Latest Post

Gola Gong, dari Purwakarta ke Rumah Dunia

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 13 Juli 2009 | Juli 13, 2009


Pada umur 11 tahun Heri terpaksa harus kehilangan tangan kirinya. Itu terjadi saat dia dan teman-temannya bermain di dekat alun-alun. Saat itu sedang ada tentara latihan terjun payung. Kepada kawan-kawannya dia menantang untuk adu keberanian seperti seorang penerjun payung. 

Uji nyali itu dilakukan dengan cara loncat dari pohon di pinggir alun-alun. Siapa yang berani meloncat paling tinggi, dialah yang berhak menjadi pemimpin di antara mereka. Kecelakaan yang menyebabkan tangan kirinya harus diamputasi itu tidak membuatnya sedih. Bapaknya berpesan:"Kamu harus banyak membaca dan kamu akan menjadi seseorang."

Heri pun rajin membaca sejak kejadian itu. Gola Gong, nama itulah yang digunakan oleh Heri Hendrayana Harris setiap mempublikasikan karyanya semenjak masih remaja. Dia dilahirkan di Purwakarta pada 15 Agustus 1963 dari ibu bernanama Atisah dan ayah bernama Harris. Penulis yang berbakat luar biasa ini terkenal dengan novelnya yang berjudul Balada Si Roy. Selain menulis novel tersebut dia juga menulis novel lain lebih dari 25 judul.

Sejak 2001 dia mendirikan komunitas kesenian Rumah Dunia di Serang, Banten. Memang adalah impiannya sejak remaja untuk memiliki gelanggang remaja dan itu terwujud dengan didirikannya komunitas kesenian Rumah Dunia. Komunitas ini berada di atas tanah 1000 meter persegi di belakang rumahnya di Komplek Hegar Alam, Ciloang Serang, Banten. Komunitas semacam ini adalah impiannya beserta temannya Toto ST Radik, dan Rys Revolta. Hingga kini Rumah Dunia telah menjadi rumah bagi anak-anak dan remaja yang gemar membaca sambil bermain. Rumah Dunia yang didirikan oleh bukan sembarang orang sebab didirikan oleh penulis luar biasa.

Gola Gong adalah anak kedua dari lima bersaudara. Selengkapnya adalah Dian, Gola Gong, Goozal, Eva, dan Evi. Pada 1965 ia bersama dengan orangtuanya meninggalkan kampung halamannya Purwakarta menuju ke Serang, Banten. Bapaknya adalah guru olahraga sedangkan ibunya seorang guru di sekolah keterampilan putri, Serang. Mereka tinggal di sebuah rumah di dekat alun-alun Serang. 

Pada umur 33 tahun Gola Gong menikahi Tias Tatanka gadis asal Solo. Dari pernikahan ini mereka memiliki anak Bela, Abi, Jordi, dan Kaka.Gola Gong telah menulis lebih dari 25 novel dan ratusan skenario film. Selain itu cerita-cerita pendeknya juga terdapat di berbagai antologi. Beberapa dari novelnya adalah Balada Si Roy, Kupu-Kupu Pelangi, Kepada-Mu Aku Bersimpuh, Biarkan Aku Jadi Milik-Mu, dan lain-lain.

Gola Gong, namanya menjadi begitu penting ketika sejak dulu orang-orang mungkin menyepelekan aliran sastra pop tapi Gola Gong telah membuktikannya dengan sastra pop yang bermutu.


Tri Astoto Kodarie, Penyair yang Meminang Badai


Tri Astoto Kodarie, dilahirkan di Jakarta, 29 Maret 1961. Buku puisinya yang telah terbit: Nyanyian Ibunda (Artist, 1992), Sukma Yang Berlayar (KSA, 1995), Hujan Meminang Badai (AKAR Indonesia, 2007) dan antologi esai Merajut Waktu Menuai Harapan (Frame Publishing, 2007). 

Kemudian antologi puisi bersama antara lain: Gunungan (Yogya, ‘84), Ombak LosariTabur Bunga Penyair Indonesia (Jakarta, ’92), (Blitar, ’95), Batu Beramal IIBangkit II (Batu, ’95), Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka (Solo, ’95), Antara Dua Kota (Batu, ’95), (Parepare, ’95), Ininnawa (Makassar, ’97), Antologi Puisi Indonesia (Bandung, ’97), Amsal Sebuah Patung (Magelang, ’97), Antologi Sastra Kepulauan), Antologi Penyair Makassar (Makassar, ’98 (Makassar, ’99), Ombak Makassar (Makassar, 2000), Antologi Baruga (Makassar, 2000), Hijau Kelon & Puisi (Jakarta, 2002), Pintu Yang Bertemu (Makassar, 2003), Tak Ada Yang Mencintaimu Setulus Kematian (Jakarta, 2004). Antologi esai: Parepare dalam Siklus Waktu (Parepare, 2005).

Mengembara di setiap lekuk puisi-puisi Tri adalah seolah berjalan di dalam hujan makna yang tak bisa dituntaskan dalam semusim saja. Puisi-puisi Tri sedari dulu memang sudah seperti itu. Tak cukup sekedar gelembung-gelembung kesadaran saat kita menangkap realitas yang ia sampaikan.


Di Pekuburan Kutaburkan Puisi


ketika engkau bernafas seperti
pohon kamboja
yang bergerak ditiup angin
waktu yang bergerak seperti ulat bulu
di daun-daun
lalu bunga yang gugur mencium bau tanah
dan aroma puisi yang kutaburkan
kemarin sore

tubuhmu yang pergi merantau
mencari dermaga sejati
berlayar dengan perahu
yang mengapung di awan
burung-burung nampak mengiringi
dengan kepak kepedihan
sebab engkaulah perempuan
yang selalu memutihkan perihku
di tatapan nisan-nisan kaku dan dingin

dan engkaulah jenazah itu
yang terbujur kaku
di sudut kelopak mataku
lalu kutaburkan puisi penuh kasih
di bawah kilatan guntur yang menggemuruh.

Seperti Malam Tak Juga Menyapa

akan kuurai malam ini hingga dasar lautmu
yang lupa menyisirrambut panjangmu
yang legam itu,
kusirami kemudian dengan air bergaram
yang kuambil dari pesisir pantai,
tempatmu selalu berlabuh
bermain atau menuliskan kisah masa
kanak-kanak
di atas pasir

tak ada malam sampai kau datang
dan menancapkan bulan
di keningnya sendiri
sambil membaca firasat
dan takdir di ujung kegelapan,
sedang angin sudah lama
menjarah tubuhmu
kulihat matamu berair,
seperti membentuk sebuah danau
dengan arus air yang melingkar-lingkar
membentuk pusaran entah di mana
wajahmu kausimpan

dari tepi dermaga ini
kupanggil seserpih bulan di balik awan
mungkin juga namamu yang kulupa
huruf awalnya.

  Nyanyian Gerimis
pulanglah menuju gerimis dengan
pintu-pintu angin
lembab jalanan masih menyisakan dingin itu
yang kautanyakan ketika kututup jendela
seperti embun mengkristal bening
jatuh bersama daun yang menguning
kaubawa segenggam rintihan dari
benua sunyi
dalam gerimis mestinya kutawarkan
segelas kehangatan di atas meja
melenyapkan gemetar cuaca di dadamu
tapi mana mata air yang kau janjikan
untuk kutimba dengan tangan waktu
sambil membasuh sisa mimpi semalam.
Tri Beberapa kali memenangkan sayembara penulisan bidang bahasa dan sastra serta masalah lingkungan hidup, baik tingkat propinsi maupun nasional. Pada bulan Agustus 2000 menerima Anugerah Seni di bidang sastra dari Dewan Kesenian Sulawesi Selatan (DKSS). Sebagai peserta forum “Cakrawala Sastra Indonesia” yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta tahun 2004. 

Selain menulis puisi, juga menulis cerpen dan esei. Tulisannya dipublikasikan di beberapa media terbitan Medan, Jakarta, Semarang, Jogjakarta, Denpasar, dan Makassar, antara lain: Masa Kini (Jogja), Swadesi (Jakarta), Sinar Harapan (Jakarta), Suara Karya (Jakarta), Kompas (Jakarta), Media Indonesia (Jakarta), Minggu Pagi (Jogja), Bernas (Jogja), Jogja Post (Jogja), Suara Merdeka (Semarang), Cempaka (Semarang}, Horison (Jakarta), Suara Pembaharuan (Jakarta), Nusa Tenggara (Denpasar), Fajar (Makassar), Pedoman Rakyat (Makassar), dan beberapa buletin.

Penyair hebat ini menyelesaikan pendidikan pascasarjana program kekhususan Manajemen Pendidikan di Universitas Negeri Makassar. Kini pekerjaan sehari-harinya sebagai Kepala SMP Negeri di Parepare, Sulawesi Selatan sambil menjadi kolumnis tetap bidang pendidikan di harian Pare Pos serta aktif di berbagai organisasi kemasyarakatan yang mengurusi pendidikan, sosial, dan budaya. Tri Astoto Kodarie, ia yang meminang badai.



Muhary Wahyu Nurba Sang Ombak Sajak

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 12 Juli 2009 | Juli 12, 2009


"..dengan cinta dan keras kepala kita kabarkan pada segala." Begitulah sepotong dari sajaknya yang sampai hari ini masih penulis ingat dan menjadikan kalimat itu sebagai salah satu motivasi. Penyair yang lebih sering muncul dengan wajah agak brewok ini adalah alumnus Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin Makassar. 

Muhary Wahyu Nurba dilahirkan tanggal 5 Juni 1972 di Makassar. Malang melintang di belantara kepenyairan sejak 1990-an. Aktif dalam Masyarakat Sastra Tamalanrea (MST) Makassar dan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Jakarta. Sajak-sajaknya mengucur deras di beberapa media seperti Harian Pedoman Rakyat (Makassar), harian Fajar, koran kampus Unhas Identitas, Jurnal Puisi (Jakarta) dan Pelangi Magazine (Australia).

Buku-bukunya yang telah terbit antara lain Meditasi (1996), Jadilah Aku Kabut Jadilah Aku Angin (1997, beberapa antologi bersama penyair lain dalam Sekuntum Cahaya (1999), ININNAWA, Sajak-sajak dari Sulsel (1997), RESONANSI INDONESIA (2000), puisinya diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin, Antologi Puisi dwi-bahasa, Antologi Puisi Indonesia (1997), dan Ombak Makassar (2000). Muhary juga mengasuh jurnal sastra GALERI PUISI disamping tugasnya sebagai sekretaris pada Pusat Kegiatan Penelitian Universitas Hasanuddin Divisi Budaya dan Humaniora.

Membaca sajak-sajak Muhary seolah kita berada di pantai atau laut sebab sajaknya adalah ombak. Memang ia adalah salah satu ombak sajak yang sesungguhnya dari Makassar. Biasa saja, tapi deburnya baru terasa setiap kali pembaca telah melompat menceburkan diri ke dalam sajak-sajaknya.

Atas Nama Cinta
sewaktu engkau terjaga, ribuan kupu-kupu yang tertawan di masa silamku berhamburan dari manik matamu. aku pun tersenyum ke arahmu ketika kusaksikan anak-anak angin dengan riangnya berdansa memainkan alismu. lalu kubayangkan engkau adalah bidadari yang akan menjengukku pada malam-malam cahaya. tapi mengapa begitu tiba-tiba, ketika atas nama cinta kau petikkan kedua biji matamu itu sambil berseru: "inilah rahasia yang kau cari!"
rahasia memang bermula dari sini: seorang pencinta yang puas mereguk anggur tuhan seringkali mengubur keriangan dan memilih syair kepiluan. antara kenangan dan airmata, burung-burung murai bersenandung menyunting kabut, menggaris cakrawala. di taman, kupu-kupu kini kembali belajar isyarat bunga rekah kemudian merahasiakannya. tapi cukupkan kepiluan ini, ketika atas nama cinta aku pun memekik sembari mengunyah kedua biji matamu: "maka inilah cinta" 
mailing list Gedong Puisi, 1997



Kusebut Kenanganmu
kusebut kenanganmu daun-daun merah yang menjenguk letih pada tubuh penatku seusai mencarimu suatu siang. kusebut tiap lembar kenanganmu adalah nyanyian ketika merambah dan mengelus mimpi pada tidur pulasku hingga pada suatu sentakan aku pun terjaga: hei, engkaukah itu yang membetulkan letak kecemasan yang menutup sebab kesedihan yang membiarkan sibuk degupan yang bersiap-siap menerima sujud terbakar


Matahari Itulah

meski sudah aku pahami bahwa matahari itulah yang sempurna membakar seluruh rangkaian percintaanku dan usia nampaknya telah mengibarkan bendera atas bayang-bayangku atas jasadku yang tidur kelak tapi aku tak pernah berhenti membayangkanmu
dan seperti sediakala selalu tak bisa aku mengucap selamat tinggal pada semua kenangan yang pernah mengharukanku: sayup suara yang meluncur dari arah menara mendesirkan darahku lagi padamu
1997




Buya Hamka, Inspirasi Terbesar Bagi Idealisme Sepanjang Masa

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 07 Juli 2009 | Juli 07, 2009


Tidak pernah ada yang menyangka bocah Minangkabau berusia 10 tahun itu di kemudian hari akan menjadi salah satu inspirasi terbesar bagi bangsanya sepanjang zaman. Ia adalah inspirasi bagi pergerakan perjuangan agama, jurnalisme, politik, sastra, dan budaya. 

Namanya Hamka, rajin mendalami agama Islam dan bahasa Arab. Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906. Ayahnya mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di sanalah Hamka belajar. Namun sebagaimana tradisi pada masa itu Hamka juga mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjoparonto dan Ki Bagus Hadikusumo. Buya Hamka lahir tahun 1908, di desa kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat, dan meninggal di Jakarta 24 Juli 1981.

Ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayah kami, atau seseorang yang dihormati. Hamka adalah akronim dari Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah.

Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padangpanjang pada tahun 1929. HAMKA kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padangpanjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. 

Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).

Sebenarnya Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. 

Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjoparonoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.

Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui pertumbuhan Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.

Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletakkan jabatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Aktivitas politik Hamka bermula pada tahun 1925 dalam partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang kemaraan kembali penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerila di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, HAMKA dilantik sebagai ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun1966, HAMKA telah dipenjarakan oleh Presiden Sukarno kerana dituduh pro-Malaysia. Semasa di penjara Hamka menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, HAMKA dilantik sebagai ahli Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majlis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.

Selain aktif dalam keagamaan dan politik, Hamka adaalh seorang wartawan, penulis, editor dan sekaligus penerbit. Sejak tahun 1920-an lagi, HAMKA menjadi wartawan beberapa media seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. HAMKA juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.

Hamka menulis karya-karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah dan Merantau ke Deli. Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelaran Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.

Buya memang langka. Beliau adalah ulama, ilmuwan, pendidik, politisi, jurnalis, sastrawan, dan budayawan. Di hari-hari ini ketika idealisme mulai tergerus arus hebat materialisme-hedonisme maka orang-orang pun mencoba untuk mengadopsi gaya Hamka melalui sinergitas antara agama, politik, pendidikan, kebudayaan, seni dan pers untuk mencapai tujuan. tertentu. Diyakini bahwa apa yang telah dicontohkan oleh Buya Hamka bisa efektif. Tapi satu hal yang banyak dilupakan orang dari diri Hamka yaitu bahwa efektifitas tidak akan tercapai jika ketulusan niat tidak bersenyawa dengan proses dan tujuan.

Seni yang Komplit dari Motinggo Busye

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 06 Juli 2009 | Juli 06, 2009


Ia adalah novelis, dramawan, sutradara film, penyair, pelukis bahkan pecandu musik dan banyak cabang seni lainnya. Itu yang menjadikannya sebagai salah seorang seniman paling komplit yang pernah dimiliki Indonesia. Motinggo Busye lahir di Kupangkota, Lampung, pada tanggal 21 November 1937. Ia telah menulis lebih dari 200 buku. 

Menamatkan SMA di Bukittinggi, kemudian melanjutkan pendidikan ke Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tapi tidak tamat. Pernah menjadi redaktur kepala Penerbitan Nusantara (1961-1964) dan Ketua II Koperasi Seniman Indonesia. Pada paruh pertama tahun 1970-an Motinggo menyutradarai beberapa film.
Lebih 200 karyanya pernah menghipnotis dunia di antaranya Malam Jahanam (novel, 1962), Badai Sampai Sore (drama, 1962), Tidak Menyerah (novel, 1963), Hari Ini Tak Ada Cinta (novel, 1963), Perempuan Itu Bernama Barabah (novel, 1963), Dosa Kita Semua (novel, 1963), Dia Musuh Keluarga (novel, 1968), Sanu, Infita Kembar (novel, 1985), Madu Prahara (novel, 1985), dan Aura Para Aulia: Puisi-Puisi Islami (1990).
Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, Korea, Cina, dan Jepang. 

Sebagai penyair, karya-karyanya masuk dalam antologi penyair Asia (1986) dan antologi penyair dunia (1990). Seniman besar ini tutup usia pada tanggal 18 Juni 1999 di Jakarta. Dramanya, Malam Jahanam (1958), mendapat Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama Bagian Kesenian Departemen P & K tahun 1958 dan cerpennya, "Nasehat buat Anakku", mendapat hadiah majalah Sastra tahun 1962.

Menelisik karya-karya Motinggo seolah kita menyelam di dasar laut. Yang tampak mungkin hanya karang dan ikan-ikan yang sehari-hari terdapat juga di darat. Tapi keasyikan menikmati karya-karyanya itulah yang sering membuat kita lupa bahwa sedang berada di dasar laut yang dalam. Seni harus membuat penikmatnya menjadi asyik sambil belajar. Mungkin itu filosofinya. Dan Motinggo melakukannya di ranah seni hingga ajal menghentikannya berkarya pada usia 61 tahun. Penulis sangat beruntung bisa menemukan sebuah puisi terakhir yang ditulisnya sebelum wafat pada 1999.


Merasuk Malam

Saatnya tiba untuk berbisik perlahan
pada Tuhan
aku sudah siap tapi ingin
tahu
bilakah saat diriku
Kau ambil
Agar kurasakan nikmat maut
menjemput
dalam terang tanpa berkabut
dan inilah kata ketika
aku merasuk dalam malam
sulit tidur adalah kebiasaan setelah tua
tapi sungguh tak ada takutku pada
maut
hari-hari ini tiba untuk berbisik
perlahan
membujuk Engkau untuk
memberitahuku
soal yang penting itu
aku ingin mengalaminya sendiri
dan menikmati mati
sehingga menjadi indah
tanpa cadar
dan ketika itu tiada pemberontakan
kecuali suka
sama suka

1999

Puisi terakhirnya sebagaimana film, drama, lukisan, novel dan apapun yang ditinggalkannya menjadi pusara-pusara yang patut untuk selalu dikunjungi. Karya-karyanya masih terlalu tangguh untuk dijajal sehingga Motinggo Busye telah disejajarkan dengan seniman-seniman dunia lainnya. 

Penulis justru khawatir sebab pernah ada kejadian memalukan. Pernah seorang anak sekolah di Prancis bertanya tentang novel-novel Motinggo Busye kepada seorang mahasiswa Indonesia. Sang mahasiswa garuk-garuk kepala lantaran nama Motinggo Busye saja baru kali itu dia dengar.






Instalasi Kata Bernama Afrizal Malna

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 05 Juli 2009 | Juli 05, 2009

Pertama kali penulis membacakan tiga potong puisi Afrizal Malna di radio pada 2005 silam dan sejak itu ada kesadaran bahwa penyair ini memang tak lazim. Afrizal Malna memang memperlakukan puisinya sebagai instalasi kata-kata bahkan lukisan abstrak yang tak selalu saling punya hubungan linier ataupun ikatan antarkata dan antarfrasa yang tertib dan masuk akal.

Struktur bangunan puisinya cenderung fragmentaris dan absurd, cenderung tak hendak menyerupai suatu bangunan bahasa yang integral dan cocok dengan segala hukum representasi. Sepertinya bagi penyair nyentrik ini bahasa mungkin merupakan ciptaan manusia yang paling punya banyak masalah. Bahasa adalah sebuah ciptaan yang harus dijajah bukannya menjajah. Tapi tentu tidak semua orang punya kemampuan seperti Afrizal. 

Bagi Afrizal puisi telah berada dalam tingkatan di mana terdapat ruang yang sesungguhnya dalam kata. Benda-benda sekitar membangun bahasa imajinasi tersendiri yang khas, menyusun rangkaian-rangkaian pengucapan yang membawa asosiasi pembaca ke sebuah wilayah yang bernama urban. Afrizal Malna tidak mengandalkan misal kabut, batu, langit, daun, angin, atau bulan, yang biasa dipakai penyair kita kebanyakan selama ini. Ia menulis puisi lewat lingkungan bahasanya dan kosmosnya sendiri, yang dia kenali dan akrabi secara alami, yaitu lingkungan urban.

Afrizal Malna seorang penyair antik kelahiran Jakarta, 7 Juni 1957. Pernah menimba filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara tapi tidak selesai. Buku-bukunya yang pernah terbitdi antaranya Abad Yang Berlari (1984), Yang Berdiam Dalam Mikropon (1990); Arsitektur Hujan (1995), Biography of Reading (1995), Kalung Dari TemanSesuatu Indonesia, Esei-esei dari pembaca yang tak bersih (2000), Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (2003), Novel Yang Malas Menceritakan Manusian (2004), Lubang dari separuh langit (2005). Gara-gara puisinya Afrizal pernah mengembara hingga di Swiss dan Hamburg, memberikan diskusi teater dan sastra di beberapa universitas dalam rangka pertunjukan Teater Sae (Mei-Juni 1993) yang mementaskan naskahnya. Baca dan workshop puisi di Den Haag, 1995, dalam forum penyair Indonesia-Belanda. Mengikuti Poetry International Rotterdam, 1996. November 1997 mengikuti pertemuan Sastra Asia Pasifik di Kuala Lumpur. Sempat ikut dalam kegiatan Urban Poor Consortium (UPC). April 2002 mengikuti Puisi Internasional Indonesia di Makassar dan Bandung. 

Afrizal juga berkali-kali diganjar sederet penghargaan di antaranya dari Radio Nederland, majalah sastra Horison dan lain-lain. Afrizal adalah satu-satunya penyair yang kemungkinan besar tidak pernah berniat menjadikan puisinya menjadi cantik tapi jusrtu itulah kesalahannya yang terbesar. Sebaliknya, siapapun pasti bisa menikmati sajaknya. Coba saja kita kunyah salah satu sajaknya:


BERI AKU KEKUASAAN

Mereka pernah berjalan dalam taman itu, membuat wortel, semangka, juga pepaya. tetapi aku buat juga ikan-ikan plastik, angsa-angsa kayu dari Bali, juga seorang presiden dari boneka di Afrika. Kemana saja kau bawa kolonialisme itu, dan kau beri nama : Jakarta 1945 yang terancam. Beri aku waktu, beri aku waktu, untuk berkuasa.

Kau lihat juga tema-tema berlepasan, dari Pulo gadung ke Sukarno Hatta, atau di Gambir : Jakarta 1957 yang risau. Sepatuku goyah di situ. Orang bicara tentang revolusi, konfrontasi Malaysia, Amerika dan Inggris dibenci pula. Sejarahku seperti anak-anak lahir, dari kapal kolonial yang terbakar. Mereka mencari tema-tema pembebasan, tetapi bukan ayam goreng dari Amerika, atau sampah dari Jerman.

Begitu saja aku pahami, seperti mendorong malam ke sebuah stasiun, membuka toko, bank dan hotel di situ pula. Kini aku huni kota-kota dengan televisi, penuh obat dan sikat gigi. Siapakah yang bisa membunuh ilmu pengetahuan siang ini, dari orang-orang yang tak tergantikan dengan apapun. Beri aku waktu, beri aku waktu, untuk kekuasaan. tetapi sepatuku goyah, menyimpan dirimu.

Mereka pernah masuki tema-tema itu, bendera terbakar, letusan di balik pintu, jerit tangis anak-anak, dan dansa-dansi di malam hari. Lalu : Siapakah yang mengusung tubuhmu , pada setiap kata…………
1991

Penyair yang lebih suka berkepala plontos ini terakhir kali ke Sulawesi Selatan pada Mei lalu dalam acara Sastra Kepulauan 2009 di Kabupaten Barru. Seorang teman yang beruntung bernama Musa Manurung sempat menjadi muridnya. Afrizal Malna, penyair paling antik di Indonesia, liar dan dia bertumbuh dari instalasi kata yang misterius. Sebuah khazanah unik yang telah ikut memperkaya dunia perpuisian kita.


Hamid Jabar, Pengembara Metaforik Spiritual

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 04 Juli 2009 | Juli 04, 2009


Di tanah air banyak bertebaran sajak-sajak religius. Namun tidak banyak penyair di tanah air seperti Hamid Jabar yang sebelum menulis sajak harus bersedia berlelah-lelah dahulu mengarungi perenungan spiritual yang sebenarnya. Budayawan dan penyair nasional Hamid Jabar meninggal dunia ketika sedang membaca puisi dalam acara dies natalis Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta pada 2004. 

Diduga kuat ia meninggal karena serangan jantung. Hamid Jabbar penyair kelahiran Kota Gadang, Bukittinggi, Sumatra Barat 27 Juli 1949 itu seorang tokoh sastrawan Angkatan 1970-an yang membangun kepanyairan spritual. Sejak remaja mulai 1972 menulis puisi di berbagai media, dan hingga wafatnya sudah berjumlah ratusan. Diantara buku-buku antologi puisinya yang fenomenal seperti Paco-Paco (1974), Dua Warna (1975), dan Wajah Kita (1981).

Jika Amir Hamzah berjubah Pujangga Baru dengan bau kesusastraan Melayu. Lalu datang anak muda bernama Chairil Anwar sebagai pendobrak menuju puisi moderen, WS Rendra yang memaki realitas kritik sosial dengan puisi-puisi pamfletnya, Afrizal Malna yang mengusung konsep posmo, maka Hamid Jabbar datang dengan sajak liris yang musikal dengan ciri pengembaraan spritual.

Mungkin lebih tepat menyebutnya sebagai penyair profetik-sufistik jika menyimak beberapa contoh sajaknya berikut ini:



Beri Aku Satu Yang Tetap dalam Hidupku
Baik, aku akan mengembara menuju cahaya menguak angin

Baik, beri aku satu saja dari 73.000 kemungkinan ini
Baik, aku akan mengembara menghadang badai nerjuni api
Baik, beri aku Satu saja yangTetap dalam diriku:Iman
buat betah seabad buat Kiblat segala Niat: Islam
beri aku Satu yang Tetap dalam diriku: Allah

Padang 1975




Sebelum Maut itu Datang
sebelum maut itu datang yaAllah

kunantinanti hujan berkah-Mu
yaAllah yaAkbar
yaAllah yaAkbar
yaAllah yaAkbar
sebelum maut itu datang yaAllah
labuhkanlah badai imanku

Bandung, 1972/1973)


Dan

Dan pasir

sirna dalam laut
Dan laut
utuh dalam zikir

Dan zikir
kirim dalam berpaut
Pautan kalimah
LailahhaillAllah!

Padang - Jakarta,1998


Setitik Nur
di dalam waktu dan malam yang mengalirkan gairahnya

lahirlah aku setitik nur pijaranMu dan beranak-pinak
dari tanda tanya dan bagai kupu-kupu aku terbang dari
taman ke taman
hinggap di rimbunan daun kehidupan merendamkan muka
melepaskan dahaga mereguk embun yang turun bersama
cahaya bulan masuk ke dalam sejuta kembang kembara
atas putik harap dan bagai lautan merpati melayangkan
segala gelombang
dalam hempasan awan putih memagut layang-layang
mencariMu
akan jawab pasti pada pulau-pulau yang meratap dan
merayap di lubuk hati
bumi yang dipijak dan terisak dan tak kuasa mengelak
dari kuasaMu selalu sampai-sampai jua aku
pada batas itu batas tetap seperti semula

Bandung-Padang, 1973


Hamid Jabar adalah pengembara metaforik spiritual yang tidak muncul begitu saja. Kultur religius dalam lingkungannya mungkin telah membentuknya menjadi seperti itu. Menjadi yang seharusnya. Sayang sekali, Hamid Jabar telah tiada. Tapi karya-karyanya masih dicari orang-orang di mana-mana.



Andhika Mappasomba, Penghibur Sastra Keliling Kampung

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 03 Juli 2009 | Juli 03, 2009

Jika ada penyair yang kadang menjuluki dirinya sendiri sebagai penyair rombeng atau penghibur sastra keliling kampung maka inilah orangnya. Andhika Mappasomba, lebih sering disapa dengan nama Dhika. Lelaki berambut gondrong kelahiran Bulukumba 1980. Bekas bangku dalam kelas tempatnya duduk semasa SMP di Tanah Beru Bulukumba menjadi saksi awal perjalanan kepenyairan dari alumnus Universitas Islam Negeri di Makassar ini.

Dhika sering ditemani oleh sebuah vespa butut yang diberi nama Aladin. Aktif dalam berbagai organisasi terutama organisasi yang mengepalkan tinju demi seni dan budaya. Yang penulis bisa lacak adalah bahwa dia tergabung dalam masyarakat Pencinta Seni Pertunjukan (Mata Sejuk) Indonesia dan sebagai direktur poros Tiga Institute Cultural Studies (p3i-CS Makassar). Pendengar RCA khususnya penggemar acara sastra Ekspresi selalu disiraminya dengan puisi. Dia satu-satunya penyair yang paling rajin membacakan sendiri puisi-puisinya di radio setiap ada kesempatan menjadi bintang tamu di RCA.

Bersama cerpenis Anis K. Al Asyari, dia pernah menggebrak dengan menerbitkan buku Ingin Kukencingi Mulut Monalisa (2003). Sebuah buku kumpulan cerpen milik Anis dan kumpulan puisi milik Andhika. Buku selanjutnya Mawar dan Penjara yang keseluruhan isinya adalah sajak-sajaknya yang nyaris terbuang dan semoga saja memang tak akan pernah terbuang jika jadi terbit dalam tahun ini juga.

Andhika juga seorang blogger. Puisi-puisinya yang khas diletakkannya satu persatu di blog kelong pajaga tempat Dhika biasanya pulang beristirahat setelah lelah seharian menjelajahi alam, mengolah rasa, berdiskusi dengan manusia lainnya di alam terbuka ataupun ruang tertutup. Karakter khas puisi Andhika terletak pada kebiasaan-kebiasaan pengulangan metafora tapi dengan makna berbeda pada setiap puisi. Puisinya suka memotret perjalanan sekecil apapun.


Bulukumba, Kota Sejuta Penyair

aku lahir di sini dari rahim ibu yang menua pada waktu tanah merah hitam yang menggumpal bekukan batang jagung dan batang padidan asin airnya mengalir dalam darahku bersama nyayian nyiur yang melambai-lambai pada garis pantainya memanggil-manggil, menggema, memanjat batang kelor dalam sajak rindurindu pada negeri ibu, negeri sejuta nahkoda negeri sejuta panrita negeri sejuta nahkoda bulukumba

walau
aku bertualang melangkah mendaki ke dalam belantara kehidupan
terbang ke langit ke lima menyusup ke dalam batas bumi
bertemu jawara-jawara yang menikam sukma
aku tak melupakan kokoh tiang pinisi menantang ombak sembilan samudera
aku tak melupakanmu negeriku, negeri sejuta nahkoda dan panrita,
negeri sejuta dongeng, negeri sejuta pau-pau, negeri sejuta budaya
kota sejuta penyair
bulukumba

walau
aku bertuaalang masuk ke dalam hidup menemui pengantinku di negeri jauh
lalu bercinta di batas lelah lunglai di puncak sepi
rindu tak pernah usai menyanyi dalam qalbu
memanggil-manggil pulang
memanggil-manggil pulang
melewati pematang sawah
menyusuri sungai, tepian pantai, lereng bukit
merenangi laut flores dan teluk bone
melintasi lompo battang
datang padamu bulukumba; meneguk airmu, mengupas jagungmu, menumbuk padimu,
memetik daun kelormu, mencubit daging tuing-tuing, loka-loka, lure, lajang,
yang kukulum bersama sayur kelor dan nasi kampo'do'

uh
najis rasanya pizza ayam goreng amerika
muntah rasanya makan sozzis dan conello cina
muntah rasanya minum minuman karbonat jepang
muntah rasanya makan gorengan dari minyak goreng malaysia

biarlah di kota sejuta penyair
kunikmati dendeng capi, poca'-poca', sanggara bambang, sarabba, lopisi, dumpi eja, kampalo, gogoso, baruasa, taripang, uhu'-uhu', cucuru dari minyak rakang

kota ini, bulukumba, kota mendunia
kota sejuta penyair

di sana kalian punya patung liberty
kami punya patung pinisi
di sana kalian punya pantai hawai dan bombai
kami punya pantai bira, dajo, lemo-lemo, batu tallasa, samboang, turungang beru, kajang kassi, kasuso, pantai ara, pantai merpati, dan leppe'
di sana kalian punya monte karlo
kami punya tebing lahongka
di sana kalin punya zamba, acapela, capuera
kami punya kelongpajaga, gandrang jong, dan mancak baruga
di sana kalian punya indian, aborigin, dan apache
kami punya kajang tana toa

kota ini, bulukumba, kota mendunia
kota pelabuhan rindu, negeri ibu
KOTA SEJUTA PENYAIR
BULUKUMBA

Bulukumba, 19 Juli 2008


26 Februari 2008
hujan baru saja tuntas membasuh kotamu
rumput, kembang dan pepohonan tampak sumringah
aku intip kotamu dari jendela kereta yang melaju
di langit, bulan samar memaksaku merapal namamu

kaulah seserpihan bulan kerinduanku
pada kenangan, pernah kutanamkan sajak tujuh tangkai bunga
yang tak pernah sempat kau tatap hingga purna di waktu lalu

malam itu, aku melintasi kotamu
mengintip rumput, kembang dan pepohonan putih
dari jendela kereta yang melaju
tapi, mungkin hujan melelapkanmu dengan sempurna
hingga hentak kakiku tak kau dengarkan di larut ini

malam itu, aku melintasi kotamu
lewat sebuah radio tua, berdendang lagi sebuah lagu
lagu yang liriknya aku dan kau pernah memahatnya
dan anak-anak memakinya sebagai lagu dari zaman batu
lagu persembahan pada arwah dalam ritual suci kematian

malam itu, aku melintasi kotamu
dari luar jendela, rumput, kembang dan pepohonan
semua nampak berduka menyaksikan tetesan air mataku
atas nama kenangan
aku menangis

Mks-Palopo, 25 Januari 2008



Bersama seribuan lebih penyair se-Kabupaten Bulukumba, Andhika mendeklarasikan Bulukumba Kota Penyair pada Maret 2009. Hingga postingan ini dibuat tinggal satu hal yang belum dideklarasikan oleh Dhika yakni menikah.



Ahyar Anwar, Yang Terjaga di Larut Malam Untuk Selalu Membangunkan Cinta

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 02 Juli 2009 | Juli 02, 2009


Ahyar Anwar namanya. Alumnus UGM Jogjakarta yang lahir 14 Februari 1970 di Makassar ini selalu terjaga untuk membangunkan cinta melalui buku-bukunya yang telah terbit diantaranya Menidurkan Cinta (2007), Kisah Tak Berwajah (2009). Di satu sisi acapkali karya-karya budayawan muda ini dikunyah sebagai tulisan-tulisan tentang filsafat. Di sisi sebelahnya lagi lebih sering dikunyah sebagai karya sastra. Tentang buku-bukunya yang lain, penulis masih berusaha untuk melacaknya di toko-toko buku.

Ahyar Anwar yang juga sebagai dosen di Fakultas Sastra Universitas Negeri Makassar, pernah menyodorkan sepenggal pemikiran dari salah satu artikelnya:"...sastra juga adalah sebuah kekuatan yang harus memiliki daya gedor ideologis dan daya dobrak rasional. Apa yang dapat dirubah sastra yang hanya ‘bernyanyi’?. Jika anda berpuisi atau bernarasi didepan pintu rumah seseorang, apa yang dapat memaksa orang itu membuka pintu rumahnya untuk anda? Tentu saja, pintu rumah itu akan terbuka, jika dalam narasi atau puisi itu ada yang mendesak logika orang itu!"
Rasionalitas seorang Ahyar Anwar berpuitika. Alur logikanya yang bersungut-sungut dengan lembut wajar dikagumi sebagaimana alun prosaisnya yang mengalir jernih. Sastra memang telah seharusnya mampu mendobrak apa-apa yang telah ada. Tidak sekedar bertujuan sampai ke muara di mana sastra dinikmati di sana dengan sukacita. Sebelum sampai, seyogyanya sastra memang telah menghantam logika di tengah perjalanan. Dan memang Ahyar telah beberapa kali melakukan itu dan tidak mengeluh. Sebaliknya tetap melenguh dan menjitak dengan cantik. Caranya? Simak saja salah satu dari sekian anak sungai kata dari kepalanya berikut ini.

Hujan, Secarut Cinta dan Sehelai Kenangan
:untuk Na

“Hujan adalah tarian dan nyanyian musim yang tak pernah mungkir membawa kenangan mengalir menjadi luka”
Hujan kadang datang dengan pesan-pesan yang lebih dulu sampai, kadang hujan datang dengan amarah angin, kadang juga hujan datang dengan begitu tergesa-gesa. Apapun itu hujan selalu meninggalkan kenangan yang basah tentang pertemuan dan mungkin juga keresahan yang indah. Hujan selalu mampu menjadikan rindu semakin biru, menjadikan kesedihan semakin menelaga, menjadikan kesepian semakin tajam merintih. Hujan adalah almari kisah yang selalu setia menyimpan rindu, kesedihan,
dan kesepian itu. Selembar kelam dihujung sebuah malam suatu ketika kala hujan menderai dengan irama yang putus-putus, sebuah tunas pohon cinta tumbuh dalam siluet jingga dan violet, tepat diatas pusara-pusara kenangan yang basah dan penuh lumut. Seorang kekasih pernah menuliskan sebuah pesan yang lamur pada pusara kenangan-kenangan itu, “Jingga dan violet adalah warna abadi yang menaungi rindu dan kesetiaan”. Begitulah, hujan kadang lebih perih mengalirkan kenangan dari cinta-cinta yang tak tuntas. Bahkan kadang, malam dan kabut menghiasi hujan dengan kisah-kisah yang tertahan. Bila, kenangan itu adalah kisah yang berduri dari sejarah yang curam, maka hujan akan menjelma menjadi kabut-kabut yang menudungi hati dengan kesenyapan dan kehampaan yang tak terperikan. Pada sebuah senja yang randu, Diberanda sebuah rumah kayu yang penuh cahaya temaram, Ada kekasih sedang mengurai kenangan dari cinta yang tertanam pada langit-langit yang merah jingga berdarah. Ia membiarkan bias bulan yang pucat melukiskan sketsa gelisah di wajahnya. Hujan tiba dengan helai-helai dedaunan yang penuh rajah-rajah dendam, membasahi wajahnya. Ia membasuh kemarau yang tersisa dari kelopak matanya yang tak berdaya. Juga bibirnya yang terkatup pekat oleh janji yang ia telan dari musim-musim yang telah lalu. Kesunyian berbisik disela-sela nada rintik yang ringkih. Ditanah yang basah, Ia mulai menggenang segala kenangan-kenangan dari perjalanan yang tak sampai. Narasi-narasi hatinya yang berakhir dalam kemungkinan-kemungkinan. Seperti hujan disenja yang kelam itu, selalu yang tersisa hanyalah pertanyaan-pertanyaan tentang cinta dari sajak-sajak yang terburai. Malam yang menyembunyikan purnama dari desau hujan-hujan yang makin resah. Badai tampak lebih kemaruk lagi dibathinnya, cinta yang ia pendam kini makin penuh dendam. Ia menunggu sketsa pelangi dimalam yang hanya menyisakan kelam yang lebam. Hujan bahkan terus melukis cintanya menjadi sketsa puisi yang hitam. Di jelaga waktu yang parau dan angin yang tak henti risau. Siapakah sesungguhnya yang membawa kenangan dan menyimpan cinta! Hujankan yang membawa kenangan atau kenangan yang membawa hujan dimalam ini, cintakah yang menyisakan kenangan atau kenangan yang menyisakan cinta? Tak pernah ada kesetiaan pada musim! Meski hujan selalu akan datang, seperti kenangan selalu akan menghampiri. Dan cinta adalah musim yang selalu membawa hujan. Tapi kenangan selalu berselisih makna dengan cinta, seperti racun yang diteguk Juliet dan cinta yang membunuh Romeo. Dan hujan selalu menyajikan irama kerinduan yang lengkap Ada bisik yang sendu pada setiap titik-titik kenangan yang terbawa rintik-rintik hujan itu. Ketika angin mulai melenguh menjelang subuh Embun-embun berderai diselisih rintik hujan-hujan Kini, ia pelan-pelan melamur menjadi kenangan. Menitipkan secarut cinta pada sehelai kenangan tentang rindunya pada hujan yang akan tiba dilain musim. Na! “tolong kuburkan kenangan ini pada angin yang desau itu!” Lenguhnya sebelum matahari pagi melabuh.


Lenguh prosa puitika di atas adalah salah satu kecipak dari telaga karyanya yang pernah dibacakan di program Ekspresi RCA dua bulan lalu. Setelah itu sepertinya Ahyar Anwar masih saja akan selalu terjaga. Penulis kadang menganggapnya sebagai pancuran filsafat tentang cinta yang gemericiknya terdengar sampai ke dalam kamar tidur kita meski pancuran itu jauh terletak di dasar sebuah lembah.





Kacamata Kata dan Kalimat Berjenggot Bernama Aan Mansyur

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 01 Juli 2009 | Juli 01, 2009


Aan Mansyur adalah seorang pemuda berkacamata dan memelihara jenggot yang lahir di Bone Sulawesi Selatan, 14 Januari. Tahun kelahirannya tidak pernah dituliskan entah dengan alasan apa. Mungkin hanya disisipkan dalam sebuah puisinya yang kebetulan tidak pernah diterbitkan. Atau mungkin akan diceritakannya nanti dalam sebuah novel saja. Penulis hanya pernah menebak dia dilahirkan sebelum peristiwa Malari 1975.

Di Makassar, dia tergolong penulis muda yang paling kuat menulis artikel, puisi, cerita pendek di berbagai media. Karya-karyanya dimuat dalam berbagai buku antologi. Bukunya yang sudah terbit di antaranya antologi Hujan Rintih-rintih (2005), novel: Perempuan, Rumah Kenangan (2007), kumpulan puisi: Aku Ingin Pindah Rumah (2008) dan lainnya semoga besok kian bertumpuk. Berkali-kali harian Kompas memuat sajak-sajaknya. Padahal koran besar di Jakarta itu masih dianggap sebuah ruang yang sangat jarang bisa ditembus oleh para penyair muda seangkatannya. Apalagi bagi teman-teman sekampungnya.


Sekali waktu sempat chatting semenit dengannya melalui facebook barulah keluar rekomendasinya agar sajak-sajaknya bisa dibacakan di radio. Membaca sajak-sajaknya di radio beberapa minggu lalu menimbulkan efek berupa magma. Magma itu berbentuk beberapa puluh pertanyaan pendengar acara sastra. Yang paling banyak meletup adalah kekaguman sebab sajak-sajak Aan termasuk yang paling bisa dinikmati pendengar radio sembari minum kopi atau teh. Apakah tidak semua karya sastra bisa dinikmati di radio? Pasti. Teks-teks sastra yang ditulis oleh Aan seolah telah dirancang untuk bisa memasuki media apa saja. Mulai koran, blog hingga radio dan apapun. Seorang pendengar bahkan pernah menitip pesan kepada penulis agar Aan mengirimkan rekaman audio pembacaan puisinya ke RCA. Baca saja beberapa sajak Aan d bawah ini sambil minum kopi atau minuman lainnya.


PESAN IBU

Nanti setelah dewasa
kau sungguh merindukan pucuk
dua payudara tua ibunda

Seperti seorang pendosa
dari jauh memandang puncak
rumah-rumah ibadah


SAJAK TENTANG NENEK

Sambil menggenggam ktp kakek
yang sudah lama mati,
ia berkata:

Aku tahu kini
mengapa dulu kau rajin
mengajak aku bermain
hujan berduaan.

Di musim hujan begini
kenangan, seperti juga liang makam,
sungguh mudah digali.


AGAR KAU MUDAH MENEMUKAN SESUATU

Lupa. Entah di puisi siapa aku pernah membaca kisah
seorang perempuan cantik yang sangat mencintai hujan.
Mungkin di puisi yang pernah aku tulis sendiri, untukmu.
Tapi bukan di situ intinya. Aku ingin mengatakan padamu
yang dicintai di dalam hujan sesungguhnya bukan hujan.

Begitu pula dengan puisi. Di dalam puisi pembaca tentu tidak
mencari kata, melainkan ingin menemukan yang bukan kata.
Sekiranya mampu, aku ingin menulis sebuah puisi untukmu
tanpa menggunakan kata-kata. Tapi aku sungguh tak mampu.
Maka aku tuliskan saja puisi ini tanpa menggunakan kata-kata
yang bercahaya. Agar kau tidak silau oleh kata-kata. Agar kau
mudah menemukan sesuatu yang kau cari di dalam puisi ini.


KACA JENDELA

dari seberang kaca jendela
hujan yang kedinginan
jatuh cinta pada sepasang mata
di mana matahari memancar

hujan itu ingin sekali mati
terbakar pada sepasang mata

dari seberang lain kaca jendela
sepasang mata perempuan
jatuh cinta pada air hujan
di mana sungai berakar

sepasang mata itu ingin sekali ikut
mengair-hujan, mengalir atau hanyut

kaca jendela tidak kuasa
berbuat apa kecuali basah
menangis


Selintas tidak rumit menerjemahkan sajak-sajak Aan ke dalam rasa dan makna. Kesulitan terberat mungkin hanya terletak pada sejauh mana kemampuan kita menangkap ritme-ritme sederhana realitas yang dia suguhkan lalu kita bersedia untuk setuju dengan apa yang telah dilontarkannya. Aan Mansyur, sepasang kacamata kata dan kalimat berjenggot. Penulis terlanjur telah mendeskripsikannya begitu.
 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday