Home » » Aku dan Gadis Mualaf

Aku dan Gadis Mualaf

Posted By Redaksi on Sabtu, 08 Agustus 2020 | Agustus 08, 2020

                                           Oleh: Assyifa Barizza

Cuaca hari ini tak bersahabat, gelombang di lautan tampak bergejolak. Sedikit ngeri melihat ombak yang saling berkejaran.Namun, tidak menyurutkan langkahku untuk tetap menaiki kapal kayu yang akan membawaku dari Halmahera menuju Ternate.

Ombak dan gelombang adalah hal yang biasa bagiku sebagai anak yang berasal dari daerah kepulauan. Apalagi ayahku berprofesi sebagai seorang nelayan.

Dengan perlahan, aku menaiki tangga kapal dan mencari tempat duduk yang nyaman. Kapal agak sedikit oleng, jadi kuputuskan untuk duduk di lantai bawah, biar goncangan kapal tidak terasa. Aku memilih bersandar dekat pintu masuk, agar bisa memandang bebas ke laut lepas. Hentakan ombak pada dinding kapal tak urung membuat nyaliku gentar.

Di sampingku duduk seorang perempuan, berambut keriting sebahu, manis dan masih muda. di lehernya tergantung kalung bertanda salib. Sesekali dia memperbaiki letak roknya yang tertiup angin.

Kapal mulai meninggalkan pelabuhan, aku mencoba membuka percakapan dengan gadis itu, biar perjalanan yang memakan waktu lebih satu jam tidak membosankan.

"Ke Ternate?"

"Iya," jawab perempuan itu singkat. Terlihat ada ketakutan di raut wajahnya. Ombak kali ini memang ganas, kapal sampai oleng ke kanan dan ke kiri. Tangannya berpegangan pada tiang kapal, agar tubuhnya tidak ikut terhuyung.

"Dari mana?"

"Tobelo, tapi kuliah di Ternate. Universitas Khairun."

"Oh," ucapku singkat sambil meraih rokok di saku bajuku dan membakarnya.

Tobelo memang penduduknya mayoritas menganut Kristiani.

"Kakak kuliah juga?" Perempuan itu melirikku.

Aku menggeleng, "Mau menemui teman."

Aku memang mau menemui teman, teman perempuan yang berstatus sebagai kekasihku. Dia saat ini sudah menungguku di Ternate, tempat kostnya. Rasanya tidak sabar lagi untuk menuntaskan rindu padanya.

[Kak Rifki, Adek kangen] Kemarin Mita mengirim pesan padaku.

[Baru seminggu yang lalu lalu ketemu, kok, sudah kangen lagi?] Aku menggoda Mita. Perempuan itu sudah kupacari sejak setahun lalu. Namun, hubungan kami sudah selayaknya suami istri, entah sudah berapa kali aku dan Mita mereguk kenikmatan surga duniawi. Nafsu yang kami atas namakan cinta telah membuatku jatuh dalam perbuatan dosa berkali-kali.

[Adek rindu dibelai sama kakak Rifki]

Aku tersenyum membaca pesan Mita, perempuan itu sudah takluk dalam pelukanku, dia selalu memintaku untuk memuaskan nafsu birahinya.

Mita dan entah berapa lagi perempuan yang sudah menjadi korban rayuan gombalku.  Bermodal wajah tampan dan kelihaian merayu, membuat perempuan mudah jatuh hati padaku. Dengan janji manis, aku mudah membawa mereka mereguk kenikmatan.

Tiba-tiba goncangan kapal semakin kuat. Ombak memukul kapal hingga Semakin oleng ke kanan, lamunanku pun buyar seketika.

Ketakutan terlihat di wajah penumpang. Penumpang kapal yang sekitar lima puluh orang tampak panik, tidak sedikit yang sudah mulai menangis. Gadis di sebelahku mulutnya komat komit sambil memegang salib di lehernya, jelas kecemasan terlihat di wajahnya yang sudah pucat pasi.

"Krak." Terdengar bunyi keras di dinding kapal.

"Kapal bocor!" Teriak seorang awak kapal.

"Buang semua muatan!" Suara nahkoda kapal lantang memerintahkan awak kapal untuk melemparkan semua barang yang berada di dek.

"Di mana pelampung?" Seorang penumpang laki-laki berteriak ke arah awak kapal.

"Di sini tidak tersedia pelampung," jawab awak kapal yang sibuk membuang barang ke laut.

Kapal kayu di sini memang tidak menyiapkan pelampung. Mungkin selama pelayaran mereka, tidak pernah terjadi apa pun, jadi pelampung dianggap tidak penting.

Penumpang semakin panik dan berteriak-teriak minta tolong, namun dalam kondisi yang seperti ini, penumpang hanya memikirkan nasib mereka masing-masing.

Air sudah mulai memenuhi lantai bawah, penumpang sibuk berdo'a dengan keyakinan yang mereka anut. Jeritan dan teriakan terdengar dari para penumpang, nahkoda dan awak kapal berusaha sekuat mungkin untuk menenangkan mereka.

"Allahu Akbar." Beberapa kali kalimat itu menggema dari mulut para penumpang.

"Tuhan Yesus, selamatkan kami!" Di dalam kapal ini, beberapa orang beragama Kristiani rupanya.

Namun, kapal dengan perlahan mulai tenggelam.

"Ya Tuhan, jika Allahnya orang Islam itu ada, maka selamatkan aku, aku berjanji untuk memeluk agama Islam. Tolong aku Tuhan!" Gadis di sebelahku bersuara lantang sambil mengangkat tangannya ke atas, seperti orang berdo'a. Dia tidak lagi memegang salibnya.

Seketika aku juga tiba-tiba mengingat Allah. Aku lupa, kapan terakhir aku salat, seingatku terakhir Idul Fitri beberapa bulan yang lalu. Sholat Jumat saja tidak pernah aku lakukan, apalagi shalat lima waktu.

Dosa yang kulakukan juga silih berganti hadir di depan mataku. Ya, aku adalah seorang peminum, hampir tiap malam aku mabuk-mabukan bersama pemuda di kampungku. Kadang juga berjudi, main perempuan. Entah sudah berapa gadis perawan yang sudah kutiduri. Sungguh tidak terhitung dosaku ya Rabbi.

Takut menyergap dalam jiwaku, aku takut bila harus meninggal hari ini. Aku belum sempat bertaubat. Penyesalan muncul dalam diriku, takut bila hari ini adalah hari terakhir bagiku.

'Ya Rabbi, aku memang pendosa. Tidak pernah menjalankan perintahmu, hanya kemaksiatan yang sering aku lakukan, Namun aku tidak pernah mengingkari keberadaanMu. Aku tetap mengakui Islam sebagai agamaku. Tolong beri aku kesempatan untuk hidup.' Aku berusaha berdo'a dalam hati.

Kapal semakin tenggelam, aku tidak peduli dengan penumpang lainnya. Aku berusaha menyelamatkan diri. Kebetulan bisa berenang, jadi segera kuceburkan diriku ke laut dan berenang mencari pantai terdekat.

Aku berenang dengan sisa tenaga yang aku punya, mengikuti ritme gelombang laut yang membawaku entah ke mana. Aku sudah pasrah dengan nasibku, menangis dalam terjangan ombak yang beberapa kali memukul badanku yang semakin melemah.

"Aku bukan Fir'aun ya Allah, aku hanya makhluk hina yang penuh dengan dosa."

 

***

"Dia sudah sadar." Terdengar suara asing di dekatku.

"Aku di mana?"

"Kau ditemukan terdampar tadi malam di pantai dalam keadaan pingsan, jadi aku membawamu ke rumahku," papar seorang laki-laki setengah baya yang duduk di dekat kepalaku.

"Kapal yang aku tumpangi tenggelam, Pak." Aku langsung mengingat kejadian mengerikan kemarin. "Apa penumpang di kapal itu semua selamat?"

Laki-laki itu menggeleng lemah, "menurut kabar yang kudengar, banyak penumpang yang meninggal karena tidak bisa berenang."

"Dan gadis itu, bagaimana nasibnya? semoga dia selamat," desisku dalam hati.

Dengan tubuh yang masih lemah, aku mencoba untuk berdiri.

"Mau ke mana?" tegur laki-laki itu.

"Aku mau shalat, Pak! aku mau mengucapkan terima kasih karena Allah masih memberiku kesempatan untuk hidup, karena tanpa campur tangan dariNya mustahil aku masih bisa hidup," ucapku sembari menanyakan letak kamar mandi.

Semoga dengan kejadian yang aku alami, membawaku hijrah ke jalan Allah. Selama ini hidupku penuh dengan noda hitam, dan semoga dengan peristiwa ini merupakan langkah awal dalam hidupku untuk meraih ridho Allah.

***

Hatiku merasa tenang dan tenteram setiap kali mendengar tauziah yang di bawakan oleh ustadz Yusuf.

"Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyucikan diri."

Ucapan ustadz Yusuf  yang dikutip dari surah Al-Baqarah ayat 222 bagai oase menyirami hatiku yang selama ini berkubang dengan nafsu duniawi dan dosa yang banyaknya seperti buih di lautan.

Aku selalu menyempatkan diri untuk menghadiri setiap kajian yang di bawakannya di Masjid Agung Ternate setiap hari Minggu. Bahkan aku juga banyak membaca buku islami untuk mengisi otakku yang cetek tentang ilmu agama Islam.

Setelah insiden kapal tenggelam itu, aku menemui temanku Rahmat yang alumni pondok pesantren untuk mengajariku mengaji dan membimbingku untuk mempelajari ilmu agama. Rahmat pulalah yang mengenalkan aku dengan ustadz Yusuf, seorang ustadz yang sangat dihormati karena akhlak dan ilmu agamanya yang tinggi.

Setelah keluar dari gerbang masjid, netraku menangkap sosok perempuan yang tidak asing di mataku, seorang gadis yang kutemui di kapal sebelum peristiwa tenggelamnya kapal. Tapi, dia berbeda sekarang, sangat berbeda.

Tapi tidak ada lagi untaian salib di lehernya, kini kepalanya bertutup mahkota sebuah jilbab syar'i. Tubuhnya anggun mengenakan gamis biru tua senada dengan hijab yang dikenakannya. Aura kecantikannya lebih terlihat dengan balutan busana islami.

"Masya Allah." Aku mengguman dalam hati sambil berusaha mengatur detak jantung yang tidak beraturan. Aku gembira melihatnya selamat, sama seperti diriku.

"Kau juga selamat dari kapal tenggelam itu?" Aku berjalan mendekatinya.

"Alhamdulillah Kak, Allah mendengar do'aku saat itu. Kini, aku sudah berada di jalan Allah, memeluk agama Islam, seperti agama yang kau yakini," ujarnya dengan mata berbinar-binar bahagia.

"Alhamdulillah, Allah telah memberikan hidayah pada kita lewat peristiwa itu. Semoga kita tetap istiqamah," ucapku dengan kebahagiaan yang tidak bisa kulukiskan dengan kata-kata.

"Aku pamit pulang ya, Kak! Assalamu'alaikum."

"Waalaikum salam." Aku memandangi kepergiannya dengan senyum yang tak pernah lepas membingkai mulutku. Ada kekaguman yang muncul secara tiba-tiba, kekaguman karena dia menepati janji saat berdo'a beberapa menit sebelum kapal tenggelam. Allah telah memberinya keselamatan. Ah, harusnya aku bertanya, bagaimana dia bisa selamat dari peristiwa itu.

Alangkah indah dan nikmatnya hidayah yang engkau berikan padaku ya Allah, dan juga pada perempuan itu. Perempuan yang belum kuketahui namanya, semoga dipertemuan selanjutnya aku bisa mengenal namanya dengan cara yang halal.(*)

Tidore, 1 Agustus 2020

Share this article :
Komentar

0 apresiator:

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday