Latest Post

Pramoedya Ananta Toer; Terbuang, Terlarang dan Terpenting

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 17 Juli 2009 | Juli 17, 2009



Pramoedya Ananta Toer adalah salah seorang sastrawan Indonesia terpenting dalam angkatan 45. Seorang penulis prosa yang terpenting dalam zaman itu, bukan saja karena sedemikian kompleksnya persoalan yang dikemukan dalam semua karya kreatifnya tapi juga nilai kualitas karya-karyanya yang begitu istimewa. 

Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 dan wafat di Jakarta, 30 April 2006 pada umur 81 tahun. Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Hingga kini masih dianggap sebagai salah satu pengarang yang paling produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Pramoedya telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing.


Puluhan karyanya kebanyakan tidak sempat dibaca oleh anak-anak bangsa ini lantaran karyanya lebih sering dilarang diterbitkan seperti: Sepoeloeh Kepala Nica (1946), hilang di tangan penerbit Balingka, Pasar Baru, Jakarta, 1947, Kranji–Bekasi Jatuh (1947), fragmen dari Di Tepi Kali Bekasi ,Perburuan (1950), pemenang sayembara Balai Pustaka, Jakarta, 1949,Keluarga Gerilya (1950)Subuh (1951), kumpulan 3 cerpen Percikan Revolusi (1951), kumpulan cerpen Bukan Pasar malam (1951)Di Tepi Kali Bekasi (1951), dari sisa naskah yang dirampas Marinir Belanda pada 22 Juli 1947Dia yang Menyerah (1951), kemudian dicetak ulang dalam kumpulan cerpenCerita dari Blora (1952), pemenang karya sastra terbaik dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, Jakarta, 1953Gulat di Jakarta (1953), Midah Si Manis Bergigi Emas (1954), Korupsi (1954), Mari Mengarang (1954), tak jelas nasibnya di tangan penerbit Cerita Dari Jakarta (1957), Panggil Aku Kartini Saja (I & II, 1963; III & IV dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965,Kumpulan Karya Kartini, yang pernah diumumkan di berbagai media; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965, Wanita Sebelum Kartini; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965 Gadis Pantai (1962-65) dalam bentuk cerita bersambung, bagian pertama triologi tentang keluarga Pramoedya; terbit sebagai buku, 1987; dilarang Jaksa Agung. Jilid II & III dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965Sejarah Bahasa Indonesia. Satu Percobaan (1964); dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (1963), Lentera (1965), tak jelas nasibnya di tangan penerbitBumi Manusia (1980); dilarang Jaksa Agung, 1981, Anak Semua Bangsa (1981); dilarang Jaksa Agung, 1981,Sikap dan Peran Intelektual di Dunia Ketiga (1981)Tempo Doeloe (1982), antologi sastra pra-IndonesiaJejak Langkah (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985, Sang Pemula (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985, Hikayat Siti Mariah, (ed.) Hadji Moekti, (1987); dilarang Jaksa Agung, 1987, Rumah Kaca (1988); dilarang Jaksa Agung, 1988, Memoar Oei Tjoe Tat, (ed.) Oei Tjoe Tat, (1995); dilarang Jaksa Agung, 1995, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I (1995); dilarang Jaksa Agung, 1995, Arus Balik (1995), Arok Dedes (1999), Mangir (2000), Larasati (2000), dan Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2005).
Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen serta buku di sepanjang karir militernya dan ketika dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.




Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsaysay Award, 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat 'protes' ke yayasan Ramon Magsaysay. Mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding sebagai "jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang" di masa demokrasi terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya. Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut 'pencabutan', tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'. Katanya, banyak orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram dulu. Dan pemberian penghargaan Magsaysay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsaysay yang dianugerahkan padanya di tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama.

Lubis juga mengatakan, HB Jassin pun akan mengembalikan hadiah Magsaysay yang pernah diterimanya. Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Jassin malah mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis. Dalam berbagai opini-opininya di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut pertanggungan jawab Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran 'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap bagi kreativitas' pada zaman Demokrasi Terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya. Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya di masa pra-1965 itu tidak lebih dari 'golongan polemik biasa' yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang 'kelewat jauh'. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya.

Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran. Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Pramoedya membuat perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan politik di Pulau Buru selama masa 1970-an.

Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga pernah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memperoleh penghargaan dari Universitas Michigan.

Pramoedya adalah satu-satunya sastrawan yang karyanya paling sering dilarang beredar, dibuang bahkan dibakar oleh rezim orla dan orba. Namun justru dia sastrawan yang paling digemari oleh para aktivis muda tanah air yang selalu menginginkan perubahan. Banyak percikan pikirannya melalui tulisan yang masih sering menjadi referensi bagi kaum radikal.






























Ayu Utami: Yang Dikecam, Yang Antik


Beberapa bulan lalu penulis pernah mengecam novelis hebat kita ini. Tapi tentunya kecaman tersebut masih dalam koridor objektifitas sudut pandang. Mengkaji setiap karya ataupun diri Ayu Utami sendiri memang selalu memunculkan revolusi pemikiran yang berkembang, liar, sekaligus mengagumkan. 

Dalam sebuah diskusi Ayu Utami pernah melontarkan pikirannya bahwa inti dari spiritualitas adalah adanya tempat misteri. Memberi tempat bagi misteri bukan berarti menolak yang bukan misteri. Sebaliknya, orang harus menganggap misteri sebagai teka-teki dan melawannya sampai titik ia kehabisan tenaga dan percaya bahwa yang dihadapinya bukan teka-teki, melainkan memang misteri.

Ayu Utami Semasa kecil suka berkhayal sebelum tertidur. Tapi mungkin itu memang kebiasaan dari kebanyakan para sastrawan di masa kecil. Justina Ayu Utami adalah aktivis jurnalis dan novelis Indonesia, ia lahir di Bogor, 21 November 1968, besar di Jakarta dan menamatkan kuliah di Fakultas Sastra Jurusan Sastra Rusia Universitas Indonesia.




Ayu pernah menjadi wartawan di majalah Humor, Matra, Forum Keadilan, dan D&R. Setelah rezim Orde Baru membredel Tempo, Editor dan Detik , ia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen yang memprotes pembredelan. Ia juga bekerja di jurnal kebudayaan Kalam dan di Teater Utan Kayu. Novelnya yang pertama, Saman, mendapatkan sambutan dari berbagai kritikus dan dianggap memberikan warna baru dalam sastra Indonesia. Novel Saman pernah menuai kontroversi di kalangan moralis dan agamawan sebab dinilai sebagai bagian dari "sastra selangkang" yang mengeksploitasi kelincahan bahasa vulgar.



Ayu mulai dikenal sebagai novelis sejak novelnya Saman memenangi sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Dalam waktu tiga tahun Saman terjual 55 ribu eksemplar. Berkat Saman pula, Ayu mendapat Prince Claus Award 2000 dari Prince Claus Fund, sebuah yayasan yang bermarkas di Den Haag, yang mempunyai misi mendukung dan memajukan kegiatan di bidang budaya dan pembangunan. Akhir 2001, ia meluncurkan novel Larung. Ayu Utami meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award (KLA) tahun 2008 untuk kategori prosa lewat novelnya, Bilangan Fu.




Keunikan gaya dalam teks sastra "antik" yang memperkaya novelnya menjadikan Ayu berbeda dengan novelis lainnya. Dalam hal tema-tema yang diusungnya, Ayu telah berhasil merangsang daya gedor pikiran kita untuk menelanjangi makna perempuan dari segala sisi. 

Sebuah kutipan dari selembar halaman dalam novel Bilangan Fu: Perempuan dikuasai oleh monster ubur-ubur di dalam perutnya. Mereka senang melakukan percintaan yang membuang banyak tenaga hanya jika monster itu masih mengharapkan lebih. Jika sang monster memperkirakan bahwa lelaki Y tak akan menghasilkan lebih, ia akan memerintahkan si perempuan untuk menghemat energi. Ketika itulah mereka memilih posisi telentang. Demikianlah ekonomi perempuan.

Dewi Lestari, Kemandirian Pena Penulis Perempuan

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 15 Juli 2009 | Juli 15, 2009


Dewi Lestari Simangunsong yang lebih akrab disapa Dee lahir di Bandung, Jawa Barat, 20 Januari 1976. Penulis dan penyanyi Lulusan jurusan Hubungan Internasional Universitas Parahyangan ini awalnya dikenal sebagai anggota trio vokal Rida Sita Dewi. Kesuksesannya sebagai novelis perempuan ternyata mengalahkan karirnya di bidang musik. 

Novelnya, Supernova yang populer pada tahun 2001 melambungkan namanya. Keistimewaan karyanya, Supernova pernah masuk nominasi Katulistiwa Literary Award (KLA) yang digelar QB World Books. Bersaing bersama para sastrawan kenamaan seperti Goenawan Muhammad, Danarto lewat karya Setangkai Melati di Sayap Jibril, Dorothea Rosa Herliany karya Kill The Radio, Sutardji Calzoum Bachri karya Hujan Menulis Ayam dan Hamsad Rangkuti karya Sampah Bulan Desember.

Anak keempat dari lima bersaudara ini sejak kecil telah akrab dengan musik. Sebelum bergabung dengan Rida Sita Dewi (RSD), Dee pernah menjadi backing vocal untuk Iwa K, Java Jive dan Chrisye. Tahun 1994, ia bersama Rida Farida dan Indah Sita Nursanti bergabung membentuk trio Rida Sita Dewi (RSD). Pada tahun 2006 Dee meluncurkan album berbahasa Inggris berjudul Out Of Shell,dan tahun 2008 melucurkan album RectoVerso,Album Ini mengundang Arina Mocca berduet di lagu Aku Ada dan berduet di lagu Peluk dengan Aqi Alexa. Salah satu hitsnya Adakah Malaikat Juga Tahu. Di Album ini juga Dee merilis ulang lagu milik marcel Siahan berjudul Firasat.

Jauh sebelum Supernova terbit sewaktu masih menjadi siswi SMU 2 Bandung, ia pernah menulis sendiri 15 karangan untuk buletin sekolah. Tulisan Dee pernah dimuat di beberapa media. Cerpennya "Sikat Gigi" pernah dimuat di buletin seni terbitan Bandung, Jendela Newsletter. Tahun 1993, ia mengirim tulisan berjudul "Ekspresi" ke majalah Gadis yang saat itu sedang mengadakan lomba menulis dimana ia berhasil mendapat hadiah juara pertama. Tiga tahun berikutnya, ia menulis cerita bersambung berjudul "Rico the Coro" yang dimuat di majalah Mode.

Novel pertamanya yang sensasional, Supernova Satu : Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh, dirilis 16 Februari 2001. Novel yang laku 12.000 eksemplar dalam tempo 35 hari dan terjual sampai kurang lebih 75.000 eksemplar ini banyak menggunakan istilah sains dan cerita cinta. Bulan Maret 2002, Dee meluncurkan “Supernova Satu” edisi Inggris untuk menembus pasar internasional dengan menggaet Harry Aveling (60), ahlinya dalam urusan menerjemahkan karya sastra Indonesia ke bahasa Inggris. Sukses dengan novel pertamanya, Dee meluncurkan novel keduanya, Supernova Dua "Akar" pada 16 Oktober 2002. Pada bulan Januari 2005 Dee merilis novel ketiganya, Supernova episode Petir. Kisah di novel ini masih terkait dengan dua novel sebelumnya. Hanya saja, ia memasukkan 4 tokoh baru dalam Petir. Salah satunya adalah Elektra, tokoh sentral yang ada di novel tersebut. Agustus 2008, Dee merilis novel berjudul Rectoverso yang merupakan perpaduan unik dari fiksi dan musik. Recto Verso-pengistilahan untuk dua citra yang seolah terpisah tapi sesungguhnya satu kesatuan. Saling melengkapi. Buku Rectoverso terdiri dari 11 fiksi dan 11 lagu yang saling berhubungan.

Dee tergolong penulis langka. Pemasaran novelnya tidak semata bergantung pada jaringan toko buku besar. Dee memanfaatkan keunggulan internet, diskusi buku dan temu pengarang di kampus-kampus. Dee bahkan rela menghabiskan tabungannya sendiri untuk membentuk penerbitan sendiri bernama Truedee Books. Alasannya memilih merangkap menjadi penerbit selain menjadi penulis karena ia tidak ingin naskahnya diedit oleh penerbit apalagi dulu sempat beberapa kali ditolak oleh beberapa penerbit. Dee, ia gambaran kemandirian sebagai perempuan sastrawan.

Eliza V. Handayani: Perkawinan Eksotik Sains dengan Seni Sastra


Mengawinkan sains dan Seni Sastra pertama kali dilakukan oleh Jules Verne, bapak fiksi ilmiah. Novelnya yang terkenal seperti 20.000 Mil di Bawah Permukaan Laut, telah memproyeksikan penggunaan kapal selam sebelum ditemukan oleh manusia dan memprediksi penggunaan listrik sebagai sumber tenaga, 100 tahun sebelum listrik itu sendiri ditemukan. 

Dalam novelnya, Perjalanan ke Bulan, Jules Verne juga memprediksi usaha manusia untuk melakukan perjalanan ke bulan, jauh sebelum adanya misi Apollo. Penulis lain yang juga seorang astronom Perancis, Camille Flammarion, telah menulis novel yang berjudul Lumen tentang perjalanan yang lebih cepat dari cahaya, 30 tahun sebelum Einstein merumuskann teori relativitas. Penulis lainnya yang memilih jalur fiksi ilmiah adalah Michael Crichcton. Karya-karyanya seperti Jurrasic Park, Lost Word, Sphere dan Time Line menjadi best seller internasional, bahkan difilmkan.

Di Indonesia juga telah terlahir novelis fenomenal beraliran fiksi ilmiah bernama Eliza V. Handayani yang menggegerkan jagad sastra tanah air sejak 2003. Para penggemar fiksi ilmiah berkualitas sebelumnya hanya mengenal Dewi Lestari melalui Supernova Satu : Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh yang sensasional dengan perpaduan cerita cinta dan sains. Melalui novelnya Area X: Hymne Angkasa Raya (yang "merupakan novel canggih" meminjam istilah Taufik Ismail dalam sebuah diskusi), obsesi Eliza terlihat dalam tema besar yang menggambarkan tantangan konkret masa depan teknologi di negeri ini serta dalam penokohan yang diperankan oleh sosok-sosok muda berbakat dengan kuriositas dan rasa tanggung jawab yang besar terhadap masa depan bangsa. 

Cerita tersebut ditulis tahun 1998 saat Eliza masih bersekolah di kelas 2 SMU. tahun 1999 memenangkan Lomba Penulisan Naskah Film/Televisi. Lalu diterbitkan secara bersambung di Majalah Sastra Horison Januari-September 2001. Dan mendapat Juara kedua dari unsur cerita Adikarya Award 2004. Baru tahun 2003 terbit dalam satu novel utuh, setelah direvisi keempat kalinya oleh sang penulis hebat ini.

Eliza V. Handayani lahir di Jakarta tahun 1982. Satu dari sedikit penulis perempuan Indonesia yang memilih genre fiksi ilmiah ini adalah alumnus Wesleyan University, Amerika Serikat. Eliza mulai menulis sejak usia 8 tahun dan mneulis novel di usia 12 tahun. Baginya, menulis adalah rumahnya. Dalam Area X: Hymne Angkasa Raya, UFOlogi adalah bidang yg dipilih oleh seorang Eliza V. Handayani untuk menyampaikan suaranya pada banyak orang yg sering mengabaikan, meremehkan, dan mengolok-olok pilihan profesi yg ingin diseriusinya, yaitu sebagai penulis dan sutradara film. Mengingat lingkungan sekolahnya (SMU Taruna Nusantara) yang lebih condong terobesesi menjadi panglima tinggi ABRI, ilmuwan dan politikus.

Eliza berkata di suatu hari,"Dan saya pikir, perjuangan orang-orang ini (UFOlogi) serupa dengan perjuangan saya-dan perjuangan siapa saja yang yakin akan tujuan mereka namun belum diterima oleh umum. Kemudian saya sadar, jika saya akan menggunakan dunia mereka sebagai perantara kisah saya, maka saya harus selami benar seluk-beluknya. Akan sangat tidak adil rasanya jika saya hanya memberikan pandangan sebelah mata terhadap dunia yang sudah rela saya susupi dan gunakan ini." Keseriusannya menyelami bidang UFOlogi dibuktikannya dengan membaca, mencari dan mengumpulkan data dari sumber literatur ratusan buku, jurnal dan buletin dari berbagai sumber termasuk perpustakaan Wesleyen University, Amerika Serikat, tempat Eliza pernah menuntut ilmu studi film dengan beasiswa penuh. Eliza V. Handayani telah membuktikan eksotisme perkawinan sains dan seni sastra. Seperti penulis fiksi ilmiah lainnya, Eliza berhasil mengajak orang untuk menguak cakrawala pengetahuan astronomi dan sains melalui kelincahan bahasa dalam cerita imajinasinya. Sayang, ia barulah satu dari sedikit penulis perempuan di negeri ini.











Ahmad Tohari, Novelis yang Santri

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 14 Juli 2009 | Juli 14, 2009


Sosoknya sederhana terutama dalam berpakaian. Perawakan kecil tapi menyimpan energi besar di batok kepalanya yang berupa ide-ide buat bangsa. Jeli dan jenius terutama dalam hal memotret kondisi orang Indonesia melalui novel dan cerpen mulai zaman orla, orba dan zaman apapun yang pernah dia lewati. 

Dialah Ahmad Tohari, lahir di Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah, 13 Juni 1948. Ia menamatkan SMA di Purwokerto. Pernah mengenyam bangku kuliah di Fakultas Ilmu Kedokteran Ibnu Khaldun, Jakarta (1967-1970), Fakultas Ekonomi Universitas Sudirman, Purwokerto (1974-1975), dan Fakultas Sosial Politik Universitas Sudirman (1975-1976).

Ia pernah bekerja di majalah terbitan BNI 46, Keluarga, dan Amanah. Ia pernah mengikuti International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat (1990) dan menerima Hadiah Sastra ASEAN (1995). Sebagai novelis Ahmad Tohari telah menetaskan puluhan novel di antaranya Kubah (1980), Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985), Jantera Bianglala (1986), Di Kaki Bukit Cibalak (1986), Bekisar Merah (1993), Lingkar Tanah Lingkar Air (1995), Nyanyian Malam Belantik (2001), Orang Orang Proyek (2002), Ronggeng Dukuh Paruk Banyumasan (novel bahasa Jawa,2006; meraih Hadiah Sastera Rancagé 2007). Kumpulan cerpennya yang terkenal seperti Rusmi Ingin Pulang (2004), dan Senyum Karyamin (1989). Karya-karya Ahmad Tohari telah diterbitkan dalam bahasa Jepang, Tionghoa, Belanda, Jerman dan Inggris.

Siapa sangka novelis ini ternyata jug adalah pimpinan sebuah pesantren di daerah Banyumas, tanah kelahirannya. Dalam buku yang ditulisnya banyak mengangkat penderitaan rakyat yang pernah disaksikan dengan mata kepalanya sendiri. Contohnya beberapa novel diangkat dengan menceritakan keganasan Peristiwa September 1965, dimana ia melihat dengan mata kepala sendiri seorang anak muda dibunuh secara biadab karena diduga PKI. Lalu ada juga kisah tentang keganasan tentara terhadap Gali yang dibunuh secara misterius.Ia juga menyayangkan terjadinya Peristiwa Mei 1998. Jika ada kesempatan, ia akan menulis Peristiwa Mei 98 agar bisa dikenang sebagai sejarah yang pernah terjadi di Indonesia. Jejak gagasan Ahmad Tohari masih dapat ditemui dalam tulisan-tulisannya di Kompas dan Tempo.

Gola Gong, dari Purwakarta ke Rumah Dunia

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 13 Juli 2009 | Juli 13, 2009


Pada umur 11 tahun Heri terpaksa harus kehilangan tangan kirinya. Itu terjadi saat dia dan teman-temannya bermain di dekat alun-alun. Saat itu sedang ada tentara latihan terjun payung. Kepada kawan-kawannya dia menantang untuk adu keberanian seperti seorang penerjun payung. 

Uji nyali itu dilakukan dengan cara loncat dari pohon di pinggir alun-alun. Siapa yang berani meloncat paling tinggi, dialah yang berhak menjadi pemimpin di antara mereka. Kecelakaan yang menyebabkan tangan kirinya harus diamputasi itu tidak membuatnya sedih. Bapaknya berpesan:"Kamu harus banyak membaca dan kamu akan menjadi seseorang."

Heri pun rajin membaca sejak kejadian itu. Gola Gong, nama itulah yang digunakan oleh Heri Hendrayana Harris setiap mempublikasikan karyanya semenjak masih remaja. Dia dilahirkan di Purwakarta pada 15 Agustus 1963 dari ibu bernanama Atisah dan ayah bernama Harris. Penulis yang berbakat luar biasa ini terkenal dengan novelnya yang berjudul Balada Si Roy. Selain menulis novel tersebut dia juga menulis novel lain lebih dari 25 judul.

Sejak 2001 dia mendirikan komunitas kesenian Rumah Dunia di Serang, Banten. Memang adalah impiannya sejak remaja untuk memiliki gelanggang remaja dan itu terwujud dengan didirikannya komunitas kesenian Rumah Dunia. Komunitas ini berada di atas tanah 1000 meter persegi di belakang rumahnya di Komplek Hegar Alam, Ciloang Serang, Banten. Komunitas semacam ini adalah impiannya beserta temannya Toto ST Radik, dan Rys Revolta. Hingga kini Rumah Dunia telah menjadi rumah bagi anak-anak dan remaja yang gemar membaca sambil bermain. Rumah Dunia yang didirikan oleh bukan sembarang orang sebab didirikan oleh penulis luar biasa.

Gola Gong adalah anak kedua dari lima bersaudara. Selengkapnya adalah Dian, Gola Gong, Goozal, Eva, dan Evi. Pada 1965 ia bersama dengan orangtuanya meninggalkan kampung halamannya Purwakarta menuju ke Serang, Banten. Bapaknya adalah guru olahraga sedangkan ibunya seorang guru di sekolah keterampilan putri, Serang. Mereka tinggal di sebuah rumah di dekat alun-alun Serang. 

Pada umur 33 tahun Gola Gong menikahi Tias Tatanka gadis asal Solo. Dari pernikahan ini mereka memiliki anak Bela, Abi, Jordi, dan Kaka.Gola Gong telah menulis lebih dari 25 novel dan ratusan skenario film. Selain itu cerita-cerita pendeknya juga terdapat di berbagai antologi. Beberapa dari novelnya adalah Balada Si Roy, Kupu-Kupu Pelangi, Kepada-Mu Aku Bersimpuh, Biarkan Aku Jadi Milik-Mu, dan lain-lain.

Gola Gong, namanya menjadi begitu penting ketika sejak dulu orang-orang mungkin menyepelekan aliran sastra pop tapi Gola Gong telah membuktikannya dengan sastra pop yang bermutu.


Tri Astoto Kodarie, Penyair yang Meminang Badai


Tri Astoto Kodarie, dilahirkan di Jakarta, 29 Maret 1961. Buku puisinya yang telah terbit: Nyanyian Ibunda (Artist, 1992), Sukma Yang Berlayar (KSA, 1995), Hujan Meminang Badai (AKAR Indonesia, 2007) dan antologi esai Merajut Waktu Menuai Harapan (Frame Publishing, 2007). 

Kemudian antologi puisi bersama antara lain: Gunungan (Yogya, ‘84), Ombak LosariTabur Bunga Penyair Indonesia (Jakarta, ’92), (Blitar, ’95), Batu Beramal IIBangkit II (Batu, ’95), Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka (Solo, ’95), Antara Dua Kota (Batu, ’95), (Parepare, ’95), Ininnawa (Makassar, ’97), Antologi Puisi Indonesia (Bandung, ’97), Amsal Sebuah Patung (Magelang, ’97), Antologi Sastra Kepulauan), Antologi Penyair Makassar (Makassar, ’98 (Makassar, ’99), Ombak Makassar (Makassar, 2000), Antologi Baruga (Makassar, 2000), Hijau Kelon & Puisi (Jakarta, 2002), Pintu Yang Bertemu (Makassar, 2003), Tak Ada Yang Mencintaimu Setulus Kematian (Jakarta, 2004). Antologi esai: Parepare dalam Siklus Waktu (Parepare, 2005).

Mengembara di setiap lekuk puisi-puisi Tri adalah seolah berjalan di dalam hujan makna yang tak bisa dituntaskan dalam semusim saja. Puisi-puisi Tri sedari dulu memang sudah seperti itu. Tak cukup sekedar gelembung-gelembung kesadaran saat kita menangkap realitas yang ia sampaikan.


Di Pekuburan Kutaburkan Puisi


ketika engkau bernafas seperti
pohon kamboja
yang bergerak ditiup angin
waktu yang bergerak seperti ulat bulu
di daun-daun
lalu bunga yang gugur mencium bau tanah
dan aroma puisi yang kutaburkan
kemarin sore

tubuhmu yang pergi merantau
mencari dermaga sejati
berlayar dengan perahu
yang mengapung di awan
burung-burung nampak mengiringi
dengan kepak kepedihan
sebab engkaulah perempuan
yang selalu memutihkan perihku
di tatapan nisan-nisan kaku dan dingin

dan engkaulah jenazah itu
yang terbujur kaku
di sudut kelopak mataku
lalu kutaburkan puisi penuh kasih
di bawah kilatan guntur yang menggemuruh.

Seperti Malam Tak Juga Menyapa

akan kuurai malam ini hingga dasar lautmu
yang lupa menyisirrambut panjangmu
yang legam itu,
kusirami kemudian dengan air bergaram
yang kuambil dari pesisir pantai,
tempatmu selalu berlabuh
bermain atau menuliskan kisah masa
kanak-kanak
di atas pasir

tak ada malam sampai kau datang
dan menancapkan bulan
di keningnya sendiri
sambil membaca firasat
dan takdir di ujung kegelapan,
sedang angin sudah lama
menjarah tubuhmu
kulihat matamu berair,
seperti membentuk sebuah danau
dengan arus air yang melingkar-lingkar
membentuk pusaran entah di mana
wajahmu kausimpan

dari tepi dermaga ini
kupanggil seserpih bulan di balik awan
mungkin juga namamu yang kulupa
huruf awalnya.

  Nyanyian Gerimis
pulanglah menuju gerimis dengan
pintu-pintu angin
lembab jalanan masih menyisakan dingin itu
yang kautanyakan ketika kututup jendela
seperti embun mengkristal bening
jatuh bersama daun yang menguning
kaubawa segenggam rintihan dari
benua sunyi
dalam gerimis mestinya kutawarkan
segelas kehangatan di atas meja
melenyapkan gemetar cuaca di dadamu
tapi mana mata air yang kau janjikan
untuk kutimba dengan tangan waktu
sambil membasuh sisa mimpi semalam.
Tri Beberapa kali memenangkan sayembara penulisan bidang bahasa dan sastra serta masalah lingkungan hidup, baik tingkat propinsi maupun nasional. Pada bulan Agustus 2000 menerima Anugerah Seni di bidang sastra dari Dewan Kesenian Sulawesi Selatan (DKSS). Sebagai peserta forum “Cakrawala Sastra Indonesia” yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta tahun 2004. 

Selain menulis puisi, juga menulis cerpen dan esei. Tulisannya dipublikasikan di beberapa media terbitan Medan, Jakarta, Semarang, Jogjakarta, Denpasar, dan Makassar, antara lain: Masa Kini (Jogja), Swadesi (Jakarta), Sinar Harapan (Jakarta), Suara Karya (Jakarta), Kompas (Jakarta), Media Indonesia (Jakarta), Minggu Pagi (Jogja), Bernas (Jogja), Jogja Post (Jogja), Suara Merdeka (Semarang), Cempaka (Semarang}, Horison (Jakarta), Suara Pembaharuan (Jakarta), Nusa Tenggara (Denpasar), Fajar (Makassar), Pedoman Rakyat (Makassar), dan beberapa buletin.

Penyair hebat ini menyelesaikan pendidikan pascasarjana program kekhususan Manajemen Pendidikan di Universitas Negeri Makassar. Kini pekerjaan sehari-harinya sebagai Kepala SMP Negeri di Parepare, Sulawesi Selatan sambil menjadi kolumnis tetap bidang pendidikan di harian Pare Pos serta aktif di berbagai organisasi kemasyarakatan yang mengurusi pendidikan, sosial, dan budaya. Tri Astoto Kodarie, ia yang meminang badai.



Muhary Wahyu Nurba Sang Ombak Sajak

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 12 Juli 2009 | Juli 12, 2009


"..dengan cinta dan keras kepala kita kabarkan pada segala." Begitulah sepotong dari sajaknya yang sampai hari ini masih penulis ingat dan menjadikan kalimat itu sebagai salah satu motivasi. Penyair yang lebih sering muncul dengan wajah agak brewok ini adalah alumnus Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin Makassar. 

Muhary Wahyu Nurba dilahirkan tanggal 5 Juni 1972 di Makassar. Malang melintang di belantara kepenyairan sejak 1990-an. Aktif dalam Masyarakat Sastra Tamalanrea (MST) Makassar dan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Jakarta. Sajak-sajaknya mengucur deras di beberapa media seperti Harian Pedoman Rakyat (Makassar), harian Fajar, koran kampus Unhas Identitas, Jurnal Puisi (Jakarta) dan Pelangi Magazine (Australia).

Buku-bukunya yang telah terbit antara lain Meditasi (1996), Jadilah Aku Kabut Jadilah Aku Angin (1997, beberapa antologi bersama penyair lain dalam Sekuntum Cahaya (1999), ININNAWA, Sajak-sajak dari Sulsel (1997), RESONANSI INDONESIA (2000), puisinya diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin, Antologi Puisi dwi-bahasa, Antologi Puisi Indonesia (1997), dan Ombak Makassar (2000). Muhary juga mengasuh jurnal sastra GALERI PUISI disamping tugasnya sebagai sekretaris pada Pusat Kegiatan Penelitian Universitas Hasanuddin Divisi Budaya dan Humaniora.

Membaca sajak-sajak Muhary seolah kita berada di pantai atau laut sebab sajaknya adalah ombak. Memang ia adalah salah satu ombak sajak yang sesungguhnya dari Makassar. Biasa saja, tapi deburnya baru terasa setiap kali pembaca telah melompat menceburkan diri ke dalam sajak-sajaknya.

Atas Nama Cinta
sewaktu engkau terjaga, ribuan kupu-kupu yang tertawan di masa silamku berhamburan dari manik matamu. aku pun tersenyum ke arahmu ketika kusaksikan anak-anak angin dengan riangnya berdansa memainkan alismu. lalu kubayangkan engkau adalah bidadari yang akan menjengukku pada malam-malam cahaya. tapi mengapa begitu tiba-tiba, ketika atas nama cinta kau petikkan kedua biji matamu itu sambil berseru: "inilah rahasia yang kau cari!"
rahasia memang bermula dari sini: seorang pencinta yang puas mereguk anggur tuhan seringkali mengubur keriangan dan memilih syair kepiluan. antara kenangan dan airmata, burung-burung murai bersenandung menyunting kabut, menggaris cakrawala. di taman, kupu-kupu kini kembali belajar isyarat bunga rekah kemudian merahasiakannya. tapi cukupkan kepiluan ini, ketika atas nama cinta aku pun memekik sembari mengunyah kedua biji matamu: "maka inilah cinta" 
mailing list Gedong Puisi, 1997



Kusebut Kenanganmu
kusebut kenanganmu daun-daun merah yang menjenguk letih pada tubuh penatku seusai mencarimu suatu siang. kusebut tiap lembar kenanganmu adalah nyanyian ketika merambah dan mengelus mimpi pada tidur pulasku hingga pada suatu sentakan aku pun terjaga: hei, engkaukah itu yang membetulkan letak kecemasan yang menutup sebab kesedihan yang membiarkan sibuk degupan yang bersiap-siap menerima sujud terbakar


Matahari Itulah

meski sudah aku pahami bahwa matahari itulah yang sempurna membakar seluruh rangkaian percintaanku dan usia nampaknya telah mengibarkan bendera atas bayang-bayangku atas jasadku yang tidur kelak tapi aku tak pernah berhenti membayangkanmu
dan seperti sediakala selalu tak bisa aku mengucap selamat tinggal pada semua kenangan yang pernah mengharukanku: sayup suara yang meluncur dari arah menara mendesirkan darahku lagi padamu
1997




Buya Hamka, Inspirasi Terbesar Bagi Idealisme Sepanjang Masa

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 07 Juli 2009 | Juli 07, 2009


Tidak pernah ada yang menyangka bocah Minangkabau berusia 10 tahun itu di kemudian hari akan menjadi salah satu inspirasi terbesar bagi bangsanya sepanjang zaman. Ia adalah inspirasi bagi pergerakan perjuangan agama, jurnalisme, politik, sastra, dan budaya. 

Namanya Hamka, rajin mendalami agama Islam dan bahasa Arab. Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906. Ayahnya mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di sanalah Hamka belajar. Namun sebagaimana tradisi pada masa itu Hamka juga mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjoparonto dan Ki Bagus Hadikusumo. Buya Hamka lahir tahun 1908, di desa kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat, dan meninggal di Jakarta 24 Juli 1981.

Ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayah kami, atau seseorang yang dihormati. Hamka adalah akronim dari Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah.

Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padangpanjang pada tahun 1929. HAMKA kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padangpanjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. 

Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).

Sebenarnya Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. 

Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjoparonoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.

Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui pertumbuhan Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.

Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletakkan jabatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Aktivitas politik Hamka bermula pada tahun 1925 dalam partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang kemaraan kembali penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerila di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, HAMKA dilantik sebagai ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun1966, HAMKA telah dipenjarakan oleh Presiden Sukarno kerana dituduh pro-Malaysia. Semasa di penjara Hamka menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, HAMKA dilantik sebagai ahli Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majlis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.

Selain aktif dalam keagamaan dan politik, Hamka adaalh seorang wartawan, penulis, editor dan sekaligus penerbit. Sejak tahun 1920-an lagi, HAMKA menjadi wartawan beberapa media seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. HAMKA juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.

Hamka menulis karya-karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah dan Merantau ke Deli. Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelaran Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.

Buya memang langka. Beliau adalah ulama, ilmuwan, pendidik, politisi, jurnalis, sastrawan, dan budayawan. Di hari-hari ini ketika idealisme mulai tergerus arus hebat materialisme-hedonisme maka orang-orang pun mencoba untuk mengadopsi gaya Hamka melalui sinergitas antara agama, politik, pendidikan, kebudayaan, seni dan pers untuk mencapai tujuan. tertentu. Diyakini bahwa apa yang telah dicontohkan oleh Buya Hamka bisa efektif. Tapi satu hal yang banyak dilupakan orang dari diri Hamka yaitu bahwa efektifitas tidak akan tercapai jika ketulusan niat tidak bersenyawa dengan proses dan tujuan.

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday