Di berbagai episode sejarah,
zaman dan belahan bumi, karya sastra 'seburuk' apa pun bisa mendidik pembacanya
untuk bersikap kritis dalam memilih dan memihak nilai-nilai moral yang
disajikannya. Individu-individu maupun komunal yang dicuci otaknya melalui moralitas karya sastra sebenarnya
merupakan aset besar bangsa untuk memperbaiki sistem dan struktural. Hal itu
bisa disebut sebagai sisi unik dari sastra. Sastra bisa digunakan sebagai salah
satu alat untuk melawan korupsi.

Ketika sastra melawan korupsi
maka akan terbayang teks-teks estetika yang berperang melawan sebuah bentuk
kejahatan. Ini bisa juga disebut sebagai pertempuran klasik antara hitam dan
putih. Sastra dengan gayanya yang khas mewakili wilayah gagasan, ranah ide dan
moralitas di satu kubu lalu di kubu lainnya, korupsi yang mewakili dunia hedonisme. Sastra bisa tampil sebagai orator. Bentuk ini bisa ditemui dalam puisi-puisi protes dan semacamnya. Di waktu yang lain sastra bisa muncul sebagai teks-teks pencerahan yang secara tidak langsung mempengaruhi pola pikir secara halus.
Sastra dengan berbagai latar
ideologi penulisnya ternyata sejak lama telah menyumbangkan energi perlawanan
tegas terhadap korupsi. Pada dua dasawarsa abad ke-20 novel Hikayat Kadiroen
telah ditulis oleh Semaoen. Dalam novel bergaya realisme-sosial ini terdapat
ide-ide dasar komunis tentang perlawanan terhadap kaum borjuis dan upaya menuju
kesetaraan kelas.
Jauh sebelumnya dari ideologi
berbeda, pada tahun 1859 Multatuli pun ternyata telah menulis Max Havelaar of
de Aoffieveilingen der Nederlandsche Handelmaatschappiij (Lelang Kopi
Perusahaan Dagang Belanda) yang memuat kisah tentang penguasa-penguasa pribumi
maupun kolonial yang korup. Multatuli alias Douwes Dekker akhirnya berhasil
membukakan mata politisi dan masyarakat Belanda saat itu tentang kebobrokan di
negeri jajahannya, Nusantara.
Eduard Douwes Dekker, seorang pegawai pemerintah yang kecewa di Hindia
Belanda melalui buku ini mengkritik kesewenang-wenangan pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Buku tersebut merupakan bingkai dari berbagai jalinan kisah cerita. Bermula dari kisah tentang Batavus Droogstoppel, seorang pedagang kopi dan contoh
yang tepat tentang seorang borjuis kecil yang membosankan dan kikir, yang
menjadi simbol bagaimana Belanda mengeruk keuntungan dari koloninya di Hindia
Belanda. Suatu hari, mantan teman sekelasnya (Sjaalman) menjenguk Droogstoppel
dan memintanya menerbitkan sebuah buku.
Selanjutnya –disela oleh komentar Droogstoppel- adalah kisah tentang buku
itu yang secara garis besar menceritakan pengalaman nyata Multatuli (alias Max
Havelaar) sebagai asisten residen di Hindia Belanda. (Sebagian besar adalah
pengalaman penulis Eduard Douwes Dekker sendiri sebagai pegawai pemerintah.)
Asisten residen Havelaar membela masyarakat lokal yang tertindas, orang-orang
Jawa, namun para atasannya yang warganegara Belanda dan masyarakat lokal yang
mempunyai kepentingan bisnis dengan Belanda, beramai-ramai menentangnya.
Sejumlah kisah tentang masyarakat lokal dirangkaikan dalam buku ini,
misalnya, kisah tentang Saidjah dan Adinda. Di antara kalimat-kalimat tentang
kisah cinta yang mengharukan, tersirat tuduhan tentang eksploitasi dan
kekejaman yang menjadikan orang-orang Jawa sebagai korbannya. Pada bagian akhir
buku ini, Multatuli menyampaikan permintaan secara sungguh-sungguh langsung
kepada Raja William III, yang dalam posisinya sebagai kepala negara, adalah
yang paling bertanggung jawab untuk kesewenang-wenangan dan korupsi
pemerintahan di Hindia Belanda.
Pada awalnya, buku ini menerima banyak kritik, tetapi kemudian segera
menimbulkan perdebatan dan dicetak ulang beberapa kali. Buku ini masih
diterbitkan sampai sekarang dan telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 140 bahasa.
Pada tahun 1999, penulis Indonesia Pramoedya Ananta Toer merujuk buku ini dalam
the New York Times sebagai "Buku yang Membunuh
Kolonialisme".
Pada tahun 1960 Pramoedya Ananta
Toer menulis novel berjudul Korupsi yang berlatar belakang rezim orde lama. Novel
ini diterbitkan pertama kali tahun 1954 dan diterbitkan ulang tahun 2002 oleh
Hasta Mitra. Novel ini terdiri dari 14 bab dan bercerita tentang seorang pegawai
negeri bernama Bakir. Tapi sayang sekali, generasi muda Indonesia tidak
banyak mengenal karya Pramoedya dibanding pembacanya di luar negeri.
Di zaman Orde Baru muncul Ahmad
Tohari dengan novel Orang-Orang Proyek. Tentang kisah seorang insinyur bernama Kabul yang tak bisa menguraikan dengan baik hubungan
antara kejujuran dan kesungguhan dalam pembangunan sebuah proyek dengan
keberpihakan kepada masyarakat miskin. Apakah kejujuran dan kesungguhan
sejatinya adalah perkara biasa bagi masyarakat berbudaya, dan harus dipilih
karena keduanya merupakan hal yang niscaya untuk menghasilkan kemaslahatan
bersama?
Memahami proyek pembangunan
jembatan di sebuah desa bagi Kabul ,
insinyur yang mantan aktivis kampus, sungguh suatu pekerjaan sekaligus beban
psikologis yang berat. "Permainan" yang terjadi dalam proyek itu
menuntut konsekuensi yang pelik. Mutu bangunan menjadi taruhannya, dan
masyarakat kecillah yang akhirnya menjadi korban. Akankah Kabul bertahan pada
idealismenya? Akankah jembatan baru itu mampu memenuhi dambaan lama penduduk
setempat?
Setelah beberapa daftar karya
sastra itu lalu tak terhitung lagi karya-karya lainnya yang membicarakan,
mengkritik maupun secara tidak langsung menghipnotis pembacanya untuk memusuhi
korupsi. Di bebagai zaman akan selalu terbit novel, cerpen, esai, puisi, drama
dan sebagainya menantang korupsi melalui
estetika sastra.
Ketika sastra muncul sebagai
kekuatan alternatif yang mampu membentuk pola pikir masyarakat maka masalah
yang biasanya muncul adalah masih rendahnya minat dan apresiasi sastra dari
masyarakat terutama di ruang-ruang edukasi. Sastra sebagai salah satu media
informasi tentang masa lalu yang berkaitan dengan sejarah suatu bangsa bisa menjadi spirit hidup dan yang bisa
dikembangkan oleh generasi-generasi selanjutnya. Jika sejak kecil anak-anak
kurang mendapatkan pendidikan tentang apresiasi sastra setelah agama, sangat
sulit mengharapkan mereka tumbuh dan berkembang menjadi manusia-manusia yang
memiliki kekayaan spiritualitas yang dapat membuatnya hidup terhormat.
Kekuatan spiritualis bisa
terlahir dari mana saja. Gemblengan pendidikan agama yang dimulai dari rumah
adalah contoh nyata. Tapi tidak semua orang beruntung pernah memperoleh
pendidikan agama yang kuat dari keluarga.
Gempuran kultur hedonisme yang telah merangsek ke dalam lingkungan kita
di hari –hari ini benar-benar menyulitkan untuk memberikan pencerahan akhlak
individu yang telah terkontaminasi budaya materialisme.
Namun masih ada satu celah yang
bisa disusupi. Gaya
materialisme itu sebenarnya masih bisa ‘diracuni’ dengan menyuntikkan
paham-paham yang ideal dari karya-karya sastra. Tinggal gerakan menumbuhkan
minat baca yang harus semakin digenjot secara simultan.
Tingkat apresiasi sastra yang rendah di Indonesia dapat dikaitkan dengan
maraknya kasus korupsi dan dekadensi moral lainnya. Tidak bisa disalahkan jika
ada yang lantang menuding dengan tegas bahwa kurikulum pendidikan adalah
biangnya. Dalam sistem kurikulum pendidikan
yang cenderung mengekang kreativitas anak didik di sekolah, khususnya yang
berkaitan dengan apresiasi sastra, bangsa kita benar-benar menjadi bangsa yang
miskin spiritualitas. Upaya meningkatkan apresiasi sastra (termasuk sastra
klasik) untuk melawan korupsi dapat dimulai dengan membenahi sistem dan kurikulum pendidikan dengan benar.
Untuk menolong sistem dan
kurikulum pendidikan yang lemah, mau tidak mau harus digenjot gerakan
menumbuhkan minat baca. Telah terbukti di beberapa negara maju, minat baca jauh
lebih efektif membangun sumber daya
manusia intelektual sekaligus moralis dibanding pendidikan formal. Keberpihakan
pemerintah dalam bentuk kebijakan-kebijakan kondusif terhadap pendidikan
non-formal semestinya telah membuka ruang-ruang yang sangat lapang.
Setelah agama sebagai kekuatan
pertama, maka kekuatan kedua adalah apresiasi sastra untuk mengeliminir kasus
korupsi. Apresiasi sastra hanya bisa tumbuh dengan baik dari sistem dan
kurikulum pendidikan yang tidak kaku. Di samping sistem pendidikan, sumber daya
manusia terdidik hanya bisa didukung dengan minat baca dan literatur yang
berkualitas. Di ranah inilah karya-karya sastra harus menjadi salah satu menu
utamanya.
referensi:
http://sastra-perlawanan.blogspot.com/
korupsi penyakit manusia mendunia baik dari kalangan atas maupun kalangan bawah. dari zaman dahuluuuu kala ampe skrg (dan mgkn ampe ke depan). selama manusia mengutamakan nafsu daripada nurani, korupsi ga bakal bisa ilang di dunia.
BalasHapuswah bner kle yah, dlu sempet kuliah di fakultas sastra. meski sastra inggris seh. tp kerjaannya demo muluk jadinya kluar deh...heheheh ga betah soalnya..
BalasHapusmemang kurikulum kita bagaimana yah masa pendais cuma 2 jam mulai dari SD sampai SMA
BalasHapussayangnya tak semua orang suka sastra, maka kurikulum pendidikan dan pola didik keluarga serta lingkungan yang berbasis budi pekerti menjadi sesuatu yang niscaya.
BalasHapusTrims, sudah berbagi
wah ini artikelyg diikutkan dlm lomba ya? semoga menang ya.
BalasHapusWah, kami ngedukungmu sob hehehehe...
BalasHapusSastra juga ikut2an melawan korupsi, semoga kita bisa ya Mas.
BalasHapus(kok kayak kampanye sihhh) :)
yup, akar segala permasalahan yang melanda bumi Indonesia memang pada pendidikan dan akhlak
BalasHapusOoo berarti virus Belanda nular ke Indonesia ya.Pantasan...di zaman orde baru adalah korupsi terbesar di Indonesia:D
BalasHapusBtw,saya setuju dengan ide di atas.Tapi sayangnya syair-syair atau puisi-puisi mereka kebanyakan berbentuk kritikan,sindiran atau sentilan,bukan berbentuk didikan.Yang saya ketahui aja sih bro.Moga banyak juga yang berupa didikan ya.
Wah...ternyata sastra bisa menjadi sarana yang efektif untuk melawan segala bentuk korupsi...
BalasHapuspernah baca di blog temen (lupa)
BalasHapuskalo anak di ajar sastra dari kecil
maka budi pekertinya jadi bagus
maka ga mau melakukan kejahatan
apalagi korupsi
berantas korupsi sampai keakar-akarnya.
BalasHapusmari mereformasi diri dengan penanaman nilai agama sejak dini dalam lingkungan keluarga.
Moga Artikelnya bisa terpilih Van..
Mohon maaf baru sempat mampir..
BalasHapuskoneksi ditmpat saya lagi trouble.
korupsi penyakit yang paling merusak nomer satu, dan Indonesia negara terkorup baik di bidang ekonomi maupun hukum. jadi, Indonesia negara rusak dong??
BalasHapuskorupsi=pencuri=perampok=pemerkosa
BalasHapusMembersihkan Korupsi Di Indonesia Itu gak Bisa Dengan SAPU Kotor. Membasmi Korupsi harus dengan SAPU yang bersih. Di Indonesia, Korupsinya bukan hanya soal korupsi Uang. Melainkan Korupsi Yang Sistemik. Dan Proses ini di biarkan terus berjalan.
BalasHapusSukses ya kompetisinya...semoga.
BalasHapuswow.. mantap bang, mencoba melawan korupsi lewat pembelajaran sastra.. ^^
BalasHapusbtw, thanks untuk partisipasinya yaaa.. ^^
saya setuju bahwa sastra memberi pengaruh besar. dari sejarahnya sudah banyak bukti. dan semoga sastra makin berkembang, dan khusus untuk artikel korupsi semoga memberi kontribusi signfikan. salam kenal bro. saya follow ya.
BalasHapuspostingan yang mantap mas...
BalasHapuskorupsi harus dilawan dgn sastra
BalasHapussaya setuju dgn opini anda
Minat baca memang agak sulit ditumbuhkan jika tidak dengan kesadaran diri.
BalasHapusPadahal dengan membaca kita bisa melihat dunia.
Sastra menggugah di setiap perjalanan sejarah manusia.
BalasHapuskami muak dengan ketidak adilan dan keserakahan...jangan samakan tikus dengan para koruptor krn tikus lebih mulia dibandingkan para koruptor yg menjijikkan itu...
BalasHapusmet sore bang...
BalasHapustulisanku ttg korupsi belom jadi2 juga neh
salam sejahtera
BalasHapussaya sangat setuju bahwa sastra bisa melawan korupsi
salut untuk bang Ivan
saya tunggu karya yang berikutnya
Bener sob, banyak cara yang bisa dilakukan untuk melawan tindak korupsi dan cara seperti sastra, lagu ataupun lainnya memang bisa dibilang cukup ampuh dan membuat kuping koruptor panas hehehe. Apalagi cara ini merupakan wujud kekecewaan dari dalam hati dengan menuangkannya pada sarana yang tepat dan kreatif. Jadi banyak pihak yang menghargainya. thank
BalasHapushancurkan korupsi.......!!!!!!!1
BalasHapussaya suka dengan sastra yang bisa menginspirasi. disisi lain, saya juga suka sastra yang mampu menggerakan orang untuk memberantas korupsi
BalasHapusMas, ini untuk ikutan kompetisi di blog mas Joddie yah...??? keren banget tulisannya mas. Semoga menang yah.. Dan, saya segera menyusul karyanya. Insya Allah..
BalasHapusSetuju, semua lini, semua bidang harus melawan korupsi. Sastra melawan korupsi, mantap dan gaung pasti menggelegar.
BalasHapusArtikelnya mantap nih... aku malah belum kepikiran bisa melawan korupsi lewat sastra.
BalasHapusIde yang bagus, Bang.
Ikutan lomba anti korupsi ya? Semoga menang deh.. karena artikel yang disajikan bener-2 mak nyuuuuss..
BalasHapussobat....kenapa web cerita inspirasi ndak bisa di akses?apa over load bandwidth nya yah? hebat bgt pengaruh kontes ini....oh ya.....rencananya sih aq mau submit artikel q yang baru...tapi masih belum bisa nih....
BalasHapussastra bisa jadi ampuh untuk mencegah korupsi seperti sastra pada revolusi perancis
BalasHapusSebuah ide yang mulia ini untuk kontes ya bang selamat yah mudah-mudahan menang
BalasHapusAyo semangat lagi nge-blog, apalagi jalan jalan pagi udah ketemu konten berharga seperti konten sobat yang ini, sobat… saya undang untuk follow-followan, semoga undangan ini bersambut baik
BalasHapushaloooo banggggggggggg mampir lagi deeeh akhirnya
BalasHapusKOrupsi adalah buldozer terhebat penghancur negeri...
BalasHapusartikel yang mantap mas....moga sukses di kontes ini....salam persahabatan......
BalasHapusKeren mas artikelnya. Semoga berhasil..
BalasHapussukses selalu, hidup sastra buat berantas korupsi :)
BalasHapuskereeeennn..semangat launching sastra dimana mana yah :D
BalasHapusheheh
lawan korupsi dengan apa aja
BalasHapusbtw maaf ya mas baru berkunjung...istri baru sembuh nih..hehe..
semoga menang mas lombanya...
Terimakasih untuk semua. Mari berantas korupsi dengan memulai dari sendiri.
BalasHapusayo kita lawan korupsi dengan kejaaaaaaaaaaaaaammmmmmmmmmmmmmm
BalasHapusSeperti kata pameo :
BalasHapusKalau politisi kotor,maka sastrawan yang membersihkan. Tapi jika sastrawan yang kotor, tak ada lagi yang mampu membersihkan!
Korupsi, bisa dilawan dengan apa saja. dngn penegakan hukum, dengan demo, dengan Opini. tapi kalo Korupsi dilawan dengan Sastra akan menarik jadinya. karena beraSAl dari dunia yang berlawanan
BalasHapussalam kenal mas bro dari bri :)
BalasHapusAll- terimakasih kunjungan dan komentarnya ya. Salam.
BalasHapusMenarik sekali. Koruptorpun memakai pena untuk melakukan aksinya. Kenapa tidak, gerakan anti korupsi dapat pula melawannya dengan pena atau tulisan khususnya susastra. Sangat mungkin.
BalasHapusSelamat ya...dan sukses selalu. Salam kenal.