Latest Post

Surau Kecil Di Kaki Bukit

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 21 Agustus 2010 | Agustus 21, 2010


adalah ilalang dan pematang. adalah jemuran padi dan matahari. adalah kita yang menjemur kerinduan di atap-atap rumbia dan di bawah pelepah. sebagaimana azan dan iqamah di waktu kanak-kanak. adalah kita yang berlarian kecil mengisi saf paling depan.

tapi kini tak kukenali letak pancuranmu yang dulu tempat membasuh wajah mungil kita dengan air wudhu. mungkin tak ada yang benar-benar hilang. jutaan akun baru di internet itu yang mengganggu kepulangan kita sesekali ke waktu kanak-kanak.

bulukumba, 11 ramadhan 1431 hijriah

Cinta Yang Biasa dan Dikunyah Melalui Doa Doa

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 20 Agustus 2010 | Agustus 20, 2010



menemuimu dari beberapa penjuru yang biasa. terasa hanya masih cinta yang biasa dan tak tahu diri mengunyah begitu banyak keinginan melalui doa-doa. 

padahal angin dan gunung-gunung pun telah ruku' abadi kepadamu tanpa pamrih surga entah sejak berapa kapan yang silam.

bulukumba, 10 ramadhan 1431 hijriah


Ilalang Bersuara Jangkrik

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 18 Agustus 2010 | Agustus 18, 2010


Puluhan pipa kecil seukuran jari orang dewasa berdiri merunduk. Batangnya yang hitam dengan tinggi sekitar setengah meter, seakan tak kuat menegakkan kepala putihnya. Mereka berdiri memanjang di sebelah kanan ruangan depan hingga lorong Common Room, Bandung, Jawa Barat, yang sengaja digelapkan dengan kain hitam dan tanpa lampu.

Begitu didekati, mereka seperti hidup dan menyapa dengan ramah. Dari kepalanya tiba-tiba merebak cahaya putih sambil diiringi suara seperti nyanyian jangkrik. Beberapa pengunjung ada yang sengaja menggoda mereka dengan hentakkan kaki agar mereka berbunyi.

Itulah Dune 4.1, karya seni interaktif Daan Roosegaarde yang dipamerkan sepanjang 13-18 Agustus ini. Dune atau duin dalam bahasa Roosegaarde, seniman muda asal Belanda, berarti sebuah bukit pasir halus yang terletak di tepi pantai. Bukit itu terbentuk oleh tiupan angin yang mudah membawa pasir. Di alam, gundukan bukit itu juga menyuburkan ilalang yang selalu menari bersama angin pembawa pasir.

Karya yang dikerjakannya selama 4 tahun tersebut memadukan peristiwa alam dan teknologi untuk dibawa ke dunia urban. Tapi master di bidang arsitek lulusan Berlage Institute itu ingin menekankan bahwa teknologi hanyalah alat yang dibutuhkan tanpa perlu diketahui wujudnya.

Roosegaarde justru ingin membangun kesadaran manusia lewat ilalang buatannya itu tentang hubungan yang dinamis dengan lingkungan sekitar. Selain lewat gerakan, juga dengan suara.

Sejak mendirikan studionya sendiri pada 2005, lulusan Academy of Fine Arts di Enschede, Belanda, itu kian mantap membuat karya seni interaktif yang tak biasa. Pada karya lain berjudul Flow 5.8, misalnya, Roosegaarde membuat dinding yang terbuat dari susunan ratusan kipas angin kecil seperti pada pendingin harddisk personal computer. Sama seperti Dune, kipas itu akan berputar ketika menangkap getaran suara atau gerakan pengunjungnya.

Sejumlah karya interaktifnya itu telah dipamerkan di sejumlah negara, seperti Inggris, Jepang, dan Italia. Di Bandung, proyeknya tersebut didatangkan, antara lain, atas kerja sama Erasmus Huis dan Hivos.

sumber: tempo
 

Video Instalasi Di Rumah Seni Cemeti

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 16 Agustus 2010 | Agustus 16, 2010


Hentakan musik tekno menyapa penonton saat masuk ke ruang depan Rumah Seni Cemeti Yogyakarta. Para pengunjung digiring menuju gerai kain hitam yang membentuk ruang empat persegi. Di dalam ruang hitam pekat itu orang seperti terperangkap bersama empat obyek yang mengesankan suasana dalam film fiksi ilmiah.

Ruangan itu hanya diterangi semburan cahaya dari proyektor video dari satu sudut dengan menampilkan citraan bergerak yang tak jelas—hitam-putih—menembus bentuk Hypercube berupa kubus transparan yang diberi tanda nomor 2. Dua bentuk bulatan di dalamnya berfungsi sebagai layar proyeksi, tapi cahaya juga menembus layar itu melintas ruangan menerpa bentuk kubus bernomor 3 di satu sudut di depannya. Citraan itu lenyap, yang tersisa hanya cahaya bergerak di badan struktur piramida dalam kubus itu, dan bentuk stalaktit seperti pada goa kapur di dalam kubus nomor 1.

Obyek berbeda muncul di sudut lain berupa bentuk transparan mirip katak dengan dua kaki berselaput dan satu mata nyalang di bagian atas. Tubuh berbentuk elips berongga itu berhiaskan dua tangan manusia. Allison Leigh Holt, 28 tahun, pembuat karya ini, mencantumkan tanda nomor 4 pada karya itu.

Karya video instalasi yang dipamerkan di Rumah Seni Cemeti 11-25 Agustus sekilas begitu asiing tapi memukau.  Transparan tapi menyembunyikan misteri di dalamnya. Karya berjudul The Beginning Was The End yang merupakan hasil proyek residensi ini menggambarkan persilangan antara konsep Jawa dan konsep ciptaannya, dan juga batasan samar antara teori ilmiah dan fiksi ilmiah.

Di luar “dunia gelap” itu, peneliti asal Amerika Serikat ini mencoba menjelaskan simbol visual pada karya instalasi videonya lewat sejumlah diagram. Mahluk Nomor 4 tadi dia beri judul Oowenology yang dia sebut ruang bersama antara diri sendiri dengan sukma. Ada diagram The Four Sodara, yang menjelaskan kepribadian manusia berdasarkan kosmologi Jawa, antara lain santosa, suci, murka, dan angkara.

Citraan yang samar juga muncul pada karya video lain berupa citraan bergerak seperti bentuk pepohonan dengan citraan monokromatik yang kadang nyaris seperti siluet. Aktor Teater Garasi Gunawan Maryanto dalam tulisan pengantarnya pada pameran ini menyebutkan, karya Holt ini merupakan upaya memahami dunia (Jawa) yang begitu jauh dari dirinya. Bagi penonton ada dua pilihan: menikmati sensasi rupa pada karya ini, atau berkubang dalam kerumitan makna simbolik.

 (berbagai sumber)

Tuhan Di Tenggorokan

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 13 Agustus 2010 | Agustus 13, 2010


Para jamaah mencari Tuhan. Tapi Tuhan tidak mereka temukan di atas sajadah. Tuhan tidak mereka jumpai di kotak celengan mesjid.

Ternyata Tuhan berada di waktu dini hari. Pada terik siang dan tenggorokan kering. Tuhan berada di perut yang lapar. Tuhan berada di telapak tangan yang memberi makanan berbuka puasa kepada sesamanya.

Tuhan, ramadhankan kami.

Peringatan Seabad Sastra Bali Modern

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 12 Agustus 2010 | Agustus 12, 2010

 
Kalangan akademisi dan sastrawan Bali, Kamis (12/8), memperingati satu abad Sastra Bali Modern (SBM) di Fakultas Sastra Universitas Udayana, Denpasar, Bali. Peringatan ditandai dengan peluncuran dan diskusi buku "Tonggak Baru Sastra Bali Modern" karya I Nyoman Darma Putra.

Dalam buku itu Darma Putra menyatakan, SBM sudah lahir pada 1910-an dengan karya-karya dari Made Pasek dan Mas Nitisastro dalam bentuk cerita pendek. "Ini berbeda dengan karya sastra tradisional sebelumnya dalam bentuk kakawin dan geguritan,"ujar Darma Putra, yang kini terlibat sebagai Dewan Juri untuk hadiah sastra Rancage itu.

Isinya juga menunjukkan tema-tema kontemporer pada saat itu seperti masalah pendidikan dan peran perempuan. Adapun pada saat itu, tutur Darma Putra, karya sastra ditulis untuk pengajaran di sekolah.

Pendapat itu mementahkan anggapan bahwa SBM baru lahir pada 1930, sebagaimana dinyatakan oleh Almarhum Profesor Ngurah Bagus. Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Udayana itu mendasarkan pendapatnya pada penerbitan novel karya I Wayan Gobiah yang diterbitkan Balai Pustaka pada 1931. Pendapat itu kemudian menjadi acuan dalam pengajaran ilmu sastra dan perkembangannya di Bali.

Darma Putra sendiri menemukan karya-karya Made Pasek dari buku-buku teks yang digunakan sekolah-sekolah pada jaman pemerintahan kolonial di Bali. Buku-buku ditemukannya dalam mikrofilm koleksi V.E. Korn di perpustakaan University of Queennsland, Australia.

Selanjutnya, koleksi itu ditambahkan Darma Putra dengan temuannya di Museum Gedong Kirtya, Singaraja, Bali. Bagi dia, karya-karya yang ditampilkan dalam buku itu juga sangat penting untuk menunjukkan interaksi masyarakat Bali dengan perkembangan dunia yang sudah berlangsung lama.

(berbagai sumber)

Sekelompok Angin Membunuh Sebaris Puisi Dalam Tidurku

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 10 Agustus 2010 | Agustus 10, 2010


Sekelompok angin membunuh sebaris puisi dalam tidurku malam ini. Apakah hujan masih berpihak? Waktu berdetak. Kalimat-kalimat cinta berteriak.

"Maa,..." seorang anak kecil membangunkan malam dan ibunya.

Sebentar lagi sahur. Sebentar lagi lapar. Dengan cinta ternyata Tuhan tidak berteriak.

Rumingkang



Menyaksikan tarian Rumingkang mungkin bisa mengingatkan kita pada kehebatan dan semangat  Saung Angklung mang Ujo,  seni Wayang Golek modern dari Giriharja I, II, III, dalang Asep Sunandar Sunarya dan keluarganya, serta budayawan lainnya  yang sukses menampilan budaya dan kesenian daerah ke mancanegara bahkan bisa komersil.

Terlepas dari prestasinya di ajang IMB (Indonesia Mencari Bakat) di Trans TV, para bocah penari “Rumingkang” memang layak diberi apresiasi. Juga terlepas dari kontroversi seputar orisinalitas karya mereka yang belakangan sempat diberitakan di beberapa media. 



Bagi yang kurang suka terhadap tari pasti berpendapat sama bahwa mereka begitu menarik dan sangat bagus dalam membawakan tarian khas Jawa Baratnya bahkan sempat tampil di daerah Jawa Timur. Mereka masih anak-anak namun dikelola dengan baik oleh pecinta budaya dan kesenian sunda sehingga bisa menampilkan tarian sunda yang begitu indah. Kemasannya cukup apik, unik, dan menarik perhatian, setiap tampil selalu dengan kostum dan gaya tarian yang berbeda-beda namun cukup menarik perhatian para penonton. Maka dengan kelompok penari inilah budaya dan kesenian daerah menjadi komersil karena bisa dikomersilkan oleh pengelola yang bisa mengolahnya.



Profil Rumingkang
RUMINGKANG INDONESIA
Alamat                        : Bandung Jawa Barat
Pimpinan sanggar   : Buyung Rumingkang
Koreografer               : Buyung Rumingkang
Manager                     : Tati Karwati
Penari                         : Aulia Permatasari  ( SMP N 30 kls 7D)
Nurul Fitri Anggraeni ( SMP N 30 kls 8G)
Febby Laniarti Rizki ( SMP Kemala Bhayangkari kls 8)
Elsa Khoerunnisa  ( SD N Gumuruh 1 kls 6)
Shenie Indriani  ( SD N Panyileukan 1 kls 5)
(data April 2010)
Untuk melihat videonya ada di sini 


(berbagai sumber) 

Lukisan Monalisa Kembali Diteliti

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 18 Juli 2010 | Juli 18, 2010

Lukisan misterius wajah Monalisa nampaknya masih terus mengundang rasa penasaran para ilmuwan maupun para penikmat lukisan. Untuk kesekian kalinya, lukisan karya Leonardo da Vinci kembali diteliti oleh para ilmuwan.

Penelitian kali ini menggunakan teknologi sinar X untuk memahami bayangan yang terlihat di wajah Monalisa, yang kini tersimpan di Museum Louvre, Paris, Prancis, seperti dikutip dari BBC News.

Monalisa adalah satu dari tujuh mahakarya Leonardo da Vinci yang diselidiki Phillipe Walter dan rekan-rekannya dari Pusat Riset dan Restorasi Museum Louvre, Paris.

Hasil investigasi yang dimuat dalam jurnal Angewandte Chemie ini menunjukkan adanya lapisan-lapisan pigmen tipis yang digunakan untuk membuat transisi cahaya dari terang ke gelap.

Penelitian ini menghasilkan informasi tentang teknik yang dikenal dengan nama sfumato, yang oleh Da Vinci dan para pelukis masa Renaisans lainnya digunakan untuk menghasilkan gradasi warna di atas kanvas.

"Salah satu hal luar biasa yang bisa Anda lihat di depan lukisan ini adalah Anda tidak bisa melihat adanya goresan kuas atau sidik jari," kata salah seorang peneliti Dr Laurence de Viguerie.

"Semuanya sangat bagus. Semuanya menyatu. Itu sebabnya sering dikatakan lukisan-lukisan ini mustahil dianalisa karena lukisan-lukisan ini tidak memberi petunjuk sama sekali," papar De Viguerie kepada BBC News.

Penelitian sebelumnya sudah terlebih dulu menegaskan aspek-aspek kunci sfumato, namun Philippe Walter dan rekan-rekannya memberikan informasi tambahan tentang bagaimana Da Vinci menguasai teknik tersebut.

Para peneliti menggunakan spektometri sinar X fluoresence (WRF) yang tidak merusak lukisan untuk menentukan komposisi dan ketebalan setiap lapisan cat.

Sembilan lukisan wajah, termasuk Monalisa, diteliti dari tujuh lukisan yang dibuat Da Vinci selama 40 tahun karirnya.

Para ilmuwan mampu merinci berbagai 'ramuan' yang digunakan Da Vinci ini untuk menciptakan efek bayangan dalam lukisan-lukisan wajah ini. Selain Monalisa, lukisan-lukisan yang diteliti, antara lain, Virgin of the Rocks, Saint John the Baptist, Annunciation, Bacchus, Belle Ferronnière, Saint Anne, the Virgin, dan the Child.

Analisa itu menjelaskan bahwa Da Vinci mampu mengaplikasikan sapuan lapisan yang tebalnya hanya beberapa mikrometer. Dan semua lapisan ini ketebalannya hanya sekitar 30-40 micrometer.

Perempuan Bertubuh Puisi

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 15 Juli 2010 | Juli 15, 2010


perempuan bertubuh puisi. kembali melewati rumahmu tanpa rindu yang dahulu. potret potret ilalang kali ini cukup dititipkan oleh sungai sungai perasaan
tanpa arus keinginan yang dahulu. kembali menatap jendela kamarmu. 
perempuan bertelapak matahari, pertemuan pertemuan  itu ternyata masih menjadikan kita puisi
tanpa kata tentang  rasa yang biasa.

makassar, 15 juli 2007

 

Menikmati Puisi-puisi Trie "Iie" Utami

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 12 Juli 2010 | Juli 12, 2010

Saat pertama kali membaca puisi-puisi penyanyi senior, Tri Utami yang dimuat di Kompas pada edisi Rabu, 20 Mei 2009 lampau saya hanya bisa memberikan kesimpulan dalam satu kalimat,"Illuminanya begitu perempuan yang bertubuh puisi dan sangat berkelamin Indonesia."

Beberapa puisi mbak Iie di bawah ini mungkin bisa mewakili kesimpulan saya di atas.

ILLUMINA 1.7

apakah ia kekasihku ?
bukan,
tapi aku cinta padanya
apakah ia belahan jiwaku ?
bukan,
namun aku separuh hatinya
apakah ia cinta padaku ?
tidak,
namun ia kekasihku
apakah ia separuh nyawaku ?
tidak,
namun aku pelengkap hidupnya.


ILLUMINA 1.6

dinginnya ia bukan udaraku
namun gigilnya milikku
sepinya ia taklah mendekatiku
namun senyapnya untukku
gelapnya ia jauh dariku
namun pekatnya dimataku
lukanya ia tak teraba
namun perihnya disekujur tubuhku
demikian aku terikat padanya
walau aku merasa buta
tak tahu siapa dia sebenarnya


ILLUMINA 1.5

ia hidup didalam halimun
seperti ia tinggal didalamnya
wajahnya
hatinya
jiwanya
isi kepalanya
berkabut
bahkan kata-katanya !!!
untukku ialah halimun itu
hanya getarannya yang sampai
diujung kuku
ditepi hati
dilasar jiwa
dipuncak teriak
ia tumbuh didalam halimun
menjadi kabutnya


ILLUMINA 1.4

ia temannya duka
maut adalah karibnya
yang ia panggil berkali-kali
berulang-ulang
seolah kekasih
namun begitulah
dunianya sunyi
sekelilingnya dingin
yang hangat cuma jemarinya
menuliskan cinta
di luas cakrawala
ia temannya duka
maut adalah cintanya
yang ia cumbui berkali-kali
berulang-ulang
serupa istri

Enam Seniman Indonesia Di Myanmar-Indonesia Art Exchange

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 11 Juli 2010 | Juli 11, 2010


Seni senantiasa universal. Berakar dari bangsa manapun, maka seni akan selalu mencari jalannya sendiri untuk berbicara tentang dirinya di hadapan publik. Pada sebuah momentum yang pas, para seniman pun sepakat dengan bahasa seni yang universal bertekad memperkuat akar budaya dan memunculkan semangat bersama yang kuat dari Asia Tenggara untuk tampil di dunia global.

Enam seniman Indonesia yakni Nyoman Sujana Kenyem dan Antonius Kho (Bali), Bahtiar Dwi Susanto, Ronald Apriyan, Muhammad Lugas Syllabus, dan Heri Purwanto (Yogyakarta) diundang mengikuti program Myanmar-Indonesia Art Exchange 2010, 13-22 Juli di Yangon, Myanmar.

Mereka bersama enam seniman Myanmar Sandy, Sandar Khine, Kyu Kyu, Hnin Darli Aung, Aye Ko, dan Kaung Su akan terlibat dalam aktivitas pameran, diskusi, simposium, dan demo seni di Yangon, kota terbesar di Myanmar.

Dalam program bertajuk Ongoing Echos ini ke-12 seniman akan saling bertukar pikiran dan pengalaman melalui proses berkesenian serta berdialog untuk saling memahami latar seni dan budaya masing-masing. Momentum ini diharapkan kian mempererat hubungan persahabatan dua negara terutama dalam bidang seni dan budaya.

Selain pameran bersama yang digelar di Beik Thano Aert Gallery, ke-12 seniman akan mengikuti simposium di Gedung New Zero Art Space. Masing-masing diminta mempresentasikan gagasan, proses, dan pandangan dalam berkarya. Pihak pengundang memberikan kebebasan kepada peserta untuk mengirimkan karya dengan media yang beragam mulai kanvas, kombinasi cetak tinta maupun pigmen, dan kemungkinan media lainnya.

 (berbagai sumber)

Seharusnya Sedang Tidak Ingin Menulis Puisi

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 06 Juli 2010 | Juli 06, 2010


seperti bendera-bendera hati yang dikibarkan
menuju pulang ke rumah
ingatkan saja kepada pagi
tentang kecambah-kecambah ide yang telah kita tanam
di dasar lembah
maka seharusnya
sedang tidak ingin menulis puisi

seperti rebana-rebana sunyi sepanjang jalan
seharusnya. maka
telanjang saja kita di sini
dibiarkan angin
lantas hujan membacanya.

lembah di sidrap, 7 juli 2010

(Masih permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada para sahabat blogger. Saya belum bisa berkunjung balik ke rumah sahabat semua disebabkan saya sementara ini hanya bisa update di warnet-warnet sepanjang jalan. Saya masih dalam perjalanan 'jurnalisme khusus' di beberapa daerah di Sulsel jadi ruang dan waktu yang sempit belum bisa memungkinkan untuk blogwalking.)
 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday