Home »
Catatan Trotoar
» Orang Kritis Bermula dari Membaca
Orang Kritis Bermula dari Membaca
Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 06 Juni 2009 | Juni 06, 2009
Apa penyebab utama sehingga muncul orang-orang kritis? Jawabannya adalah orang-orang kritis membiasakan dirinya dengan membaca. Membaca bukan sekedar untuk menciptakan manusia berilmu. Mulailah dengan membaca. Memulai budaya membaca bisa diawali dari rumah, bukannya di sekolah atau kampus yang hanya menyediakan waktu terbatas.
Soekarno, Moh Hatta, Syahrir, Bj Habiebie, Yusuf Kalla, dan lain- lain menjadi orang besar bukan secara kebetulan tapi mereka mengadopsi budaya tulisan melalui otodidak, belajar secara mandiri, dan belajar di lembaga pendidikan formal yang berbudaya atau berkualitas tinggi. Sementara Buya Hamka, Haji Agus Salim,dan lain-lain, tidak pernah menempuh pendidian formal tinggi, namun lewat budaya tulisan secara otodidak telah tumbuh menjadi ilmuwan, budayawan dan tokoh intelektual. Orang-orang besar memulainya dengan membaca di rumah maupun di tengah sawah.
Membaca adalah awal budaya tulisan. Apakah semua orang terdidik di negeri kita rajin membaca? Itu bisa ditelisik dari sejauh mana budaya menulis di kalangan terpelajar. Ternyata hanya dari orang terdidik yang memiliki budaya menulis yang lebih kritis dan analitis. Jenis ini lebih memiliki ciri khas critical thinking and analytical thinking. Di kampus-kampus, hanya mahasiswa yang rajin membaca dan menulis yang menonjol dalam pergerakan kemahasiswaaan.
Di negara- negara maju membaca dan menulis sudah menjadi konsumsi sehari- hari. Sebuah jawaban untuk menjelaskan penyebab kalangan muda di negara maju lebih banyak menentang ijazah pendidikan formal sebagai syarat utama untuk memperoleh pekerjaan. Dengan membaca kalangan muda itu menjelma menjadi kaum intelektual secara otodidak dan bisa dipekerjakan secara layak sesuai keahliannya masing-masing.
Di Indonesia, gerakan gemar membaca hanya dimulai dari simposium, seminar dan semacamnya. Hanya didukung dari spanduk dan perpustakaan keliling yang terbatas. Akhirnya lahirlah generasi sertifikat. Ilmu pengetahuan sebatas dinilai dari piagam, ijazah, sertifikat dan semacamnya sebab sistem pendidikan memang menginginkan itu. Paradigma budaya membaca dan menulis seyogyanya telah dipahami sebagai cikal bakal manusia analitis dan kritis. Bukannya pemahaman bahwa budaya membaca dan menulis hanya untuk mencetak penulis profesional.
nice artikel bro,, budayakan membaca sejak kecil hehehe
BalasHapusnice artikel bro...
BalasHapusbudayakan membaca sejak kecil ^^
benar. sejak kecil harus sudah mengenal buku. salam
BalasHapus