Latest Post

Seniman Instalasi Makassar Mewakili Indonesia di Belanda

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 18 Agustus 2009 | Agustus 18, 2009


Sebuah cerobong yang terbuat dari bambu itu tegak berdiri. Jerami dan biji jagung dihamparkan di bawah cerobong. Taburan biji jagung ini mengundang ribuan burung yang hidup di Guando Nature Park, yang dikenal sebagai situs migrasi 229 jenis burung. Guandu Nature Park yang memiliki luas 57 hektar itu berada di bagian utara Taiwan, tepat di pertemuan Sungai Danshui dan Sungai Jilong. Seniman instalasi, Firman Jamil menancapkan bambu enam batang, dengan panjang sekitar 7 meter dan berdiameter 12 cm. Lalu dihamparkannya biji jagung 10 kilogram.

Itulah salah satu karya seni instalasi dari Firman Jamil yang diberi judul Zero Flue = Zero Chimney dalam festival seni instalasi lingkungan hidup yang bertema “Focus on Global Warming” di Guandu Nature Park, Taiwan, April 2008. Firman melihat ketersediaan lahan dan air bersih adalah satu soal rumit bagi kita. Ia merancang karya Zero Flue = Zero Chimney sebagai upaya rekonstruksi pengertian pemahaman terkait energi alternatif. Firman Jamil adalah seniman instalasi Makassar yang paling sering mewakili Indonesia di berbagai festival seni instalasi tingkat dunia.



Kini selama 7 bulan, sejak 7 Juni hingga 31 Desember 2009 mendatang, Firman Jamil kembali mewakili Indonesia di Belanda bersama 12 seniman dunia lainnya dalam sebuah festival seni instalasi yang bertema lingkungan hidup. Seniman bertubuh kurus dari Makassar ini termasuk langka. Dia yang selalu melintasi batas-batas demarkasi alam batas bawah sadar melalui seni instalasi yang mencengangkan.



*referensi: http://firmandjamil.blogspot.com/
koran Tribun


Yang berikut ini bukan gambar seni instalasi melainkan award dari seorang cerpenis bernama mbak Fanny Fredlina. Bagi saya, dia seorang guru (terutama dalam ilmu menulis) dan sekaligus sahabat. Terimakasih ya mbak dengan award keren ini. Sebuah award yang keseluruhan bentuk, warna maupun gambar di setiap lekukannya benar-benar mencerminkan pembuatnya. Award ini dibuat mbak Fanny untuk merayakan ulang tahun yang pertama bagi blognya yang kini berjumlah 9 (jumlah yang fantastis). Semoga tetap semangat ngeblog ya mbak.


Kini giliran saya memberikan award ini sebagai salah satu perekat persahabatan kepada 3 orang sahabat : Shobi Black Magic, mbak Santi, dan kang Jamain.

Catatan Kaki di Seputar Proklamasi

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 17 Agustus 2009 | Agustus 17, 2009

Ternyata masih ada naskah asli proklamasi yang pertama sebelum naskah kedua yang kita kenal sekarang yang pernah dibacakan Bung Karno. Seorang penyiar radio dengan gagah berani menyiarkan naskah proklamasi ke seluruh dunia. Catatan kaki lainnya di seputar proklamasi terdapat dalam sebuah klipping yang saya simpan di rak buku sejak 4 tahun lalu. Isinya dikumpulkan dari berbagai sumber buku-buku sastra yang mengandung fakta sejarah dan juga dari internet. Selengkapnya berikut ini:

* Tidak banyak yang tahu termasuk kalangan penyiar radio dan wartawan siapa H.M. Jusuf Ronodipuro. Namanya sudah tenggelam atau mungkin ditenggelamkan sejak dia ikut meneken Petisi 50 bersama Ali Sadikin, A.H. Nasution, H.R. Dharsono dan sebagainya pada 5 Mei 1980. Petisi itu ditujukan antara lain untuk mengoreksi langkah-langkah Soeharto sebagai Presiden RI yang dianggap melenceng. Dialah pejuang yang membacakan naskah Proklamasi 1945 melalui stasiun radio milik Jepang, Hoso Kyoku di Jakarta yang disiarkan ke seluruh dunia hingga banyak negara tahu dan kemudian mengakui kemerdekaan Indonesia.

Jusuf bersama Bahtar dan kawan-kawan yang lain lalu memutuskan untuk menyiarkan naskah Proklamasi Kemerdekaan lewat radio Jepang itu, seperti diminta Adam Malik. Singkat kata akhirnya Jusuf membacakan naskah itu di depan corong selama 15 menit di ruang siaran luar negeri, yang sudah ditutup oleh Jepang sejak 15 Agustus menyusul hancurnya Nagasaki dan Hiroshima akibat dijatuhi bom atom oleh Amerika Serikat. Belakangan pihak Jepang mengetahui adanya siaran itu. Jusuf dan Bahtar diinterogasi dan disiksa. Pembacaan naskah Proklamasi itu lima tahun kemudian disiarkan ulang pada 17 Agustus 1950 dari gedung pola.

* Naskah proklamasi dibahas dan disepakati oleh anggota BPUPKI pada 14 Juli 1945 (tanggal yang bertepatan dengan Revolusi Prancis), selama kira-kira 76 menit, dari jam 13.30 — 14.46. Naskah ini tidak jadi dibacakan karena pada dinihari 17 Agustus 1945, pada saat Soekarno-Hatta, dkk., berkumpul di kediaman Marsekal Maeda untuk membahas pernyataan kemerdekaan, tidak ada satu pun orang yang hadir membawa naskah Pernyataan Kemerdekaan yang disusun di BPUPKI.

Itulah sebabnya muncul naskah Proklamasi yang begitu pendek dan ringkas yang berbunyi: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.”

Berikut di bawah ini naskah Proklamasi yang tidak jadi dibacakan itu:
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu makan penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Bangsa Indonesia di zaman dahulu telah mempunyai riwayat mulia dan bahagia, yang batas-batasnya meliputi seluruh kepulauan Indonesia sampai ke Papua, malah melampaui ke daratan Asa sampai ke batas-batas tanah Siam; negara merdeka, yang dalam perhubungan perdamaian dan persahabatan dengan negara-negara merdeka di daratan Asia, menyambut tiap-tiap bang sayang datang dengan kemurahan hati.

Kedatangan bangsa-bangsa Barat di Indonesia, membawalah bencana kepada bangsa Indonesia itu. Lebih dari tiga abad meringkuklah bangsa Indonesia di bawah kekuasaan Belanda dengan haluan politik jahat: memecah-mecah persatuan kita, mengina, menginjak-injak rasa kehormatan kita, menghina, menghisap-memeras kekayaan kita untuk kepentingan bangsa Belanda sendiri.

Perkosaan yang jahat itu tidak dapat persambungan dalam dunia seterusnya, yang di dalamnya bertambah-tambah kehebatan perlombaan imperialisme Barat, berebut kekayaan segenap dunia. Dan lama-kelamaan bangkitlah kembali dengan sehebat-hebanya semangat perlawanan bangsa Indonesia, yang memang tak pernah padam dan tak pernah dipadamkan, dalam lebih 3 abad perkosaan oleh imperialisme Belanda itu. Sejarah kolonialisme Belanda di Indonesa adalah sejarah berpuluh-puluh pemberontakan bangsa Indonesia melawan imperialisme Belanda itu. Bergeloralah lagi di dalam kalbu bangsa Indonesia tekad yang berkobar-kobar berbangkit kembali sebagai satu bangsa yang merdeka dalam satu negara yang merdeka, melahirkanlah pergerakan teratur dalam bangsa Indonesia, yang didasarkanatas cita-cita keadilan dan kemausiaan, menuntut pengakuan hak kemerdeaan tiap-tiap bangsa. Tidak tercegah, tidak tertahan tumbuhnya, meluas dan mendalam pergerakan ni dalam segenap lapisan dan segenap barisan bangsa Indonesia, betapa pun kerasnya, betapa pun buasnya betapa pun ganasnya kekuatan pemerintah Belanda berkhtiar mencegah dan menindasnya.

Di saat memuncaknya gelagat pergerakan itu yang seperti barat saat kelahiran anak dari kandungan ibunya, maka Tuhan Yan Maha Kuasa telah membelokkan perjaanan riwayat dunia, mengalih/memindahakn perimbangan kekuasaan di muka bumi, istimewa di daerah lautan Teduh, untuk membantu pembinaan kelahiran itu.
Tuntutan Dai Nippo Teikoku, bertentangan denan tujuan-tujuan imperialisme Barat, yaitu tuntutan hak kemerdekaan Asia atas dasar persamaan ha bangsa-bangsa, serta politik ang dengan tegas dan tepat dijalankan olehnya, menuju pembangunan negara-negara merdeka dan lingkungan kemakmuran bersama Asia Timur Raya, akhirnya telah menyebabkan Dai Nipoon Teikoku metnyatakan perang kepada Amerika Serikat dan Inggris. Perang Asia Timur Raya ini, yang berkebetulan dengan saat memuncaknya perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesa dan pergerakan kmerdekaan bangsa-bangsa Asia yang lain, menjadilah sebagai puncak pertemuan perjuangan kemerdekaan segala bangsa Asia di daratan dan di kepulauan Asia.

Dengan mengakui dan menghargai tnggi keutamaan niat dan tujuan Dai Nipoon Teikoku dengan Perang Asia Timur Raya itu, maka tiap-tiap bangsa dalam lingkungan Asia Tmur Raya atas dasar pembelaan bersama, wajiblah menyumbangkan sepenuhnya tenaganya dengan tekad yang sebulat-bulatnya, kepada perjuangan bersama itu, sebagai jaminan yang seteguh-teguhnya untuk keselamatan kemerdekaannya masing-masing.

Maka sekarang, telah sampailah perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentausa menghantarkan rakyat Indonesia, adil dan makmur, yang hidup sebagai anggota sejati dalam kekeluargaan Asia Timur Raya. Di depan pintu gerbang Negara Indonesia itula rakyat Indonesia menyatakan hormat dan terima kasih kepada semua pahlawan-pahlawan kemerdekaannya yang telah mangkat.

Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa, berdasar atas segala alasan yang tersebut di atas itu, dan didorong oleh keinginan luhur supaya bertangung-jawab atas nasib sendiri, berkehidupan kebangsaan yang bebas, mulia, terhormat, maka rakyat Indonesia dengan ini:
MENYATAKAN KEMERDEKAAN.

* Rekaman suara asli Bung Karno yang membaca teks proklamasi dilakukan di radio setelah 6 tahun kemudian. “Proklamasi itu hanya satu kali!” begitu kata Ir. Sukarno dengan nada marah kepada Jusuf Ronodipuro pada suatu hari di awal tahun 1951. Dalam pengakuan kepada salah seorang kerabat dekatnya Louisa Tuhatu, Jusuf Ronodipuro dengan rendah hati mengatakan, kebetulan sekali saat RRI baru saja membeli peralatan baru dan mendadak pula muncul ide di benaknya untuk merekam suara Bung Karno membacakan proklamasi.

Meskipun sempat ‘ciut’ juga dimarahi oleh Sang Pemimpin Besar Revolusi, tetapi Jusuf tetap bersikukuh. “Betul, Bung. Tetapi saat itu rakyat tidak mendengar suara Bung,” bujuknya. Bung Karno pun bersedia merekam suaranya tengah membacakan naskah proklamasi. Ini terjadi hampir 6 tahun setelah proklamasi yang asli dibacakan.
* Mungkinkah Revolusi Kemerdekaan Indonesia disebut sebagai revolusi dari kamar tidur? Coba simak ceritanya. Pada 17 Agustus 1945 pukul 08.00, ternyata Bung Karno masih tidur nyenyak di kamarnya, di Jalan Pegangsaan Timur 56, Cikini. Dia terkena gejala malaria tertiana. Suhu badannya tinggi dan sangat lelah setelah begadang bersama para sahabatnya menyusun konsep naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda .
Pating greges, keluh Bung Karno setelah dibangunkan de Soeharto, dokter kesayangannya. Kemudian darahnya dialiri chinineurethan intramusculair dan menenggak pil brom chinine. Lalu ia tidur lagi.

Pukul 09.00, Bung Karno terbangun. Berpakaian rapi putih-putih dan menemui sahabatnya, Bung Hatta. Tepat pukul 10.00, keduanya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dari serambi rumah.

“Demikianlah Saudara-saudara! Kita sekalian telah merdeka!”, ujar Bung Karno di hadapan segelintir patriot-patriot sejati. Mereka lalu menyanyikan lagu kebangsaan sambil mengibarkan bendera pusaka Merah Putih. Setelah upacara yang singkat itu, Bung Karno kembali ke kamar tidurnya. masih meriang. Tapi sebuah revolusi telah dimulai…

* Upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ternyata berlangsung tanpa protokol, tak ada korps musik, tak ada konduktor dan tak ada pancaragam. Tiang bendera pun dibuat dari batang bambu secara kasar, serta ditanam hanya beberapa menit menjelang upacara. Tetapi itulah, kenyataan yang yang terjadi pada sebuah upacara sakral yang dinanti-nantikan selama lebih dari tiga ratus tahun!

* Bendera Pusaka Sang Merah Putih adalah bendera resmi pertama bagi RI. Tetapi dari apakah bendera sakral itu dibuat? Warna putihnya dari kain sprei tempat tidur dan warna merahnya dari kain tukang soto!

* Setelah merdeka 43 tahun, Indonesia baru memiliki seorang menteri pertama yang benar-benar orang Indonesia asli. Karena semua menteri sebelumnya lahir sebelum 17 Agustus 1945. Itu berarti, mereka pernah menjadi warga Hindia Belanda dan atau pendudukan Jepang, sebab negara hukum Republik Indonesia memang belum ada saat itu. “Orang Indonesia asli” pertama yang menjadi menteri adalah Ir Akbar Tanjung (lahir di Sibolga, Sumatera Utara, 30 Agustus 1945), sebagai Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga pada Kabinet Pembangunan V (1988-1993).

* Menurut Proklamasi 17 Agustus 1945, Kalimantan adalah bagian integral wilayah hukum Indonesia. Kenyataannya, pulau tersebut paling unik di dunia. Di pulau tersebut, ada 3 kepala negara yang memerintah! Presiden Soeharto (memerintah 4 wilayah provinsi), PM Mahathir Mohamad (Sabah dan Serawak) serta Sultan Hassanal Bolkiah (Brunei).

* Hubungan antara revolusi Indonesia dan Hollywood, memang dekat. Setiap 1 Juni, selalu diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila semasa Presiden Soekarno. Pada 1956, peristiwa tersebut “hampir secara kebetulan” dirayakan di sebuah hotel Hollywood. Bung Karno saat itu mengundang aktris legendaris Marylin Monroe, untuk sebuah makan malam di Hotel Beverly Hills, Hollywood. Hadir di antaranya Gregory Peck, George Murphy dan Ronald Reagan (25 tahun kemudian menjadi Presiden AS). Yang unik dari pesta menjelang Hari Lahir Pancasila itu, adalah kebodohan Marilyn dalam hal protokol. Pada pesta itu, Maryln menyapa Bung Karno bukan dengan “Mr President” atau “Your Excellency”, tetapi dengan Prince Soekarno!

* Ada lagi hubungan erat antara 17 Agustus dan Hollywood. Judul pidato 17 Agustus 1964, Tahun Vivere Perilocoso (Tahun yang Penuh Bahaya), telah dijadikan judul sebuah film The Year of Living Dangerously . Film tersebut menceritakan pegalaman seorang wartawan asing di Indonesia pada 1960-an. Pada 1984, film yang dibintangi Mel Gibson itu mendapat Oscar untuk kategori film asing!

* Naskah asli teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ditulis tangan oleh Bung Karno dan didikte oleh Bung Hatta, ternyata tidak pernah dimiliki dan disimpan oleh Pemerintah! Anehnya, naskah historis tersebut justru disimpan dengan baik oleh wartawan B. M. Diah. Diah menemukan draft proklamasi itu di keranjang sampah di rumah Laksamana Maeda, 17 Agustus 1945 dini hari, setelah disalin dan diketik oleh Sajuti Melik. Pada 29 Mei 1992, Diah menyerahkan draft tersebut kepada Presiden Soeharto, setelah menyimpannya selama 46 tahun 9 bulan 19 hari.

* Ketika tiba di Pelabuhan Sunda Kelapa 9 Juli 1942 siang bolong, Bung Karno mengeluarkan komentar pertama yang janggal didengar. Setelah menjalani pengasingan dan pembuangan oleh Belanda di luar Jawa, Bung Karno justru tidak membicarakan strategis perjuangan menentang penjajahan. Masalah yang dibicarakannya, hanya tentang sepotong jas! “Potongan jasmu bagus sekali!” komentar Bung Karno pertama kali tentang jas double breast yang dipakai oleh bekas iparnya, Anwar Tjikoroaminoto, yang menjemputnya bersama Bung Hatta dan segelintir tokoh nasionalis.

* Rasa-rasanya di dunia ini, hanya the founding fathers Indonesia yang pernah mandi air seni. Saat pulang dari Dalat (Cipanasnya Saigon), Vietnam, 13 Agustus 1945, Soekarno bersama Bung Hatta, dr Radjiman Wedyodiningrat dan dr Soeharto (dokter pribadi Bung Karno) menumpang pesawat fighter bomber bermotor ganda. Dalam perjalanan, Soekarno ingin sekali buang air kecil, tetapi tak ada tempat. Setelah dipikir, dicari jalan keluarnya untuk hasrat yang tak tertahan itu. Melihat lubang-lubang kecil di dinding pesawat, di situlah Bung Karno melepaskan hajat kecilnya. Karena angin begitu kencang sekali, bersemburlah air seni itu dan membasahi semua penumpang. Byuuur…

Berkat kebohongan, peristiwa sakral Proklamasi 17 Agustus 1945 dapat didokumentasikan dan disaksikan oleh kita hingga kini. Saat tentara Jepang ingin merampas negatif foto yang mengabadikan peristiwa penting tersebut, Frans Mendoer, fotografer yang merekam detik-detik proklamasi, berbohong kepada mereka. Dia bilang tak punya negatif itu dan sudah diserahkan kepada Barisan Pelopor, sebuah gerakan perjuangan. Mendengar jawaban itu, Jepang pun marah besar. Padahal negatif film itu ditanam di bawah sebuah pohon di halaman Kantor harian Asia Raja. Setelah Jepang pergi, negatif itu diafdruk dan dipublikasi secara luas hingga bisa dinikmati sampai sekarang. Bagaimana kalau Mendoer bersikap jujur pada Jepang?

* Kali ini, Bung Hatta yang berbohong demi proklamasi. Waktu masa revolusi, Bung Karno memerintahkan Bung Hatta untuk meminta bantuan senjata kepada Jawaharlal Nehru. Cara untuk pergi ke India pun dilakukan secara rahasia. Bung Hatta memakai paspor dengan nama “Abdullah, co-pilot”. Lalu beliau berangkat dengan pesawat yang dikemudikan Biju Patnaik, seorang industrialis yang kemudian menjadi menteri pada kabinet PM Morarji Desai. Bung Hatta diperlakukan sangat hormat oleh Nehru dan diajak bertemu Mahatma Gandhi. Nehru adalah kawan lama Hatta sejak 1920-an dan Gandhi mengetahui perjuangan Hatta. Setelah pertemuan, Gandhi diberi tahu oleh Nehru bahwa “Abdullah” itu adalah Mohammad hatta. Apa reaksi Gandhi? Dia marah besar kepada Nehru, karena tidak diberi tahu yang sebenarnya. “You are a liar!” ujar tokoh kharismatik itu kepada Nehru
* Bila 17 Agustus menjadi tanggal kelahiran Indonesia, justru tanggal tersebut menjadi tanggal kematian bagi pencetus pilar Indonesia. Pada tanggal itu, pencipta lagu kebangsaan “Indonesia Raya”, WR Soepratman (wafat 1937) dan pencetus ilmu bahasa Indonesia, Herman Neubronner van der Tuuk (wafat 1894) meninggal dunia.

* Bendera Merah Putih dan perayaan tujuh belasan bukanlah monopoli Indonesia. Corak benderanya sama dengan corak bendera Kerajaan Monaco dan hari kemerdekaannya sama dengan hari proklamasi Republik Gabon (sebuah negara di Afrika Barat) yang merdeka 17 Agustus 1960.

* Jakarta, tempat diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia dan kota tempat Bung Karno dan Bung Hatta berjuang, tidak memberi imbalan yang cukup untuk mengenang co-proklamator Indonesia. Sampai detik ini, tidak ada “Jalan Soekarno-Hatta” di ibu kota Jakarta. Bahkan, nama mereka tidak pernah diabadikan untuk sebuah objek bangunan fasilitas umum apa pun sampai 1985, ketika sebuah bandara diresmikan dengan memakai nama mereka.

* Gelar Proklamator untuk Bung Karno dan Bung Hatta, hanyalah gelar lisan yang diberikan rakyat Indonesia kepadanya selama 41 tahun! Sebab, baru 1986 Permerintah memberikan gelar proklamator secara resmi kepada mereka.

Kalau saja usul Bung Hatta diterima, tentu Indonesia punya “lebih dari dua” proklamator. Saat setelah konsep naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia rampung disusun di rumah Laksamana Maeda, Jl. Imam Bonjol no 1, Jakarta, Bung Hatta mengusulkan semua yang hadir saat rapat dini hari itu ikut menandatangani teks proklamasi yang akan dibacakan pagi harinya. Tetapi usul ditolak oleh Soekarni, seorang pemuda yang hadir. Rapat itu dihadiri Soekarno, Hatta dan calon proklamator yang gagal: Achmad Soebardjo, Soekarni dan Sajuti Melik. “Huh, diberi kesempatan membuat sejarah tidak mau”, gerutu Bung Hatta karena usulnya ditolak.

* Perjuangan frontal melawan Belanda, ternyata tidak hanya menelan korban rakyat biasa, tetapi juga seorang menteri kabinet RI. Soepeno, Menteri Pembangunan dan Pemuda dalam Kabinet Hatta, merupakan satu-satunya menteri yang tewas ditembak Belanda. Sebuah ujung revolver, dimasukkan ke dalam mulutnya dan diledakkan secara keji oleh seorang tentara Belanda. Pelipis kirinya tembus kena peluru. Kejadian tersebut terjadi pada 24 Februari 1949 pagi di sebuah tempat di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Saat itu, Soepeno dan ajudannya sedang mandi sebuah pancuran air terjun.

* Belum ada negara di dunia yang memiliki ibu kota sampai tiga dalam kurun waktu relatif singkat. Antara 1945 dan 1948, Indonesia mempunyai 3 ibu kota, yakni Jakarta (1945-1946), Yogyakarta (1946-1948) dan Bukittinggi (1948-1949).
* Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia Jenderal Soedirman, pada kenyatannya tidak pernah menduduki jabatan resmi di kabinet RI. Beliau tidak pernah menjadi KSAD, Pangab, bahkan menteri pertahanan sekalipun!

* Wayang ternyata memiliki simbol pembawa sial bagi rezim yang memerintah Indonesia. Betapa tidak, pada 1938-1939, Pemerintah Hindia Belanda melalui De Javasche Bank menerbitkan uang kertas seri wayang orang dan pada 1942, Hindia Belanda runtuh dikalahkan Jepang. Pada 1943, Pemerintah Pendudukan Jepang menerbitkan uang kertas seri wayang Arjuna dan Gatotkoco dan 1945, Jepang terusir dari Indonesia oleh pihak Sekutu. Pada 1964, Presiden Soekarno mengeluarkan uang kertas baru seri wayang dengan pecahan Rp1 dan Rp2,5 dan 1965 menjadi awal keruntuhan pemerintahannya menyusul peristiwa G30S/PKI.

* Perintah pertama Presiden Soekarno saat dipilih sebagai presiden pertama RI, bukanlah membentuk sebuah kabinet atau menandatangani sebuah dekret, melainkan memanggil tukang sate! Itu dilakukannya dalam perjalanan pulang, setelah terpilih secara aklamasi sebagai presiden. Kebetulan di jalan bertemu seorang tukang sate bertelanjang dada dan nyeker (tidak memakai alas kaki). “Sate ayam lima puluh tusuk!”, perintah Presiden Soekarno. Disantapnya sate dengan lahap dekat sebuah selokan yang kotor. Dan itulah, perintah pertama pada rakyatnya sekaligus pesta pertama atas pengangkatannya sebagai pemimpin dari 70 juta jiwa lebih rakyat dari sebuah negara besar yang baru berusia satu hari.

* Kita sudah mengetahui, hubungan antara Bung Karno dan Belanda tidaklah mesra. Tetapi Belanda pernah memberikan kenangan yang tak akan pernah dilupakan oleh Bung Karno. Enam hari menjelang Natal 1948, Belanda memberikan hadiah Natal di Minggu pagi, saat orang ingin pergi ke gereja, berupa bom yang menghancurkan atap dapurnya. Hari itu, 19 Desember 1948, ibu kota Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda.

* Sutan Sjahrir, mantan Perdana Menteri RI pertama, menjadi orang Indonesia yang memiliki prestasi “luar biasa” dan tidak akan pernah ada yang menandinginya. Waktu beliau wafat 1966 di Zurich, Swiss, statusnya sebagai tahanan politik. Tetapi waktu dimakamkan di Jakarta beberapa hari kemudian, statusnya berubah sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
*disarikan dari berbagai sumber

Asrul Sani, Pelopor Sastrawan Angkatan '45

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 16 Agustus 2009 | Agustus 16, 2009


Sewaktu saya masih duduk di bangku SMP, teman-teman sekelas saya yang suka membolos pun pasti mengenal sosok ini. Namanya memang termasuk yang paling sering harus dihapalkan untuk mata pelajaran sastra dan bahasa Indonesia. Jika Indonesia lebih mengenal Chairil Anwar sebagai penyair paling legendaris milik bangsa, maka adalah Asrul Sani, Chairil Anwar, dan Rivai Apin yang mengumpulkan karya puisi bersama-sama berjudul “Tiga Menguak Takdir” yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku di tahun 1950. Mereka bertiga didaulat menjadi tokoh pelopor sastrawan Angkatan 45. Yang paling dituakan di antara kertiganya adalah Asrul Sani, Seniman kelahiran Rao, Sumatera Barat, 10 Juni 1927 dan wafat 11 Januari 2004. Ia adalah salah satu pelaku terpenting sejarah kebudayaan modern Indonesia.
Sewaktu sekolah, Asrul Sani pernah duduk sebangku dengan sastrawan Pramoedya Ananta Toer di SLTP Taman Siswa Jakarta. Zaman revolusi fisik membakar semangatnya lalu bersama kawan-kawannya menyatukan visi perjuangan revolusi kemerdekaan ke dalam bentuk Lasjkar Rakjat Djakarta. Di Bogor dia memimpin Tentara Pelajar, menerbitkan suratkabar “Suara Bogor”, redaktur majalah kebudayaan “Gema Suasana”, anggota redaksi “Gelanggang”, ruang kebudayaan majalah “Siasat”, dan wartawan pada majalah “Zenith”.
Setamat Sekolah Rakyat di Rao, Asrul Sani merantau ke Jakarta belajar di Sekolah Teknik, lalu masuk ke Fakultas Kehewanan Universitas Indonesia (di kemudian hari dikenal sebagai Institut Pertanian Bogor). Sempat pindah ke Fakultas Sastra UI namun kemudian balik lagi hingga tamat memperoleh titel dokter hewan. Kekuatan jiwa seni lebih mencetak seorang Asrul Sani untuk total berkesenian. Dia sempat ke negeri Belanda untuk belajar di Sekolah Seni Drama. Pada tahun 1955 hingga 1957 ke Amerika Serikat untuk belajar dramaturgi dan sinematografi di University of Southern California
Totalitas jiwa berkesenian terutama film makin menguat pada dirinya setelah Asrul Sani bertemu Usmar Ismail, salah seorang tokoh perfilman. Keduanya sepakat mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) yang melahirkan banyak sineas maupun seniman teater terkenal, seperti Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Tatiek W. Maliyati, Ismed M Noor, Slamet Rahardjo Djarot, Nano dan Ratna Riantiarno, Deddy Mizwar, dan lain-lain. Sebagai sutradara, Asrul Sani menyutradarai film “Titian Serambut Dibelah Tudjuh” pada tahun 1959. Dan, ia mulai mencapai kematangan ketika sebuah film karyanya “Apa yang Kau Cari Palupi” terpilih sebagai film terbaik pada Festival Film Asia pada tahun 1970. Karya besar film lainnya adalah “Monumen”, “Kejarlah Daku Kau Kutangkap”, “Naga Bonar”,. “Pagar Kawat Berduri”, “Salah Asuhan”, “Para Perintis Kemerdekaan”, “Kemelut Hidup”, dan lain-lain. Enam piala citra berhasil dia sabet, disamping beberapa kali masuk nominasi.
Asrul Sani menerima penghargaan Bintang Mahaputra Utama dari Pemerintah RI pada tahun 2000 dan berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Namun dia berpesan kepada istrinya, Mutiara Sani
untuk hanya dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Menteng Pulo, Jakarta Selatan dengan alasan, "masak sampai detik terakhir, kita masih mau diatur negara". Asrul Sani, dia lebih dari seorang pejuang.

Menelusuri Sejarah Melalui Karya Sastra

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 15 Agustus 2009 | Agustus 15, 2009


Masyarakat Indonesia sejak dulu banyak belajar dan mengetahui sejarah dengan hanya melalui karya sastra. Mungkin anda pernah baca novel-novel karya Purnawan Tjondronegoro yang banyak berkisah dengan latar belakang seputar proklamasi, agresi Belanda dan sebagainya ataupun karya-karya S. Tidjab yang membawa pembaca melanglang buana ke masa baheula. 

Karya sastra yang mengandung unsur sejarah yang kental di antaranya Hulubalang Raja yang ditulis oleh Nur Sutan Iskandar, Sandyakalaning Majapahi, Airlangga dan Kertadjaya karya Sanusi Pane, Cerita Surapati dan Robert Anak Surapati oleh Abdul Muis. Mohamad Yamin dalam naskah Ken Arok dan Ken Dedes yang bersumber dari peristiwa sejarah kerajaan Singasari dan Tumapel, dan deretan daftar panjang lainnya.

Dalam kesusastraan Melayu dikenal hikayat yaitu sejarah dan cerita kepahlawanan para nabi yang ditulis sesuai pakem sastra. Dalam sastra Jawa Kuna Bali misalnya dikenal istilah babad yaitu silsilah atau sejarah yang ditulis dalam bentuk cerita.

Teknik pengarapan karya sastra tentu bersumber dari penulisan sejarah sebagai tema atau latar belakang cerita, baik berupa roman, puisi, novel maupun drama. Semisal Hulubalang Raja, sebuah sastra roman yang menceritakan peristiwa kedatangan orang-orang Belanda yang pertama datang ke daerah pesisir Sumatera Barat sekitar tahun 1662 sampai 1667. Dalam pendahuluan roman itu diterangkan bahwa segala keterangan dan cerita yang berhubungan dengan sejarah diambil dari buku "De Westkust en Minangkabau" oleh Kroeskamp. Selain itu juga penulisan didasarkan surat-surat kompeni yang tersimpan dalam arsip negara.

Yang unik, unsur estetika yang bercampur baur secara elegan dengan kenyataan sejarah yang faktual begitu menyatu sehingga pembaca karya sastra sejarah secara tidak sadar telah belajar tentang sebuah peristiwa sejarah. Pada penulisan sejarah, pembaca menemukan kenyataan faktual, sedangkan pada penulisan karya sastra yang bersumber sejarah, pembaca menemukan kenyataan fiksional. Dalam kenyataan fiksional, penulis berimajinasi namun masih dalam batas koridor sejarah. Terdapat nilai estetis, informatif, edukatif dan moralitas yang bisa dijumpai dalam karya sastra-sejarah.

Yang menarik, penulisan sejarah murni justru sebaliknya sering menuai kontroversi yang sering mengundang perdebatan dan interpretasi beragam di tengah masyarakat seperti peristiwa G 30 S/PKI, Supersemar, Proklamasi, Serangan Umum Kota Yogjakarta dan lainnya. Peristiwa-peristiwa sejarah itu dinilai oleh banyak orang telah melenceng jauh dari fakta sejarah. Banyak fakta sejarah sengaja dikaburkan oleh rezim tertentu. Untuk lebih banyak mengetahui sejarah maka semestinya generasi bangsa ini harus lebih banyak menelusuri karya-karya sastra yang mengandung sejarah. Sudah saatnya metodologi penelitian sejarah yang objektif seharusnya juga menyertakan referensi karya sastra yang mengandung peristiwa sejarah.

Ranggawarsita, Zaman Edan dan Tahun Kemerdekaan

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 14 Agustus 2009 | Agustus 14, 2009


Sejak kecil saya telah sering mendengar istilah "zaman edan." Istilah ini begitu membumi di Indonesia. Terutama jika dirangkai dengan kalimat "siapa yang tidak ikut edan, maka tidak akan kebagian." Ternyata istilah itu telah dikenal sejak ratusan tahun silam. Yang pertama kali mempopulerkannya adalah seorang pujangga besar terakhir tanah Jawa. 

Ia adalah Ranggawarsita. Raden Ngabehi Rangga Warsita lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 15 Maret 1802 dan meninggal di Surakarta, Jawa Tengah, 24 Desember 1873. Nama aslinya adalah Bagus Burham. Darah seni mengalir di tubuhnya sebab ia adalah putra dari Mas Pajangswara dan cucu dari Yasadipura II, pujangga besar Kasunanan Surakarta. Ayahnya merupakan keturunan Kesultanan Pajang dan ibunya adalah keturunan dari Kesultanan Demak. Istilah Zaman Edan pertama kali diperkenalkan oleh Ranggawarsita dalam Serat Kalatida, yang terdiri atas 12 bait tembang Sinom. Salah satu bait yang paling terkenal adalah:
amenangi jaman édan,
éwuhaya ing pambudi,
mélu ngédan nora tahan,
yén tan mélu anglakoni,
boya keduman mélik,
kaliren wekasanipun,
ndilalah kersa Allah,
begja-begjaning kang lali,
luwih begja kang éling klawan waspada.
Terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia:
menyaksikan zaman gila,
serba susah dalam bertindak,
ikut gila tidak akan tahan,
tapi kalau tidak mengikuti (gila),
tidak akan mendapat bagian,
kelaparan pada akhirnya,
namun telah menjadi kehendak Allah,
sebahagia-bahagianya orang yang lalai,
akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.
Selain Serat Kalathida, Ranggawarsita telah menulis lebih dari seratus karya sastra di antaranya: Sapta Dharma, Serat Aji Pamasa, Serat Candrarini, Serat Cemporet, Serat Jaka Lodang, Serat Jayengbaya, Serat Panitisastra, Serat Pandji Jayeng Tilam, Serat Paramasastra, dan Serat Paramayoga. Ranggawarsita pernah berkelana sampai ke pulau Bali di mana ia mempelajari naskah-naskah sastra Hindu koleksi Ki Ajar Sidalaku. Ranggawarsita diangkat sebagai pujangga keraton Surakarta oleh Pakubuwana VII pada tanggal 14 September 1845. Pada masa inilah Ranggawarsita melahirkan banyak karya sastra. Hubungannya dengan Pakubuwana VII juga sangat harmonis. Ia juga dikenal sebagai peramal ulung dengan berbagai macam ilmu kesaktian.

Pemerintah Hindia Belanda menganggap Ranggawarsita sebagai jurnalis berbahaya yang tulisan-tulisannya dapat membangkitkan semangat juang kaum pribumi. Karena suasana kerja yang semakin tegang, akibatnya Ranggawarsita pun keluar dari jabatan redaksi surat kabar Bramartani pada tahun 1870.

Ranggawarsita meninggal dunia secara misterius tanggal 24 Desember 1873. Anehnya, tanggal kematian tersebut justru terdapat dalam karya terakhirnya, yaitu Serat Sabdajati yang ia tulis sendiri. Hal ini menimbulkan dugaan kalau Ranggawarsita meninggal karena dihukum mati, sehingga ia bisa mengetahui dengan persis kapan hari kematiannya.

Ranggawarsita pernah meramalkan datangnya kemerdekaan, yaitu kelak pada tahun Wiku Sapta Ngesthi Janma. Kalimat yang terdiri atas empat kata tersebut terdapat dalam Serat Jaka Lodang, dan merupakan kalimat Suryasengkala yang jika ditafsirkan akan diperoleh angka 7-7-8-1. Pembacaan Suryasengkala adalah dibalik dari belakang ke depan, yaitu 1877 Saka, yang bertepatan dengan 1945 Masehi, yaitu tahun kemerdekan Republik Indonesia

Ranggawarsita pantas mendapat gelar pahlawan nasional sebab telah menggunakan tinta yang sanggup membangkitkan semangat kaum pribumi dan mampu meresahkan pemerintah Hindia Belanda. Hingga pada masa pendudukan Jepang, sebagian besar rakyat terutama di pulau Jawa tetap meyakini ramalan Ranggawarsita. Ternyata ramalan itu sangat berpengaruh sehingga dapat membangkitkan harapan rakyat bahwa Indonesia pasti akan bebas dari penjajahan.

Apa Kabar Seni Tradisional Tanah Air?

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 13 Agustus 2009 | Agustus 13, 2009


Apa kabar seni tradisional tanah air? Ini adalah pertanyaan yang tidak harus dijawab. Saya sendiri tidak akan mampu menjawabnya. Saya hanya bisa merasakan kerinduan pada masa kecil ketika melihat paman bermain gasing dan main hadang bersama teman-teman sepermainannya di sekolahan. Di waktu yang lain di lapangan sekolah pasti akan ada waktu untuk bermain sepak takraw setiap kali jam istirahat tiba. Pada waktu itu teman-teman paman lainnya di seluruh tanah air pasti menikmati hal yang sama. Dari Sabang sampai Merauke, sebahagian besar dari mereka mahir bermain Makyong, Menora, Wayang bahkan Ludruk, Ketoprak dan Lenong. Di pelosok lainnya ada yang mahir memainkan serunai, serulung, kendang dan gamelan. Lihatlah, pasti ada yang selalu unggul dalam kerapan sapi, perisaian, palak babi, zawo-zawo dan masih banyak lagi yang tak terhitung jumlah jenis dan macamnya.

Seni tradisional tanah air mulai dari alat musik, permainan anak-anak, tari sampai drama kini telah berada di zaman museum. Zaman museum lebih merupakan sebuah etape sejarah di mana material dan pemaknaan diletakkan pada "peninggalan." Di sisi lain, menghidupkan seni tradisional dengan cara "pelestarian" semisal festival, seremoni dan semacamnya juga telah berada di titik kejenuhan. Generasi-generasi baru yang lahir kemudian tentu tidak dapat disalahkan jika mata rantai apresiasi terputus. Mereka lahir di zaman yang berbeda. Generasi game, playstation, mall dan handphone itu tidak dapat dipertemukan secara utuh dan massif ke dalam pemahaman kolektif. Lihatlah misalnya acara lawak Opera Van Java di salah satu televisi swasta, yang menghibur generasi seperti saya. Tapi yakin saja, acara itu pasti membuat bingung bagi mereka yang lahir pada dekade 1930-1940-an.

Pergeseran waktu dan zaman bisa saja menghilangkan material budaya seperti seni tradisional secara massif. Namun perubahan waktu tak akan dapat menghilangkan kerinduan tertentu terhadap seni tradisional. Rasa memiliki adalah apresiasi yang sulit ditumbuhkan jika masyarakatnya sendiri apatis dan skeptis. Seni tradisional adalah elemen kesenian yang menjadi bagian hidup masyarakat dalam suatu kaum/puak/suku/bangsa tertentu. Tradisional adalah aksi dan tingkah laku yang keluar alamiah karena kebutuhan dari nenek moyang yang terdahulu. Tradisi adalah bagian dari tradisional namun bisa musnah karena ketidakmauan masyarakat untuk mengikuti tradisi tersebut. Masyarakatlah yang menentukan seni tradisionalnya akan dibentuk menjadi apa saja.

Lalu apakah seni tradisional di tanah air kini memang benar-benar telah tergerus? Paling tidak, meletupkan kerinduan adalah salah bentuk pelestarian yang bisa berujung pada rekonstruksi ruang dan waktu.

International Bloggers Community: Award Persahabatan Sedunia

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 12 Agustus 2009 | Agustus 12, 2009


Ketika membuka blog di larut malam saya dikagetkan dengan pemberian award dari kang Enes dari blog SC Community. Jujur, penghargaan ini rasanya belum pantas bagi saya yang baru belajar ngeblog bahkan masih terlalu gaptek. Terlebih lagi award ini sangat istimewa dan tidak sembarangan sebab berskala internasional. Sesuai amanat dari pemberi award ini, maka saya posting kembali award dan artikelnya (maaf buat kang Enes sebab saya edit di beberapa sudut).

Award ini sangat menarik dan memiliki beberapa keunggulan. Keunggulannya adalah pertama, award ini bersifat internasional, kedua, award ini dapat diberikan lagi kepada teman-teman dalam link blogroll kita dengan jumlah tak terbatas, ketiga, aturan pemberian award ini tidak ketat (tidak ada PR yang harus dikerjakan), keempat, award ini bisa dijadikan sebagai backlink karena teman yang diberi award harus mencantumkan nama, nama blog, dan URL (link) blog kita sebagai pemberi award, dan kelima, yang mendapatkan award ini akan terdaftar di BloGGiSTa INFo CoRNeR dengan syarat harus memberitahukan bahwa kita telah mem-posting awardnya.


Berikut adalah aturan
BLoGGiSTa iNFo CoRNeR yang harus dilakukan oleh si penerima award:

Rules (Aturan):

  1. Link the person who tagged you (Tautkan dengan orang yang men-tag anda).
  2. Copy the image above, the rules and the questionnaire in this post (Copy gambar di atas berikut aturan dan pertanyaan pada postingan ini).
  3. Post this in one or all of your blogs (Posting award ini pada satu atau pada semua blog milik anda).
  4. Answer the four questions following these Rules (Jawab empat pertanyaan di bawah dengan mengikuti aturan yang ada).
  5. Recruit at least seven (7) friends on your Blog Roll by sharing this with them (Rekrut sedikitnya tujuh orang teman yang ada pada Blog Roll anda lalu berbagi award ini dengan mereka).
  6. Come back to BLoGGiSTa iNFo CoRNeR (PLEASE DO NOT CHANGE THIS LINK) at http://bloggistame.blogspot.com and leave the URL of your Post in order for you/your Blog to be added to the Master List (Kunjungi BloGGiST INFo CoRNeR (Jangan ubah linknya) di http://bloggistame.blogspot.com dan tinggalkan URL blog anda untuk ditambahkan ke Master List).
  7. Have Fun! (Selamat bersenang-senang!)
Questions & Your Answers (Pertanyaan & Jawaban):
  1. The person who tagged you (Orang yang men-tag anda): eNeS
  2. His/her site's title and url (Judul situs dan url-nya): SC Community, http://ruangsc.blogspot.com/
  3. Date when you were tagged (Tanggal ketika men-tag anda): August 12, 2009
  4. Persons you tagged (Orang-orang yang anda tag atau beri award):
Itulah 17 orang sahabat yang mendapatkan award dari Sastra Radio. Angka 17 untuk mengingatkan kita pada hari proklamasi kemerdekaan republik kita tercinta. Bagi sobat yang mendapatkan award ini silahkan ambil dan posting kembali award International Bloggers Community ini. Dan jangan lupa, setelah di-posting harap segera konfirmasi ke BloGGiSTa INFo CoRNeR supaya nama anda masuk Master List di sana.

Sidney Sheldon dan Novel Untuk Perempuan


Usai menuntaskan membaca beberapa novelnya sekitar dua tahun lampau membuat saya baru percaya bahwa karya-karya penulis dari Amerika inilah yang paling banyak dibaca oleh kaum perempuan di dunia. Ia adalah Shidney Sheldon yang pernah berkata, "Film adalah sebuah medium kerja sama, dan setiap orang menebak-nebak kita. Bila kita menulis novel, kita bekerja sendirian. Ini adalah kemerdekaan yang tidak ada dalam medium lain manapun." Lantas Shidney Seldon pun lebih banyak menulis novel. Kebanyakan novelnya berkisah tentang perempuan-perempuan yang bermental baja dalam menghadapi dunia yang keras di mana sering didominasi kekuasaan para lelaki yang kejam. Novel-novelnya memuat banyak ketegangan dan teknik penulisan yang dapat membuat pembaca tidak bisa beranjak dari membaca bukunya.
Alhasil, kebanyakan pembacanya di seluruh dunia adalah perempuan. Sebagaimana pengakuannya, Sheldon suka menulis tentang perempuan yang berbakat dan cakap tapi tetap mempertahankan keperempuanan mereka. Sidney meyakini, keperempuanan adalah kekuatan yang luar biasa dari perempuan dan lelaki tidak dapat tahan menghadapinya.


Sidney Sheldon lahir dengan nama Sidney Schechtel di Chicago, Illinois dari ayah seorang Yahudi-Jerman dan ibu seorang Yahudi-Rusia 11 Februari 1917. Pada usia 10 tahun, ia berhasil untuk pertama kali berjualan. Ia memperoleh AS$10 untuk sebuah puisi. Pada masa Depresi, ia melakukan berbagai pekerjaan, belajar di Universitas Northwestern dan menyumbangkan drama-drama pendek ke berbagai kelompok drama. Novelnya yang pertama diterbitkan pada 1969, The Naked Face yang memperoleh Penghargaan Edgar Allan Poe untuk Novel Pertama Terbaik dari Mystery Writers of America. Novelnya yang berikut, The Other Side of Midnight, menduduki tempat pertama dalam daftar novel terlaris New York Times seperti juga beberapa novelnya berikutnya. Beberapa di antaranya dirilis sebagai film dan miniseri TV.

Sheldon adalah satu-satunya pengarang Amerika yang memperoleh sejumlah penghargaan dalam tiga bidang karier sekaligus. Dia sebagai penulis drama Broadway, pengarang skenario TV dan film Hollywood, dan novelis yang laris. Sebagian dari karya-karya TVnya yang paling terkenal termasuk I Dream of Jeannie (1965-1970) dan The Patty Duke Show (1963-1966), ketika ia berusia 50 tahun mulai menulis novel-novelnya yang laris seperti Master of the Game (1982), dan The Other Side of Midnight Rage of Angels (1980). Pada akhirnya Sheldon tak lagi dapat menulis novel untuk kaum perempuan sebab meninggal karena komplikasi yang muncul akibat radang paru-paru pada 30 Januari 2007.




Musikalisasi Puisi, Cara Lain Memahami Puisi

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 11 Agustus 2009 | Agustus 11, 2009

Pada awal tahun 2000 saya pernah begitu keranjingan menikmati musikalisasi puisi yang pernah digelar di beberapa kampus di Makassar. Beberapa kelompok musik di Makassar hingga kini kadang tetap setia bergumul dalam genre yang unik ini di antaranya KPJ (Komunitas Pemusik Jalanan), Spasi (Serikat Pencinta Seni) Unhas, dan Karca (Karaeng Caddia) Band serta KMB(Komunitas Musik Bumi) di Bulukumba. Musikalisasi puisi mestinya memang unik sebab proses penciptaan karya musik

 dan puisi terjadi dua kali. Musikalisasi puisi adalah suatu penciptaan karya puisi yang dikemas dalam sebuah lagu, dimana bait-bait puisi menjadi syairnya. Musikalisasi sebuah puisi menjadikan sebuah puisi “lahir dua kali”. Kelahiran pertama adalah kelahiran bait-baitnya dari sang penyair, dan kelahirannya yang kedua berasal dari sang komposer, pencipta musik, penyanyi serta pemain musiknya.

Dari sudut kaidah bahasa Indonesia istilah "musik puisi", yang disebut "diterangkan menerangkan", maka kata "puisi" menerangkan kata "musik". Kata "puisi" merupakan atribut sifat dari kata utama "musik" hingga pengertian istilah "musik puisi" adalah "musik yang puitis". Istilah "musikalisasi puisi" adalah contoh istilah di mana "puisi" merupakan subjek dari perbuatan, yaitu "memusikkan puisi", atau membuat puisi jadi musik.
Musikalisasi puisi di Indonesia sebenarnya telah tumbuh subur sejak era 80-an. Seniman-seniman pelopor musikalisasi puisi di tanah air seperti Ferdi Arsi, Sapardi Djoko Damono, bahkan Emha Ainun Nadjib dapat disebut sebagai tonggak awal musikalisasi puisi di tanah air. Di ranah yang berbeda dengan tapi boleh disepakati sebagai salah satu bentuk musikalisasi puisi adalah semisal Ebiet G. Ade. Penyanyi balada itu memiliki kebiasaan menulis puisi terlebih dulu sebelum menciptakan aransemen musik bagi puisinya sebelum matang menjadi sebuah lagu yang utuh.


Musikalisasi puisi sesungguhnya dapat didesain menjadi salah satu cara untuk mendekatkan puisi kepada khalayak yang lebih luas, tidak hanya peminat sastra. Musikalisasi puisi dapat memberi penajaman makna sehingga dapat membantu masyarakat yang yang tidak berminat pada sastra akhirnya bisa memahami puisi. Puisi-puisi yang kemudian lebih populer sebagai lagu masih dapat dikategorikan sebagai musikalisasi puisi. 

Para penggemar Iwan Fals yang semula tidak mengenal WS Rendra dan karyanya akhirnya penasaran untuk membaca karya-karya Rendra. Itu terjadi ketika puisi Rendra yang berjudul "Kesaksian" dinyanyikan Iwan Fals bersama Kantata Taqwa pada tahun 1991. Kasus lainnya adalah puisi "Panggung Sandiwara" karya Taufik Ismail yang dimainkan begitu apik oleh God Bless di era 70-an. Taufik Ismail pun menulis "Pintu Surga" pada tahun 2005 yang berhasil dipopulerkan kelompok musik Gigi.


Ernest Hemingway, Inspirator Gaya Bahasa Sederhana Dalam Menulis

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 10 Agustus 2009 | Agustus 10, 2009


Jika anda pernah membaca salah satu karya Ernest Hemingway, mungkin anda akan sepakat dengan saya. Saya menemukan kisah-kisah yang realistis, manusiawi, gaya bahasa sederhana dan akrab dengan kehidupan kita sehari-hari. Dia adalah Ernest Miller Hemingway, salah seorang novelis, cerpenis dan jurnalis terpenting Amerika. Lahir pada 21 Juli 1899 di Oak Park, sebuah desa di Chicago dan wafat 2 Juli 1961. Style penulisannya yang khas dengan gaya seadanya mempunyai pengaruh terhadap perkembangan penulisan fiksi abad ke-20. Banyak dari karyanya dianggap klasik di dalam kanon sastra Amerika. Sekarang karyanya banyak digunakan sebagai pedoman kesusasteraan di Amerika.

Ernest Hemingway memperoleh hadiah Pulitzer pada tahun 1953 atas karya jurnalistiknya. Kemudian dia meraih Nobel Sastra pada 1954. Karya pertama Ernest diterbitkan pertama kali di Trapeze dan Tabula, koran dan majalah di sekolah Ernest. Setamat SMA, Ernest memilih untuk menjadi seorang penulis dan reporter pada surat kabar Kansas City Star. Selama menjadi reporter, Hemingway menerapkan prinsip-prinsip penulisan berita antara lain: menggunakan kalimat pendek, menggunakan bahasa yang mudah dan jernih pengaturannya, menggunakan kalimat padat, menggunakan kalimat positif, bukan negatif. Prinsip-prinsip ini dipegang teguh, sehingga Kansas City Star menempatkannya sebagai reporter terbaik selama seabad terakhir.

Ernest juga pernah nyaris menjadi serdadu Amerika. Pada tahun 1981, Ernest bergabung dengan tentara Amerika untuk melihat langsung perang dunia pertama. Namun ia gagal dalam tes kesehatan. Kemudian memilih bergabung dengan Palang Merah Amerika sebagai sopir ambulans. Ernest mulai mempublikasikan cerpennya tahun 1925. Buku Big Two-Hearted River adalah kumpulan cerita pendeknya yang laris di pasaran.

Tahun 1926, ia merampungkan novelnya yang berjudul The Sun Also Rises. Novel ini merupakan novel semi-autobiografi karena beranjak dari pengalamannya sebagai perantau di Paris dan Spanyol. Novel ini kemudian mendunia terutama di Eropa dan Amerika. Hingga hari ini lebih dari 100 karya fiksi maupun non-fiksi Ernest dibaca masyarakat dunia di antaranya yang terkenal seperti: ErThe Torrents of Spring, The Sun Also Rises, A Farewell to Arms, , To Have and Have Not, dan The Old Man and the Sea.

Ernest telah banyak menginspirasi para penulis fiksi untuk selalu menggunakan gaya bahasa yang simpel. Sebenarnya gaya Ernest banyak dipengaruhi oleh latar belakangnya sebagai jurnalis di mana berita-berita memang semestinya cepat dimengerti pembaca. Di lain sisi, gaya kepenulisan Ernest tentunya diabaikan oleh penulis beraliran "eksplorasi tanpa batas" dalam berbahasa.


Dua Jam Buat Si Burung Merak

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 09 Agustus 2009 | Agustus 09, 2009


Program sastra Ekspresi di RCA 102,5 FM pada hari ini memuat sesuatu yang berbeda dan istimewa. Minggu 9 Agustus 2009 pukul 11.00-13.00 Wita, program Ekspresi menggelar edisi khusus bertajuk "Selamat Jalan Si Burung Merak" sebagai penghormatan kepada WS Rendra. Ada sesi pemutaran beberapa rekaman suara pembacaan puisi si Burung Merak. Dua rekaman puisi berjudul Pamflet Cinta dan Sajak Orang Tua dikirim oleh Rendra ke studio RCA sekitar dua bulan lalu. Seperti biasa pendengar tetap boleh berpartisipasi melalui telepon live di 0413-82022 untuk membaca puisi, cerpen, esai, prosa lirik dan sebagainya.

Beberapa lagu legendaris yang diputar di tengah acara, berkaitan langsung dengan diri Rendra seperti "Willy"
ciptaan Iwan Fals pada era 80-an. Lagu itu memang sengaja dinyanyikan Iwan Fals untuk Rendra. Lagu "Kesaksian" milik Kantata Taqwa di mana lirik lagu keseluruhannya adalah puisi naratif yang ditulis Rendra. Tak ketinggalan lagu-lagu dari para musisi dan penyanyi yang merupakan sahabat-sahaab dekat Rendra semasa beliau masih hidup. Di antaranya lagu-lagu milik Mbah Surip, Oppie Andaresta dan lain-lainnya.

Rendra memang belum habis meski usia dan penyakit membuatnya berhenti berkarya. Warisannya yang berupa karya dan pemikiran untuk bangsa ini senantiasa akan tetap diapresiasi sampai kapan pun. Si Burung Merak yang juga pernah membintangi film "Yang Muda Yang Bercinta" dengan sutradaar Syumanjaya pada tahun 1977 ini akan terus mengibaskan ekor dan sayapnya. Meski dia kini telah berbaring dengan tenang di halaman Bengkel Teater tempatnya dikuburkan di sebelah Mbah Surip, sahabatnya. Beberapa hari sebelum menutup usia saat masih dirawat di rumah sakit ternyata Rendra masih sempat menulis sebuah puisi. Puisi ini belum sempat diberi judul. Puisi ini adalah karya terakhir Rendra sebelum menghadap Sang Maha Pencipta.

Aku lemas
Tapi berdaya
Aku tidak sambat rasa sakit
atau gatal

Aku pengin makan tajin
Aku tidak pernah sesak nafas
Tapi tubuhku tidak memuaskan
untuk punya posisi yang ideal dan wajar

Aku pengin membersihkan tubuhku
dari racun kimiawi

Aku ingin kembali pada jalan alam
Aku ingin meningkatkan pengabdian
kepada Allah

Tuhan, aku cinta padamu



(Oh ya, saya haturkan banyak terimakasih buat bunda Tisti Rabani dengan pemberian Pinky Awardnya yg cantik ini. Giliran saya memberikan award keren ini kepada mbak ~ieDa~ dan Hamster Land:


Seni Instalasi

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 08 Agustus 2009 | Agustus 08, 2009


Sekitar lima tahun lalu saya iseng menerima ajakan seorang teman untuk mengunjungi sebuah pameran seni instalasi di salah satu kampus di Makasar. Awalnya saya berangkat dari rasa penasaran terhadap jenis aksi seni ini. Lalu mengernyitkan dahi sekaligus kekaguman. Bagi penikmat seni di berbagai belahan dunia sebenarnya seni instalasi bukan barang baru. Namun di Indonesia seni instalasi baru populer pada tataran aksi seniman perkotaan. Bahkan kadang terkesan elitis. Padahal seni instalasi mulai diperkenalkan oleh mahasiswa-mahasiswa seni rupa pada tahun 70-an.


Seni instalasi (installation = pemasangan) adalah seni yang memasang, menyatukan, dan mengkontruksi sejumlah benda yang dianggap bisa merujuk pada suatu konteks kesadaran makna tertentu. Biasanya makna dalam persoalan-persoalan sosial-politik dan hal lain yang bersifat kontemporer diangkat dalam konsep seni instalasi ini.

Seni instalasi dalam konteks visual merupakan bentuk seni rupa yang menyajikan visual tiga dimensional yang memperhitungkan elemen-elemen ruang, waktu, suara, cahaya, gerak dan interaksi spektator para pengunjung sebagai konsepsi akhir dari olah rupa. Patung-patung, manusia, tumpukan jerami dan segala macam benda dikonstruksi membentuk makna. Tentu tidak mudah menikmatinya dalam pandangan sekejap. Membutuhkan cita rasa yang khas dari setiap individu agar bisa mencerna sebuah seni instalasi. Meski secara alami sesungguhnya seni instalasi secara tak sadar telah diciptakan manusia sejak masa purba.




 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday