Latest Post

Pisau Sepi

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 15 September 2010 | September 15, 2010


sepi-sepi 
sesepi sepi seluka luka
sesepi luka seluka sepi 

sepisau sepi setajam cinta
sepisau cinta setajam luka

serindu sepi sesepi rindu
setajam sepiku sepimu

(pisau sepi
semestinya tak abadi)

bulukumba, rabu 6 syawal 1431 hijriah
 

Malam Lebaran: Bulan di atas kuburan

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 09 September 2010 | September 09, 2010



MALAM LEBARAN

Bulan di atas kuburan

Karya : Sitor Situmorang

Puisi karya Sitor Situmorang di atas adalah puisi pendek yang benar-benar pendek dan paling banyak diperdebatkan maknanya oleh para penikmat sastra. Puisi Malam Lebaran tercipta saat Sitor melintas di sebuah kuburan sunyi.

Diksi malam lebaran, bulan dan di atas kuburan,  di malam lebaran ada bulan di atas kuburan. Memang di malam lebaran 1 syawal tidak ada bulan yang muncul, tetapi itulah keahlian dari penyair Sitor ini yang membuat orang bisa bermacam-macam penafsirannya. Makna dari puisi ini lebih mengarah pada kehidupan sosial bermasyarakat sesuai tema yang ingin disampaikan oleh penulis yaitu rasa kemanusiaan.

Kata “bulan” dalam puisi di atas adalah bulan di malam lebaran. Lebaran adalah hari kemenangan setelah latihan sebulan penuh menahan hawa nafsu dalam bulan ramadhan yang memang telah disediakan Allah SWT. Lebaran bisa jadi adalah juga kekalahan; kekalahan bagi yang tak berhasil meningkatkan kualitas fitrah kemanusiaannya, juga kekalahan bagi yang tidak bisa"mudik" ke kampung spiritual-religiusitas.


 Selamat Hari Raya Idul Fitri 1431 Hijriah
Minal Aidin Wal Faidzin
Mohon Maaf Lahir dan Bathin


Di Bawah Postingan Rasaku Yang Terbaru

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 07 September 2010 | September 07, 2010


-prosa kecil buat gadis "i"

Masih ingatkah kau tentang sebuah template cantik yang kita unggah ke dalam hati pada blogwalking panjang mimpi-mimpi yang enggan berhenti? Pada mulanya mungkin hanya sebuah akun blogspot yang biasa dengan security sistem yang tak begitu kokoh.

"Aku terlalu bingung dengan kode-kode html dan javascript dalam kolom waktu yang telah diberikan Tuhan, sayang!" katamu dari balik widget-widget yang kau tanam sendiri di pekarangan tubuhmu. Aah, hanya sebuah header yang masih memerlukan sedikit sentuhan photoshop di sela-sela perjalanan panjang ini, pikirku.

"Bagaimana dengan SEO? Link-link mana saja yang mudah membuatmu terindeks di hari depan? Lantas bagaimana cinta ini dengan PageRank yang seadanya?" katamu lagi. Tapi lagi-lagi sengaja kau meninggalkan komentar tanpa URL di bawah postingan rasaku yang terbaru.

Berikan saja kepada browser yang telah kita sepakati untuk memulainya pada awal dahulu. Ataukah kepada dekstop yang kusam? Mungkin. Tapi maaf, aku terlanjur menyayangimu. Terlanjur mengabarkan rasaku melalui social bookmark itu. Entah mengapa.



Bulukumba, 28 Ramadhan 1431 Hijriah.


Para Penulis Besar Indonesia akan Diberi Penghargaan dalam Ubud Writers and Readers Festival

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 05 September 2010 | September 05, 2010


Para penulis besar dari Indonesia diberikan penghargaan "Lifetime Achievement Award" dalam hajatan bertajuk Citibank-Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) pada 6 sampai 10 Oktober 2010 mendatang. "Hal yang baru ditawarkan dalam festival yang memasuki usia ke tujuh itu adalah memberikan penghargaan "Lifetime Achievement Award kepada satu penulis besar di Indonesia," kata Direktur Festival Ubud Writers & Readers Festival, Janet De Neefe, dalam keterangan persnya di Indus Restauran jalan raya Campuhan, Kelurahan Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali.

Selain memberikan penghargaan, kata Janet, dalam hajatan yang digelar setiap tahun itu akan diadakan diskusi khusus membahas tentang sastra lisan. "Tak ketinggalan juga usai 'opening ceremony', akan ada Tribute to Gus Dur," katanya.

Setelah itu, ujar Jannet akan ada pula pembacaan sastra serta pementasan drama Tari Sutasoma oleh Cok Sawitri. "Selain itu akan ditampilkan pula tukar pengalaman serta kisah ratusan penulis dunia," ujarnya.

Selain memaparkan soal hal yang baru pada hajatan UWRF 2010 itu, kata Janet, juga diselenggarakan acara 'launching' perubahan wajah Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) menjadi Citibank-Ubud Writers & Readers Festival 2010. "Perubahan tersebut sekaligus menandai kerjasama antara Citibank dengan UWRF hingga tiga tahun mendatang," kata Ketua Yayasan Mudra Swari Saraswati, I Ketut Suardana.

(berbagai sumber)

Jalan Menuju-Mu Adalah Ketika Aku Sesekali Sengaja Mampir Istirahat dan Bahkan Sengaja Berlama-lama Tidak Memasuki Rumah-Mu

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 03 September 2010 | September 03, 2010


ah. cinta yang sedikit dan merasa berhasil memenuhinya adalah ketika aku telah mengaku berhasil menemuimu dalam ukuran hitungan semesta. 


padahal belum menjadi takbir, tasbih dan tahmid para malaikat langit pertama hingga langit ketujuh.


jalan menujumu adalah ketika aku sesekali sengaja mampir istirahat dan bahkan sengaja berlama-lama tidak memasuki rumah-mu.


cinta yang sedikit dan hanya menghapalkan kalimat-kalimat.




surau kecil di kaki bukit, 24 ramadhan 1431 hijriah 

Mental Gerilya

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 02 September 2010 | September 02, 2010



Mental birokrasi yang korup meninggalkan kotoran sosial di mana-mana. Salah satu ironi itu dapat terlihat jelas dalam lukisan-lukisan karya perupa Stefan Buana, 39 tahun, yang dipamerkan di Tony Raka Art Gallery, Ubud, Gianyar, Bali, hingga 17 September mendatang. Pameran bertajuk Mental Gerilya tersebut digelar atas kerja sama Tony Raka dengan Tembi Contemporary Jogjakarta. 

Uniknya, Stefan menggunakan bahan-bahan nonkonvensional, seperti asap lilin, lempengan besi berkarat, arang, paku, campuran serbuk kayu, dan benang, di atas kanvas. Uniknya, Stefan tak segan merobek, memaku, dan melubangi kanvas lukisannya bila cara itu dianggapnya yang paling pas untuk mewakili  hatinya.

Siluet hitam menimpa semak belukar. Sepintas, siluet itu hanya merupakan bayangan seorang tentara yang tengah mengendap-endap dalam sebuah peperangan. Tapi, bila diamati lebih jauh, bayangan dalam lukisan bertajuk Mental Gerilya itu tak sekadar mengajak penikmatnya bernostalgia dengan masa revolusi. Lukisan itu hendak menyatakan saat ini kita juga harus memiliki mental yang sama seperti para gerilyawan itu, karena kita berhadapan dengan belukar persaingan dan ketidakpastian.

Semangat baja para gerilyawan juga tegas tersirat dalam seri 12 lukisan wajah berjudul Rakyatku Bermental Gerilya. Meski bersifat karikatural, wajah-wajah yang diklaim mewakili rakyat Indonesia itu menyiratkan kegigihan, keberanian, dan kekayaan strategi untuk bertahan hidup. Beberapa di antaranya tampak berlagak seperti badut atau dengan muka yang dipenuhi gincu.
 
Stefan juga membebaskan dirinya dari satu gaya melukisnya. Selain bergaya figuratif, karikatural, dan sebagian lagi vulgar, ia memainkan gaya surealistik. Itu tampak dalam karya Unknown Warrior, ketika ia meletakkan dua jejak kaki--satu kaki bersepatu dan satu lainnya tidak--di hamparan padang pasir serta sepucuk senjata di sudut yang lain. Ada juga karya yang hanya menampilkan sebuah ruang dengan anasir lipatan-lipatan kertas bertajuk Ranah Hukumku yang Kini Gamang.

(berbagai sumber)

Mengikat Dua Potong Sajak Untuk Kuhadiahkan Kepadamu Sebelum Lebaran

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 31 Agustus 2010 | Agustus 31, 2010


mungkin tidak akan menjadi apapun. tapi sebenarnya aku tuliskan saja dengan berani. termasuk mengikat dua potong sajak untuk kuhadiahkan kepadamu sebelum lebaran.

tahun ini menyimpan terlalu banyak mimpi di atas bantal. separuhnya kita bawa keluar melalui jendela kamar tempat kita kemarin bercakap-cakap dengan hujan. lalu mungkin tidak akan menjadi apapun.

masih kau panggil aku dengan sebutan hujan di beranda tempat kita memotret matahari. tapi sudahlah, aku terlanjur menulis dua potong sajak untukmu sebelum badai.

bulukumba, 21 ramadhan 1431 hijriah 


Dadang Rukmana, Pelukis Memandang Perang

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 29 Agustus 2010 | Agustus 29, 2010


Seniman seni rupa, Dadang Rukmana memandang perang dan tragedi dari sisi berbeda. Perenungannya ini hadir dalam pameran tunggalnya di Nadi Galeri, Puri Indah Jakarta Barat, bertajuk History : Will Teach Us Nothing. Pameran  berlangsung hingga 6 September 2010. 

Dadang ingin berbicara lewat dua medium berbeda dalam sebuah gambar. Berangkat dari dokumentasi-dokumentasi perang, baik dalam dan luar negeri, Dadang “menyadurnya” dalam bentuk lukisan kanvas. Karyanya bermain dalam dua warna : hitam-putih. Bukan dengan kuas, namun ia melukis dengan amplas. Awalnya, seluruh permukaan kanvas disapu cat hitam, dan kemudian ia mulai melukis dengan mengamplas bagian-bagian yang dibuat gelap dan terang.

Gambar tidak fokus yang membuat obyek seolah berbayang lebih dari dua, merupakan racikan segar kotemporer Dadang yang berbobot. Meski memang teknik ini bukan barang baru, karena lazim digunakan pelukis untuk membuat efek, kesan tekstur atau barik, ia tengah mencoba alternatif. “Bisa dilihat, bagaimana teknik melukis realis dihela sampai pada puncak Photorealisme yang berkembang dalam seni lukis,” ujar kurator pameran, Enin Supriyanto.

Salah satu karyanya merujuk pada pembantaian hampir dua juta warga Kamboja saat rezim Khmer Merah-Polpot 1975-1979. ia melukis deretan foto diri para korban. Di dua urutan terakhir, kanvas kosong hanya disi guratan garis, maknanya bahwa kolom ini bias diisi wajah siapa saja yang menjadi korban kekejaman. Daftar korban pun ditutup dengan lukisan foto diri Dadang yang sedang tertawa. Konon, tentara Polpot paling benci dengan tawanan yang tertawa saat diinterograsi, sebelum dieksekusi.

Sejarah Indonesia juga ada porsi di pameran ini. Keruntuhan tahta Soeharto menjadi pilihan sejarah yang menarik. May, 21, 1998, Soeharto lengkap bersetelan jas dan peci, tengah menilik jam tangannya. Detik-detik reformasi itu dipertajam dengan bagian lukisan lain yang melengkapinya. Empat deret wajah penerus klan Soeharto, termasuk Tommy. Dan tiga lukisan mini kerusuhan Mei.

(berbagai sumber)

Para Penyair Islam

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 27 Agustus 2010 | Agustus 27, 2010


 Kali ini saya memposting 16 nama penyair Islam yang paling termasyhur dalam sejarah sastra dunia khususnya di jagad kepenyairan Islam. Semoga bermanfaat bagi anda, terutama jika kebetulan mencari referensi nama-nama sastrawan Islam.

 Abul 'Ala Alma'arri                                       (363-449 H)
 Abul 'Atahiya Ismail                                     (130-211 H)
 Ahmad ibnu Husain                                     (303-354 H)
 Badruzzaman                                               (Iran, wafat 1008 M)
 Basysyir ibnu Fatik                                      (Mesir abad ke-11
 Hasan Ibnu Tsabit                                        (wafat 54 H)
 Ibnu Zaidun                                                   (326-362 H, Spanyol)
 Jalaluddin Rumi                                           (sufi besar Persia abad ke-13)
 Muhammad ibnu Hani                                 (Spanyol, sezaman dgn Ibnu Zaidun)
 Muhammad Iqbal                                         (lahir 22/02/1873 M, Punjab, Pakistan)
 Muhammad Qasim Alharitsi                       (1054-1122 M)
 Muthi' ibnu Iyas                                             ( wafat 166 H)
 Qais Majnun                                                 (wafat 80 H)
 Qasim                                                           (berdiam di Kufah)
 Rasyid ibnu Ishaq                                        (lahir di Mesir 850 M)
 Umar Khayyam                                            (terkenal di Amerika dan Eropa)


sumber:  http://katamutiara.info/

Dul Abdul Rahman Menulis Sederas Sungai Lolisan

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 26 Agustus 2010 | Agustus 26, 2010

Saya merasa nyaman jika menjulukinya "penulis rindu" diakibatkan kebanyakan diksi maupun judul karyanya seringkali -atau mungkin tidak sengaja- menggunakan kata "rindu" tapi entahlah dia setuju atau tidak. Dia banyak menulis tentang banyak hal dari kampung halamannya. Novel dan cerpennya mengalir sederas Sungai Lolisan yang ada di desa kelahirannya,Tibona, Kecamatan Bulukumpa, Bulukumba.

Dul Abdul Rahman bekerja sebagai sastrawan, peneliti, dan dosen. Tulisan-tulisannya tersebar di media nasional dan lokal di Indonesia dan Malaysia.

Buku-buku sastranya yang sudah terbit:  
Lebaran Kali Ini Hujan Turun (Kumpulan Cerpen, Makassar 2006);  
Pohon-Pohon Rindu (Novel, Jogjakarta 2009);  
Daun-Daun Rindu (Novel, Jogjakarta 2010);  
Perempuan Poppo (Novel, Jogjakarta 2010).

Dua novelnya segera terbit di Jakarta dan Jogjakarta: Pohon-Pohon Meranggas dan Hutan Rindu.

Novelnya Pohon-Pohon Rindu sudah dijadikan rujukan penulisan skripsi oleh mahasiswa, sedangkan Daun-Daun Rindu dijadikan rujukan oleh seorang mahasiswa program doctor Universiti Malaya yang melakukan penelitian hubungan Indonesia-Malaysia (lebih spesifik hubungan Bugis-Melayu).

Alamat surat elektronik: dulabdul@gmail.com atau bisa berkomunikasi dengan beliau melalui Facebooknya.

Bentara Putar Film Iran

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 25 Agustus 2010 | Agustus 25, 2010

Negeri Iran tergolong salah satu negara paling maju dalam perfilman di kawasan Timur Tengah dengan sederet nama sutradara terkemuka yang diakui dunia. Film-film yang diputar sepanjang 24-25 Agustus ini berkisah tentang potret kehidupan sehari-hari yang sederhana tapi sangat manusiawi.

Film pertama, Stray Dogs (2004) karya sutradara Marziyeh Meshkini, 41 tahun, istri sutradara papan atas Iran, Mohsen Makhmalbaf. Nama Marziyeh mencuat setelah film pertamanya, The I Became A Woman, di tahun 2000 menarik perhatian dunia. Stray Dogs, yang berdurasi 93 menit, mengisahkan dua bocah, kakak beradik lelaki dan perempuan serta seekor anjing yang mereka selamatkan di jalanan kota Kabul, Afganistan, pasca kekuasaan Taliban. Mereka mencari ibu mereka yang dipenjara.

Film kedua, Buddha Collapased Out of Shame (2007), sebuah film dokumenter yang mengharukan dengan visualisasi yang puitik tentang kehidupan anak-anak di Afganistan. Film berdurasi 73 menit ini digarap oleh sutradara belia, Hana Makhmalbaf (22 tahun), putri kedua Mohsen Makhmalbaf dengan Marziyeh Meshkini. Film ini meraih penghargaan di Festival Film Montreal, Kanada, dan Festival Film San Sebastian, Spanyol.

Film ketiga, The White Balloon (1995, 90 menit), merupakan film pertama yang disutradarai oleh Jafar Panahi. Film ini mengisahkan seorang bocah perempuan berusia tujuh tahun yang berniat membeli seekor ikan emas untuk menyambut Tahun Baru Iran. Dalam budaya Iran, ikan emas adalah simbol kehidupan. Film debut ini memperoleh Camera d’Or di Festival Film Cannes.

Film keempat, Border Café (2005, 111 menit). Film arahan sutradara Kambozia Partovi ini berkisah tentang kegigihan seorang janda membuka kembali kafe di perbatasan Asia-Eropa yang dulu dikelola almarhum suaminya, hal yang secara sosial agak tabu dikerjakan kaum perempuan Iran.

Adapun film kelima, The Father (1996, 92 menit), disutradarai oleh Majid Majidi (sutradara film Children of Heaven yang dinominasikan memenangkan Oscar sebagai film asing terbaik). Film ini mengisahkan pergulatan kejiwaan seorang remaja pria berusia 14 tahun yang harus menerima kenyataan ibunya menikah lagi dengan lelaki lain, seorang polisi, setelah ayahnya meninggal. Harga dirinya sebagai anak laki-laki yang telah bekerja di kota terkoyak karena ia merasa dianggap tak mampu mendukung kebutuhan ekonomi keluarganya. Drama keluarga yang menyentuh ini berakhir dengan persahabatan kedua pria.

Film keenam, The Fish Fall on Love (2005), karya sutradara Ali Raffi. Film berdurasi 9 menit ini mengambil ide dari dongeng kuno Persia Seribu Satu Malam. Kisahnya tentang seorang perempuan paruh baya pemilik restoran di pantai Kaspia, Iran. Kemunculan mantan kekasihnya, yang telah lama menghilang dan ingin menjual dan menutup restoran, membuat si perempuan membujuk si pria membatalkan niatnya. Cara yang dilakukannya adalah terus menyajikan aneka masakan yang tiap hari berganti-ganti.

Hari pertama pemutaran pada Selasa kemarin disemarakkan dengan ulasan dan diskusi bersama dua pengamat film, yaitu Ekky Imanjaya yang baru saja menulis sebuah buku tentang film-film Iran, dan Lalu Roisamri. Acara pemutaran film ini terbuka untuk umum. Gratis dan tak perlu registrasi.

 
source: 
bentarabudaya.com
tempointeraktif.com



Kisah Lakipadada Antar Siswa SMA di Yogya Juara Menulis Cerita Rakyat Modern

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 23 Agustus 2010 | Agustus 23, 2010


Cerita rakyat ternyata masih diminati oleh anak muda di tanah air. Baru-baru ini dua siswa SMA Yogyakarta, Arum Kartika (SMA Negeri 11) dengan karya ‘Pencarian Lakipadada’ dan Lia Titi Malinda (SMA Negeri 8) dengan karya ‘Malin Kundang: Sang Induk vs Jakarta’ memenangkan Sayembara Menulis Cerita Rakyat Versi Modern 2010. Sayembara ini pertama diselenggarakan oleh Penerbit Navila dan Perpustakaan Kota Yogyakarta.

“Diharapkan, cerita rakyat tidak lagi terkesan kuno dan ‘tidak tersentuh’, tetapi menjadi cerita yang dekat dengan remaja,” kata Afia Rosdiana (Perpustakaan Kota), Sabtu (21/8), panitia sekaligus salah seorang dari tiga juri di antaranya Mulyadi Adhisupo (KR) dan Fitra Firdaus Aden (Penerbit Navila).

Pencarian Lakipadada karya Arum Kartika merupakan modifikasi kisah Lakipadada dari Toraja.

Dalam versi aslinya, Lakipadada bangsawan Toraja ketakutan terhadap maut sehingga berusaha mencari mustika tang mate demi hidup kekal. Karya ini layak menjadi pemenang karena disampaikan dalam bahasa renyah khas remaja, beralur runtut dan memiliki amanat cerita yang kontekstual.


source:
http://www.torajacybernews.com/
http://www.kr.co.id(Asp)-f

Manusia Bugis, Tradisi, Seni dan Religi

 
Hampir semua jenis kesenian tradisional di Sulawesi Selatan - selalu terkait antara religi, tradisi, dan seni. Kenyataan ini memperlihatkan kepada kita betapa kompleksnya kesenian tradisional yang ternyata tidaklah sesederhana seperti yang dibayangkan, di dalamnya terdapat inner power yang bersangkut paut dengan sukma pemilik kesenian itu. Karena itu, manakala seseorang ingin mengusung sebuah kesenian sakral di luar konteksnya tanpa memperhitungkan kesakralannya dan perasaan pendukungnya, maka sukma ini kehilangan auranya, dan yang tertinggal adalah sebuah onggokan kreativitas yang tak berjiwa.

Dalam  Bugis Religion yang terdapat dalam The Encyclopedia of Religion, Mircea Eliade antara lain menulis bahwa meskipun orang-orang Bugis telah menjadi Islam dan beriman, tapi mereka masih memelihara sejumlah tradisi yang bersumber dari elemen-elemen pra-Islam, seperti bissu dan kitab suci La Galigo.. Berbagai ajaran Islam dan Bugis yang mengandung spirit dan unsur-unsur yang sama diadaptasikan dan didialogkan yang kemudian memunculkan warna-warni kebudayaan Islam dengan wajah Bugis, atau kebudayaan Bugis dengan wajah Islam.

Patotoqé sebagai Dewata Séuawaé (dewata yang tunggal) yang diadopsi dari konsep Allah yang Maha Esa - padahal di dalam La Galigo, Dewa tidaklah tunggal, ia beranak-pinak - atau sebaliknya, kita menemukan konsep siriq yang kemudian diadaptasikan dengan konsep jihad. Puncak dari semua itu adalah dikukuhkannya Islam dalam sistem Pangngaderreng di Sulawesi Selatan yang merupakan falsafah hidup manusia Bugis, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Ada 5 unsur yang saling mengukuhkan dalam konsep Pangngaderreng ini yaitu, 1) wariq (sistem protokoler kerajaan), 2) adeq (adat-istiadat), 3) bicara (sistem hukum), 4) rapang (pengambilan keputusan berdasarkan perbandingan), dan 5) saraq (syariat Islam). Empat dari yang pertama dipegang oleh Pampawa Adeq (pelaksana adat), sedangkan yang terakhir dipegang oleh Paréwa Saraq (perangkat syariat).

La Galigo sebagai kitab suci dan sumber religi bagi penganut agama To ri Olo orang Bugis mewariskan sejumlah tradisi yang saling kait-mengait dengan berbagai upacara suci dan sakral. Dalam upacara suci dan sakral itu selalu diiringi dengan pemotongan hewan dan pembacaan sureq La Galigo. Itulah kemudian yang dikenal dengan upacara: mappano bine (upacara menidurkan benih padi) menjelang tanam padi.; maccéraq tasiq upacara 
persembahan dewa laut, ménréq baruga upacara peresmian balairung tempat berlangsungnya upacara keduniaan berlangsung; mattemu taung mengunjungi dan menziarahi kuburan leluhur mereka, dan masih banyak lagi. Semua upacara itu dibarengi berbagai kesenian dan pembacaan episode-episode La Galigo yang episodenya disesuaikan dengan isi dan upacara yang berlangsung. Kesenian yang mengiringinya antara lain séré bissu (joget bissu) maggiriq (para bissu menari sambil menusuk badannya dengan badik) massureq (membaca La galigo), maggenrang (bermain gendang), massuling lontaraq (meniup suling diiringi nyanyian La Galigo), mallae-lae, dan sebagainya.

Seluruh rangkaian upacara ini dilaksanakan oleh tiga komponen yang saling melengkapi, yaitu: 1) Pendeta Bissu, pendeta banci yang bertugas memimpin upacara ritual, 2) sanro, praktisi di belakang layar yang bertugas menyiapkan seluruh perlengkapan upacara, dan 3) passureq, pembaca dan penembang La Galigo.

Karena itu, Bissu, sanro, passureq, dan para dewan adat adalah empat warga Bugis yang merupakan pemelihara dan pengawal La Galigo yang berada di garda paling depan yang siap mempertaruhkan apa saja demi kesucian ajaran La Galigo. Mereka pernah ditangkap bahkan dibunuh pada zaman DI-TII berkecamuk di Sulawesi Selatan, mereka pernah dipaksa menjadi Hindu atau dirazia melalui “operasi tobat” di zaman Orde Baru. Mereka tidak bergeming sedikitpun.

Ini memperlihatkan bahwa religi, tradisi, dan seni dalam La Galigo di Sulawesi Selatan memperlihatkan suatu rangkaian sistem yang merupakan satu kesatuan struktural dan fungsional. Karya La Galigo itu sendiri sebagai teks yang berbentuk sastra tak perlu lagi diperdebatkan, konvensi sastranya yang 5 suku kata pada setiap larik yang mencapai ribuan bait, alurnya yang datar, kilas balik dan pembayangan, kompleksitas karakter tokohnya, dan kemasan temanya yang rumit membuat orang susah memahami bagaimana sebuah karya sastra lama ini memiliki semua dimensi sastra modern. Itulah yang menempatkannya sebagai warga sastra dunia.

Sumangeq dan ininnawa begitulah orang Bugis menyebut “sukma” dan “hati nurani” dari prinsip-prinsip hidup yang diwarisinya dari La Galigo. Dengan sumangeq dan ininnawa itulah mereka mengarungi seribu dunia dan menerjemahkannyanya ke dalam kehidupan dunia kekinian.


 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday