Latest Post

Mengikat Dua Potong Sajak Untuk Kuhadiahkan Kepadamu Sebelum Lebaran

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 31 Agustus 2010 | Agustus 31, 2010


mungkin tidak akan menjadi apapun. tapi sebenarnya aku tuliskan saja dengan berani. termasuk mengikat dua potong sajak untuk kuhadiahkan kepadamu sebelum lebaran.

tahun ini menyimpan terlalu banyak mimpi di atas bantal. separuhnya kita bawa keluar melalui jendela kamar tempat kita kemarin bercakap-cakap dengan hujan. lalu mungkin tidak akan menjadi apapun.

masih kau panggil aku dengan sebutan hujan di beranda tempat kita memotret matahari. tapi sudahlah, aku terlanjur menulis dua potong sajak untukmu sebelum badai.

bulukumba, 21 ramadhan 1431 hijriah 


Dadang Rukmana, Pelukis Memandang Perang

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 29 Agustus 2010 | Agustus 29, 2010


Seniman seni rupa, Dadang Rukmana memandang perang dan tragedi dari sisi berbeda. Perenungannya ini hadir dalam pameran tunggalnya di Nadi Galeri, Puri Indah Jakarta Barat, bertajuk History : Will Teach Us Nothing. Pameran  berlangsung hingga 6 September 2010. 

Dadang ingin berbicara lewat dua medium berbeda dalam sebuah gambar. Berangkat dari dokumentasi-dokumentasi perang, baik dalam dan luar negeri, Dadang “menyadurnya” dalam bentuk lukisan kanvas. Karyanya bermain dalam dua warna : hitam-putih. Bukan dengan kuas, namun ia melukis dengan amplas. Awalnya, seluruh permukaan kanvas disapu cat hitam, dan kemudian ia mulai melukis dengan mengamplas bagian-bagian yang dibuat gelap dan terang.

Gambar tidak fokus yang membuat obyek seolah berbayang lebih dari dua, merupakan racikan segar kotemporer Dadang yang berbobot. Meski memang teknik ini bukan barang baru, karena lazim digunakan pelukis untuk membuat efek, kesan tekstur atau barik, ia tengah mencoba alternatif. “Bisa dilihat, bagaimana teknik melukis realis dihela sampai pada puncak Photorealisme yang berkembang dalam seni lukis,” ujar kurator pameran, Enin Supriyanto.

Salah satu karyanya merujuk pada pembantaian hampir dua juta warga Kamboja saat rezim Khmer Merah-Polpot 1975-1979. ia melukis deretan foto diri para korban. Di dua urutan terakhir, kanvas kosong hanya disi guratan garis, maknanya bahwa kolom ini bias diisi wajah siapa saja yang menjadi korban kekejaman. Daftar korban pun ditutup dengan lukisan foto diri Dadang yang sedang tertawa. Konon, tentara Polpot paling benci dengan tawanan yang tertawa saat diinterograsi, sebelum dieksekusi.

Sejarah Indonesia juga ada porsi di pameran ini. Keruntuhan tahta Soeharto menjadi pilihan sejarah yang menarik. May, 21, 1998, Soeharto lengkap bersetelan jas dan peci, tengah menilik jam tangannya. Detik-detik reformasi itu dipertajam dengan bagian lukisan lain yang melengkapinya. Empat deret wajah penerus klan Soeharto, termasuk Tommy. Dan tiga lukisan mini kerusuhan Mei.

(berbagai sumber)

Para Penyair Islam

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 27 Agustus 2010 | Agustus 27, 2010


 Kali ini saya memposting 16 nama penyair Islam yang paling termasyhur dalam sejarah sastra dunia khususnya di jagad kepenyairan Islam. Semoga bermanfaat bagi anda, terutama jika kebetulan mencari referensi nama-nama sastrawan Islam.

 Abul 'Ala Alma'arri                                       (363-449 H)
 Abul 'Atahiya Ismail                                     (130-211 H)
 Ahmad ibnu Husain                                     (303-354 H)
 Badruzzaman                                               (Iran, wafat 1008 M)
 Basysyir ibnu Fatik                                      (Mesir abad ke-11
 Hasan Ibnu Tsabit                                        (wafat 54 H)
 Ibnu Zaidun                                                   (326-362 H, Spanyol)
 Jalaluddin Rumi                                           (sufi besar Persia abad ke-13)
 Muhammad ibnu Hani                                 (Spanyol, sezaman dgn Ibnu Zaidun)
 Muhammad Iqbal                                         (lahir 22/02/1873 M, Punjab, Pakistan)
 Muhammad Qasim Alharitsi                       (1054-1122 M)
 Muthi' ibnu Iyas                                             ( wafat 166 H)
 Qais Majnun                                                 (wafat 80 H)
 Qasim                                                           (berdiam di Kufah)
 Rasyid ibnu Ishaq                                        (lahir di Mesir 850 M)
 Umar Khayyam                                            (terkenal di Amerika dan Eropa)


sumber:  http://katamutiara.info/

Dul Abdul Rahman Menulis Sederas Sungai Lolisan

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 26 Agustus 2010 | Agustus 26, 2010

Saya merasa nyaman jika menjulukinya "penulis rindu" diakibatkan kebanyakan diksi maupun judul karyanya seringkali -atau mungkin tidak sengaja- menggunakan kata "rindu" tapi entahlah dia setuju atau tidak. Dia banyak menulis tentang banyak hal dari kampung halamannya. Novel dan cerpennya mengalir sederas Sungai Lolisan yang ada di desa kelahirannya,Tibona, Kecamatan Bulukumpa, Bulukumba.

Dul Abdul Rahman bekerja sebagai sastrawan, peneliti, dan dosen. Tulisan-tulisannya tersebar di media nasional dan lokal di Indonesia dan Malaysia.

Buku-buku sastranya yang sudah terbit:  
Lebaran Kali Ini Hujan Turun (Kumpulan Cerpen, Makassar 2006);  
Pohon-Pohon Rindu (Novel, Jogjakarta 2009);  
Daun-Daun Rindu (Novel, Jogjakarta 2010);  
Perempuan Poppo (Novel, Jogjakarta 2010).

Dua novelnya segera terbit di Jakarta dan Jogjakarta: Pohon-Pohon Meranggas dan Hutan Rindu.

Novelnya Pohon-Pohon Rindu sudah dijadikan rujukan penulisan skripsi oleh mahasiswa, sedangkan Daun-Daun Rindu dijadikan rujukan oleh seorang mahasiswa program doctor Universiti Malaya yang melakukan penelitian hubungan Indonesia-Malaysia (lebih spesifik hubungan Bugis-Melayu).

Alamat surat elektronik: dulabdul@gmail.com atau bisa berkomunikasi dengan beliau melalui Facebooknya.

Bentara Putar Film Iran

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 25 Agustus 2010 | Agustus 25, 2010

Negeri Iran tergolong salah satu negara paling maju dalam perfilman di kawasan Timur Tengah dengan sederet nama sutradara terkemuka yang diakui dunia. Film-film yang diputar sepanjang 24-25 Agustus ini berkisah tentang potret kehidupan sehari-hari yang sederhana tapi sangat manusiawi.

Film pertama, Stray Dogs (2004) karya sutradara Marziyeh Meshkini, 41 tahun, istri sutradara papan atas Iran, Mohsen Makhmalbaf. Nama Marziyeh mencuat setelah film pertamanya, The I Became A Woman, di tahun 2000 menarik perhatian dunia. Stray Dogs, yang berdurasi 93 menit, mengisahkan dua bocah, kakak beradik lelaki dan perempuan serta seekor anjing yang mereka selamatkan di jalanan kota Kabul, Afganistan, pasca kekuasaan Taliban. Mereka mencari ibu mereka yang dipenjara.

Film kedua, Buddha Collapased Out of Shame (2007), sebuah film dokumenter yang mengharukan dengan visualisasi yang puitik tentang kehidupan anak-anak di Afganistan. Film berdurasi 73 menit ini digarap oleh sutradara belia, Hana Makhmalbaf (22 tahun), putri kedua Mohsen Makhmalbaf dengan Marziyeh Meshkini. Film ini meraih penghargaan di Festival Film Montreal, Kanada, dan Festival Film San Sebastian, Spanyol.

Film ketiga, The White Balloon (1995, 90 menit), merupakan film pertama yang disutradarai oleh Jafar Panahi. Film ini mengisahkan seorang bocah perempuan berusia tujuh tahun yang berniat membeli seekor ikan emas untuk menyambut Tahun Baru Iran. Dalam budaya Iran, ikan emas adalah simbol kehidupan. Film debut ini memperoleh Camera d’Or di Festival Film Cannes.

Film keempat, Border Café (2005, 111 menit). Film arahan sutradara Kambozia Partovi ini berkisah tentang kegigihan seorang janda membuka kembali kafe di perbatasan Asia-Eropa yang dulu dikelola almarhum suaminya, hal yang secara sosial agak tabu dikerjakan kaum perempuan Iran.

Adapun film kelima, The Father (1996, 92 menit), disutradarai oleh Majid Majidi (sutradara film Children of Heaven yang dinominasikan memenangkan Oscar sebagai film asing terbaik). Film ini mengisahkan pergulatan kejiwaan seorang remaja pria berusia 14 tahun yang harus menerima kenyataan ibunya menikah lagi dengan lelaki lain, seorang polisi, setelah ayahnya meninggal. Harga dirinya sebagai anak laki-laki yang telah bekerja di kota terkoyak karena ia merasa dianggap tak mampu mendukung kebutuhan ekonomi keluarganya. Drama keluarga yang menyentuh ini berakhir dengan persahabatan kedua pria.

Film keenam, The Fish Fall on Love (2005), karya sutradara Ali Raffi. Film berdurasi 9 menit ini mengambil ide dari dongeng kuno Persia Seribu Satu Malam. Kisahnya tentang seorang perempuan paruh baya pemilik restoran di pantai Kaspia, Iran. Kemunculan mantan kekasihnya, yang telah lama menghilang dan ingin menjual dan menutup restoran, membuat si perempuan membujuk si pria membatalkan niatnya. Cara yang dilakukannya adalah terus menyajikan aneka masakan yang tiap hari berganti-ganti.

Hari pertama pemutaran pada Selasa kemarin disemarakkan dengan ulasan dan diskusi bersama dua pengamat film, yaitu Ekky Imanjaya yang baru saja menulis sebuah buku tentang film-film Iran, dan Lalu Roisamri. Acara pemutaran film ini terbuka untuk umum. Gratis dan tak perlu registrasi.

 
source: 
bentarabudaya.com
tempointeraktif.com



Kisah Lakipadada Antar Siswa SMA di Yogya Juara Menulis Cerita Rakyat Modern

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 23 Agustus 2010 | Agustus 23, 2010


Cerita rakyat ternyata masih diminati oleh anak muda di tanah air. Baru-baru ini dua siswa SMA Yogyakarta, Arum Kartika (SMA Negeri 11) dengan karya ‘Pencarian Lakipadada’ dan Lia Titi Malinda (SMA Negeri 8) dengan karya ‘Malin Kundang: Sang Induk vs Jakarta’ memenangkan Sayembara Menulis Cerita Rakyat Versi Modern 2010. Sayembara ini pertama diselenggarakan oleh Penerbit Navila dan Perpustakaan Kota Yogyakarta.

“Diharapkan, cerita rakyat tidak lagi terkesan kuno dan ‘tidak tersentuh’, tetapi menjadi cerita yang dekat dengan remaja,” kata Afia Rosdiana (Perpustakaan Kota), Sabtu (21/8), panitia sekaligus salah seorang dari tiga juri di antaranya Mulyadi Adhisupo (KR) dan Fitra Firdaus Aden (Penerbit Navila).

Pencarian Lakipadada karya Arum Kartika merupakan modifikasi kisah Lakipadada dari Toraja.

Dalam versi aslinya, Lakipadada bangsawan Toraja ketakutan terhadap maut sehingga berusaha mencari mustika tang mate demi hidup kekal. Karya ini layak menjadi pemenang karena disampaikan dalam bahasa renyah khas remaja, beralur runtut dan memiliki amanat cerita yang kontekstual.


source:
http://www.torajacybernews.com/
http://www.kr.co.id(Asp)-f

Manusia Bugis, Tradisi, Seni dan Religi

 
Hampir semua jenis kesenian tradisional di Sulawesi Selatan - selalu terkait antara religi, tradisi, dan seni. Kenyataan ini memperlihatkan kepada kita betapa kompleksnya kesenian tradisional yang ternyata tidaklah sesederhana seperti yang dibayangkan, di dalamnya terdapat inner power yang bersangkut paut dengan sukma pemilik kesenian itu. Karena itu, manakala seseorang ingin mengusung sebuah kesenian sakral di luar konteksnya tanpa memperhitungkan kesakralannya dan perasaan pendukungnya, maka sukma ini kehilangan auranya, dan yang tertinggal adalah sebuah onggokan kreativitas yang tak berjiwa.

Dalam  Bugis Religion yang terdapat dalam The Encyclopedia of Religion, Mircea Eliade antara lain menulis bahwa meskipun orang-orang Bugis telah menjadi Islam dan beriman, tapi mereka masih memelihara sejumlah tradisi yang bersumber dari elemen-elemen pra-Islam, seperti bissu dan kitab suci La Galigo.. Berbagai ajaran Islam dan Bugis yang mengandung spirit dan unsur-unsur yang sama diadaptasikan dan didialogkan yang kemudian memunculkan warna-warni kebudayaan Islam dengan wajah Bugis, atau kebudayaan Bugis dengan wajah Islam.

Patotoqé sebagai Dewata Séuawaé (dewata yang tunggal) yang diadopsi dari konsep Allah yang Maha Esa - padahal di dalam La Galigo, Dewa tidaklah tunggal, ia beranak-pinak - atau sebaliknya, kita menemukan konsep siriq yang kemudian diadaptasikan dengan konsep jihad. Puncak dari semua itu adalah dikukuhkannya Islam dalam sistem Pangngaderreng di Sulawesi Selatan yang merupakan falsafah hidup manusia Bugis, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Ada 5 unsur yang saling mengukuhkan dalam konsep Pangngaderreng ini yaitu, 1) wariq (sistem protokoler kerajaan), 2) adeq (adat-istiadat), 3) bicara (sistem hukum), 4) rapang (pengambilan keputusan berdasarkan perbandingan), dan 5) saraq (syariat Islam). Empat dari yang pertama dipegang oleh Pampawa Adeq (pelaksana adat), sedangkan yang terakhir dipegang oleh Paréwa Saraq (perangkat syariat).

La Galigo sebagai kitab suci dan sumber religi bagi penganut agama To ri Olo orang Bugis mewariskan sejumlah tradisi yang saling kait-mengait dengan berbagai upacara suci dan sakral. Dalam upacara suci dan sakral itu selalu diiringi dengan pemotongan hewan dan pembacaan sureq La Galigo. Itulah kemudian yang dikenal dengan upacara: mappano bine (upacara menidurkan benih padi) menjelang tanam padi.; maccéraq tasiq upacara 
persembahan dewa laut, ménréq baruga upacara peresmian balairung tempat berlangsungnya upacara keduniaan berlangsung; mattemu taung mengunjungi dan menziarahi kuburan leluhur mereka, dan masih banyak lagi. Semua upacara itu dibarengi berbagai kesenian dan pembacaan episode-episode La Galigo yang episodenya disesuaikan dengan isi dan upacara yang berlangsung. Kesenian yang mengiringinya antara lain séré bissu (joget bissu) maggiriq (para bissu menari sambil menusuk badannya dengan badik) massureq (membaca La galigo), maggenrang (bermain gendang), massuling lontaraq (meniup suling diiringi nyanyian La Galigo), mallae-lae, dan sebagainya.

Seluruh rangkaian upacara ini dilaksanakan oleh tiga komponen yang saling melengkapi, yaitu: 1) Pendeta Bissu, pendeta banci yang bertugas memimpin upacara ritual, 2) sanro, praktisi di belakang layar yang bertugas menyiapkan seluruh perlengkapan upacara, dan 3) passureq, pembaca dan penembang La Galigo.

Karena itu, Bissu, sanro, passureq, dan para dewan adat adalah empat warga Bugis yang merupakan pemelihara dan pengawal La Galigo yang berada di garda paling depan yang siap mempertaruhkan apa saja demi kesucian ajaran La Galigo. Mereka pernah ditangkap bahkan dibunuh pada zaman DI-TII berkecamuk di Sulawesi Selatan, mereka pernah dipaksa menjadi Hindu atau dirazia melalui “operasi tobat” di zaman Orde Baru. Mereka tidak bergeming sedikitpun.

Ini memperlihatkan bahwa religi, tradisi, dan seni dalam La Galigo di Sulawesi Selatan memperlihatkan suatu rangkaian sistem yang merupakan satu kesatuan struktural dan fungsional. Karya La Galigo itu sendiri sebagai teks yang berbentuk sastra tak perlu lagi diperdebatkan, konvensi sastranya yang 5 suku kata pada setiap larik yang mencapai ribuan bait, alurnya yang datar, kilas balik dan pembayangan, kompleksitas karakter tokohnya, dan kemasan temanya yang rumit membuat orang susah memahami bagaimana sebuah karya sastra lama ini memiliki semua dimensi sastra modern. Itulah yang menempatkannya sebagai warga sastra dunia.

Sumangeq dan ininnawa begitulah orang Bugis menyebut “sukma” dan “hati nurani” dari prinsip-prinsip hidup yang diwarisinya dari La Galigo. Dengan sumangeq dan ininnawa itulah mereka mengarungi seribu dunia dan menerjemahkannyanya ke dalam kehidupan dunia kekinian.


Surau Kecil Di Kaki Bukit

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 21 Agustus 2010 | Agustus 21, 2010


adalah ilalang dan pematang. adalah jemuran padi dan matahari. adalah kita yang menjemur kerinduan di atap-atap rumbia dan di bawah pelepah. sebagaimana azan dan iqamah di waktu kanak-kanak. adalah kita yang berlarian kecil mengisi saf paling depan.

tapi kini tak kukenali letak pancuranmu yang dulu tempat membasuh wajah mungil kita dengan air wudhu. mungkin tak ada yang benar-benar hilang. jutaan akun baru di internet itu yang mengganggu kepulangan kita sesekali ke waktu kanak-kanak.

bulukumba, 11 ramadhan 1431 hijriah

Cinta Yang Biasa dan Dikunyah Melalui Doa Doa

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 20 Agustus 2010 | Agustus 20, 2010



menemuimu dari beberapa penjuru yang biasa. terasa hanya masih cinta yang biasa dan tak tahu diri mengunyah begitu banyak keinginan melalui doa-doa. 

padahal angin dan gunung-gunung pun telah ruku' abadi kepadamu tanpa pamrih surga entah sejak berapa kapan yang silam.

bulukumba, 10 ramadhan 1431 hijriah


Ilalang Bersuara Jangkrik

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 18 Agustus 2010 | Agustus 18, 2010


Puluhan pipa kecil seukuran jari orang dewasa berdiri merunduk. Batangnya yang hitam dengan tinggi sekitar setengah meter, seakan tak kuat menegakkan kepala putihnya. Mereka berdiri memanjang di sebelah kanan ruangan depan hingga lorong Common Room, Bandung, Jawa Barat, yang sengaja digelapkan dengan kain hitam dan tanpa lampu.

Begitu didekati, mereka seperti hidup dan menyapa dengan ramah. Dari kepalanya tiba-tiba merebak cahaya putih sambil diiringi suara seperti nyanyian jangkrik. Beberapa pengunjung ada yang sengaja menggoda mereka dengan hentakkan kaki agar mereka berbunyi.

Itulah Dune 4.1, karya seni interaktif Daan Roosegaarde yang dipamerkan sepanjang 13-18 Agustus ini. Dune atau duin dalam bahasa Roosegaarde, seniman muda asal Belanda, berarti sebuah bukit pasir halus yang terletak di tepi pantai. Bukit itu terbentuk oleh tiupan angin yang mudah membawa pasir. Di alam, gundukan bukit itu juga menyuburkan ilalang yang selalu menari bersama angin pembawa pasir.

Karya yang dikerjakannya selama 4 tahun tersebut memadukan peristiwa alam dan teknologi untuk dibawa ke dunia urban. Tapi master di bidang arsitek lulusan Berlage Institute itu ingin menekankan bahwa teknologi hanyalah alat yang dibutuhkan tanpa perlu diketahui wujudnya.

Roosegaarde justru ingin membangun kesadaran manusia lewat ilalang buatannya itu tentang hubungan yang dinamis dengan lingkungan sekitar. Selain lewat gerakan, juga dengan suara.

Sejak mendirikan studionya sendiri pada 2005, lulusan Academy of Fine Arts di Enschede, Belanda, itu kian mantap membuat karya seni interaktif yang tak biasa. Pada karya lain berjudul Flow 5.8, misalnya, Roosegaarde membuat dinding yang terbuat dari susunan ratusan kipas angin kecil seperti pada pendingin harddisk personal computer. Sama seperti Dune, kipas itu akan berputar ketika menangkap getaran suara atau gerakan pengunjungnya.

Sejumlah karya interaktifnya itu telah dipamerkan di sejumlah negara, seperti Inggris, Jepang, dan Italia. Di Bandung, proyeknya tersebut didatangkan, antara lain, atas kerja sama Erasmus Huis dan Hivos.

sumber: tempo
 

Video Instalasi Di Rumah Seni Cemeti

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 16 Agustus 2010 | Agustus 16, 2010


Hentakan musik tekno menyapa penonton saat masuk ke ruang depan Rumah Seni Cemeti Yogyakarta. Para pengunjung digiring menuju gerai kain hitam yang membentuk ruang empat persegi. Di dalam ruang hitam pekat itu orang seperti terperangkap bersama empat obyek yang mengesankan suasana dalam film fiksi ilmiah.

Ruangan itu hanya diterangi semburan cahaya dari proyektor video dari satu sudut dengan menampilkan citraan bergerak yang tak jelas—hitam-putih—menembus bentuk Hypercube berupa kubus transparan yang diberi tanda nomor 2. Dua bentuk bulatan di dalamnya berfungsi sebagai layar proyeksi, tapi cahaya juga menembus layar itu melintas ruangan menerpa bentuk kubus bernomor 3 di satu sudut di depannya. Citraan itu lenyap, yang tersisa hanya cahaya bergerak di badan struktur piramida dalam kubus itu, dan bentuk stalaktit seperti pada goa kapur di dalam kubus nomor 1.

Obyek berbeda muncul di sudut lain berupa bentuk transparan mirip katak dengan dua kaki berselaput dan satu mata nyalang di bagian atas. Tubuh berbentuk elips berongga itu berhiaskan dua tangan manusia. Allison Leigh Holt, 28 tahun, pembuat karya ini, mencantumkan tanda nomor 4 pada karya itu.

Karya video instalasi yang dipamerkan di Rumah Seni Cemeti 11-25 Agustus sekilas begitu asiing tapi memukau.  Transparan tapi menyembunyikan misteri di dalamnya. Karya berjudul The Beginning Was The End yang merupakan hasil proyek residensi ini menggambarkan persilangan antara konsep Jawa dan konsep ciptaannya, dan juga batasan samar antara teori ilmiah dan fiksi ilmiah.

Di luar “dunia gelap” itu, peneliti asal Amerika Serikat ini mencoba menjelaskan simbol visual pada karya instalasi videonya lewat sejumlah diagram. Mahluk Nomor 4 tadi dia beri judul Oowenology yang dia sebut ruang bersama antara diri sendiri dengan sukma. Ada diagram The Four Sodara, yang menjelaskan kepribadian manusia berdasarkan kosmologi Jawa, antara lain santosa, suci, murka, dan angkara.

Citraan yang samar juga muncul pada karya video lain berupa citraan bergerak seperti bentuk pepohonan dengan citraan monokromatik yang kadang nyaris seperti siluet. Aktor Teater Garasi Gunawan Maryanto dalam tulisan pengantarnya pada pameran ini menyebutkan, karya Holt ini merupakan upaya memahami dunia (Jawa) yang begitu jauh dari dirinya. Bagi penonton ada dua pilihan: menikmati sensasi rupa pada karya ini, atau berkubang dalam kerumitan makna simbolik.

 (berbagai sumber)

Tuhan Di Tenggorokan

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 13 Agustus 2010 | Agustus 13, 2010


Para jamaah mencari Tuhan. Tapi Tuhan tidak mereka temukan di atas sajadah. Tuhan tidak mereka jumpai di kotak celengan mesjid.

Ternyata Tuhan berada di waktu dini hari. Pada terik siang dan tenggorokan kering. Tuhan berada di perut yang lapar. Tuhan berada di telapak tangan yang memberi makanan berbuka puasa kepada sesamanya.

Tuhan, ramadhankan kami.

Peringatan Seabad Sastra Bali Modern

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 12 Agustus 2010 | Agustus 12, 2010

 
Kalangan akademisi dan sastrawan Bali, Kamis (12/8), memperingati satu abad Sastra Bali Modern (SBM) di Fakultas Sastra Universitas Udayana, Denpasar, Bali. Peringatan ditandai dengan peluncuran dan diskusi buku "Tonggak Baru Sastra Bali Modern" karya I Nyoman Darma Putra.

Dalam buku itu Darma Putra menyatakan, SBM sudah lahir pada 1910-an dengan karya-karya dari Made Pasek dan Mas Nitisastro dalam bentuk cerita pendek. "Ini berbeda dengan karya sastra tradisional sebelumnya dalam bentuk kakawin dan geguritan,"ujar Darma Putra, yang kini terlibat sebagai Dewan Juri untuk hadiah sastra Rancage itu.

Isinya juga menunjukkan tema-tema kontemporer pada saat itu seperti masalah pendidikan dan peran perempuan. Adapun pada saat itu, tutur Darma Putra, karya sastra ditulis untuk pengajaran di sekolah.

Pendapat itu mementahkan anggapan bahwa SBM baru lahir pada 1930, sebagaimana dinyatakan oleh Almarhum Profesor Ngurah Bagus. Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Udayana itu mendasarkan pendapatnya pada penerbitan novel karya I Wayan Gobiah yang diterbitkan Balai Pustaka pada 1931. Pendapat itu kemudian menjadi acuan dalam pengajaran ilmu sastra dan perkembangannya di Bali.

Darma Putra sendiri menemukan karya-karya Made Pasek dari buku-buku teks yang digunakan sekolah-sekolah pada jaman pemerintahan kolonial di Bali. Buku-buku ditemukannya dalam mikrofilm koleksi V.E. Korn di perpustakaan University of Queennsland, Australia.

Selanjutnya, koleksi itu ditambahkan Darma Putra dengan temuannya di Museum Gedong Kirtya, Singaraja, Bali. Bagi dia, karya-karya yang ditampilkan dalam buku itu juga sangat penting untuk menunjukkan interaksi masyarakat Bali dengan perkembangan dunia yang sudah berlangsung lama.

(berbagai sumber)

Sekelompok Angin Membunuh Sebaris Puisi Dalam Tidurku

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 10 Agustus 2010 | Agustus 10, 2010


Sekelompok angin membunuh sebaris puisi dalam tidurku malam ini. Apakah hujan masih berpihak? Waktu berdetak. Kalimat-kalimat cinta berteriak.

"Maa,..." seorang anak kecil membangunkan malam dan ibunya.

Sebentar lagi sahur. Sebentar lagi lapar. Dengan cinta ternyata Tuhan tidak berteriak.

Rumingkang



Menyaksikan tarian Rumingkang mungkin bisa mengingatkan kita pada kehebatan dan semangat  Saung Angklung mang Ujo,  seni Wayang Golek modern dari Giriharja I, II, III, dalang Asep Sunandar Sunarya dan keluarganya, serta budayawan lainnya  yang sukses menampilan budaya dan kesenian daerah ke mancanegara bahkan bisa komersil.

Terlepas dari prestasinya di ajang IMB (Indonesia Mencari Bakat) di Trans TV, para bocah penari “Rumingkang” memang layak diberi apresiasi. Juga terlepas dari kontroversi seputar orisinalitas karya mereka yang belakangan sempat diberitakan di beberapa media. 



Bagi yang kurang suka terhadap tari pasti berpendapat sama bahwa mereka begitu menarik dan sangat bagus dalam membawakan tarian khas Jawa Baratnya bahkan sempat tampil di daerah Jawa Timur. Mereka masih anak-anak namun dikelola dengan baik oleh pecinta budaya dan kesenian sunda sehingga bisa menampilkan tarian sunda yang begitu indah. Kemasannya cukup apik, unik, dan menarik perhatian, setiap tampil selalu dengan kostum dan gaya tarian yang berbeda-beda namun cukup menarik perhatian para penonton. Maka dengan kelompok penari inilah budaya dan kesenian daerah menjadi komersil karena bisa dikomersilkan oleh pengelola yang bisa mengolahnya.



Profil Rumingkang
RUMINGKANG INDONESIA
Alamat                        : Bandung Jawa Barat
Pimpinan sanggar   : Buyung Rumingkang
Koreografer               : Buyung Rumingkang
Manager                     : Tati Karwati
Penari                         : Aulia Permatasari  ( SMP N 30 kls 7D)
Nurul Fitri Anggraeni ( SMP N 30 kls 8G)
Febby Laniarti Rizki ( SMP Kemala Bhayangkari kls 8)
Elsa Khoerunnisa  ( SD N Gumuruh 1 kls 6)
Shenie Indriani  ( SD N Panyileukan 1 kls 5)
(data April 2010)
Untuk melihat videonya ada di sini 


(berbagai sumber) 
 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday