Home » » Gadis Perindu Hujan

Gadis Perindu Hujan

Posted By Redaksi on Kamis, 03 September 2020 | September 03, 2020

Oleh: Assyifa Barizza

Setiap kali hujan turun, aku selalu setia duduk di samping jendela kaca. Bukan untuk menyaksikan butiran hujan yang jatuh ke bumi, atau menikmati sensasi hujan yang bunyinya menenangkan. Aku di sini, untuk memandangi perempuan berwajah manis berambut sebahu yang setiap kali hujan turun, selalu berlari-lari mengelilingi sekitar rumahnya sampai hujan reda.

Perempuan aneh.

Aku pun menjadi aneh. Seperti ketagihan melihat perempuan itu berlarian di bawah hujan. Bahkan, aku selalu berharap, agar hujan tiap hari turun di sini, agar bisa melihat perempuan itu bercengkrama dengan hujan.

Namanya Arini. Nama yang manis, seperti orangnya. Kemarin, aku bertanya tentangnya pada pemilik warung depan rumah. Ibu Yulia, sang pemilik warung banyak bercerita tentang kisah Arini. Kisah yang membuatnya menjadi seorang pluviophile. 

Katanya dua tahun yang lalu, saat Arini akan melangsungkan perkawinan dengan lelaki pujaan hati. Sang Malaikat maut menjemput terlebih dahulu calon suami Arini. Saat itu, calon suaminya datang menemui Arini untuk mengucap ijab kabul. Nyatanya takdir berkata lain, pujaan hati malah berjodoh dengan kematian. Mobil yang ditumpangi mengalami kecelakaan tunggal dan calon suaminya meninggal seketika. Kisah yang tragis.

Menurut Ibu Yulia, saat mendengar berita duka itu, Arini seakan tidak sanggup terima kenyataan. Dalam balutan gaun pengantin, Arini berlari keluar menembus hujan. Berteriak dan menangis. Menumpahkan rasa sakit dan kesedihannya pada hujan. Sejak saat itu, dia selalu menunggu hujan turun. Ah, Arini. Siapapun tidak akan ada yang sanggup menerima kenyataan seperti yang kau alami. Kehilangan orang yang kita cintai tidaklah mudah.

Di sini--di kota kecil ini, baru seminggu aku menginjakkan kaki. Pekerjaanku sebagai seorang lawyer tentulah harus bersiap untuk berada di mana saja, tergantung tempat klien berada. Kali ini, aku menangani kasus berbeda. Aku ditugaskan oleh kantor untuk mempelajari kasus tentang tanah rakyat yang bersengketa dengan perusahaan asing. Tentulah ini memakan waktu yang lama. Dan pekerjaan kali ini, termasuk tugas kemanusiaan. Tanpa digaji. Saat atasan menawarkan, tanpa berpikir dua kali, aku langsung menerimanya.

Tentang percintaan. Beberapa kali aku menjalin asmara dengan beberapa perempuan. Saat kuliah, aku dijuluki play boy kampus. Namun, tak ada yang benar-benar membuatku jatuh cinta. Beberapa perempuan yang kutemui, hanya ingin menumpang ketenaranku sebagai ketua senat di kampus. 

Ada pula perempuan yang menangis, saat aku memutuskan hubungan dengannya. Ariella, anak Fakultas Komunikasi, kekasih yang kupacari sejak semester empat itu tidak rela saat kuputuskan secara sepihak. Mau bagaimana lagi, aku sudah tidak kuat menghadapi sikapnya yang over protective. Sering cemburu tanpa alasan. Belum lagi, sering memintaku menemaninya belanja di Mall. Menyebalkan.

"Aku janji Runa. Aku akan merubah sikapku." Ariella menangis terisak. Memegang tanganku. Mengiba. Namun, keputusanku sudah bulat. Tidak akan bersamanya lagi. 

"Maaf, Ariella. Aku tidak bisa."

"Kenapa? Apa ada perempuan lain?"

"Aku tidak perlu punya alasan untuk putus denganmu. Intinya, aku tidak suka dengan sikapmu, tidak suka ditekan."

"Semuanya bisa dirubah."

"Terlambat," sahutku sembari meninggalkan kost miliknya. Tidak kudengarkan teriakannya yang memanggil namaku. Sore ini, aku sengaja menemuinya hanya untuk mengakhiri hubungan yang seperti neraka bagiku.

Apakah aku jahat waktu itu? Entahlah. Di mata Ariella, pasti iya.

Setelah itu, beberapa kali aku menjalani hubungan pacaran dengan beberapa perempuan. Entah dari teman kampus sendiri atau cewek kampus lain. Pesonaku memang tidak bisa ditolak kala itu, ketua senat yang mempunyai wajah tampan. Sangat mudah bagiku untuk menaklukkan hati perempuan. Aku sempat menikmati berpetualang dari perempuan yang satu ke perempat lain, hingga pada akhirnya jenuh sendiri. Memutuskan untuk tidak berpacaran lagi. Sampai detik ini.

***

Saat baru saja selesai berkunjung ke rumah penduduk untuk meminta data tentang tanah mereka yang dikuasai oleh perusahaan asing. Tanpa sengaja aku melihat Arini duduk di bale-bale depan rumahnya. Mungkin dia menunggu hujan turun. 

Aku berusaha memberanikan diri untuk menyapanya. Sore ini, dia begitu cantik. Mengenakan baju terusan berwarna peach. Rambut diikat tinggi, memperlihatkan leher jenjangnya. Lesung pipi membingkai wajahnya yang mulus natural tanpa polesan bedak. Sangat mempesona, menawan hatiku yang tak bertuan.

"Hai. Aku boleh duduk di sini?"

Sekejap Arini mendongak, menatapku. Mata bulatnya menyiratkan rasa heran. Sudah lebih seminggu di sini, tapi belum pernah bertemu langsung. Mungkin dia merasa kaget dengan kehadiran mahluk asing yang tidak dikenalnya.

"Aku Runa. Tinggal di situ. Di rumah Pak Gunawan." Jariku menunjuk rumah yang aku tempati untuk sementara waktu. Rumah itu berada tepat di sebelah rumah Arini. Pak Gunawan, adalah teman baik bosku. Dia yang menawarkan tumpangan secara gratis.

"Arini," lirihnya. 

"Aku bukan orang jahat," ucapku saat melihat Arini menggeser duduknya, agar kami semakin berjarak.

"Maaf. Aku …." Arini tidak melanjutkan ucapannya. Aku melihatnya menitikkan air mata.

"Apa aku mengganggumu?"

Arini menggeleng lemah. "Tidak. Kau mengingatkanku pada seseorang."

"Siapa?"

"Dia orang yang pernah sangat dekat denganku. Kalian nyaris memiliki wajah yang sama."

"Kalau kau tidak keberatan. Kau bisa bercerita padaku. Tapi kalau tidak mau, tidak apa-apa."

Aku melihat keraguan di wajah Arini. Mungkin dia enggan bercerita. Atau bisa saja, dia tidak ingin membagi kisahnya pada orang yang baru saja dikenalnya.

"Maaf. Aku sering melihatmu main hujan-hujanan saat hujan turun."

Sejenak Arini menghela napas. "Itu bukan bermain. Aku sengaja menyatukan diri dengan hujan, agar tidak ada yang tahu,  kalau aku lagi menangis. Hujan bisa langsung menghapus air mataku dan bisa menyamarkan lukaku."

Sore itu, Arini pun banyak bercerita padaku. Tentang kisah cintanya yang dipisahkan oleh maut. Tentang sang pujaan hati yang begitu dia cintai, namun Sang Pencipta lebih menyayanginya. Sesekali dia terisak. Matanya masih tidak bisa menyembunyikan tentang lukanya.

"Kau harus belajar menerima kenyataan, Rin," ucapku pelan. Takut membuat Arini tersinggung.

"Aku sudah berusaha, Kak. Tapi tidak bisa."

"Apa kau ingin membuat Arie sedih di alamnya? Orang yang dia cintai, bersedih sepanjang hari." Arie, adalah nama kekasih Arini. Itu pengakuannya padaku.

"Bagaimana caranya melupakannya?" Tandas Arini.

"Menyibukkan diri."

Aku dengar dari Ibu Yulia. Sebelum kejadian dua tahun lalu, Arini adalah seorang pegawai Bank swasta. Namun, sejak kematian Arie, Arini resign dan bersibuk dengan lukanya. 

Cinta sejati. Itulah yang dimiliki oleh Arini.

"Mungkin Kak Runa benar. Sudah waktunya aku belajar menerima kenyataan. Cuman secara perlahan. Ini sangat berat bagiku."

Aku tersenyum mendengar penuturan Arini. Semoga saja, waktu bisa bisa menyembuhkan lukanya. Membantunya untuk melupakan bait kisah yang tak indah. Ah, Arini. Betapa beruntungnya Arie mendapatkan cintamu.

Sejak saat itu, aku makin dekat dengan Arini. Kadang menemaninya bercerita di bale-bale saat ada waktu senggang. Meminjamkan koleksi buku yang kubawa dari rumah. Dan dia antusias membacanya. 

"Ceritanya sangat bagus," ungkap Arini saat membaca novel karangan Tere Liye yang berjudul Rembulan Jatuh di Pangkuanmu.

"Semua novel Bang Tere itu keren. Dan untuk judul itu, sudah di filmkan, lo," balasku sambil tersenyum padanya. Berharap Arini membalasnya. Aku senang melihat lesung pipi di wajahnya.

"Wah. Aku ingin menonton filmnya."

"Kapan-kapan, kau bisa menontonnya di laptopku."

Satu hal yang tidak bisa kutampik adalah aku jatuh cinta pada Arini. Perempuan perindu hujan itu. Aku menyukai apa yang dia miliki. Kesederhanaan dan kecantikan naturalnya. 

Hari ini, kupikir adalah waktu yang tepat untuk memberi tahu Arini tentang perasaanku yang sebenarnya. Saat hujan baru saja reda, aku menemui Arini di rumahnya. Seperti biasa, dia baru saja habis berkencan dengan hujan. 

"Aku ingin menggantikan posisi Arie di hatimu, Rin," ujarku saat Arini duduk di depanku sehabis menghidangkan secangkir kopi dan sepiring pisang goreng.

"Tidak ada yang bisa menggantikan dia, Kak."

"Kalau begitu, izinkan aku untuk mencintaimu."

Arini menggeleng. "Tidak, Kak. Aku tidak ingin merasakan yang namanya ditinggalkan lagi."

"Kau harus percaya, kalau kematian itu adalah rahasia Tuhan, Rin. Percayalah, aku akan menjagamu. Menemanimu menyembuhkan luka." Nada suaraku agak tinggi.

"Jangan pernah memaksaku, Kak. Tadinya kupikir, kau hanya seorang sahabat bagiku. Namun, nyatanya kau berharap lebih."

"Salahkah kalau aku jatuh cinta padamu, Rin?

"Salah besar, Kak. Aku tidak ingin dicintai lagi dan tidak ingin mencintai."

"Kau tidak berhak untuk melarangku jatuh cinta, Rin," sergahku.

"Sudah kubilang, aku tidak ingin dicintai. Pulanglah, Kak. Aku tidak ingin melihat mukamu lagi." Sore ini, Arini mengusirku dari rumahnya. 

Aku terlalu gegabah, tidak sabaran mengatakan isi hatiku pada Arini. Akhirnya, hubunganku dan Arini semakin berjarak. Tidak pernah kulihat lagi Arini menampakkan diri di halaman rumahnya. Apakah dia berusaha menghindariku?

Aku akan tetap bertahan menunggumu Arini. Sampai kau percaya lagi akan cinta. Mungkin ini mustahil bagi sebagian orang, karena mencintai orang sepertimu yang hatinya beku adalah membuang-buang waktu. Namun, aku takkan menyerah, karena sejatinya aku telah jatuh cinta padamu. Dan bukankah cinta harus diperjuangkan?

***

Musim sudah berganti. Tak ada lagi hujan yang turun dari langit. Kali ini, Sang Surya yang bertugas menyinari bumi. Dan Arini apa kabar? Apakah dia akan membenci musim kemarau ini? Karena dia tidak bisa lagi menikmati hujan.

Aku rindu padamu Arini.

Sudah dua bulan aku kembali dari kota kecil itu. Tugasku di sana telah selesai. Aku berhasil membantu masyarakat memenangkan kasus tanah. Akhirnya pihak perusahaan asing rela mengganti uang masyarakat sebagai ganti rugi. 

Sayangnya di sana aku gagal mendapatkan cinta Arini. Beberapa kali aku mencoba menemuinya sebelum meninggalkan kotanya. Namun selalu penolakan yang kudapatkan. Kecewa, tentu saja. Yang namanya ditolak pasti sakit. Apakah ini sebuah karma untukku? Dulu, dengan gampangnya aku mematahkan hati perempuan. Kini, aku merasakan hal yang sama.

Di kota besar ini, kembali aku beraktifitas seperti semula. Menemui klien yang butuh jasa pendampingan hukum. Aku lebih banyak menyibukkan diri untuk melupakan Arini. Perempuan itu, betul-betul telah menyita sebagian waktu dan pikiranku.

Sore, setelah pulang dari kantor. Aku berjalan-jalan untuk mengitari kota Makassar. Merefresh pikiran yang lagi galau. Kenapa aku menjadi melankolis seperti ini? Aku memukul jidat sambil menertawakan diri sendiri.

Tidak sengaja netraku menangkap perempuan berdiri di sisi jalan, sepertinya sedang menunggu angkot. Perempuan berambut sebahu dan berlesung pipi. Bukankah itu adalah …?

Buru-buru aku hentikan mobilku tepat di hadapannya. "Arini?" Aku menyapanya.

"Kak Runa?" Dia tersenyum saat melihatku. Aku bahagia melihat ekspresinya saat ini.  Tidak kutemukan lagi duka di wajahnya. 

"Sedang apa di sini?" Aku turun dari mobil dan mengajaknya duduk di halte mini yang kebetulan ada di situ.

"Kak Runa benar. Aku harus belajar menerima kenyataan. Jodoh dan maut adalah takdir."

"Apakah itu berarti, kau juga bisa menerimaku?"

Arini mengangguk malu. Namun itu sudah cukup bagiku. Aku akan mengajarinya melupakan masa lalu dengan memberinya cinta yang utuh.

"Katakan. Kapan aku melamarku?"

Arini tertawa. Membuatnya semakin cantik. Perempuan perindu hujan itu telah berubah rupanya. "Secepatnya. Aku tidak ingin kejadian beberapa tahun yang lalu terulang kembali. Aku tidak ingin kehilangan orang yang kucintai."

Rasanya tidak percaya mendengar apa yang dikatakan Arini. Segera kugenggam tangannya dan berbisik, "Aku tidak akan pernah meninggalkanmu."

Sore ini, langit Makassar jadi saksi kebahagiaanku. Semesta pun merestui hubungan kami yang baru akan dimulai ini dengan mengirimkan hujan di musim kemarau.

Tiba-tiba aku juga mencintai hujan.

Tidore, 3 September 2020








Share this article :
Komentar

0 apresiator:

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday