Home » » Perempuan di Tepi Pantai

Perempuan di Tepi Pantai

Posted By Redaksi on Senin, 10 Agustus 2020 | Agustus 10, 2020

 Oleh: Assyifa Barizza

Senja ini kembali aku duduk di tepi pantai Loleo menyaksikan debur ombak sore yang saling berkejaran. Sesekali aku melemparkan batu ke laut.

Tanpa sengaja pandanganku tertuju pada sosok seorang perempuan paruh baya yang berdiri di tepi pantai. Pandangannya lurus ke depan, datar tanpa ekspresi. Wajahnya pun seakan tidak memiliki gairah kehidupan.

'Ah dia lagi, untuk apa dia menghabiskan waktunya setiap hari di pantai ini?' bisikku dalam hati. Hampir tiap hari aku selalu melihat perempuan itu di sini, sesekali kadang kulihat dia berteriak pada laut. Sesekali kulihat menangis. Apa gerangan yang terjadi padanya?

"Bikiapa ngana di sini? Kita cari ngana sampe (Bikin apa si sini? Aku cari kamu?". Aku dikejutkan oleh kedatangan Gifar, sepupuku.

"Tarada. kita cuma santai sa (Tidak ada, cuma bersantai)," jawabku asal.

"Kong perempuan itu bikiapa di situ? Tara bosan kah dia duduk di sana tiap hari (Perempuan itu, bikin apa di situ? Apa dia tidak bosan duduk di sana tiap hari)?" tanyaku pada Gifar sambil menunjuk sosok perempuan misterius itu yang berdiri di tepi pantai.

Gifar pun mulai berkisah tentang sosok perempuan yang akhir-akhir ini menyita perhatianku.

Namanya Bibi Fat. Lima tahun yang lalu suaminya pergi melaut dan sampai sekarang suaminya tak kunjung pulang. Menurut cerita yang beredar, perahu suaminya diterjang badai  hingga hancur. Namun mayatnya tidak ditemukan. Ada yang bilang, mayatnya dimakan oleh ikan, ada pula yang mengatakan mayatnya terbawa ombak besar ke lautan luas hingga mayatnya tak bisa diketemukan. Ada pula yang mengatakan bahwa suami Bibi Fat sebenarnya belum meninggal, cuman penjaga laut membawanya ke dasar lautan untuk menjadikan dia sebagai budak. Entahlah mana yang benar. Terlalu banyak spekulasi masyarakat tentang kasus ini. Sejak itu Bibi Fat seperti orang linglung, dia tidak percaya akan musibah yang menimpa suaminya. Sampai sekarang dia meyakini bahwa suaminya masih hidup, itulah sebabnya dia setia berada di pantai menunggu Sang Suami pulang. Bibi Fat akan marah bila ada yang mengatakan kalau suaminya sudah meninggal. Ah, sebuah kisah yang menguras air mata. Netraku pun berkabut, mendengarkan cerita Gifar.  Sebuah cerita tentang cinta dan kesetiaan.

Sambil dengar Gifar bercerita, aku langsung teringat seseorang yang saat ini tengah mengarungi lautan luas. Dia adalah Rudi kekasihku. Pikiranku langsung tertuju padanya. Ada semacam rasa takut dan khawatir, mengingat hidupnya lebih banyak di laut.

"Nina, mari kita pulang. So mau malam ini (Nina, ayo pulang. Sudah mau malam)," ajak Gifar.

"Ngana pulang duluan sudah, kita masih mau duduk di sini (Kamu pulang duluan saja, aku masih mau duduk di sini)."

"Jang lama e, jangan bikin Tete pe kepala pusing tara lia' ngana di rumah (Jangan lama, jangan sampai Kakek pusing tidak melihatmu di rumah)." Gifar pun berlalu meninggalkanku sendiri di tepi pantai ini.

***

Namaku Nina Husain. Orang memanggilku Nina. Ayahku berasal dari Maluku Utara dan Ibuku berasal dari kota daeng Makasar. Sebuah perpaduan yang sempura menurutku. Aku mewarisi kulit putih ibuku dan mewarisi rambut ikal ayahku.

Mereka bertemu saat Ayahku kuliah di universitas Hasanuddin Makassar. Kebetulan mereka satu fakultas, akhirnya tumbuhlah benih cinta di antara Ayah dan Ibu dan berakhir di pelaminan. Kisah cinta yang indah bukan?

Itulah sebabnya hampir setiap tahun aku berada di sini mengunjungi keluarga Ayahku. Kakekku masih hidup dan Nenekku sudah lama meninggal dunia.

***

Malam itu. Sehabis makan malam, aku duduk di samping kakek sambil bertanya tentang Bibi Fat.

"Tete, bikiapa kong Bibi Fat pe keluarga tara bawa dia ke rumah sakit jiwa untuk berobat (Kakek, kenapa Keluarga Bibi Fat tidak membawanya berobat ke rumah sakit jiwa?"

Sambil memamah pinang dan sirih, Kakek menjawab pertanyaanku. "Bibi Fat itu tara gila, dia hanya  tara mau terima takdir kalau dia pe laki meninggal (Bibi Fat tidak gila, dia hanya tidak mau terima takdir, kalau suaminya telah meninggal.")

Ah Bibi Fat, sebegitu besarnya cintamu kepada suamimu hingga saat ini kau belum bisa menerima takdir kalau suamimu sudah tidak ada lagi di dunia ini. Lima tahun telah berlalu, tapi kau masih setia menunggu di tepi pantai. Apakah kau menunggu keajaiban?"

Tiba-tiba gawaiku berdering. Ada panggilan telepon dari Rudi. Mungkin saat ini kapalnya merapat di pelabuhan, hingga menemukan sinyal untuk menelponku. Dengan perasaan rindu ku angkat teleponnya.

"Assalamualaikum, Daeng. Gimana kabarta' Daeng? Sehat?" Kuberondong Rudi dengan pertanyaan. Senang rasanya dia bisa menghubungiku. Rudi juga berasal dari tanah daeng Makasar.

"Waalaikumsalam, Alhamdulillah sehat ja' ndik.  Bagaimana kabarta' di situ?"

"Baek-baekja, Daeng, cuma perasaanku tidak enak," gumanku dengan lemah nyaris tanpa suara.

"Kenapaki', Ndik?"

Kuceritakan tentang Bibi Fat pada Rudi. Kuceritakan tentang kekhawatiranku padanya yang memilih laut untuk menjadi sumber mata pencahariannya. Aku takut apa yang menimpa suami Ibu Fat juga akan menimpa Rudi.

"Lebih baik kita do'akan ka saja, Ndik, janganmi berpikiran macam-macam. Yang namanya maut itu sudah ketentuan sang maha pencipta. Di manapun kita berada, kematian tetap akan datang menjemput. Berdo'a maki saja nah, supaya terkumpul banyak uangku untuk lamarki." Rudi mengakhiri teleponnya. Tidak ada ketakutan dalam suaranya. Memang dari dulu Rudi sudah mencintai laut.

"Mauka' lanjut di sekolah tinggi pelayaran, Ndik." Katanya waktu itu saat dia baru saja tamat di SMU. Sementara aku baru duduk di kelas dua SMU.

"Daeng nda' takut dengan ombak dan gelombang? Bagaimana kalau kapal daeng tenggelam?" tanyaku dengan raut wajah kecewa waktu itu.

"Nenek moyang kita itu orang pelaut, Ndik, masa  cucunya takut sama laut?" jawab Rudi santai. Dia memang mencintai laut.

Sebenarnya aku tidak ingin Rudi menjadi pelaut. Aku tidak ingin menjadi istri yang sering di tinggal suami. Konon aku sering dengar, para pelaut mempunyai wanita di setiap pelabuhan yang dia singgahi. Namun, mana mungkin aku menghalangi cita-cita Rudi yang diimpikannya sejak dari kecil? Aku berusaha menghilangkan ketakutanku bahwa dia akan mempunyai wanita lain. Aku yakin, dia hanya milikku. Sebagai seorang kekasih, aku hanya bisa mensupport dan mendo'akan supaya dia sukses.

***

Pagi itu gempar. Bibi Fat tidak ada, seluruh warga kampung sudah mencarinya di mana-mana, tapi dia tidak ditemukan. Bahkan di tempat dia biasa menghabiskan waktu di pantai juga tidak ada. Keluarga dan anak perempuannya yang sudah beranjak remaja berlari ke sana-kemari mencari Bibi Fat. Namun hasilnya nihil. Ke mana Bibi Fat?

Ada seorang nelayan mengabarkan bahwa perahunya yang dia tambatkan tadi malam di pantai sehabis melaut hilang. Jangan-jangan Bibi Fat yang memakai perahu itu tadi malam.

Warga gempar, tadi malam gelombang laut cukup kuat. Nelayan saja memutuskan untuk tidak melaut. Hujan dan angin, datang bersamaan, menciptakan ombak di tengah samudra.

Ah, Bibi Fat. Apakah kau sudah jemu menunggu kedatangan suamimu hingga kau menyusulnya ke laut. Ataukah suamimu yang menjemputmu hingga kau pergi?.

Sejuta pertanyaan bergelayut dalam benakku. Aku menemukan kesejatian cinta pada diri Bibi Fat. Seorang perempuan yang setia menunggu kedatangan suami selama bertahun-tahun yang tidak tau kapan akan berakhir penantian itu. Dia hanya menunggu dan menunggu. Dan mungkin tadi malam dia telah lelah menunggu, akhirnya menyusul sang suami ke laut lepas. Alangkah besar cintamu Bibi Fat.

Seminggu kemudian, perahu nelayan yang hilang itu di temukan terdampar di tepi pantai desa tetangga, tapi Bibi Fat tidak ada. Mungkin perahu itu pulang untuk mengabarkan bahwa Bibi Fat dan suaminya sudah bertemu. Anak Bibi Fat histeris. Kini dia menjadi Yatim piatu, kedua orang tuanya telah direnggut oleh laut. Ataukah Bibi Fat bersama suaminya sedang berada di dasar laut? Seperti cerita sebagian warga kampung? Entahlah. Tidak ada yang bisa menjawabnya. Kisahnya seakan-akan menjadi teka-teki yang tidak pernah usai.

*** 

Pesawat yang kutumpangi telah lepas landas dari bandara Baabullah Ternate menuju bandara Hasanuddin Makassar.

Kisah Bibi Fat terus membayangiku. Apakah karena Rudi sang kekasih adalah pelaut? Bukankah kata Rudi bahwa maut adalagi hal yang pasti akan datang menjemput di manapun kita berada?

Aku ingin mempunyai cinta sejati seperti yang dimiliki Bibi Fat, tapi cinta sejati yang dilandasi iman, bukan harus mengejar maut demi mencari cinta yang tak kunjung datang.

Tidore, 5 Mei 2020

Share this article :
Komentar

0 apresiator:

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday