Home » » Sudah Terlambat Ganyang Neo-PKI Melalui Cara Konstitusional

Sudah Terlambat Ganyang Neo-PKI Melalui Cara Konstitusional

Posted By Alfian Nawawi on Selasa, 14 Juli 2020 | Juli 14, 2020

Di bumi, komunisme tidak pernah gagal sebagai ideologi. Sejarah kegagalannya hanya terletak pada sistem ekonomi: sosialisme. Sebab itulah RRC digdaya, Korea Utara tetap ada. Bahkan komunisme yang paling klasik pun masih mengepul-ngepul dari cerutu negeri Kuba. Fidel Castro dan Che Guevarra masih “hidup” dalam kenangan kolektif kaum komunis Amerika Latin terkait heroisme.

Sebagai ideologi, rupanya komunisme hanya berani bertarung pada tataran “agama sebagai candu” dan “utopia proletariat.” Selebihnya, terutama sistem ekonomi global, komunisme mengibarkan bendera putih pada kapitalisme. Satu-satunya kelebihan komunis yang bisa dibanggakan hanya nasionalisasi aset.

Setiap ideologi memiliki “nabi-nabi”, tak terkecuali komunisme. Begitulah, kenapa Mao Zedong atau Stalin dan lainnya itu masih dipuja. Komunisme di Indonesia juga punya “nabi-nabi.” Musso yang gagal atau DN Aidit yang gegabah itu, jelas menyodorkan referensi pengalaman berharga kepada para pelanjutnya.

Mengambilalih kekuasaan negara dengan cara militeristik sangat mustahil. Menjelang gestapu 1965, kiriman ribuan senapan dari Tiongkok tidak lebih dari sekadar eksperimen Peking. Komunisme punya kelebihan pada strategi pembacaan gejala dan percobaan. Komunisme di Indonesia hanya bisa bangkit manakala mampu masuk ke dalam sistem kekuasaan.

Joseph Stalin pun tidak menyetujui memindahkan revolusi China ke Indonesia. Dalam artikelnya, “Stalin and the Revival of the Communist Party of Indonesia”, yang dimuat di jurnal Cold War History (Vol. 5, No. 1, February 2005: 107-120), sejarawan Larissa M. Efimova mmengungkapkan hasil penelitiannya terhadap berbagai dokumen yang ditemukan dalam arsip milik Joseph Stalin (1878-1953), pemimpin besar Soviet.

Berdasarkan penelusuran Efimova, dokumen-dokumen tersebut sepenuhnya menolak pendapat sarjana terdahulu, yang menyatakan bahwa Moskow tidak menaruh perhatian terhadap PKI.

Stalin punya peran langsung dalam proses pematangan program baru bagi PKI, yang tengah dirumuskan tokoh-tokoh PKI sendiri maupun bekerjasama dengan para tokoh Partai Komunis Cina (PKC).

Reaksi Stalin, dengan jelas bisa dilihat sikapnya terhadap PKI dan atas proposal para pemimpin komunis Indonesia dan Cina. Catatan pertama Stalin berkaitan dengan tugas pokok PKI, yang berfokus pada perlunya menelanjangi kepalsuan kemerdekaan Indonesia. “Dan bagaimana dengan persoalan agraria?” Kata Stalin.

Stalin menandai kata-kata dalam proposal bersejarah itu tentang perlunya “revolusi bersenjata melawan kontrarevolusi bersenjata” dan “penciptaan tentara pembebasan-nasional yang kuat dan setia.” Pada bagian yang memaparkan perlunya “mengusir semua kekuatan imperialis Belanda, Amerika, dan Inggris dari Indonesia”, Stalin menambahkan: “Nasionalisasikan perusahaan-perusahaan mereka!”

Mengenai proposal tentang “penggulingan dominasi kaum reaksioner dalam negeri yang menjadi antek-antek imperialis dan digantikannya mereka oleh pemerintahan koalisi demokratis”, Stalin berseru: “Salah!” Stalin mengajak mereka untuk “bergabung dengan Uni Soviet, Cina, dan negara-negara demokrasi rakyat.”

Bagi Stalin, tujuan PKI tetaplah kabur. Di bagian kata-kata “memimpin revolusi sampai tujuan tercapai”, dia menulis sebuah pernyataan: “Maksudnya apa?” Ia menekankan pentingnya menguasai cara-cara kerja ilegal dan setuju pada ajakan untuk secara legal “melakukan aktivitas parlementer di semua bidang”, seraya berkomentar: “Benar!”

Rupanya “amanat Stalin” barulah diiimplementasikan dengan rapi oleh generasi pelanjut PKI dan berhasil mereka terapkan sejak orde baru runtuh. Penetrasi dan pressure atas nama reformasi-demokrasi dan HAM akhirnya berbuah manis. Para tapol eks PKI langsung menghirup udara kebebasan.

Tidak hanya sampai di situ. Melalui desakan ke MK, anak cucu keturunan eks PKI akhirnya dibolehkan ikut memilih dan dipilih sebagai legislator. Sebagian lainnya berhasil menduduki jabatan strategis seperti kepala desa, lurah, camat, dan bupati. Bahkan pos-pos strategis di pusaran elit pemerintahan.

Agak aneh memang ketika rakyat terutama umat Islam baru tersentak. Mereka baru move on ketika berhadapan dengan fakta kemunculan “produk-produk” berbau khas komunis yang datang dari lingkaran elit kekuasaan dan parlemen.

Jika RUU HIP yang bermasalah itu digugat oleh umat Islam, maka itu baru merupakan awal perbenturan nostalgia. Di sana terdapat trauma sejarah yang selalu ikut bicara. Umat islam dipastikan tidak mau kecolongan tiga kali.

Komunisme memang selalu banyak belajar dari sejarah. Anak cucu keturunan PKI yang tetap mengusung ideologi komunisme ternyata tidak berangkat dari gerakan sporadis. Mereka terorganisir dengan baik. Mereka jauh lebih cerdas dibanding para pendahulunya. RUU HIP adalah salah satu buktinya.

Komunisme tidak pernah gagal sebagai ideologi, termasuk di Indonesia. Mereka luar biasa sabar mencari celah di berbagai rezim dan sistem. Kepercayaan diri mereka semakin kuat ketika berhasil menjadi “Mak Comblang” yang efektif antara pemerintah RI dan RRC. Dan memang hanya RRC yang setia menjadi “kekasih abadi” bagi PKI dan neo-PKI. Dan dari titik itu bisa dilihat, umat islam dan umat bergama lainnya di Indonesia sudah sangat terlambat jika harus melawan neo-PKI melalui cara-cara konstitusional.

Ketika neo-PKI mulai bersiap untuk “panen” maka umat islam di dalam perseteruan abadi itu mau tak mau harus meminjam siasat gaya Che Guevarra. Ia sukses mengorganisir kekuatan militer dari kegelapan hutan Bolivia. Namun ini baru permulaan.(*)


Esai ini dimuat pula jauh sebelumnya di Kopi Panas Jalurdua.Com


Share this article :
Komentar

0 apresiator:

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday