Latest Post

Kisah Lakipadada Antar Siswa SMA di Yogya Juara Menulis Cerita Rakyat Modern

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 23 Agustus 2010 | Agustus 23, 2010


Cerita rakyat ternyata masih diminati oleh anak muda di tanah air. Baru-baru ini dua siswa SMA Yogyakarta, Arum Kartika (SMA Negeri 11) dengan karya ‘Pencarian Lakipadada’ dan Lia Titi Malinda (SMA Negeri 8) dengan karya ‘Malin Kundang: Sang Induk vs Jakarta’ memenangkan Sayembara Menulis Cerita Rakyat Versi Modern 2010. Sayembara ini pertama diselenggarakan oleh Penerbit Navila dan Perpustakaan Kota Yogyakarta.

“Diharapkan, cerita rakyat tidak lagi terkesan kuno dan ‘tidak tersentuh’, tetapi menjadi cerita yang dekat dengan remaja,” kata Afia Rosdiana (Perpustakaan Kota), Sabtu (21/8), panitia sekaligus salah seorang dari tiga juri di antaranya Mulyadi Adhisupo (KR) dan Fitra Firdaus Aden (Penerbit Navila).

Pencarian Lakipadada karya Arum Kartika merupakan modifikasi kisah Lakipadada dari Toraja.

Dalam versi aslinya, Lakipadada bangsawan Toraja ketakutan terhadap maut sehingga berusaha mencari mustika tang mate demi hidup kekal. Karya ini layak menjadi pemenang karena disampaikan dalam bahasa renyah khas remaja, beralur runtut dan memiliki amanat cerita yang kontekstual.


source:
http://www.torajacybernews.com/
http://www.kr.co.id(Asp)-f

Manusia Bugis, Tradisi, Seni dan Religi

 
Hampir semua jenis kesenian tradisional di Sulawesi Selatan - selalu terkait antara religi, tradisi, dan seni. Kenyataan ini memperlihatkan kepada kita betapa kompleksnya kesenian tradisional yang ternyata tidaklah sesederhana seperti yang dibayangkan, di dalamnya terdapat inner power yang bersangkut paut dengan sukma pemilik kesenian itu. Karena itu, manakala seseorang ingin mengusung sebuah kesenian sakral di luar konteksnya tanpa memperhitungkan kesakralannya dan perasaan pendukungnya, maka sukma ini kehilangan auranya, dan yang tertinggal adalah sebuah onggokan kreativitas yang tak berjiwa.

Dalam  Bugis Religion yang terdapat dalam The Encyclopedia of Religion, Mircea Eliade antara lain menulis bahwa meskipun orang-orang Bugis telah menjadi Islam dan beriman, tapi mereka masih memelihara sejumlah tradisi yang bersumber dari elemen-elemen pra-Islam, seperti bissu dan kitab suci La Galigo.. Berbagai ajaran Islam dan Bugis yang mengandung spirit dan unsur-unsur yang sama diadaptasikan dan didialogkan yang kemudian memunculkan warna-warni kebudayaan Islam dengan wajah Bugis, atau kebudayaan Bugis dengan wajah Islam.

Patotoqé sebagai Dewata Séuawaé (dewata yang tunggal) yang diadopsi dari konsep Allah yang Maha Esa - padahal di dalam La Galigo, Dewa tidaklah tunggal, ia beranak-pinak - atau sebaliknya, kita menemukan konsep siriq yang kemudian diadaptasikan dengan konsep jihad. Puncak dari semua itu adalah dikukuhkannya Islam dalam sistem Pangngaderreng di Sulawesi Selatan yang merupakan falsafah hidup manusia Bugis, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Ada 5 unsur yang saling mengukuhkan dalam konsep Pangngaderreng ini yaitu, 1) wariq (sistem protokoler kerajaan), 2) adeq (adat-istiadat), 3) bicara (sistem hukum), 4) rapang (pengambilan keputusan berdasarkan perbandingan), dan 5) saraq (syariat Islam). Empat dari yang pertama dipegang oleh Pampawa Adeq (pelaksana adat), sedangkan yang terakhir dipegang oleh Paréwa Saraq (perangkat syariat).

La Galigo sebagai kitab suci dan sumber religi bagi penganut agama To ri Olo orang Bugis mewariskan sejumlah tradisi yang saling kait-mengait dengan berbagai upacara suci dan sakral. Dalam upacara suci dan sakral itu selalu diiringi dengan pemotongan hewan dan pembacaan sureq La Galigo. Itulah kemudian yang dikenal dengan upacara: mappano bine (upacara menidurkan benih padi) menjelang tanam padi.; maccéraq tasiq upacara 
persembahan dewa laut, ménréq baruga upacara peresmian balairung tempat berlangsungnya upacara keduniaan berlangsung; mattemu taung mengunjungi dan menziarahi kuburan leluhur mereka, dan masih banyak lagi. Semua upacara itu dibarengi berbagai kesenian dan pembacaan episode-episode La Galigo yang episodenya disesuaikan dengan isi dan upacara yang berlangsung. Kesenian yang mengiringinya antara lain séré bissu (joget bissu) maggiriq (para bissu menari sambil menusuk badannya dengan badik) massureq (membaca La galigo), maggenrang (bermain gendang), massuling lontaraq (meniup suling diiringi nyanyian La Galigo), mallae-lae, dan sebagainya.

Seluruh rangkaian upacara ini dilaksanakan oleh tiga komponen yang saling melengkapi, yaitu: 1) Pendeta Bissu, pendeta banci yang bertugas memimpin upacara ritual, 2) sanro, praktisi di belakang layar yang bertugas menyiapkan seluruh perlengkapan upacara, dan 3) passureq, pembaca dan penembang La Galigo.

Karena itu, Bissu, sanro, passureq, dan para dewan adat adalah empat warga Bugis yang merupakan pemelihara dan pengawal La Galigo yang berada di garda paling depan yang siap mempertaruhkan apa saja demi kesucian ajaran La Galigo. Mereka pernah ditangkap bahkan dibunuh pada zaman DI-TII berkecamuk di Sulawesi Selatan, mereka pernah dipaksa menjadi Hindu atau dirazia melalui “operasi tobat” di zaman Orde Baru. Mereka tidak bergeming sedikitpun.

Ini memperlihatkan bahwa religi, tradisi, dan seni dalam La Galigo di Sulawesi Selatan memperlihatkan suatu rangkaian sistem yang merupakan satu kesatuan struktural dan fungsional. Karya La Galigo itu sendiri sebagai teks yang berbentuk sastra tak perlu lagi diperdebatkan, konvensi sastranya yang 5 suku kata pada setiap larik yang mencapai ribuan bait, alurnya yang datar, kilas balik dan pembayangan, kompleksitas karakter tokohnya, dan kemasan temanya yang rumit membuat orang susah memahami bagaimana sebuah karya sastra lama ini memiliki semua dimensi sastra modern. Itulah yang menempatkannya sebagai warga sastra dunia.

Sumangeq dan ininnawa begitulah orang Bugis menyebut “sukma” dan “hati nurani” dari prinsip-prinsip hidup yang diwarisinya dari La Galigo. Dengan sumangeq dan ininnawa itulah mereka mengarungi seribu dunia dan menerjemahkannyanya ke dalam kehidupan dunia kekinian.


Surau Kecil Di Kaki Bukit

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 21 Agustus 2010 | Agustus 21, 2010


adalah ilalang dan pematang. adalah jemuran padi dan matahari. adalah kita yang menjemur kerinduan di atap-atap rumbia dan di bawah pelepah. sebagaimana azan dan iqamah di waktu kanak-kanak. adalah kita yang berlarian kecil mengisi saf paling depan.

tapi kini tak kukenali letak pancuranmu yang dulu tempat membasuh wajah mungil kita dengan air wudhu. mungkin tak ada yang benar-benar hilang. jutaan akun baru di internet itu yang mengganggu kepulangan kita sesekali ke waktu kanak-kanak.

bulukumba, 11 ramadhan 1431 hijriah

Cinta Yang Biasa dan Dikunyah Melalui Doa Doa

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 20 Agustus 2010 | Agustus 20, 2010



menemuimu dari beberapa penjuru yang biasa. terasa hanya masih cinta yang biasa dan tak tahu diri mengunyah begitu banyak keinginan melalui doa-doa. 

padahal angin dan gunung-gunung pun telah ruku' abadi kepadamu tanpa pamrih surga entah sejak berapa kapan yang silam.

bulukumba, 10 ramadhan 1431 hijriah


Ilalang Bersuara Jangkrik

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 18 Agustus 2010 | Agustus 18, 2010


Puluhan pipa kecil seukuran jari orang dewasa berdiri merunduk. Batangnya yang hitam dengan tinggi sekitar setengah meter, seakan tak kuat menegakkan kepala putihnya. Mereka berdiri memanjang di sebelah kanan ruangan depan hingga lorong Common Room, Bandung, Jawa Barat, yang sengaja digelapkan dengan kain hitam dan tanpa lampu.

Begitu didekati, mereka seperti hidup dan menyapa dengan ramah. Dari kepalanya tiba-tiba merebak cahaya putih sambil diiringi suara seperti nyanyian jangkrik. Beberapa pengunjung ada yang sengaja menggoda mereka dengan hentakkan kaki agar mereka berbunyi.

Itulah Dune 4.1, karya seni interaktif Daan Roosegaarde yang dipamerkan sepanjang 13-18 Agustus ini. Dune atau duin dalam bahasa Roosegaarde, seniman muda asal Belanda, berarti sebuah bukit pasir halus yang terletak di tepi pantai. Bukit itu terbentuk oleh tiupan angin yang mudah membawa pasir. Di alam, gundukan bukit itu juga menyuburkan ilalang yang selalu menari bersama angin pembawa pasir.

Karya yang dikerjakannya selama 4 tahun tersebut memadukan peristiwa alam dan teknologi untuk dibawa ke dunia urban. Tapi master di bidang arsitek lulusan Berlage Institute itu ingin menekankan bahwa teknologi hanyalah alat yang dibutuhkan tanpa perlu diketahui wujudnya.

Roosegaarde justru ingin membangun kesadaran manusia lewat ilalang buatannya itu tentang hubungan yang dinamis dengan lingkungan sekitar. Selain lewat gerakan, juga dengan suara.

Sejak mendirikan studionya sendiri pada 2005, lulusan Academy of Fine Arts di Enschede, Belanda, itu kian mantap membuat karya seni interaktif yang tak biasa. Pada karya lain berjudul Flow 5.8, misalnya, Roosegaarde membuat dinding yang terbuat dari susunan ratusan kipas angin kecil seperti pada pendingin harddisk personal computer. Sama seperti Dune, kipas itu akan berputar ketika menangkap getaran suara atau gerakan pengunjungnya.

Sejumlah karya interaktifnya itu telah dipamerkan di sejumlah negara, seperti Inggris, Jepang, dan Italia. Di Bandung, proyeknya tersebut didatangkan, antara lain, atas kerja sama Erasmus Huis dan Hivos.

sumber: tempo
 

Video Instalasi Di Rumah Seni Cemeti

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 16 Agustus 2010 | Agustus 16, 2010


Hentakan musik tekno menyapa penonton saat masuk ke ruang depan Rumah Seni Cemeti Yogyakarta. Para pengunjung digiring menuju gerai kain hitam yang membentuk ruang empat persegi. Di dalam ruang hitam pekat itu orang seperti terperangkap bersama empat obyek yang mengesankan suasana dalam film fiksi ilmiah.

Ruangan itu hanya diterangi semburan cahaya dari proyektor video dari satu sudut dengan menampilkan citraan bergerak yang tak jelas—hitam-putih—menembus bentuk Hypercube berupa kubus transparan yang diberi tanda nomor 2. Dua bentuk bulatan di dalamnya berfungsi sebagai layar proyeksi, tapi cahaya juga menembus layar itu melintas ruangan menerpa bentuk kubus bernomor 3 di satu sudut di depannya. Citraan itu lenyap, yang tersisa hanya cahaya bergerak di badan struktur piramida dalam kubus itu, dan bentuk stalaktit seperti pada goa kapur di dalam kubus nomor 1.

Obyek berbeda muncul di sudut lain berupa bentuk transparan mirip katak dengan dua kaki berselaput dan satu mata nyalang di bagian atas. Tubuh berbentuk elips berongga itu berhiaskan dua tangan manusia. Allison Leigh Holt, 28 tahun, pembuat karya ini, mencantumkan tanda nomor 4 pada karya itu.

Karya video instalasi yang dipamerkan di Rumah Seni Cemeti 11-25 Agustus sekilas begitu asiing tapi memukau.  Transparan tapi menyembunyikan misteri di dalamnya. Karya berjudul The Beginning Was The End yang merupakan hasil proyek residensi ini menggambarkan persilangan antara konsep Jawa dan konsep ciptaannya, dan juga batasan samar antara teori ilmiah dan fiksi ilmiah.

Di luar “dunia gelap” itu, peneliti asal Amerika Serikat ini mencoba menjelaskan simbol visual pada karya instalasi videonya lewat sejumlah diagram. Mahluk Nomor 4 tadi dia beri judul Oowenology yang dia sebut ruang bersama antara diri sendiri dengan sukma. Ada diagram The Four Sodara, yang menjelaskan kepribadian manusia berdasarkan kosmologi Jawa, antara lain santosa, suci, murka, dan angkara.

Citraan yang samar juga muncul pada karya video lain berupa citraan bergerak seperti bentuk pepohonan dengan citraan monokromatik yang kadang nyaris seperti siluet. Aktor Teater Garasi Gunawan Maryanto dalam tulisan pengantarnya pada pameran ini menyebutkan, karya Holt ini merupakan upaya memahami dunia (Jawa) yang begitu jauh dari dirinya. Bagi penonton ada dua pilihan: menikmati sensasi rupa pada karya ini, atau berkubang dalam kerumitan makna simbolik.

 (berbagai sumber)

Tuhan Di Tenggorokan

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 13 Agustus 2010 | Agustus 13, 2010


Para jamaah mencari Tuhan. Tapi Tuhan tidak mereka temukan di atas sajadah. Tuhan tidak mereka jumpai di kotak celengan mesjid.

Ternyata Tuhan berada di waktu dini hari. Pada terik siang dan tenggorokan kering. Tuhan berada di perut yang lapar. Tuhan berada di telapak tangan yang memberi makanan berbuka puasa kepada sesamanya.

Tuhan, ramadhankan kami.

Peringatan Seabad Sastra Bali Modern

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 12 Agustus 2010 | Agustus 12, 2010

 
Kalangan akademisi dan sastrawan Bali, Kamis (12/8), memperingati satu abad Sastra Bali Modern (SBM) di Fakultas Sastra Universitas Udayana, Denpasar, Bali. Peringatan ditandai dengan peluncuran dan diskusi buku "Tonggak Baru Sastra Bali Modern" karya I Nyoman Darma Putra.

Dalam buku itu Darma Putra menyatakan, SBM sudah lahir pada 1910-an dengan karya-karya dari Made Pasek dan Mas Nitisastro dalam bentuk cerita pendek. "Ini berbeda dengan karya sastra tradisional sebelumnya dalam bentuk kakawin dan geguritan,"ujar Darma Putra, yang kini terlibat sebagai Dewan Juri untuk hadiah sastra Rancage itu.

Isinya juga menunjukkan tema-tema kontemporer pada saat itu seperti masalah pendidikan dan peran perempuan. Adapun pada saat itu, tutur Darma Putra, karya sastra ditulis untuk pengajaran di sekolah.

Pendapat itu mementahkan anggapan bahwa SBM baru lahir pada 1930, sebagaimana dinyatakan oleh Almarhum Profesor Ngurah Bagus. Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Udayana itu mendasarkan pendapatnya pada penerbitan novel karya I Wayan Gobiah yang diterbitkan Balai Pustaka pada 1931. Pendapat itu kemudian menjadi acuan dalam pengajaran ilmu sastra dan perkembangannya di Bali.

Darma Putra sendiri menemukan karya-karya Made Pasek dari buku-buku teks yang digunakan sekolah-sekolah pada jaman pemerintahan kolonial di Bali. Buku-buku ditemukannya dalam mikrofilm koleksi V.E. Korn di perpustakaan University of Queennsland, Australia.

Selanjutnya, koleksi itu ditambahkan Darma Putra dengan temuannya di Museum Gedong Kirtya, Singaraja, Bali. Bagi dia, karya-karya yang ditampilkan dalam buku itu juga sangat penting untuk menunjukkan interaksi masyarakat Bali dengan perkembangan dunia yang sudah berlangsung lama.

(berbagai sumber)

Sekelompok Angin Membunuh Sebaris Puisi Dalam Tidurku

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 10 Agustus 2010 | Agustus 10, 2010


Sekelompok angin membunuh sebaris puisi dalam tidurku malam ini. Apakah hujan masih berpihak? Waktu berdetak. Kalimat-kalimat cinta berteriak.

"Maa,..." seorang anak kecil membangunkan malam dan ibunya.

Sebentar lagi sahur. Sebentar lagi lapar. Dengan cinta ternyata Tuhan tidak berteriak.

Rumingkang



Menyaksikan tarian Rumingkang mungkin bisa mengingatkan kita pada kehebatan dan semangat  Saung Angklung mang Ujo,  seni Wayang Golek modern dari Giriharja I, II, III, dalang Asep Sunandar Sunarya dan keluarganya, serta budayawan lainnya  yang sukses menampilan budaya dan kesenian daerah ke mancanegara bahkan bisa komersil.

Terlepas dari prestasinya di ajang IMB (Indonesia Mencari Bakat) di Trans TV, para bocah penari “Rumingkang” memang layak diberi apresiasi. Juga terlepas dari kontroversi seputar orisinalitas karya mereka yang belakangan sempat diberitakan di beberapa media. 



Bagi yang kurang suka terhadap tari pasti berpendapat sama bahwa mereka begitu menarik dan sangat bagus dalam membawakan tarian khas Jawa Baratnya bahkan sempat tampil di daerah Jawa Timur. Mereka masih anak-anak namun dikelola dengan baik oleh pecinta budaya dan kesenian sunda sehingga bisa menampilkan tarian sunda yang begitu indah. Kemasannya cukup apik, unik, dan menarik perhatian, setiap tampil selalu dengan kostum dan gaya tarian yang berbeda-beda namun cukup menarik perhatian para penonton. Maka dengan kelompok penari inilah budaya dan kesenian daerah menjadi komersil karena bisa dikomersilkan oleh pengelola yang bisa mengolahnya.



Profil Rumingkang
RUMINGKANG INDONESIA
Alamat                        : Bandung Jawa Barat
Pimpinan sanggar   : Buyung Rumingkang
Koreografer               : Buyung Rumingkang
Manager                     : Tati Karwati
Penari                         : Aulia Permatasari  ( SMP N 30 kls 7D)
Nurul Fitri Anggraeni ( SMP N 30 kls 8G)
Febby Laniarti Rizki ( SMP Kemala Bhayangkari kls 8)
Elsa Khoerunnisa  ( SD N Gumuruh 1 kls 6)
Shenie Indriani  ( SD N Panyileukan 1 kls 5)
(data April 2010)
Untuk melihat videonya ada di sini 


(berbagai sumber) 

Lukisan Monalisa Kembali Diteliti

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 18 Juli 2010 | Juli 18, 2010

Lukisan misterius wajah Monalisa nampaknya masih terus mengundang rasa penasaran para ilmuwan maupun para penikmat lukisan. Untuk kesekian kalinya, lukisan karya Leonardo da Vinci kembali diteliti oleh para ilmuwan.

Penelitian kali ini menggunakan teknologi sinar X untuk memahami bayangan yang terlihat di wajah Monalisa, yang kini tersimpan di Museum Louvre, Paris, Prancis, seperti dikutip dari BBC News.

Monalisa adalah satu dari tujuh mahakarya Leonardo da Vinci yang diselidiki Phillipe Walter dan rekan-rekannya dari Pusat Riset dan Restorasi Museum Louvre, Paris.

Hasil investigasi yang dimuat dalam jurnal Angewandte Chemie ini menunjukkan adanya lapisan-lapisan pigmen tipis yang digunakan untuk membuat transisi cahaya dari terang ke gelap.

Penelitian ini menghasilkan informasi tentang teknik yang dikenal dengan nama sfumato, yang oleh Da Vinci dan para pelukis masa Renaisans lainnya digunakan untuk menghasilkan gradasi warna di atas kanvas.

"Salah satu hal luar biasa yang bisa Anda lihat di depan lukisan ini adalah Anda tidak bisa melihat adanya goresan kuas atau sidik jari," kata salah seorang peneliti Dr Laurence de Viguerie.

"Semuanya sangat bagus. Semuanya menyatu. Itu sebabnya sering dikatakan lukisan-lukisan ini mustahil dianalisa karena lukisan-lukisan ini tidak memberi petunjuk sama sekali," papar De Viguerie kepada BBC News.

Penelitian sebelumnya sudah terlebih dulu menegaskan aspek-aspek kunci sfumato, namun Philippe Walter dan rekan-rekannya memberikan informasi tambahan tentang bagaimana Da Vinci menguasai teknik tersebut.

Para peneliti menggunakan spektometri sinar X fluoresence (WRF) yang tidak merusak lukisan untuk menentukan komposisi dan ketebalan setiap lapisan cat.

Sembilan lukisan wajah, termasuk Monalisa, diteliti dari tujuh lukisan yang dibuat Da Vinci selama 40 tahun karirnya.

Para ilmuwan mampu merinci berbagai 'ramuan' yang digunakan Da Vinci ini untuk menciptakan efek bayangan dalam lukisan-lukisan wajah ini. Selain Monalisa, lukisan-lukisan yang diteliti, antara lain, Virgin of the Rocks, Saint John the Baptist, Annunciation, Bacchus, Belle Ferronnière, Saint Anne, the Virgin, dan the Child.

Analisa itu menjelaskan bahwa Da Vinci mampu mengaplikasikan sapuan lapisan yang tebalnya hanya beberapa mikrometer. Dan semua lapisan ini ketebalannya hanya sekitar 30-40 micrometer.

Perempuan Bertubuh Puisi

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 15 Juli 2010 | Juli 15, 2010


perempuan bertubuh puisi. kembali melewati rumahmu tanpa rindu yang dahulu. potret potret ilalang kali ini cukup dititipkan oleh sungai sungai perasaan
tanpa arus keinginan yang dahulu. kembali menatap jendela kamarmu. 
perempuan bertelapak matahari, pertemuan pertemuan  itu ternyata masih menjadikan kita puisi
tanpa kata tentang  rasa yang biasa.

makassar, 15 juli 2007

 

Menikmati Puisi-puisi Trie "Iie" Utami

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 12 Juli 2010 | Juli 12, 2010

Saat pertama kali membaca puisi-puisi penyanyi senior, Tri Utami yang dimuat di Kompas pada edisi Rabu, 20 Mei 2009 lampau saya hanya bisa memberikan kesimpulan dalam satu kalimat,"Illuminanya begitu perempuan yang bertubuh puisi dan sangat berkelamin Indonesia."

Beberapa puisi mbak Iie di bawah ini mungkin bisa mewakili kesimpulan saya di atas.

ILLUMINA 1.7

apakah ia kekasihku ?
bukan,
tapi aku cinta padanya
apakah ia belahan jiwaku ?
bukan,
namun aku separuh hatinya
apakah ia cinta padaku ?
tidak,
namun ia kekasihku
apakah ia separuh nyawaku ?
tidak,
namun aku pelengkap hidupnya.


ILLUMINA 1.6

dinginnya ia bukan udaraku
namun gigilnya milikku
sepinya ia taklah mendekatiku
namun senyapnya untukku
gelapnya ia jauh dariku
namun pekatnya dimataku
lukanya ia tak teraba
namun perihnya disekujur tubuhku
demikian aku terikat padanya
walau aku merasa buta
tak tahu siapa dia sebenarnya


ILLUMINA 1.5

ia hidup didalam halimun
seperti ia tinggal didalamnya
wajahnya
hatinya
jiwanya
isi kepalanya
berkabut
bahkan kata-katanya !!!
untukku ialah halimun itu
hanya getarannya yang sampai
diujung kuku
ditepi hati
dilasar jiwa
dipuncak teriak
ia tumbuh didalam halimun
menjadi kabutnya


ILLUMINA 1.4

ia temannya duka
maut adalah karibnya
yang ia panggil berkali-kali
berulang-ulang
seolah kekasih
namun begitulah
dunianya sunyi
sekelilingnya dingin
yang hangat cuma jemarinya
menuliskan cinta
di luas cakrawala
ia temannya duka
maut adalah cintanya
yang ia cumbui berkali-kali
berulang-ulang
serupa istri
 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday