Home » » Cintaku Terhalang Uang Panai'

Cintaku Terhalang Uang Panai'

Posted By Redaksi on Rabu, 12 Agustus 2020 | Agustus 12, 2020

 Oleh: Assyifa Barizza

 

Aku masih mematung, memandang tak percaya ke arah laki-laki yang sedang berlutut di hadapanku saat ini. Dia menyematkan cincin bertulis inisial  namaku di jari manis. Apakah ini mimpi? Aku mencubit pipiku dan rasanya sakit. Ini nyata rupanya.

"Maukah engkau menikah denganku, Annisa?"

Hanya beberapa kata, namun kalimat yang keluar dari mulut Dirga mampu menghipnotisku. Lidahku kelu, tidak mampu memberi jawaban. Ada apa denganku? Kenapa salah tingkah begini. Mungkin perasaan bahagia terlalu mendominasi. Aku hanya tersenyum, dan Dirga pasti memahami makna yang tersirat di wajahku.

Hujan masih menyisakan gerimis, aroma petrikor menguar masuk sampai ke dalam Cafe Cozy ini. Februari ini, hujan tak kunjung reda. Ini adalah musim penghujan, musim yang selalu kurindukan. Tidak ada alasan menyukainya, aku hanya suka aroma tanah yang habis disiram hujan.

"Datanglah ke rumahku. Menemui kedua orang tuaku, Ga." Ada rasa lega saat kalimat itu keluar dari mulutku. Senyum masih menghiasi sudut bibirku.

"Tentu saja. Sebagai pecinta sejati, aku akan melamarmu pada kedua orang tuamu.

Kami saling memandang dan tersenyum. Rasa bahagia tidak dapat kusembunyikan. Alunan musik yang dinyanyikan oleh penyanyi Cafe mewakili perasaanku dan Dirga.

 

Akhirnya 'ku menemukanmu

Saat hati ini mulai merapuh

Akhirnya 'ku menemukanmu

Saat raga ini ingin berlabuh

'Ku berharap engkaulah

Jawaban segala risau hatiku

Dan biarkan diriku

Mencintaimu hingga ujung usiaku

Jika nanti 'ku sanding dirimu

Miliki aku dengan segala kelemahanku

Dan bila nanti engkau di sampingku

Jangan pernah letih 'tuk mencintaiku

Akhirnya 'ku menemukanmu

Saat hati ini mulai merapuh

'Ku berharap engkaulah

Jawaban segala risau hatiku

Dan biarkan diriku

Mencintaimu hingga ujung usiaku

Jika nanti 'ku sanding dirimu (sanding dirimu)

Miliki aku dengan segala kelemahanku (segala kelemahanku)

Dan bila nanti engkau di sampingku (di sampingku)

Jangan…

 

"I love you, Annisa," ucap Dirga saat lagu itu telah usai sambil mengecup punggung tanganku.

"I love to," lirihku dengan tersenyum. Pasti pipiku sudah merona merah saat ini.

Dirga Sastra Negara. Laki-laki yang berasal dari Ternate, Maluku Utara. Sudah lama aku mengenalnya, sekitar lima tahun yang lalu. Dia menginjakkan kakinya di kota Daeng, Makassar untuk menimba ilmu. Dia kuliah di Universitas Hasanuddin, begitu pun denganku. Kami berbeda Fakultas, tapi bergabung dalam organisasi yang sama di Kampus. Dari situlah awal kami bertemu dan saling jatuh cinta.

Dirga, bukanlah sosok romantis. Sikapnya justru cenderung dingin. Namun dia cerdas. Itulah yang membuatku suka, kagum dan berakhir dengan cinta. Selain itu, paras wajah tampan membingkai wajahnya. Dia termasuk salah satu idola di kampus ini.

Setelah kuliahnya selesai, Dirga masih tetap di Makassar mengadu nasib. Dia bekerja di perusahaan industri yang terletak di pinggiran kota Makassar. Cinta kami pun semakin hari makin bersemi.

***

Malam Minggu. Waktu menunjukkan pukul 21.00 WITA. Dirga datang memenuhi janjinya menemui orang tuaku. Mengutarakan keinginannya untuk mempersuntingku sebagai istrinya.

Bapak dan Ibuku yang masih teguh memegang adat istiadat Makassar, memberi syarat yang sangat berat untuk Dirga. Uang panai' dan mahar sangat tinggi dia ajukan padanya.

"Apakah kau bisa menyiapkan uang panai seratus juta dan mahar 50 gram emas? Annisa anakku, adalah anak tunggal. Satu-satunya pewaris hartaku."

Aku sudah menduga, Bapak pasti akan berkata seperti ini. Di Makassar, semakin tinggi pendidikan, status sosial dan harta seorang perempuan maka akan jadi patokan seberapa besar uang panai' yang akan disiapkan oleh calon mempelai pria. Dan juga suatu kebanggaan untuk orang tua, bila anak gadis mereka di lamar dengan uang panai' yang fantastis.

Sementara Dirga, hanya diam menunduk. Tidak mampu menatap wajah Bapak. Aku tahu, Dirga pasti tidak mampu memenuhi syarat yang diberikan oleh Bapak. Dia masih merintis karir dari bawah, gajinya pun masih di bawah lima juta.

Meminta tolong kepada orang tuanya di Ternate juga mustahil. Adat istiadat dan budaya kami sangat berbeda.

"Akan aku usahakan, Pak."

Hanya kata itu yang diucapkan Dirga. Tak ada senyum di wajahnya. Setelah meminum teh hangat yang kusuguhkan, dia pun pamit. Terlihat jelas kerisauan di raut mukanya.

Aku juga merasakan cemas yang sangat. Mampukah Dirga memenuhi permintaan Bapak? Atau dia akan menyerah? Entahlah. Yang kutahu saat ini, aku takut kehilangannya. Aku sudah terlanjur mencintainya. Hanya dia sosok yang kuinginkan jadi pendamping hidupku, yang akan menemaniku menua.

Bukankah dalam Islam pernikahan itu dimudahkan? Ada laki- laki dan perempuan yang siap menikah, wali, saksi, mahar, dan penghulu. Maka, ijab kabul pun sudah bisa dilaksanakan.

Namun ini Makassar. Adat istiadat dan tradisinya seperti sebuah kewajiban yang tidak bisa dilanggar. Rasanya ingin berteriak, apakah hukum Adat lebih penting daripada hukum Islam?

***

Beberapa hari ini, Dirga tidak menghubungiku. Berulang kali kutelepon, tapi nomornya tidak aktif. Aku gelisah, takut terjadi apa-apa padanya.

Sehabis pulang kerja, aku menemui dia di rumah kontrakannya. Ingin berbicara tentang kelanjutan hubungan kami. Aku sangat tidak siap untuk kehilangannya.

Tatapan matanya kosong, seakan tidak ada gairah hidup. Dia hanya diam menyambut kedatanganku. Dirga sangat berbeda hari ini, hanya mendiamkanku. Biasanya kalau kami bertemu, dia selalu menggodaku.

"Kenapa tidak pernah menghubungiku, Ga?" Aku membuka percakapan. Setelah itu hening kembali tercipta.

Dirga menyulut rokoknya kuat-kuat, kemudian menghembuskan asapnya ke udara.

"Sejak kapan kau merokok?"

Dirga mematikan rokoknya dan menyimpannya di asbak.

"Aku pusing, Nisa. Tidak tahu bagaimana caranya untuk bisa memenuhi syarat yang diajukan orang tuamu."

"Kau 'kan bisa meminta tolong pada keluargamu di Ternate?" Selaku sembari memegang tangan Dirga. Mencoba memberi kekuatan padanya.

Dirga tertawa pelan, kemudahan berdiri berjalan menuju jendela yang menghadap ke jalan.

"Kau tahu apa yang dikatakan Ibuku saat menceritakan tentang lamaranku padamu? Dia bilang, pulanglah! Di sini banyak gadis-gadis yang bisa kau nikahi dengan uang secukupnya."

Lama kami terdiam. Saling memandang tanpa mengeluarkan suara. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Jadi, kau menyerah dan tidak ingin memperjuangkan cinta kita, Ga?"

Dirga menatapku sekilas, kemudian kembali  mengalihkan pandangannya ke jendela. Aku tahu suasana hatinya saat ini. Di ambang putus asa.

"Terus apa yang harus kulakukan, Nisa? Aku ini bukanlah anak konglomerat. Uang sebanyak itu, dari mana bisa kudapatkan?"

"Banyak cara yang bisa kita tempuh, Ga. Bagaimana kalau kita kawin lari?" Akal sehatku sudah tak berfungsi lagi. Entah dari mana datangnya ide konyol itu. Yah, aku terlalu takut kehilangan lelakiku ini.

"Tidak! Aku tidak ingin menodai cinta kita Nisa. Biarlah waktu yang menjawab tentang hubungan kita ke depannya."

Aku meninggalkan rumah Dirga dengan hati hampa. Dia tidak memberiku harapan yang pasti. Sekilas aku bisa menangkap, ada sikap menyerah pada dirinya.

Bukan salah Dirga, bukan pula salah orang tuaku. Mereka hanyalah korban dari sebuah aturan tak tertulis  yang dibuat oleh manusia.

***

Bagi setiap orang, hari pernikahan adalah hari yang paling terindah dalam hidupnya. Sebuah moment sakral yang sangat bersejarah. Hari itu, adalah bersatunya dua insan dalam ikatan janji suci pernikahan. Tapi tidak denganku. Hari ini seluruh tubuh dan jiwaku terluka.

Sejam yang lalu. Laki-laki pilihan orang tuaku mengucapkan ijab kabul padaku dengan lantang.

"Aku terima nikah dan kawinnya Annisa Ramadhani binti Sulaiman dengan mahar seperangkat alat salat, sebuah rumah dan emas 50 gram dibayar tunai."

Alfian, pria mapan yang mempunyai jabatan supervisor di perusahaan pertambangan nikel di Sorowako, Luwu Timur. Dia mampu memenuhi syarat yang diberikan orang tuaku. Bahkan sebuah rumah dia telah siapkan untukku. Tentu saja tanpa berfikir dua kali, Bapak langsung menerima lamarannya.

"Ini semua untuk kebahagiaanmu, Annisa," ujar Bapak ketika aku tidak setuju dengan lamaran ini. Dalam hati aku bergumam, kebahagiaanku atau kebahagiaan Bapak?

Alfian masih terhitung kerabat denganku. Anak dari sepupu Ibuku. Hari ini aku resmi menyandang status sebagai istrinya.

Berulang kali aku menolak perjodohan ini, tapi Bapak tetap memaksa. Aku tidak punya pilihan lain, hanya bisa pasrah.

"Aku hanya mau menikah dengan Dirga, Pak. Aku mencintai dia."

Dengan terisak, kumengiba pada bapak, bersimpuh di depannya. Berharap, dia akan berubah pikiran.

"Tapi Dirga tidak sanggup memberimu uang panai' sesuai dengan permintaanku." Sedikit pun Bapak tidak menaruh rasa iba padaku. "Bapak sudah menerima pinangan Alfian. Kau akan hidup bahagia dengannya."

Hati kembali menangis bila mengingat itu. Bapak sudah dibutakan dengan uang dan adat. Hanya karena gengsi, dia menggadaikan kebahagiaan anaknya sendiri.

Dalam balutan gaun pernikahan adat Makassar, aku duduk bersanding dengan laki-laki yang sangat asing bagiku. Air mataku sudah kering, aku sudah puas menumpahkannya di ranjang semalam.

Dirga, dia sudah meninggalkan kota Makassar, kembali ke kampung halamannya setelah tahu aku dijodohkan dengan laki-laki lain.

[Semoga kau bahagia dengan laki-laki pilihan orang tuamu, Annisa.] Itu pesan terakhirnya melalui WhatsApp, sehari sebelum dia pergi.

Tamu semakin banyak berdatangan memberi ucapan selamat padaku. Aku mencoba tersenyum, menutupi suasana hati yang gundah.

Aku tidak tahu, apakah pernikahanku akan bahagia tanpa cinta?Aku jalani saja dulu. Seperti kata Dirga, biarlah waktu yang menjawabnya.

Alfian sekarang adalah imamku. Aku harus belajar mencintai dia, walau kutahu itu sulit. Menghilangkan bayangan Dirga, aku rasa butuh waktu yang cukup lama dan apakah aku mampu untuk itu?

Aku bukanlah perempuan yang gampang jatuh cinta. Dirga, adalah laki-laki pertama yang mampu menaklukkan hatiku. Mungkin selamanya, hanya dia akan yang akan bertahta di sana.

Dirga yang seharusnya mengucap janji suci itu padaku dan duduk bersanding di pelaminan yang megah ini. Tapi takdir berkata lain dan aku tidak boleh mengingkari itu. Dirga tercipta bukan untukku, begitu pun sebaliknya.

Tuhan, apa yang terjadi adalah kehendakmu. Pernikahanku ini adalah takdirmu yang tidak bisa kutolak. Aku hanya meminta, hilangkan rasa cintaku pada Dirga dan mengalihkannya pada Alfian.

Tuhan, aku titipkan Dirga padamu. Kirimkan dia perempuan yang mencintainya dengan tulus. Walaupun kami diciptakan untuk bersatu, tapi aku akan selalu berdo'a agar dia bahagia bersama perempuan yang telah engkau pilihkan untuknya.

"Kau begitu cantik malam ini, istriku." Aku mendengar bisikan lembut Alfian di telingaku. Tapi, kenapa aku tidak suka dengan kalimat itu? Andai Dirga yang ucapkan, pasti akan terasa romantis.

Resepsi pernikahan belum usai, tapi hujan sudah mengguyur Makassar. Kukira musim hujan sudah berakhir di bulan Mei ini, tapi dia masih turun membasahi bumi. Apakah dia tahu kalau aku merindukannya?

Aku suka hujan. Aku suka aromanya. Rasanya ingin berlari di bawah tumpahan air hujan dengan gaun pengantin, menangis sepuasnya tanpa ada yang tahu.

"Apa ada yang bisa memberi tahuku? Bagaimana rasanya sekamar dengan pria yang tidak kita cintai?"

Aku yakin, ini adalah yang terbaik untukku meski bukan yang terindah.

 

Tidore, 2020

 

Note;

Uang panai' : Uang belanja.

Uang panai' dan mahar itu berbeda untuk suku Bugis dan Makassar.

Share this article :
Komentar

0 apresiator:

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday