Oleh: Assyifa Barizza
Dari kejauhan, aku menatap rumah panggung yang bergaya tradisional khas Makassar. Tidak ada yang berubah, tetap sama dengan puluhan tahun yang lalu. Hanya saja, rumah itu tampak rapuh dimakan usia. Halamannya pun tampak tidak terawat, bunga tidak tertata rapi. Pagarnya juga sudah banyak yang ambruk.
Di rumah itu, masa kecilku kuhabiskan. Masih teringat jelas, tiap pagi Ibu siapkan bubur Bassang untuk sarapan. Ayah yang selalu mendudukkanku di pangkuannya tatkala menikmati teh hangat dan pisang goreng buatan Ibu di sore hari. Ah, masa kecil itu seakan menari di pelupuk mata. Bagaimana aku menunggu Ayah di serambi rumah jika dia pergi berkebun. Berharap, saat pulang dia membawa buah-buahan untukku. Ibu yang selalu menjewer telingaku saat lupa pulang ke rumah jika bermain di rumah tetangga. Rumah itu, menyimpan banyak kenangan.
Tapi kebahagiaan itu sirna, saat saudara jauh Ibu yang bernama Marni datang ke rumah. Dia datang dengan mengiba, menangis di pangkuan Ibu menceritakan tentang suaminya yang menikah lagi dengan perempuan remaja dan menceraikannya. Dan Ibu yang berhati malaikat, tanpa prasangka buruk membawa Marni masuk ke dalam rumah dan memberinya tumpangan.
Rupanya, di situlah awal mala petaka itu. Aku yang masih kecil, hanya menganggap biasa saja ketika Ayah masuk ke kamar Marni saat Ibu berkeliling kampung menawarkan dagangannya. Ibu saat itu tukang kredit peralatan dapur. Bahkan, saat Ibu ke kota belanja pesanan pelanggan, Marni berani masuk ke kamarnya. Teriakan kecil dan desahan dari mulut Marni yang terdengar sampai ke kamarku, kadang menimbulkan tanya dalam hati, apakah Marni dipukuli Ayah? Tapi saat keluar kamar, tidak ada luka di tubuh Marni.
***
Tubuh tua itu memelukku dengan erat saat kuberi tahu siapa diriku. Dia mengusap rambut panjangku dan mengelus pipiku.
"Setelah puluhan tahun, akhirnya kau pulang, Nak!" Ujarnya dengan mata yang memancarkan penuh kerinduan. "Kau sangat cantik."
Aku tersenyum, memandangi wajahnya yang sudah berkeriput itu, rambutnya sudah memutih semua. Laki-laki ini adalah saudara tertua Ibuku.
"Bagaimana kabar Ibumu, Tenry?"
"Baik-baik saja, Puang. Dia juga kembali ke sini." jawabku lirih. "Aku pulang untuk merebut hak Ibuku, Puang."
Laki-laki yang kupanggil Puang memandangku sejenak. "Maksudmu?"
"Rumah panggung itu, Puang. Rumah yang ditempati oleh laki-laki biadab itu beserta istri dan anaknya adalah hasil jerih payah Ibuku. Aku tidak ikhlas, jika rumah itu jatuh ke tangan anak dari perempuan pelacur itu." Ada rasa jijik jika mengingat wajah perempuan itu.
Puang terdiam, tangannya sibuk menggulung rokok tembakau.
"Tapi, itu sulit Tenry. Kudengar kabar, Ayahmu telah memberikan rumah itu kepada Herman, anak hasil pernikahannya dengan Marni."
Darahku mendidih mendengar ucapan Puang. Laki-laki itu sangat keterlaluan, bagaimana mungkin rumah yang dibangun dari hasil keringat Ibu sebagai tukang kredit diberikan kepada anak pelacur itu? Demdam semakin merajai hati.
"Aku butuh bantuanmu, Puang!"
Puang menghisap rokoknya kuat-kuat dan memandangku tajam. "Bagaimana caranya?"
Aku mendekat ke arah Puang dan berbisik di telinganya. Wajahnya seketika cerah mendengar kalimat yang kubisikkan padanya.
Rumah itu bagaimana pun caranya, harus kurebut.
Dulu, rumah itu menjadi saksi saat Ibu diusir keluar oleh Ayah. Kala itu, dini hari, Ibu kaget tidak melihat ayah tidur di sampingnya. Ibu pun terbangun dan keluar kamar, alangkah terperanjatnya Ibu ketika mendengar suara Ayah dan tawa manja Marni terdengar dari arah kamar Marni.
Ibu sangat marah dan mengusir Marni malam itu juga. Tapi, Ayah justru membela Marni dan akan menikahinya, karena dia telah hamil dua bulan. Ibu tidak terima, dia memberi pilihan pada Ayah. Pilih dia atau Marni. Ibu meraung, saat ayah memilih Marni dan mengusir Ibu untuk keluar dari rumah malam itu.
Saat itu juga, dengan air mata yang terus menetes tanpa henti, Ibu mengemasi pakaiannya dan pakaianku ke dalam koper. Aku yang sudah terbangun dari tadi mendengar pertengkaran mereka, hanya menurut ketika Ibu memelukku dan menggandeng tanganku keluar dari rumah.
"Kita mau ke mana, Bu?"
"Akan pergi ke tempat yang jauh, Nak."
Ibu memegang tanganku menyusuri jalan yang masih gelap. Ketika azan subuh berkumandang, aku dan Ibu beristirahat sejenak di Masjid sekaligus menunaikan salat Subuh.
Hari itu, aku dan Ibu melakukan perjalanan panjang selama lima jam melalui jalur darat. Kemudian melanjutkan perjalanan naik kapal yang sangat besar, belakangan baru kutahu, kalau itu namanya kapal Pelni. Kami melakukan perjalanan selama tiga hari tiga malam baru sampai di tujuan. Kalimantan, ke situlah Ibu membawaku.
***
Dengan langkah anggun, kulangkahkan kakiku ke rumah panggung itu. Tiga orang menyambutku di sana, laki-laki tua yang masih sangat kuhapal raut mukanya. Seorang perempuan tua yang sangat kubenci sampai detik ini, juga ada laki-laki muda yang usianya sekitar 23 tahun.
Tanpa menunggu dipersilahkan, kujatuhkan pantatku di sofa. Pandanganku kuarahkan ke sekeliling ruang tamu itu, tidak ada yang istimewa. Hanya beberapa bingkai foto yang mengabadikan kebersamaan keluarga mereka.
"Aku kembali ke sini, untuk merebut milik Ibuku," tanpa basa-basi terlebih dahulu, aku langsung ke pokok permasalahan.
"Kau siapa?" Perempuan yang tiada lain adalah Marni itu menatap lekat wajahku. Sedang dua orang laki-laki di sampingnya hanya diam, menatapku bingun.
Aku tertawa kecil. "Apakah kau lupa padaku, perempuan pelacur? Aku Tenry, anak dari Maryani. Perempuan yang memberimu tempat tinggal, malah kau rebut suaminya.
"Tenry, kau … anakku?"
Laki-laki tua itu menghampiri dan ingin memelukku. Namun aku menghindar. Tidak sudi rasanya tubuhku dipeluk oleh lelaki tua yang dulu kupanggil Ayah. Dia tetap Ayahku, hanya saja aku belum bisa memaafkan apa yang pernah dia lakukan pada Ibu.
"Sekali lagi kukatakan, aku datang ke sini untuk mengambil hak Ibuku. Rumah ini adalah hasil keringatnya. Kalian harus keluar dari sini," ucapku datar tanpa ekspresi.
"Tidak bisa, rumah ini sudah diserahkan Ayahmu pada Herman, anakku."
"Dasar perempuan pelacur! Kau tidak saja merebut suami Ibuku, tapi juga ingin menguasai rumah ini."
"Sekali lagi kau menghina Ibuku, aku tidak segan untuk menghancurkan mulutmu itu." Laki-laki yang bernama Herman itu bersuara juga.
Kualihkan pandanganku ke arahnya sambil tersenyum menghina. "Jadi, kau anak yang terlahir dari hasil zina mereka?"
"Dia adikmu, Tenry." Laki-laki tua itu menyelaku.
"Tidak, seumur hidupku tidak akan kuakui dia sebagai saudaraku. Apalagi dia lahir dari rahim perempuan pelacur ini." Kuarahkan jari telunjukku pada Marni.
Mirna diam, begitupun laki-laki tua yang dulu kupanggil Ayah. Herman mukanya sudah merah padam, tapi sudah tidak berani mengeluarkan suara lagi. Anak itu tidak punya salah, tapi kelahirannya adalah sebuah kesalahan. Kesalahan orang tuanya.
"Ingat, rumah ini akan kuambil alih. Camkan itu!"
Aku meninggalkan rumah itu dengan tatapan angkuh, suara Marni masih sempat terdengar di telingaku.
"Rumah ini sertifikatnya atas nama Ayahmu, jadi jangan pernah bermimpi untuk merebutnya."
***
Sore ini, gerimis jatuh membasahi bumi. Dari balik kaca mobil, aku menyaksikan Ayah, Marni dan Herman keluar dari rumah panggung itu dengan menenteng koper. Dejavu, aku seperti melihat kejadian beberapa tahun silam yang terjadi padaku dan Ibu. Senyum bahagia tersungging dari bibirku dan juga Ibu yang duduk bersamaku dalam mobil.
Puang, yang kumintai bantuan dengan iming-iming 50 juta rupiah berhasil mendapatkan tanda tangan Ayah untuk pengalihan sertifikat nama rumah atas nama Ibuku.
Saat Ayah seorang diri di rumah, Puang mendatanginya. Memaksanya untuk menandatangani berkas yang sudah kusiapkan terlebih dahulu. Awalnya Ayah menolak, tapi saat Puang mengeluarkan golok tajam dan menodongkan ke lehernya, dia pun membubuhkan tandatangan di berkas itu.
"Silahkan angkat kaki di rumah ini, Ayah sudah menyerahkan rumah ini pada Ibuku." Siang tadi, aku datang ke rumah panggung itu dan memperlihatkan berkas pengalihan rumah yang telah ditandatangani oleh Ayah.
"Bagaimana mungkin?" teriak Marni histeris. Ayah hanya diam, begitupun Herman. " Terus, kami akan tinggal di mana? Jangan usir kami dari sini.
Apa peduliku dengan mereka? Apa yang dilakukan mereka dulu pada Ibu lebih kejam, sebuah pengkhianatan. Bukan itu saja, mengusir Ibu untuk keluar dari rumah panggung itu tanpa belas kasih. Saat itu, Ibu tidak berdaya untuk melawan. Karena rumah tersebut, sertifikatnya atas nama Ayah.
Rumah panggung itu, sebenarnya kami tidak membutuhkannya. Hanya saja ingin membalas perlakuan mereka puluhan tahun yang lalu dengan melakukan hal yang sama, pengusiran. Di Kalimantan kami sudah sukses. Ibu dengan kepiawaiannya berdagang telah berhasil membeli berhektar-hektar kebun sawit dan toko elektronik pun telah kami miliki di sana. Kami hanya pulang untuk membalaskan sakit hati.
***
Dengan memegang kunci rumah di tangan yang berhasil kudapatkan dari Ayah, kusaksikan kobaran api yang melahap rumah itu. Tidak ada yang tersisa, semuanya menjadi abu.
Rumah panggung itu, Ibu tidak sudi lagi menginjakkan kakinya di sana. Kenangan pahit tidak bisa dia lupakan. Perbuatan Ayah dan Marni masih sangat membekas dalam ingatannya.
Hanya dengan merubah rumah itu menjadi abu, satu-satunya cara untuk membantu Ibu terlepas dari bayang masa lalu.
Tidore, 11 Februari 2020
Note: Puang merupakan panggilan hormat suku Bugis untuk orang yang lebih tua, dituakan. Jaman dulu, sebutan Puang adalah sebutan yang hanya digunakan oleh bangsawan.