sudah menjadi skenario Sang Pencipta. Kita tidak ditakdirkan untuk tidak bersama.
Tidore, 18 Agustus 2020