Home » » Rahasia di Balik Cinta

Rahasia di Balik Cinta

Posted By Redaksi on Sabtu, 15 Agustus 2020 | Agustus 15, 2020

Oleh: Assyifa Barizza

Rinda tampak menikmati tempat ini. Pancaran matanya berbinar, menyiratkan rona bahagia dan kekaguman menyaksikan pemandangan gunung dan lembah yang terpampang di depan mata. Tampak dia sibuk ber-swafoto.

"Ridwan, tolong dong foto aku!"

Dia menyerahkan kamera padaku, Rinda dengan gaya manjanya berfose dengan berbagai macam gaya. Aku hanya mengarahkan dia untuk untuk memilih latar yang indah, agar hasil fotonya semakin bagus.

"Nice, aku menyodorkan kamera padanya, sembari memperlihatkan hasil jepretanku."

Rinda, gadis yang berasal dari kota Makassar. Sudah dua bulan ini menjadi kekasihku. Dia anak pemilik kost tempatku ngontrak, mahasiswi tingkat akhir di sebuah perguruan tinggi swasta.

Lesung pipit yang membingkai wajahnya, alis mata yang tebal, serta raut wajah putih alami menjadi daya tarik tersendiri baginya. Aku jatuh cinta pada saat pertama kali melihatnya. Gayung bersambut, dia juga memiliki rasa yang sama. Dan kami pun sepakat untuk mengikrarkan janji sebagai sepasang kekasih.

Akhir pekan ini, aku mengajaknya liburan ke kampung halamanku. Kampung yang terletak di kaki gunung Karampuang, di apit oleh lembah. Di tengah-tengahnya mengalir sungai yang airnya jernih. Semasa kecil, aku sering berenang bersama teman seusiaku sambil mengail ikan di sungai ini. Di tempat ini, masa kecilku terlewatkan.
 
Lelah dari aktivitas kantor membuatku butuh untuk menghirup udara segar, aku ingin melepas penat dari segala hiruk pikuk kota dengan segala kebisingannya. Dan aku memilih kampung halamanku untuk liburan.

Siang ini, cuaca mulai mendung. Hari yang masih siang tampak gelap, awan sudah menutupi puncak gunung  Karampuang. Musim penghujan memang sudah waktunya. Waktunya para petani untuk bercocok tanam.

"Gleerrr." Tiba-tiba bunyi petir membahana berulang-ulang, memecah bumi yang sudah semakin gelap. Kilatan petir menyambar berulang kali, kilatan cahaya tampak membelah langit.

Rinda berteriak histeris, menutup kedua telinganya sambil menangis, berteriak tidak karuan. Wajahnya langsung memucat, seakan tidak ada darah lagi yang bersarang di tubuh semampainya. Dia meringkuk memeluk kedua lututnya, menyembunyikan wajahnya di sana.

Ada apa dengan gadis itu? Kenapa dia begitu ketakutan saat mendengar bunyi petir. Segera kuhampiri Rinda. Memeluknya dan mencoba menenangkannya. Kudekap tubuhnya yang sudah lunglai.

"Jangan! jangan! pergi! menjauh dari Ayahku!" Berulang kali Rinda meneriakkan kalimat itu.

"Rinda. Ada apa? Aku di sini, di sampingmu. Sekali lagi kudekap tubuh gadis perempuan yang kukasihi ini, berusaha melindunginya dari ketakutan.

Tubuh Rinda bergetar hebat, teriakannya tak kunjung reda dari mulutnya. Tubuhnya seketika lunglai dalam pelukanku, tidak sadarkan diri. Ketakutan langsung menyergapku, takut terjadi hal yang tidak diinginkan pada Rinda.

"Rinda!" Beberapa kali aku memanggil nama kekasihku itu sembari membopong tubuh mungilnya ke pondok yang berada di sekitar lembah. Hujan sudah membasahi bumi. Rinda yang tidak sadarkan diri membuatku semakin panik. Sial! tempat ini sepi lagi, tidak ada orang yang bisa dimintai pertolongan. Aku hanya bisa memeluk gadis yang kukasihi itu sambil menunggu hujan reda.

***

"Maafkan aku, Bu! Aku tidak tahu kalau Rinda phobia dengan bunyi petir," aku meminta maaf kepada Ibu Rasti, ibunya Rinda.

"Harusnya kau tidak membawanya ke sana, Ridwan"

"Aku minta maaf, Bu." Hanya itu yang terucap dari bibir. Rasa bersalah dan takut merajai hati.  Seandainya saja tidak kuajak Rinda liburan di kampungku, tidak akan ada kejadian ini.

Sore itu juga. Saat hujan reda, aku langsung membawa Rinda pulang ke kota.  Membawanya ke dokter untuk memeriksa kondisinya.

"Rinda tidak apa-apa! Dia hanya mempunyai ketakutan yang berlebihan pada sesuatu hal, mungkin dia mempunyai trauma dengan masa lalunya." Penjelasan dokter membuatku sedikit lega, namun trauma apa yang pernah di alami oleh Rinda? pertanyaan tiba-tiba menggelayuti pikiranku.

"Apa ada yang pernah dialami Rinda hingga membuatnya takut dengan petir, Bu?" Aku memberanikan diri bertanya kepada Ibu Rasti yang menangis dari tadi, dia menunggui anaknya yang sedang di opname. Terlihat kekhawatiran yang sangat pada wajah perempuan itu. Yah, Rinda anak semata wayangnya, putri satu-satunya. Konon, suaminya meninggal saat Rinda masih kecil, dan dia tidak mau menikah lagi, meski banyak pria yang bersiap untuk menjadi ayah sambung dari Rinda.

Perempuan setengah baya di hadapanku ini menghela napas. Ada butiran air mata membasahi pipinya. Sepertinya, ada luka yang dia simpan dan dirahasiakan.

"Saat Rinda masih kecil, berusia enam tahun. Perampok menyatroni rumah kami. Mereka ingin mengambil uang dan berupa emas yang kami miliki. Tapi suamiku melakukan perlawanan kepada perampok . Saat itu, hujan di luar sangat deras, petir menyambar-nyambar, hingga teriakan minta tolong kami tidak bisa di dengar oleh tetangga. Dan naasnya, Ayah Rinda harus meregang nyawa oleh tusukan pedang yang dilakukan oleh salah seorang perampok. Rinda menyaksikan bagaimana Ayahnya menghembus napas terakhir dengan cara yang tragis." 

Aku hanya diam mendengar kisah Ibu Rasti. Ternyata trauma yang dialami oleh Rinda sungguh berat. Aku berjanji, akan membuat Rinda melupakan traumanya. Akan selalu ada untuknya, melindungi dan memberi cinta yang sempurna padanya.

"Ibu, Ridwan." Terdengar suara Rinda. Masih lemas, nyaris tidak kedengaran. Kami yang menungguinya, langsung mendekat ke arahnya.

"Maaf ya, Wan! harus membuatmu panik."

"Hus! Jangan bilang begitu, aku yang salah. Seharusnya aku tidak membawamu ke gunung Karampuang di saat musim penghujan seperti ini." Kugemgam tangannya yang masih lemah. Memberinya kekuatan.

Malam itu juga, Rinda di izinkan pulang oleh dokter setelah kondisinya membaik.

"Usahakan kejadian yang membuatnya takut dan teringat masa lalu tidak terulang lagi, bantu dia untuk keluar dari rasa traumanya secara perlahan." Dokter berpesan sebelum kami meninggalkan rumah sakit.

Aku janji untuk menjaga Rinda semampuku.  Selain itu, aku juga harus memenuhi janji kepada Ayahku, untuk bisa melindungi keluarga dari seorang laki-laki yang pernah dia bunuh dulu saat menjalankan aksinya sebagai perampok. Ayahku sudah bertobat, namun kesalahan dan dosa masa lalu masih membayanginya sampai napas terakhirnya. Namun, kenapa Ayah tidak membicarakan tentang detail aksi pembunuhan yang dia lakukan dengan keji?

Lihatlah Ayah. Akibat ulahmu, gadis yang kucintai begitu menderita. Dia tidak bisa melupakan kejadian yang menimpa ayahnya malam itu.


Tak ada yang mengetahui, aku adalah anak dari pembunuh ayah Rinda. Hanya aku, Ayahku dan Tuhan yang tahu.  Biarlah rahasia ini kusimpan rapi dan sangat rapat. Ada ketakutan merajai ragaku, takut Rinda membenci diriku, saat dia tahu aku yang sebenarnya. Tapi apa salahku? aku tidak mengetahui tentang pekerjaan Ayahku di masa lalu. Aku hanya anaknya yang tidak tahu apa-apa.

Namun cintaku pada Rinda adalah cinta yang tulus. Terlepas dari amanah Ayah, aku memang mencintainya, dia perempuan satu-satunya yang berhasil membuatku jatuh cinta. 

Apa pun yang akan terjadi, aku tidak akan memikirkannya sekarang.  Yang kutahu, saat ini, aku bahagia menjadi kekasih Rinda. Kekasih yang akan kujadikan pendamping hidup untuk selamanya.

Mungkin dosa Ayah di masa lalu, aku yang harus menebusnya. Aku tahu, dosa Ayah begitu besar dan tidak terampuni. Tidak akan bisa termaafkan oleh Rinda dan Ibunya.

Maafkan aku kekasihku. Biarlah rahasia ini kusimpan. Kau tahu, hal apa yang paling kutakuti dalam hidupku? Adalah kehilanganmu.

Biarkan aku berbohong demi kebaikan kita. Cinta kita tentunya.(*)







Share this article :
Komentar

0 apresiator:

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday