Home » » Cinta Dua Zaman

Cinta Dua Zaman

Posted By Redaksi on Minggu, 09 Agustus 2020 | Agustus 09, 2020

 Oleh: Assyifa Barizza

 

"Aku mencintaimu, Uleng. Hanya kau perempuan satu-satunya yang ingin kujadikan pendamping hidupku." Aku  berlutut di hadapan Uleng, wanita yang kucintai.

"Aku juga mencintaimu, Karaeng Maruling. Tapi kasta kita berbeda. Kau adalah 'ana' arung', putra dari menteri kerajaan ini. Sementara aku hanyalah 'ata." Uleng menepis tanganku yang berusaha untuk menggenggam tangannya.

"Aku tidak peduli!" Teriakku.

"Kalau kita nekad untuk menikah, maka malapetaka akan menimpa kita dan keluargaku. Kita akan diusir keluar dari kerajaan ini dengan hina karena menentang adat istiadat. Dan orang tuaku? Bisa saja mereka dibunuh oleh suruhan Raja, Karaeng!"

Aku diam cukup lama, hanya bisa menatap wajah perempuan yang kukasihi itu. Di Negeri ini, statusnya hanya 'ata', kasta yang paling rendah. Orang yang berasal dari kasta ini, adalah orang suruhan atau budak para keluarga Raja dan kalangan bangsawan. Sangat pantang keluarga bangsawan sepertiku menikah dengan perempuan yang berasal dari kasta 'ata'.

"Baiklah, kalau di kehidupan ini kita tidak bersatu. Aku bersumpah, di kehidupan selanjutnya, kita akan bersama dalam satu ikatan suci!"

"Aku juga bersumpah Karaeng, tidak akan menikah selain denganmu!"

Sumpah kami sepertinya didengar oleh semesta. Petir seketika membelah bumi dan menyambar tubuhku dan tubuh Uleng. Gunung Bawakaraeng, tempat yang sering kami jadikan untuk memadu kasih menjadi saksi leburnya tubuh kami bersatu dengan bumi.

***

Makassar, 1 Januari 2020

 

Aku adalah seorang dokter umum di sebuah Rumah Sakit di kota Makassar. Usiaku kini tidak lagi muda. Sudah hampir 30 tahun. Namun belum punya niat untuk menikah. Sudah beberapa perempuan yang Mama perkenalkan padaku, tapi tidak satupun dari mereka yang berhasil mencuri hatiku.

"Itu bukan perempuan idamanku, Mama," ucapku setiap kali Mama bertanya tentang alasan menolak perempuan yang dia bawa ke hadapanku.

Mulai dari dokter, bidan, pegawai Bank, guru sudah Mama jodohkan denganku. Tapi entah kenapa, selalu saja tidak menemukan yang tepat. Belum ada yang bisa membuatku jatuh cinta.

Siang itu, selepas menangani pasien terakhirku,  Aku mengendarai mobil menuju pantai Losari. Kesibukan yang cukup padat akhir-akhir ini membuatku mencari suasana baru untuk refreshing.

"Maaf," ucapku ketika tidak sengaja menabrak seorang perempuan yang mengenakan jilbab ungu saat tiba di pantai Losari. Sore itu pengunjung sepi, hanya beberapa orang yang sedang menikmati senja. Ada juga pasangan yang asyik memadu kasih.

"Tidak apa-apa." Perempuan itu tersenyum ke arahku. Kemudian dia segera melanjutkan langkahnya ke arah pintu keluar pantai Losari.

"Tunggu!"

Perempuan itu menoleh. "Ada apa?"

"Sepertinya aku mengenalmu. Wajahmu tidak asing bagiku. Kau ...."

"Maaf, aku baru di kota ini. Mungkin perempuan yang anda lihat, hanya mirip denganku," sergah perempuan itu.

"Aku Rendi!" kuulurkan tanganku padanya.

"Namaku Tendry. Maaf! Aku buru-buru, sebentar lagi matahari terbenam." Perempuan yang bernama Tendry langsung berlalu dari hadapanku saat kami selesai berkenalan.

"Sial," umpatku dalam hati. Padahal, ingin rasanya dia kutahan di sini untuk lebih lama lagi.

Kutatap terus kepergian Tendry sampai dia menghilang dari pandangan.

Matahari pun terbenam. Tapi aku masih di sini memandang senja yang perlahan lenyap. Pikiranku masih tertuju pada sosok Tendry. Perempuan itu, kenapa aku seperti sangat mengenalnya? Tapi di mana?" Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

"Tendry, aku harus bertemu denganmu!" Kutinggalkan pantai Losari seiring dengan adzan Maghrib berkumandang.

***

 

"Rendi!"

Aku menoleh mencari pemilik suara yang memanggil namaku. Di Rumah Sakit ini tidak ada yang langsung menyebut namaku.

Ada kebahagiaan yang membuncah saat tahu pemilik suara itu. Pantaslah dia tidak memanggilku dokter. Wajah itu, sejak pertemuan pertama, senantiasa hadir dalam mimpiku. Dia juga membuatku gelisah, karena tidak tahu harus menemuinya di mana. Dan sepertinya kami ditakdirkan lagi untuk bertemu.

"Tendry? Kau sedang apa di sini?"

"Aku perawat baru di sini. Dan kau sendiri ada keperluan apa? Apa kau pasien di Rumah Sakit ini?

Aku tersenyum mendengar pertanyaan Tendry. Aku memang jarang memakai jas dokter yang berwarna putih itu. Jadi, jika orang pertama kali melihatku, tentu tidak mengetahui kalau aku dokter.

Aku mensejajarkan langkah dengan Tendry  di koridor. Tidak peduli pada tatapan sejumlah perawat yang memandang aneh. Ini pertama kalinya  berjalan berdampingan dengan perempuan sejak bekerja di sini. Pantaslah, mereka merasa heran.

"Aku dokter di Rumah Sakit ini," sahutku pelan.

"Apa? Jadi kamu dokter? Maaf ...."

"Santai saja, tidak usah mata membulat begitu," kilahku memotong kalimat Tendry yang belum selesai.

"Aku ingin mengajakmu makan malam, apakah kau bersedia, Tendry?" Aku sangat berharap dia menerima undanganku.

"Iya dokter, aku bersedia!"

 

***

 

Malam ini, di salah satu restoran ternama di Makassar. Aku memesan tempat yang privat. Ini kencan pertamaku, jadi kubuat seromantis mungkin.

"Apa kau percaya reinkarnasi, Tendry?"

"Maksud dokter Rendi?"

"Dibangkitkan kembali setelah kematian."

"Antara percaya dan tidak percaya sih, dok. Tapi kalau Allah berkehendak, Apa sih yang tidak mungkin. kok, pertanyaannya seperti itu, dok?

"Aku merasa, di kehidupan sebelumnya kita sangat dekat. Kau berulang kali hadir dalam mimpiku." Kubuat suaraku senetral mungkin. Ada perasaan takut, jangan sampai Tendry menertawakan ucapanku yang tidak rasional ini. Tapi ini fakta, dan harus kuberi tahu pada Tendry. Terserah dia percaya atau tidak.

"Aku pun mengalami hal serupa, dok." Lama baru Tendry menjawab.

"Maksudmu?" kutatap Tendry sedemikian rupa.

"Jauh sebelum aku ke Makassar, mimpi aneh sering hadir dalam tidurku. Dan wajah yang muncul di mimpiku, sangat mirip kau, dok." Tendry menghela napas, kemudian mempermainkan jemarinya.

"Seperti apa mimpimu?"

"Aku seperti melihat tempat yang berlatar belakang jaman kerajaan. Dan ada dua sosok manusia yang mengucap sumpah di puncak gunung. Dan wajah itu sangat mirip aku dan kau, dokter."

Aku terperangah mendengar penjelasan Tendry. Mimpi itu sama persis dengan mimpiku. Apa dua orang yang ada dalam mimpi kami, adalah aku dan Tendry pada kehidupan sebelumnya?

Kugemgam kuat tangan Tendry, dia pun membalasnya. Kami saling menatap. Rasa cinta  begitu kuat terpancar dari sorot mata kami. Ini seperti cinta lama yang belum usai. Pertemuan kami bukanlah kebetulan, seperti ada yang mengaturnya. Apapun itu, ini adalah rahasia Sang Pencipta untuk cintaku dan Tendry.

Apakah ini cinta dari masa lalu? Aku tidak tahu. Apakah aku dan Tendry mengalami reinkarnasi? Aku juga tidak tahu. Seperti kata Tendry, tidak ada yang mustahil jika Allah berkehendak.(*)

Tidore, 1 Februari 2020

 

Note:

Ana' arung : Bangsawan 

Karaeng : Gelar untuk bangsawan Makassar

Ata : Budak

Share this article :
Komentar

0 apresiator:

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday