Latest Post

"Sesuatu yang Terlupakan" di Pasar Seni ITB

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 10 Oktober 2010 | Oktober 10, 2010


Perhelatan Art Fair di New York, Amerika Serikat, menjadi cikal bakal lahirnya Pasar Seni ITB yang untuk kesekian kalinya digelar pada 10 Oktober 2010 tepat jam 10 selama 10 jam. But Muchtar dan Abdul Jalil Pirous yang pernah ikut Art Fair pada 1970 itu kemudian mewujudkannya di Bandung pada 1972.

Menurut AD Pirous, ia merasa takjub ketika mengikuti Art Fair yang diadakan tiap musim gugur itu. Peserta hanya diminta membawa tongkat dan tali untuk memajang karya seni buatan mereka untuk dijual dengan harga murah. Acara itu diramaikan oleh seniman lama dan baru, juga ibu-ibu rumah tangga yang menghasilkan rajutan.

Walau harganya murah, penjual masih bisa untung. Pirous sendiri mengaku, dari penjualan karya grafisnya bisa membeli mobil bekas sepulangnya dari Amerika Serikat. Saat itu ia dikirim ITB untuk mengembangkan program studi baru.

Kemeriahan dan kesederhanaan Art Fair kemudian dibawa pulang ke Bandung. Bersama dosen Seni Rupa yang juga pematung, But Muchtar, ia kemudian menggagas Pasar Seni ITB pada 1972. 
Panitia saat itu menghadirkan karya pelukis A. Sadali, Mochtar Apin, Popo Iskandar, Rita Widagdo, dan para alumni Seni Rupa ITB lainnya. Selain itu, kata Pirous, mereka mendatangi para perajin dan seniman otodidak di sekitar Bandung agar ikut di Pasar Seni. "Suasananya ramai, sukses, jadi ditunggu-tunggu dan dibicarakan orang," katanya.

Selain menjadi arena jual beli, Pasar Seni perdana itu juga menampilkan pertunjukan. Menurut Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB Biranul Anas, Pasar Seni saat itu pertama kali menampilkan rampak kendang dan mengangkat kembali kesenian tradisional daerah Subang, Jawa Barat. "Ketika itu juga mengenalkan kelompok musiknya Sawung Jabo," kata Anas yang pada 1972 itu masih mahasiswa Seni Rupa ITB. 

Sejak itu, Pasar Seni rutin digelar walau selang waktunya acak, yaitu 1976, 1980, 1984, 1988, 1990, 1995, 2000, 2006, dan 2010. Perhelatan yang ke-10 kali ini yang sengaja dibuat pada tanggal 10 bulan 10 tahun 2010 selama 10 jam, bertema "Sesuatu yang Terlupakan". Panitia ingin menghadirkan nilai-nilai dan seni tradisi masyarakat yang telah terlupakan.

 (berbagai sumber)

Sang Penanda Setelah Sang Pencerah

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 08 Oktober 2010 | Oktober 08, 2010



Film Sang Pencerah karya sutradara muda Hanung Bramantyo digadang-gadang akan dibikinkan film lanjutannya. Rencananya, film tersebut sudah bisa ditonton masyarakat Indonesia saat lebaran idul fitri tahun depan.

Film itu diberi judul Sang Penanda. Sang Penanda bercerita seputar sepak terjang KH Ahmad Dahlan di bumi nusantara, setelah Muhammadiyah lahir. Di film tersebut, pendiri Nahdatul Ulama, K.H, Hasyim Asyari dan Soekarno muda juga muncul. 

Dalam sequel ini akan ditampilkan sejarah Islam Indonesia secara utuh dengan tujuan agar tidak ada pengkotak-kotakan umat. Maka dimunculkanlah sosok K.H, Hasyim Asyari, pendiri NU dan Soekarno muda yang mewakili kaum nasionalis-moderat. Film lanjutan Sang Pencerah tetap dibesut Hanung Bramantyo. 

(berbagai sumber)

Mimbar Teater Indonesia 2010 Mengulas Putu Wijaya

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 05 Oktober 2010 | Oktober 05, 2010


Sepanjang Oktober ini Indonesia sedang merayakan pesta seni yang sesungguhnya dan tak hanya berlangsung di Jakarta, tapi juga di kantong-kantong budaya. Selama sepekan, Mimbar Teater Indonesia (MTI) akan mengadakan perhelatannya yang kedua di Solo. Festival teater  berlangsung mulai Senin, 4 hingga 10 Oktober mendatang di Taman Budaya Jawa Tengah.

MTI 2010 akan membahas satu tokoh seniman gaek, Putu Wijaya. Beberapa grup teater akan membawakan naskah Putu, termasuk Teater Mandiri, yang ia pimpin, yang akan membawakan lakon Kemerdekaan. Selain itu, Putu akan membawakan monolog pada festival tersebut.

Grup teater yang akan tampil nantinya adalah Teater Lungid (Surakarta), Kelompok Masyarakat Batu (Palu), Seni Teku (Yogyakarta), Teater Mandiri (Jakarta), dan Teater Tanah Air (Jakarta). Adapun beberapa penyaji monolog yang ikut meramaikan MTI 2010, di antaranya Butet Kartaradjasa (Yogyakarta), Herlina Syarifudin (Jakarta), Wawan Sofwan (Bandung), Ikranagara (Jakarta), dan banyak aktor lainnya.

Selain itu, sebagian karya Putu akan dibicarakan dalam seminar. Pembicara seminar yang akan berpartisipasi adalah Afrizal Malna (Yogyakarta), Benny Yohanes (Bandung), Cobbina Gillit (Amerika Serikat), Fahmi Shariff (Makassar), Michael Bodden (Kanada), Koh Yung Hun (Korsel), Aslan Abidin (Makassar), Tamara Aberle (Inggris), dan Nandang Aradea (Banten).



Siapakah Pemenang Nobel Sastra Tahun Ini?

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 03 Oktober 2010 | Oktober 03, 2010


Penyair Swedia, Tomas Transtromer termasuk difavoritkan memenangi Hadiah Nobel Sastra tahun ini. Dia disebut-sebut bersaing dengan tiga penyair lain yakni Adam Zagajewski dari Polandia, Ko Un dari Korea Selatan, dan Adonis dari Suriah.

Pengarang nonpenyair pertama di daftar taruhan itu adalah Nestor Amarilla, dramawan Paraguay yang dikabarkan telah masuk daftar pendek penerima Nobel Sastra, meskipun daftar calon masih dirahasiakan penuh oleh panitia Nobel.

Terdapat pula nama-nama pengarang Amerika Serikat, Thomas Pynchon dan Philip Roth. Empat pengarang perempuan yang juga dijagokan adalah Joyce Carol Oates, Margaret Atwood, Alice Munro dan A.S. Byatt.

Namun, Nobel Sastra diduga punya pandangan bias anti-Amerika dalam komitenya. Pada 2008, anggota komite, Horace Engdahl, dikutip telah menyebut sastra Amerika "terlalu picik", yang memicu tanggapan marah dari para pengarang terkenal Amerika.

Per Wastberg, pengarang Swedia dan ketua komite tempat Engdahl bergabung, membantah adanya sentimen Amerika di antara lima anggota komitenya. "Kami sangat berusaha untuk mempelajari dan mamasukkan semua daftar calon--Arab, Cina, Jepang, Indonesia, dan jelas sastra Amerika yang punya dampak semacam itu," katanya. 

Pemenang Nobel Sastra pada tahun ini akan diumumkan antara 7 atau 14 Oktober. 


 (berbagai sumber)





Hari Batik Nasional 2 Oktober

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 02 Oktober 2010 | Oktober 02, 2010


Setahun silam, Presiden SBY mencanangkan 2 Oktober sebagai Hari Batik. Setahun silam dunia mengakui batik sebagai hak milik Indonesia.

SBY mencanangkan 2 Oktober sebagai hari batik kala mengunjungi masyarakat korban gempa Padang Pariaman, di Balaikota Pariaman, Sumatera Barat, Jumat (2/10/2009).

United Nations Educational, Scientific, and Culture Organization (UNESCO) juga sudah mengakui batik sebagai milik Indonesia. Penghargaan juga langsung diberikan UNESCO di Abu Dhabi, 2 Oktober tahun lalu.

Pengakuan ini layak diapresiasi sebagai kebanggaan atas kemenangan budaya nasional. Sebab, batik adalah salah satu komoditas yang sudah mulai diproduksi oleh negara tetangga, Malaysia. SBY pun mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk tidak melupakan batik dan memakai batik tiap tanggal 2 Oktober.

"Kalau kita sudah mendapatkan, kita syukuri. Kedua, mari kita lestarikan, paling tidak memakai batik tiap tanggal 2 Oktober," imbau SBY, dikutip dari berbagai media nasional saat itu.

Apakah SBY dan kita semua telah memakai batik untuk menghormati Hari Batik di hari ini?


Q! Film Festival Layak Disensor

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 01 Oktober 2010 | Oktober 01, 2010



Seni termasuk film boleh diselenggarakan dalam berbagai bentuknya di tanah air. Kesemuanya boleh jika telah melalui proses aturan yang ada di tanah air.

Pemerintah melalui Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik telah menegur penyelenggara Q-Film Festival terkait dugaan pornografi atau perilaku menyimpang dari kebudayaan Indonesia dalam sejumlah adegan film yang diputar dalam festival itu. Pihak penyelenggara harus bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri karena pemutaran film mendapat dukungan pusat kebudayaan negara asing.

Dipastikan film-film yang akan ditayangkan dalam fesival itu belum lulus sensor. Padahal, semua film yang akan diputar di Indonesia harus melalui tahap sensor oleh Lembaga Sensor Film.  Festival apapun boleh diselenggarakan tetapi harus disensor dulu.

Penolakan terhadap Q-Film Festival sebelumnya dilontarkan Front Pembela Islam. FPI melaporkan pengelola laman Qminity dan panitia Q-Film Festival ke Polda Metro Jaya.

(berbagai sumber) 

Jelang Kompetisi Teater Indonesia 2010

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 30 September 2010 | September 30, 2010


Sebulan menjelang penyelenggaraan Kompetisi Teater Indonesia 2010 (KTI 2010), panitia penyelenggara yang terdiri dari Dewan Kesenian Surabaya dan Lintas Masyarakat Teater Jawa Timur menggelar acara peluncuran sekaligus pemasangan patung WS Rendra di Taman Budaya Jawa Timur, Jalan Genteng Kali 85, Surabaya, hari ini Kamis (30/9).

Patung WS Rendra setinggi 3 meter yang dibuat oleh pematung Bambang Kuncung itu akan menjadi petanda selama ajang kompetisi berlangsung 1-8 november mendatang.

Acara peluncuran akan menghadirkan orasi budaya oleh Budayawan Akhudiat. Juga dimeriahkan dengan pertunjukan perkusi Jajan Pasar dan parade puisi WS Rendra yang dibacakan oleh seniman dan tokoh Jawa Timur.

Diana AV Sasa , Bagian Humas, mengatakan, “Para penyair dan seniman lainnya yang akan ambil bagian di antaranya adalah Sabrot D Malioboro, Pendeta Simon Filantropa, Mardi Luhung, Luhur Kayungga, Leres Budi Santoso, Maemura, Deny Aryanti, Ndindy Indijati, Gita Pratama, Niken Probo, Ribut Wijoto, Dedy Obenk, W Haryanto, dan Harwi Mardianto.”

Kompetisi Teater Indonesia yang dipersembahkan untuk WS Rendra ini adalah bentuk apresiasi terhadap kiprah Rendra dalam dunia teater sebagai tonggak teater modern di Indoenesia. WS Rendra dalam mengembangkan Bengkel Teaternya banyak mencontohkan laku dalam berteater sehingga mencerminkan kehidupan keseharian dan menjadi kerja komunal. Rendra menjadikan teater sebuah tontonan yang menjadi bagian dari kehidupan penontonnya.

Dalam kegiatan ini diharapkan komunitas-komunitas teater di Indonesia dapat saling bertukar wacana dan pengalaman. Masyarakat pun mendapat kesempatan untuk menikmai seni pertunjukan yang tidak melulu metro pop seperti yang selama ini dihadirkan media visual elektronik. Ajang ini sekaligus merupakan upaya menjejaki kembali upaya-upaya pencarian bibit baru teater Indonesia

Film Igitur: Dari Makassar Untuk Sastra

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 28 September 2010 | September 28, 2010


Film berucap melalui serangkaian sistem tanda yang bertumpuk dan kompleks, sedangkan sastra berucap dengan sistem tanda yang sangat sederhana berupa bahasa tulis. Sistem tanda pada film dan sastra memiliki kesamaan yaitu terdiri dari ikon, indeks, dan simbol.

 Lalu sebuah film untuk sastra dipersembahkan oleh sekelompok seniman dan sineas muda di Makassar. Di awal hingga akhir Oktober Laskar Kelor Production akan menggelar shooting film Igitur (The Last Days of Poetry) di Makassar. Film ini digarap secara indie dan bersifat non profit yang dibuat untuk menggerakkan kecintaan publik terhadap sastra.

Film Igitur diproduseri oleh Abdul Haris Awie dan ide cerita DR. Ahyar Anwar. Skenario ditulis oleh Anis K Al Asyari. Sutradara: Ahmad Wildan Nomeiru dibantu Co Sutradara Dahri Dahlan dan Publik Relation, penyair muda Andhika Mappasomba.

Casting pemain akan dilakukan dalam waktu dekat di kampus Sastra UNM Parangtambung, Makassar pada awal september 2010. Waktu tepatnya akan diumumkan melalui akun Facebook Andhika Mappasomba.

Take gambarnya juga akan dilaksanakan di Makassar. Kepada anda yang tertarik, dapat mengirimkan biodata/autobiografi lengkap dengan art experiencen ke akun Facebook Andhika Mappasomba. Berminat? Proyek ini adalah sebuah kerja sosial.


Pakarena dan Multi Tafsirnya

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 25 September 2010 | September 25, 2010


Sepuluh penari perempuan berpakaian baju kurung sederhana melingkar mengepung enam lelaki penabuh perkusi. Genderang bertalu sangat rampak, menjadikannya riuh dan emosional. Bukan kemarahan, tetapi justru sebuah kegembiraan.

Para penari itu tak berdendang riang, tetapi justru bergerak pelan. Walaupun ritmik musik perkusinya sangat padat, tak juga menggoda penari-penari itu menggerakkan kaki dengan lincah.

Itulah Akkarena Sombali, sebuah tari kontemporer yang berangkat dari tradisi Makassar, Sulawesi Selatan. Tarian ini diciptakan oleh koreografer Wiwiek Sipala . Tarian ini kerap menghiasi panggung-panggung seni di berbagai even nasional. Terakhir menjadi sajian pertunjukan dalam pembukaan Festival Salihara Ketiga di Komunitas Salihara, Pasar Minggu, Jakarta, Kamis malam lalu.

Sebuah paradoks. Begitulah Wiwiek menyajikan tarian yang ditafsir ulang dari Pakarena, tari ritual masyarakat Makassar sebagai rasa syukur kepada dewa. Musik yang sangat ritmis tak selalu linier dengan gerakan yang riang. Justru gerakan penari-penari itu diciptakan lebih kontemplatif. Secara visual, terkesan mencekam namun terbentur oleh musik yang sangat padat. 

Pakarena biasanya diselenggarakan 3 sampai 7 hari, yang dimulai dari sore hingga menjelang fajar. Tapi, Wiwiek memadatkannya menjadi sekitar 28 menit saja. Tentu, riset yang panjang terhadap tari ini telah ia lakukan sejak 1978. Garapannya lebih fokus menafsirkan Pakarena sebagai tarian ritual yang lebih menggambarkan syukur, doa, dan keikhlasan

Pakarena terdiri atas 12 babak. Tetapi dalam tafsir ulang ini, Wiwiek hanya memasukkan 9 babak. Selebihnya belum ia jamah dan dirasa belum perlu untuk garapan ini. Konsep geraknya sangat sederhana, tetapi justru membutuhkan penjiwaan yang matang untuk melafalkan gerakan-gerakan itu. Wiwiek selalu memaknai setiap gerakan yang ia buat. Misalnya, sikap tubuh penari yang condong ke depan dan kemudian menarik diri menjadi tegap lagi, di situ Wiwiek sedang berbicara tentang kehidupan manusia.

Wiwiek juga menafsir ulang musik yang dipakai. Dulu, mereka memakai dulang, yaitu piringan logam yang fungsinya mirip dengan kentongan. "Saya mencari warna musik yang sama, karena alat ini sekarang sudah tidak ada," katanya. Musik pengiring lebih bersifat perkusif. Hanya terompet kecil yang sesekali mengisi kalimat-kalimat melodisnya.


BBC Rayakan Shakespeare pada 2012

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 23 September 2010 | September 23, 2010


Pada tahun 2012, BBC akan merayakan karya dan warisan abadi Shakespeare sebagai bagian dari acara 2012, festival budaya terbesar yang pernah dipentaskan di Inggris.

Kehidupan dan karya William Shakespeare akan dirayakan BBC dalam berbagai acara yang disiarkan pada 2012. Acara itu akan menampilkan empat tafsir atas drama paling terkenal sang pengarang dan film dokumenter tentang kehidupan pujangga besar Inggris itu. 

Acara ini tampaknya ingin mengulang sukses adaptasi Hamlet dari BBC Two, yang dibintangi David Tennant.

"Pada 2012, bersamaan dengan acara olah raga terbesar dunia, kami akan merayakan genius dari salah satu pengarang terbesar, William Shakespeare, dalam sebuah mata acara, yang terdiri dari drama, dokumenter dan film, yang akan menggali politik Shakespeare, konteks dia menulis dan kenikmatan murni untuk sungguh-sungguh memahami tokoh-tokohnya dan penggunaan bahasanya," kata Direktur BBC Vision, Jana Bennett, dalam acara BBC's Vision Forum pada Rabu (22/9).

sumber: BBC News 
  

Nietzche Juga Penyair

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 21 September 2010 | September 21, 2010


Ungkapannya yang paling terkenal sepanjang sejarah, berbunyi, "Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya. Bagaimanakah kita, pembunuh dari semua pembunuh, menghibur diri kita sendiri? Yang paling suci dan paling perkasa dari semua yang pernah dimiliki dunia telah berdarah hingga mati di ujung pisau kita sendiri. Siapakah yang akan menyapukan darahnya dari kita? Dengan air apakah kita dapat menyucikan diri kita? Pesta-pesta penebusan apakah, permainan-permainan suci apakah yang perlu kita ciptakan? Bukankah kebesaran dari perbuatan ini terlalu besar bagi kita? Tidakkah seharusnya kita sendiri menjadi tuhan-tuhan semata-mata supaya layak akan hal itu?

Filsuf Jerman, Friedrich Nietzche (1844-1900), termasuk pemikir yang paling berpengaruh di zaman modern. Sebagai filsuf, dia sudah dikenal di berbagai negeri, termasuk Indonesia. Tapi, tahukah Anda bahwa pengarang Also Sprach Zarathustra itu juga seorang penyair?

Untuk memperkenalkan sosok Nietzche sebagai penyair, Goethe Institut menerbitkan kumpulan puisi sang filsuf dalam bahasa Indonesia, Syahwat Keabadian, yang diluncurkan di GoetheHaus, Jalan Sam Ratulangi No.9-15, Menteng, Jakarta Pusat, pada Senin (20/9) pukul 19.30 WIB.

Puisi-puisi itu diterjemahkan oleh sastrawan Indonesia, Agus R. Sarjono, dan pengamat sastra dari Universitas Bonn, Jerman, Berthold Damshäuser, untuk Seri Puisi Jerman VI. Kedua penulis sudah menyunting Seri Puisi Jerman sejak 2003 dan melahirkan buku-buku puisi terjemahan dari karya para sastrawan Jerman, yakni  Rainer Maria Rilke, Bertolt Brecht, Paul Celan, Johann Wolfgang von Goethe dan Hans Magnus Enzensberger.

Buku Nietzsche yang diterbitkan Komodo Books ini merupakan kumpulan puisi Nietzsche dalam bahasa Indonesia pertama sekaligus memperkenalkan Nietzsche sebagai seniman bahasa, yang, di samping Martin Luther dan Goethe, dianggap pembaharu bahasa Jerman yang terpenting. Buku ini memuatkan puisi-puisi Nietzsche dari semua fase kepenyairannya dan disajikan secara kronologis.Acara peluncuran dan pembacaan puisi Nietzsche ini juga digelar di berbagai kota selama 20-29 September. Berikut ini jadwalnya.

22 September 2010, 19:30 WIB
Cine Club Fakultas Bahasa & Seni Universitas Negeri Yogyakarta, Karang Malang, Yogyakarta

24 September 2010, 19:30 WIB
Toko Buku Toga Mas Petra, Jl. Pucang Anom Timur No. 5, Surabaya

27 September 2010, 19:30 WIB
Goethe-Institut Bandung, Jl. L.L.R.E. Martadinata 48, Bandung

29 September 2010, 19:30 WIB
FKIP Universitas Tirtayasa Banten, Auditorium Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Jl. Raya Jakarta Km. 4, Pakupatan, Serang, Banten

 (berbagai sumber)

Sang Pencerah

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 18 September 2010 | September 18, 2010



Sebuah gambar peta dunia dibentangkan di dinding. Di hadapan para kiai sepuh yang memandangnya sinis, pemuda 21 tahun itu dengan tegas mengatakan arah kiblat semua masjid dan langgar harus diubah. Dengan sebuah kompas, dia membuktikan arah kiblat yang selama ini diyakini ke barat ternyata bukan menghadap ke Ka’bah di Mekah, melainkan ke Afrika. “Tak perlu mengubah arah masjid, cukup menggeser posisi kiblat saja,” katanya.

Usul yang dianggap ekstrim itu membuat para kiai, termasuk penghulu Masjid Agung Kauman, Kiai Cholil Kamaludiningrat (Slamet Rahardjo), meradang. Ahmad Dahlan, anak muda yang lima tahun menimba ilmu di Kota Mekah, dianggap membangkang aturan yang sudah berjalan selama berabad-abad lampau. Apalagi bukan sekali ini Ahmad Dahlan (Lukman Sardi) membuat para kiai naik darah.

Dalam khotbah pertamanya sebagai khatib, dia menyindir kebiasaan penduduk di kampungnya, Kampung Kauman, Yogyakarta. “Dalam berdoa itu cuma ikhlas dan sabar yang dibutuhkan, tak perlu kiai, ketip, apalagi sesajen,” katanya. Walhasil, Dahlan dimusuhi. Dahlan, yang piawai bermain biola, dianggap kontroversial, bahkan disebut-sebut sebagai kiai kafir. Langgar kidul di samping rumahnya, tempat dia salat berjemaah dan mengajar mengaji, bahkan sempat hancur diamuk massa lantaran dianggap menyebarkan aliran sesat.

Meski sempat putus asa, Dahlan, yang juga dituduh sebagai kiai kejawen karena dekat dengan organisasi Boedi Oetomo, tetap pada niat awalnya: menyebarkan ajaran Islam secara benar. Islam sebagai agama yang mampu memperbaiki kesejahteraan masyarakat melalui pendidikan, rahmatan lil alamin, bukan agama mistik dan takhayul seperti anggapan kalangan Eropa dan kaum modern saat itu. Maka, bersama istri tercinta, Siti Walidah (Zaskia Adya Mecca), dan lima murid setianya, Sudja (Giring Nidji), Sangidu (Ricky Perdana), Fahrudin (Mario Irwinsyah), Hisyam (Dennis Adishwara), dan Dirjo (Abdurrahman Arif), dia membentuk organisasi Muhammadiyah pada 19 November 1912.

Itulah sepenggal kisah Ahmad Dahlan (1868-1923) yang tersaji dalam film Sang Pencerah. Film garapan sutradara Hanung Bramantyo itu membawa kita mengenal lebih dekat tokoh pendiri Muhammadiyah yang selama ini namanya lebih dikenal sebagai nama jalan semata. Selama 109 menit, kita diajak menyelami pergulatan fisik dan pemikirannya, sejak anak-anak hingga dewasa.

Dahlan muda (diperankan penyanyi jebolan Indonesian Idol, Ihsan Tarore) gundah dengan tradisi yang berlaku di kampungnya yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Dengan kenakalan khas remaja, dia kerap mencuri makanan yang diletakkan warga kampung di bawah pohon besar sebagai sesajen untuk dibagikan ke fakir miskin.

Sebagai sebuah biografi, Sang Pencerah mampu menghadirkan tontonan yang menarik. Meskipun alur cerita terkadang lambat, plot yang menarik, konflik-konflik yang dibangun sepanjang cerita, bumbu kekonyolan, serta tata musik yang digarap serius mampu membuat penonton betah di tempat duduknya. Apalagi didukung para pemain yang mampu menunjukkan akting yang cukup maksimal. Lukman Sardi mampu menghadirkan sosok Ahmad Dahlan yang karismatik. Kualitas akting maksimal juga ditunjukkan para pemain lainnya, seperti Slamet Rahardjo, termasuk Ikranegara dan Yati Surachman, yang tampil cuma sebentar.

Hanung Bramantyo, yang pernah menggarap Ayat-ayat Cinta dan Perempuan Berkalung Sorban, berhasil menghidupkan atmosfer dan lanskap Yogyakarta pada akhir 1800-an. “Kami harus membangun satu set yang menggambarkan Kota Yogyakarta pada zaman Ahmad Dahlan. Lalu bagaimana kami set Kota Yogya itu pada sekitar 1924, termasuk bangunan masjid besar,” alumnus Institut Kesenian Jakarta ini memaparkan. Selain dilakukan di Yogyakarta, syuting digelar di Museum Kereta Api Ambarawa dan kompleks Kebun Raya Bogor yang disulap menjadi Jalan Malioboro lengkap dengan Tugu Yogyakarta. Maka tak mengherankan bila dana yang dikeluarkan untuk pembuatan film ini lumayan besar, sekitar Rp 12 miliar.

Festival Layang-Layang Nasional 2010 Di Jogja

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 17 September 2010 | September 17, 2010



Saya mendadak kangen untuk kembali ke masa kanak-kanak untuk berlari mengejar layang-layang putus di tanah lapang. Serasa ingin ke Pantai Parangkusumo, Kabupaten Bantul, pada 18-19 September. Pada hari itu Dinas Pariwisata Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta bekerja sama dengan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata akan mengadakan Festival Layang-Layang Nasional 2010.

Ketua Panitia, Putu Kertayasa di Yogyakarta, mengatakan festival ini sebagai bagian untuk mempromosikan pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) di tingkat nasional. Festival Layang-Layang Nasional 2010 yang akan berlangsung di Pantai Parangkusumo tersebut juga menjadi kegiatan untuk menjaring wisatawan libur Lebaran yang tengah berkunjung di Yogyakarta. Kegiatan itu  akan diikuti beberapa peserta dari luar DIY di antaranya Batam, Jabar, Jatim, DKI,  dan beberapa peserta dari luar Jawa. Selain peserta dari lokal Yogyakarta.

Pimpinan Cipta Karisma selaku pelaksana festival, Dwi Santoso mengatakan bahwa dipastikan  29 klub pelayang tingkat nasional akan menjadi peserta dalam kegiatan festival tersebut, ditambah 14 klub pelayang lokal DIY.

Dalam festival  tersebut akan dilombakan kategori dua  dimensi, kategori tiga dimensi,  tradisional, train, rokaku Challenge dan Eksebhisi Layangan Kantong. Bagi masyarakat yang ingin mendaftar sebagai peserta masih diberi kesempatan sampai hari H pelaksanaan  festival digelar. Bagi calon peserta yang baru datang di Yogyakarta bisa langsung ikut mendaftar di Kantor Dinas Pariwisata Provinsi DIY Jalan Malioboro 56 telepon (0274) 587486.

source: AntaraNews 
 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday