Home » » Bundu-Bundu

Bundu-Bundu

Posted By Alfian Nawawi on Selasa, 14 Juli 2020 | Juli 14, 2020

Siapakah pemilik atau pewaris kebangkitan nasional? Rasanya, jawabannya untuk skala lingkungan tempat saya bermukim saat ini adalah bundu-bundu. Ia memenuhi syarat yang cukup sebagai jawaban temporer.

Banyak jenis usaha yang masih tegar bertahan di tengah pandemi covid-19. Namun tidak ada yang sedahsyat pola pertahanan bundu-bundu. Mulai pelosok pedalaman sampai gang sempit di kota besar, bundu-bundu masih saja perkasa di tengah badai.

Warung kecil adalah salah satu bagian penting dalam kehidupan keseharian rakyat Indonesia. Para pakar ekonomi memasukkannya dalam kategori UMKM. 

Bundu-bundu bertahan di tengah pandemi lantaran menjadi penyuplai kebutuhan konsumen di lingkungan sekitarnya. Ia identik dengan “garoppo” alias makanan ringan untuk anak kecil. Selain itu juga dilengkapi ragam kudapan, permen, rokok, dan berbagai macam barang-barang keperluan sehari-hari. Bundu-bundu adalah simbol kehebatan ekonomi rakyat. Dia simbol ketangguhan perjuangan untuk mencapai kemerdekaan ekonomi.

Dalam pertemuan Gerakan Non Blok (GNB) di Beograd, Yugoslavia, September 1961, Bung Karno berbagi pendapat mengenai pengertian kemerdekaan. Menurut Bung Karno, kemerdekaan berarti mengakhiri penghisapan bangsa atas bangsa, yang langsung maupun tidak langsung. Hanya dengan kemerdekaan itu, kita punya kebebasan untuk menjalankan urusan-urusan ekonomi, politik, dan sosial budaya sesuai konsepsi nasional kita.

Penjelasan Bung Karno secara gamblang membabat argumentasi segelintir orang termasuk di kalangan elite Indonesia bahwa kemerdekaan hanya dimaknai dengan menghilangnya kolonialisme secara fisik. Bagi mereka, perjuangan kemerdekaan sudah selesai dengan adanya pengakuan kedaulatan melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949.

Dalam benak Bung Karno, sekalipun sebuah bangsa sudah memproklamirkan kemerdekaan, bentuk-bentuk kolonialisme lama masih bercokol. Kolonialisme lama, dengan menggunakan jubahnya yang baru, yakni neo-kolonialisme, akan terus menjaga kepentingan-kepentingannya di bekas negara jajahan.

Memasuki dekade 1950-an, faktanya sebagian besar ekonomi Indonesia masih dicengkeram perusahaan-perusahaan asing. Bahkan sebagian besar berada di tangan perusahaan-perusahaan Belanda. Di zaman itu dikenal The Big Five, lima perusahaan Belanda yang sangat dominan, yakni Jacobson & van den Berg, Internatio, Borneo-Sumatra Maatschappij (Borsumij), Lindeteves, dan Geo Wehry. Sejak saat itulah Bung Karno memulai jargon “Revolusi Belum Selesai”.

Bagi Bung Karno, dekolonialisasi adalah pembongkaran terhadap semua struktur ekonomi, politik, dan sosial budaya yang merintangi kemerdekaan. Dekolonialisasi bukan hanya bergerak di tataran praktis kebijakan, tapi juga mencakup cara berpikir dan mentalitas. Ini termasuk pembongkaran terhadap semua struktur, narasi, dan hirarki yang dipakai kolonialisme untuk memaksakan kepatuhan.

Dalam ekonomi, dekolonialisasi itu mencakup perombakan terhadap struktur dasar perekonomian, yakni dari ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional-merdeka. Di sini, bukan cuma soal pengambilalihan kapital dan perusahaan asing tetapi merombak struktur perekonomiannya: struktur kepemilikan, orientasi produksi, dan kekuatan produktif.

Sampai hari ini revolusi belum selesai. Orang-orang sibuk berbelanja di etalase ritel milik kapitalis sambil memposting di akun medsosnya tentang Hari Kebangkitan Nasional. Sementara itu bundu-bundu milik tetangga kita tetap menganga lebar.

Pustaka RumPut, 20 Mei 2020.


Esai ini sebelumnya dimuat di kolom Kopi Panas JalurDua.Com


Share this article :
Komentar

0 apresiator:

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday