Home » » Berapa Jumlah Batu Yang Dibutuhkan Sisifus?

Berapa Jumlah Batu Yang Dibutuhkan Sisifus?

Posted By Alfian Nawawi on Senin, 13 Juli 2020 | Juli 13, 2020

Idiom yang absurd itu bernama “negara.” Kekuasaan telanjur berbeda dengan negara. Ia selalu membutuhkan bentuknya yang ril, faktual, dan fisik. Sebab itulah tidak pernah ada kekuasaan yang benar-benar stabil. Pun tidak ada kekuasaan yang tidak selalu menumpang pada inangnya, negara.



Akibatnya, sebagian besar kita tidak akan mampu memahami apa yang dilakukan Habib Bahar Smith, Said Didu, Farid Gaban, Rustam Buton dan lain-lainnya itu. Bahkan Din Syamsuddin dan Habib Riziek pun tidak sedang melawan negara. Sebaliknya, juga tidak sedang bermaksud melawan kekuasaan.

Sejarah saja yang selalu memiliki porsi setimpal untuk catatan-catatan yang tidak menyenangkan. Rezim yang mendapat giliran mengendalikan sistem maka sangat memungkinkan memproduksi penindasan. Toh persekusi dan kriminalisasi lebih banyak diorganisir oleh kekuasaan. Bukan oleh negara.

Penembakan misterius alias petrus diberlakukan oleh Soeharto pada era 1980-an. Itu satu-satunya terapi untuk mengurangi kriminalitas di masa Orde Baru. Soeharto memang mengakuinya dalam buku biografi “Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya”.Sebagai sebuah cara unik dari kekuasaan, petrus memang agak berguna. Namun pada tindakan tangan besi, mungkinkah kekuasaan berguna bagi negara?

Dalam mitologi Yunani, barangkali rakyat bisa menemukan alegori nasibnya serupa Sisifus. Kisahnya ditulis oleh Homer yang berjudul Odyssey.

Sisifus terlalu banyak ulah dan menantang Zeus. Para dewa menjatuhinya hukuman mendorong batu dari kaki sebuah bukit hingga tiba di puncaknya. Sesampai di puncak, para dewa akan menendang batu itu hingga menggelinding kembali ke kaki bukit. Saban batu itu tiba di bawah, Sisifus harus kembali mendorongnya ke atas hanya untuk dijatuhkan lagi oleh para dewa. Begitu seterusnya.

Tentu saja tidak persis mirip. Suara-suara kritis yang dibungkam justru tidak melambangkan Sisifus. Rezim yang makin represif juga ternyata tidak serupa dewa. Kesamaannya hanya terletak pada saat menggelindingkan batu ke kaki bukit.

Ancaman ketidakstabilan terhadap kekuasaan sebenarnya hanya selalu berkutat di seputar kebijakan-kebijakan ganjil dan janggal. Seperti rezim Jokowi yang dipandang lebih mengutamakan kepentingan oligarki dan Cina dengan cara mengorbankan rakyat Indonesia.

Barisan oposisi punya list panjang. Sebut saja RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang memanjakan investor dengan menindas hak-hak buruh. Lalu, RUU Minerba yang memungkinkan investor mengeksploitasi lingkungan. Hamparan karpet merah bagi buruh kasar Cina. Dan tidak memasukkan TAP MPRS No XXV/1966 tentang larangan ajaran komunisme dalam RUU Haluan Ideologi Pancasila.

Ketika rezim sedang ganjil memang sebaiknya kekuasaan harus berani menjadi “negara”. Meskipun tidak serta merta harus menanggalkan kekuasaan. Ketika “negara” sesungguhnya berpihak kepada barisan oposisi -sebagian bergerak sporadis- yang tidak membutuhkan kekuasaan, maka kekuasaan memang sedang terancam sangat serius.

Bukankah pernah ada versi lain pada kisah Odyssey? Sisifus berhasil mengambil alih kekuatan para dewa di puncak bukit. Sekali waktu para dewa rupanya lelah menggelindingkan batu.

Dengan sekuat tenaga Sisifus mengangkat batu besar itu. Lalu dilemparkannya penuh suka cita ke puncak bukit. Hanya saja tidak ada bagian yang menerangkan berapa jumlah batu besar yang dibutuhkan Sisifus?(*)

Pelajaran moral: mitologi paling aneh adalah ketika ternyata Zeus hanya boneka.

Tulisan ini sebelumnya juga dimuat di kolom Catatan Tumit LaCulleq  situs BeritaBulukumba.Com



Share this article :
Komentar

0 apresiator:

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday