Latest Post

Jejak Blogger

Posted By Alfian Nawawi on Rabu, 09 November 2016 | November 09, 2016



Blog adalah salah satu tempat untuk meninggalkan jejak. Jejak-jejak intelektual itu berupa tulisan, foto, video, audio dan masih banyak lagi macamnya.
Setiap hari, setiap jam bahkan dalam setiap menit ribuan artikel ditulis dan diposting oleh para blogger dari seluruh penjuru dunia. Sadar atau tidak, mereka telah meninggalkan jejaknya masing-masing. Belasan, puluhan bahkan ratusan tahun ke depan mungkin jejak mereka masih bisa ditelusuri oleh anak cucunya kelak.
Di masa depan, pada zaman yang belum terbayangkan bentuknya, anak cucu dari para blogger mungkin masih akan dapat menikmati postingan dari kakek ataupun neneknya. Lalu, mereka tersenyum-senyum sendiri. Dan mereka berkata,”Aku bangga kakekku seorang blogger!”
Berikut ini ada video putra saya yang saat ini sudah berumur 1 tahun 10 bulan sedang membaca puisi. Namanya Ahmad Dihyah Alfian. Ini merupakan salah satu jejak dari saya untuknya, dan  juga untuk cucu-cucu saya kelak. Insya Allah. Sahabat Blogger, jangan pernah menghapus jejak! Oh ya, artikel saya kali ini adalah juga sekuntum rindu buat sahabat-sahabat blogger. Lama tak saling sapa. Namun kalian tetap di sini, di palung hati.

Rahman Arge, Ingatan Panjang

Posted By Alfian Nawawi on Senin, 10 Agustus 2015 | Agustus 10, 2015

Sejak kecil saya selalu menyimpan beberapa puisinya dalam ingatan panjang, terutama puisi-puisinya tentang Bosnia. Pada akhirnya, ingatan kepada penulis puisi itu kian memanjang berlama-lama, apalagi setelah kepergiannya. 
Setelah kehilangan budayawan dan kritikus sastra yang langka, Dr. Ahyar Anwar pada 2013 lalu, Sulsel kembali kehilangan seniman nasional, Rahman Arge. Memiliki nama lengkap Abdul Rahman Gega, wartawan senior, aktor film, esais dan cerpenis ini lebih dikenal sebagai budayawan dan penulis puisi. Sosoknya nyaris mendekati sempurna dengan menyandang berbagai predikat, mulai dari seniman, wartawan dan politisi, lewat akting dan tulisan. Arge dikenal pemicu seni teater modern di Makassar, ia mengilhami lahirnya seniman-seniman penerusnya, 
Pasca beredarnya informasi meninggalnya Rahman Arge, sejumlah postingan puisi miliknya bermunculan di Twitter. Rahman Arge meninggal sekitar pukul 10.05 Wita, Senin (10/8/2015), dalam usia 80 tahun.
Rahman Arge yang aktif dalam dunia teater sejak tahun 1955 ini meninggal dunia akibat komplikasi penyakit yang dideritanya sejak beberapa tahun terakhir ini. Sebelum meninggal, Arge pernah dirawat di Rumah Sakit Siloam pada bulan April sampai Mei 2015 lalu. 

Budayawan Sulsel penggemar warna hitam ini pernah menjabat Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Sulsel empat periode sejak tahun 1970, aktif menulis di Majalah Tempo dan Harian Fajar, serta pernah menjadi anggota DPR RI dari Golkar pada tahun 1987-1992. Selain itu pria yang meninggalkan 1 istri, 5 anak dan 10 cucu ini juga pernah meraih Piala Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1978 dari film Jumpa di Persimpangan dan Piala Citra FFI tahun 1990 dari film 'Jangan Renggut Cintaku'.  

Penuturan salah seorang sahabat almarhum, aktor dan budayawan asal Bulukumba, Aspar Paturusi, dirinya mengenal Arge sejak tahun 1957 , sewaktu mereka pentas teater di Gedung Kesenian Makassar. Arge bersama Aspar dan 9 tokoh seniman Sulsel lainnya ikut mendirikan Dewan Kesenian Makassar. 
Berikut di bawah ini beberapa karya dan penghargaan serta sepenggal perjalanan karier pria kelahiran Makassar 17 Juli 1935 ini:
• Bidang Pers:
- Menjadi jurnalis pertama kali di Pedoman Rakyat - Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sulawesi Selatan (1973-1992) - Bersama Mahbub Djunaidi mendirikan koran Duta Masyarakat edisi Sulawesi Selatan - Menebitkan majalah Suara, Esensi, Timtim, Harian Reformasi, dan Pos Makassar - Anggota Dewan Kehormatan PWI pusat - Penerima penghargaan kesetiaan mengabdi selama 50 tahun di dunia pers 
• Bidang Politik:
- Anggota DPRD Sulawesi Selatan 4 periode
- Anggota DPR / MPR periode1992-1997
- Penasehat DPD Golkar Sulawesi Selatan
• Bidang Seni, Sastra dan Kebudayaan
- Mendirikan Front Sinema Makassar (1957)
- mendiri Teater Makassar (1969)
- Menerima penghargaan Piala Citra sebagai aktor pemeran pembantu terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1990
- Meraih medali emas pemeran pembantu terbaik pada FFI 1988
- Ketua Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) Cabang Sulawesi Selatan (1989-1993)
- Ikuti menandatangani Menifest Kebudayaan di Jakarta (1964)
- Mendirikan Dewan Kesenian Makassar
- Ketua Dewan Kesenian Makassar (1970-1979)
- Kepala Badan Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia (BKKNI) Cabang Sulsel (1978-1992)
- Telah bermain di tujuh film dan di dua festival film nasional - Menerima Penghargaan Seni pada 1977
- Wakil Ketua Umum Parfi (Persatuan Artis Film Indonesia) Pusat (1993-1997)
- Penasehat panitia Konggres Kebudayaan Nasional V (2003)
- Menerima Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden RI pada tahun 2003
- Menulis banyak cerpen, puisi, dan esai
- Belasan naskah teater telah ditulis sekaligus menyutradarai dan menjadi aktornya. Salah satu naskahnya pernah dipentaskan di Jepang
- Menerima penghagaan dari Japan Foundation sekaligus hadiah keliling Jepang (1980)
- Beberapa kali mengikuti festival teater di Taman Ismail Marzuki (TIM)
- Menulis buku berjudul "Permainan Kekuasaan" yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas. 

Rahman Arge, selalu ada memori panjang berlama-lama kepadanya. Bahkan jauh setelah kepergiannya. (*)

* Diolah dari berbagai sumber

Namaku Ahmad Dihyah Alfian

Posted By Alfian Nawawi on Rabu, 11 Februari 2015 | Februari 11, 2015

Aku dilahirkan pada “zaman batu”, maksudnya pada saat trend cincin batu. Bulan kelahiranku juga bersamaan dengan peristiwa lumpuhnya KPK akibat dikriminalisasi. Bundaku, Israwaty Samad adalah seorang ibu yang hebat. Ketika melahirkan aku, bunda merasakan bagaimana rasanya melahirkan secara normal sekaligus operasi caesar. Hal itu terjadi karena bunda telah mengalami air ketubannya pecah pada pembukaan delapan sebelum dioperasi caesar juga pada akhirnya. 

Rasa sakit luar biasa yang dialami bunda membuat ayah, kakek dan nenek memutuskan untuk segera membawanya ke Puskesmas Tanete. Hari itu tanggal 27 Januari 2015. Bunda merintih kesakitan selama satu jam lebih di puskesmas. “Baru pembukaan tiga,” kata seorang bidan. Beberapa orang temanku di dalam rahim bunda terus memberiku semangat agar tetap lincah bergerak. Mereka adalah para malaikat yang ditugaskan oleh Allah SWT mendampingi aku semenjak aku masih berbentuk nutfah dalam rahim bunda. Selama sembilan bulan lebih mereka menjadi sahabat-sahabatku yang setia. Merekalah yang menemani aku berenang dalam akuarium ketuban bunda, mengawasi aku yang menghisap nutrisi melalui ari-ari dari makanan-makanan yang dikonsumsi bunda, dan menjadi informan tentang segala hal yang terjadi di sekitarku di luar alam rahim. Mereka adalah sahabat sekaligus guru yang baik. Banyak ilmu pengetahuan yang aku peroleh dari mereka selama berada dalam rahim bunda. 

Aku sering mendengar para malaikat itu berdiskusi tentang aku. Kata mereka aku terdiri dari jasad dan batin. Aku diciptakan dari Nur Muhammad lalu ditempa dari anasir Adam: api, angin, air, dan bumi. Api terbit dari batinku berhuruf Alif bernama Zat, rahasia darahku. Angin terbit dari batinku berhuruf Lam awwal bernama Sifat, menjadi nyawa, rahasia nafasku. Air terbit dari batinku berhuruf Lam akhir bernama Asma, menjadi hati, rahasia maniku. Tanah terbit dari batinku berhuruf Ha, bernama Af-al, menjadi kelakuan, rahasia tubuhku. Api, angin, air, dan tanahku membentuk kalimah: La Ilaha Illallah. La, syariat itu perbuatanku. Ilaha, thariqat itu ucapanku. Illa, haqiqat itu nyawaku. Allah, ma’rifat itu rahasiaku. Haqiqatku: aku Muhammad: tubuh, hati, nyawa dan rahasia. Aku api yang tegak berdiri, angin yang ruku’, air yang bersujud, bumi yang duduk bersimpuh. Aku fana, lebur lenyap kepada batinku. Dari tiada menjadi ada, dari ada kembali menjadi tiada. Tubuhku syariat di alam insan. Hatiku thariqat di alam jisin. Nyawaku haqiqat di alam misal. Sirku ma’rifat di alam ruh. Segala perbuatanku adalah Perbuatan-Nya, segala ucapanku adalah Asma-Nya, Nur Muhammad dari Nur-Nya, segala sifat adalah Sifat-Nya, padaku adalah wujud-Nya. Alif Lam Lam Ha, La Ilaha Illallah. 

Hasil pemeriksaan bidan menyimpulkan bahwa kandungan bunda memiliki kelainan. Tulang panggul bunda tempat di mana aku akan meluncur ke dunia agak sempit. Pantas saja aku kesulitan bergerak. Konon, kondisi langka ini dialami oleh sebagian kecil ibu-ibu hamil. Proses perputaran tubuhku sebelum lahir seharusnya beberapa kali lagi. Namun karena tempatku meluncur tidak kondusif jika melalui persalinan normal maka tubuhku yang mungil mengalami kesulitan untuk segera nongol. Bidan senior, Hj. Ila yang juga tante dari bunda menyarankan agar bunda dirujuk ke RSUD Andi Sulthan Daeng Radja di Kota Bulukumba. Di sana peralatan jauh lebih lengkap. Akhirnya bunda dirujuk ke sana. Di atas ambulans yang melaju kencang ayah, nenekku Puang Asia dan seorang bidan pendamping menemani bunda yang terus mengerang kesakitan. Sementara itu aku juga terus berjuang untuk lahir.

 “Sudah pembukaan lima,” kata suster di rumah sakit itu. Aku terus menguping pembicaran mereka. Para malaikat juga memberitahu aku bahwa ada banyak orang di luar sana yang terus berdo’a dan berdzikir agar bunda segera melewati masa-masa paling mencemaskan ini. Termasuk ayah, nenek, kakek, Tante Ulfa, Tante Nila dan Tante Fatimah. Aku belum juga lahir. Baru pembukaan enam. Berjam-jam kemudian, baru pembukaan delapan. Malam mulai tiba. Secara bergantian nenek, Tante Nila dan ayahku menemani bunda. Sudah pukul 11 malam tapi aku belum juga lahir. Padahal ketuban tempat aku berenang di rahim bunda sudah pecah. Itupun mungkin karena khasiat dari air pakarommo’ yang diberikan oleh ettanya Kak Awang, Om Andi Sinrang. 

Semua harap-harap cemas. Ayah gelisah hilir mudik tidak karuan. Ayah jarang sekali muncul suaranya. Mungkin lagi berdoa entah di mana. Sampai akhirnya dr. Rizal memanggil ayah. Dokter itu menyarankan agar bunda dioperasi caesar. Alasannya adalah aku “anak mahal”, artinya anak yang sudah lama ditunggu kehadirannya. Selama tiga tahun lebih ayah dan bunda menunggu kehadiranku. Sedangkan alasan medis dari dr. Rizal adalah karena ubun-ubun dan wajahku mendongak di dekat pintu keluar. Seharusnya kepalaku bagian atas yang menempati posisi itu. 
“Dalam posisi seperti itu sangat berbahaya jika kamu lahir normal,” kata salah seorang malaikat temanku. “Wajah dan leher kamu bisa cacat kalau ditarik. Seharusnya kepalamu bagian atas yang mestinya lebih dulu muncul,” ujar malaikat lainnya. 
Aku hanya terdiam, sedih. Aku sangat iba kepada bunda karena harus berjuang melahirkan aku selama 12 jam lebih. Dengan meneguhkan hati, ayah menandatangani surat pernyataan setuju bunda dioperasi. Tepat pukul 00.30 Wita, aku pun lahir melalui operasi caesar. Bunda meneteskan airmata bahagia campur haru saat melihat tubuhku diangkat oleh dokter. I Love You, Bunda.

Tangisanku yang pertama memecah keheningan. Tangisan pertama itu adalah karena beban berat menanggung “rahasia Allah”. Tangisanku yang kedua adalah karena aku bersyukur telah dilahirkan sebagai makhluk termulia, manusia. Kepalan tanganku tertutup, itu artinya aku bernama Ahmad. Manakala tanganku mulai terbuka maka namaku adalah Muhammad sampai akil baligh nanti. Itulah nama yang sebenarnya dari setiap bayi manusia. Pengetahuan ini kuperoleh dari teman-temanku para malaikat. Mata ayah berkaca-kaca ketika mengumandangkan adzan di telinga kananku dan iqamah di telinga kiriku. Aku sangat hapal suara ayah. Ketika aku masih dalam kandungan ayah sering membacakan iqamah di perut bunda setiap akan sholat di rumah. Ayah dan bunda pun selalu membacakan ayat-ayat suci Al Qur’an di dekatku. 

Allah Maha Besar, aku lahir dengan selamat. Kelaminku lelaki. Wajahku sangat tampan, hidungku mancung dan kulitku putih bersih, itu kata orang-orang yang melihatku. Para malaikat temanku pernah bilang bahwa selama bunda hamil ayah sering berdo’a jika aku laki-laki semoga aku dianugerahi wajah mirip dengan Syekh Abdul Qadir Jaelani dan jika aku perempuan semoga diberi wajah mirip Fatimah Azzahra puteri Rasulullah SAW. Kalau benar wajahku mirip dengan Syekh Abdul Qadir Jaelani maka alangkah beruntungnya aku. Wallahualam. Oh ya, saat lahir aku juga memiliki sebuah tanda fisik yang sangat unik, telinga kiriku berbentuk tulisan “Allahu.” Muhammad Ali adalah salah seorang ustad kenalan ayah. Sehabis shalat Isya dalam sebuah bincang-bincang di pelataran mushalla rumah sakit beliau menyarankan agar ayah memberiku nama “Ahmad Dihyah Alfian”. Ahmad adalah nama yang sebenarnya dari setiap bayi manusia dan nama langit dari Rasulullah SAW. Dihyah diambil dari nama salah seorang sahabat Rasulullah SAW yaitu “Dihyah Al Kalbi” yang dalam sejarah Islam dikenal cakap, ganteng, mahir bertempur dan kerap menjadi salah satu pemimpin pasukan Islam. Dalam bahasa Arab kata “dihyah” juga memiliki arti “pemimpin pasukan, pejuang, suku, atau umat”. Sedangkan nama Alfian untuk menyandang nama ayahku Alfian Nawawi, di mana aku diciptakan Allah bermula dari setetes nutfahnya. 

Teman-temanku para malaikat mengucapkan selamat kepadaku. Sudah waktunya mereka harus pamit karena tugas mereka telah selesai. Untuk pertama kalinya aku merasa sangat kehilangan. Aku hanya bisa menangis. Namun mereka berjanji bahwa kami akan bertemu lagi suatu hari nanti. Mereka terbang ke angkasa sambil tersenyum dan melambai-lambaikan tangan. Sejak saat itulah aku tidak pernah lagi melihat jenis makhluk seperti mereka. Sebagai ganti dari para malaikat, seorang jin qorin ditugaskan oleh Allah untuk mendampingi aku sampai akhir hayat. (*) 

Terimakasih khusus buat: Nenekku Puang Rosmani; Puang Haji Basse (terimakasih banyak atas kanjilo alias ikan gabus gratisnya untuk bundaku); Kakekku Papi Asmar (aku minta salah satu cincin batu milik kakek ya); Etta dan Bundanya kak Awang; Om Imran; Yaya; Tante Harma; Etta dan Mamanya Kak Yayat; para ustad yang telah mendo’akan aku dan bundaku semasa hamil: Ustad M. Yusuf Shandy, Ustad Ichwan Bahar, KM Murni Lehong, Ustad Andy Satria, dan Ustad Toto; para bidan Puskesmas Tanete; para dokter, perawat, security, cleaning service, dan petugas dapur di RSUD Andi Sulthan Daeng Radja; dan semua orang yang telah menjenguk bunda dan aku di rumah sakit dan Rumah Putih. 

Rumah Putih, 9 Februari 2015

Blog, Hibernasi, Buku dan Sahabat-Sahabat Lama

Posted By Alfian Nawawi on Selasa, 20 Januari 2015 | Januari 20, 2015


             Bertahun-tahun, banyak teman sering bertanya “Kemana blog sastra radio?” atau ”Kenapa menghilang dari dunia blogging?” atau “Kuburan blog sastra radio di mana ya, mas? Saya mau berziarah,”(Busyet! Hahaha). Dan sederetan pertanyaan lainnya.

Flashback sejenak (sambil menyeruput kopi). Sejak Maret 2009 sahabat-sahabat lama di dunia blogging mengenal situs ini dengan nama “Sastra Radio” dengan domain asli ekspresiradiocempaka.blogspot.com. Lalu iseng-iseng saya memasang free domain kavalera.co.cc  pada 2010 (rada mirip domain berbayar ya? Hehehe). Kemudian beralih ke domain ivankavalera.com (2011-2014). Tahun 2013 iklan Google Adsense di situs ini dibanned (gara-gara ada klik iklan dari backlink dan sosial media, hiks..hik...hiks!) Domain TLD yang disebut terakhir inilah yang mengalami expired tanpa saya sadari, saking sibuk! Akhirnya sekarang saya edit nama domain blogspot menggunakan nama asli saya: alfian-nawawi.blogspot.com tanpa embel-embel “sastra radio” lagi sebab saya sudah berhenti bekerja di radio RCA FM terhitung sejak Januari 2014. Jangan kuatir, saya membuka menu baru: “Klinik Radio” bagi pencinta radio. Menu dan navigasi situs inipun mengalami perubahan di sana-sini, bukan hanya melulu membahas sastra dan budaya seperti dulu. Jadi, sekarang benar-benar sebuah “personal weblog” yang membahas berbagai perihal yang saya minati saja, secara pribadi.
            Sebenarnya saya tidak pernah benar-benar jeda dari dunia blogging. Sembari tetap merindukan teman-teman blogger, selama masa hibernasi  (2012-2014) meskipun sesekali tetap update beberapa postingan, saya menekuni “blogging” di dunia nyata. Saya sibuk menulis buku di samping beberapa “pekerjaan serabutan” lainnya. Alhamdulillah, buku saya yang telah terbit: Inspiring Bulukumba; Rekam Jejak 31 Tokoh Inspiratif dari Bumi Panritalopi  (Penerbit:  Mafazamedia, 2014). Stok buku ini masih ada dan bisa dipesan secara online di mafazamedia.com.
            Selain itu, Alhamdulillah Allah mengizinkan saya telah merampungkan 11 buku lainnya dan sedang menunggu giliran terbit. Insya Allah rencananya 1-2 buku terbit setiap tahun:
1.                  Sesobek Catatan Kaki Revolusi (buku sejarah Bulukumba)
2.                  Big Bang; merekonstruksi perjalanan alam semesta (buku sains/antropologi/sejarah)
3.                  Radio dan Local Wisdom (buku broadcasting/ pemrograman siaran budaya di radio)
4.                  Lori (novel sejarah),
5.                  Lensapedia Bulukumba (buku kumpulan karya fotografi),
6.                  Andi Sultan Daeng Radja; Spirit Rakyat Merdeka (biografi seorang pahlawan nasional dari Bulukumba),
7.                  Samindara (Antologi Cerita Rakyat Bulukumba) merupakan hasil riset saya terhadap  puluhan cerita rakyat lisan asli Bulukumba selama rentang 2010-2013. 
8.                  Chuduriah Sahabuddin, Teratai Kecil di Tanah Mandar (biografi seorang tokoh perempuan dan pendidikan di Sulawesi Barat),
9.                  Mahrus Andhis, Sastra yang menggugat dari ruang birokrat (biografi seorang sastrawan dan budayawan Bulukumba)
10.              50 Cara Mudah Menghasilkan Uang dari Internet  (buku tutorial bisnis online,) dan
11.              Mengirim Surat ke Masa Depan (buku inspirasi dan motivasi).
            Sebelum buku Inspiring Bulukumba terbit, puisi-puisi saya lebih dulu diterbitkan dalam buku Rumah Putih, Antologi Puisi Serumah (Penerbit Ombak Yogyakarta, 2013) bersama puisi-puisi karya istri, ayah mertua, keponakan dan adik-adik ipar saya. Beberapa pengamat sastra mengatakan bahwa buku ini merupakan antologi puisi terunik di jagad sastra sebab ditulis oleh tujuh penulis sekeluarga. 
            Dalam tahun yang sama, bersama 87 penulis lainnya se-Nusantara, saya diminta menulis memoar dalam bentuk esai dan dimuat dalam buku Ahyar Anwar Yang Menidurkan dan Membangunkan Cinta; Sebuah Obituari (Penerbit Ombak Yogyakarta, 2013). Ini sebuah buku untuk mengenang DR. Ahyar Anwar, SS., M.Si., seorang sastrawan, budayawan, akademisi dan kritikus sastra ternama di Kawasan Indonesia Timur.
            Bersama 100 penyair lainnya se-Nusantara, puisi saya terpilih dimuat dalam antologi puisi Goresan-Goresan Indah Makna Kasih Ayah Bunda (Penerbit Oksana, 2014).         
            Buku antologi cerpen Love Never Fails (Penerbit NulisBukuCom, 2014) memuat cerpen saya “Perempuan Bertanduk Api” bersama 109 karya cerpenis lainnya se-Nusantara, hasil sayembara menulis Love Never Fails oleh Penerbit NulisBukuCom.
            Ibarat bisul, pada akhirnya rindu saya meletus juga (Awas jangan dekat-dekat nanti kecipratan! Jorok ya? Hahaha!) Rasa kangen saya begitu membara kepada sahabat-sahabat lama, seperti Mbak Latifah Hizboel, Itik Bali, Mbak “Cerpenis Bercerita”, Kang Boed, Mas Bachtiar Fakih, Mas Willyo Alsyah, Mbak Ani Rostiani, Mbak Anazkia, Pak Setiawan Dirgantara, Mbak Irawati, Mas Bahauddin Amyasi, Bunda Ely, Pak Ishak Madeamin, Harly Umboh, Pak Asnawin Aminuddin, Pak Munir Ardi, Mas Attayaya, Mbak Reni Purnama, dan masih banyak lagi. Saya tidak bisa sebutkan satu-persatu sebab jumlahnya sekitar 300-an blogger (mereka inilah yang telah mewarnai jagad blogsphere Nusantara pada 2005-2010). Saya pun masih ingat, saya pernah mengajak beberapa orang dari mereka menulis bersama di blog “kedai kopi” (penulisbiasa.blogspot.com) yang sekarang terbengkalai dan dipenuhi pula sarang laba-laba. Lantaran saya sebagai pendirinya kabur entah kemana tanpa tanggung jawab! (^_*).
             Kepada sahabat-sahabat lama saya juga ingin mengatakan sesuatu, “Apa kabar semua? Sekarang saya benar-benar kembali turun gunung di jagad blogsphere.” Saya juga sangat bangga, sebab sekarang banyak blogger baru bermunculan dan hebat-hebat pula, salam kenal. Ayo, kita “ratakan” bumi dengan blogging!(*)  
           

Festival Dato Tiro 2015

Posted By Alfian Nawawi on Sabtu, 17 Januari 2015 | Januari 17, 2015


Salah satu dari tiga penyebar agama Islam di Bulukumba, Dato Ri Tiro serasa hidup kembali dalam nafas dan jiwa anak-anak muda dan masyarakat Bulukumba melalui Festival Dato Tiro 2015.  


Festival Dato Tiro 2015 di Pantai Samboang Kecamatan Bontotiro Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan digelar selama dua hari, 1-2 Februari 2015. Beberapa ajang yang akan diusung dalam hajatan seni budaya ini antara lain Fashion Show Islami, Lomba Dayung Sampan, Lomba Kuda Paddereq, Lomba Sastra Islami dan lain-lainnya. 

Informasi dari pihak panitia, rencananya hajatan seni budaya ini juga akan diwarnai dengan deklarasi Kampung Sehat Bebas Narkoba oleh Biro Napsa Propinsi Sulsel oleh Gubernur Sulawesi Selatan. 

Festival Dato Tiro terselenggara atas kerjasama Sekolah Sastra Bulukumba, DPD KNPI Bulukumba dan Pemuda Pancasila. Menurut Andhika DM, salah seorang panitia menjelaskan bahwa pada 1 Februari tepatnya ba'da Isya, akan ada pagelaran sastra dari seniman sastra, dari dalam dan luar Bulukumba membacakan puisi di tepi Pantai Samboang Bulukumba.
."Festival Dato Tiro terbuka untuk umum. Jadi, jangan ketinggalan. Siapkan tenda bagi anda yang senang berkemah, dan mari kita bicarakan cita-cita, gagasan dan kebaikan," kata Andhika.(*)

Buku Inspiring Bulukumba Lahir dari Sebuah Metamorfosa

Posted By Alfian Nawawi on Minggu, 16 Maret 2014 | Maret 16, 2014

Sekali waktu, termInspiring Bulukumba” menjalari benak saya pada awal tahun 2011. Sebuah realitas, tidak terdapat satupun referensi teks tentang biografi tokoh-tokoh penting di Bulukumba.

Kerisauan pun berlanjut dan memunculkan ide InspiringBulukumba” harus menjadi sebuah program talkshow di Radio Cempaka Asri (RCA) 102,5 FM Bulukumba. Dengan bantuan teman-teman penyiar, dan saya dipercayakan sebagai host, program talkshow  tersebut berhasil menghadirkan belasan tokoh Bulukumba secara berkala dengan konsep utama berupa pemaparan kisah hidup mereka yang inspiratif. Respon pendengar sangat bagus dan ditandai dengan rating tinggi. Stagnasi yang dialami program tersebut di tahun 2013 lantaran kebijakan manajemen ternyata mengawali ide baru. “Inspiring Bulukumba” harus bermetamorfosa menjadi sebuah buku.
  

 

Asumsi awal saya, kumpulan rekam jejak ini bukan semacam rujukan final yang permanen. Buku ini masih membutuhkan penyempurnaan dari siapapun di waktu-waktu  yang lain. Masih banyak tokoh lainnya yang belum sempat dimasukkan ke dalam daftar, di antaranya Dharsyaf Pabottingi, Prof. Dr. Kulla Lagousi dan Sulaiman Mappiasse. Namun sebagai langkah kecil, semestinya dapat membuka mata kita bahwa Bulukumba adalah juga gudangnya orang-orang yang luar biasa. Bahkan saya sempat membayangkan Inspiring Bulukumba II, dan seterusnya.

     Sebuah hal unik terjadi, sebagian besar tokoh dalam buku ini ternyata datang dari ‘wilayah literasi’ yang semakin menguatkan asumsi bahwa sesungguhnya Bulukumba merupakan gudang literasi.

      Alhamdulillah, Allah mengizinkan buku ini sebagai buku saya yang keempat. Buku pertama: Rumah Putih; Antologi Puisi Serumah. Buku kedua: bersama 88 penulis lainnya dalam "Ahyar Anwar Yang Menidurkan dan Membangunkan Cinta: Sebuah Obituari." Buku ketiga: bersama puluhan cerpenis lainnya, cerpen saya "Perempuan Bertanduk Api" dimuat dalam buku antologi cerpen "Love Never Fails".

     Bismillahirrahmanirrahim. Melalui buku saya yang keempat ini, untuk pertama kali di wilayah literasi, saya  menggunakan nama asli: Alfian Nawawi. (*)



Bejana Teks Keluarga Kami dalam Rumah Putih, Antologi Puisi Serumah

Posted By Alfian Nawawi on Sabtu, 14 Desember 2013 | Desember 14, 2013


Sebuah kesyukuran besar. Setiap peristiwa literasi adalah juga bagian penting dari sejarah. Termasuk peristiwa unik ini yang pertama kali dilakukan di dunia khususnya di jagad sastra tanah air. Satu keluarga, tujuh penulis dari tiga generasi dalam satu rumah akhirnya diizinkan Allah SWT untuk merampungkan sebuah buku antologi puisi "Rumah Putih, Antologi Puisi Serumah.” Penerbit Ombak Jogjakarta.

Para Ahyarian berkumpul di Makassar, 15 Desember 2013

Posted By Alfian Nawawi on Minggu, 06 Oktober 2013 | Oktober 06, 2013

Seorang Ahyar Anwar adalah seutas cinta yang senantiasa terulur hingga batas-batas yang tak terduga. Dia salah satu sungai kata paling artistik di bumi yang pernah dikirimkan Tuhan. Karya-karyanya berdebur dan mungkin kita tidak sadar saat dia ikhlas mencumbui pasir-pasir pantai ketidaksadaran kita. 

Sastra memang telah seharusnya mampu mendobrak apa-apa yang telah ada. Tidak sekedar bertujuan sampai ke muara di mana sastra dinikmati di sana dengan sukacita. Sebelum tiba, seyogyanya sastra memang telah menghantam logika di tengah perjalanan. Semasa hidupnya Ahyar kerap melakukan itu dan tidak mengeluh. Sebaliknya tetap melenguh. 

Sepeninggalnya, karya-karyanya tetap menjitak dengan cantik. Dia layak senantiasa diingat walaupun suatu ketika sebagian dari sastra mungkin terjatuh dan mengaduh.

Bira Itu

Posted By Alfian Nawawi on Jumat, 04 Oktober 2013 | Oktober 04, 2013




bira itu bunga santigi
tumbuh langka di batu karang,
perjalanan estetik
mendaki mistik
ke bukit puang janggo,
burung-burung camar berkabar
jala-jala nelayan ditebar,
bira itu paha bule
dan pasir putih
berjemur gratis di antara kerang
dan sampah
seramai selangkang
para pelacur
berbau menyengat
dari mulut pejabat,
bira per detik
dikunjungi lalat.



bulukumba, 9 Juli 2013

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday