Latest Post

Tampilkan postingan dengan label Catatan Trotoar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Catatan Trotoar. Tampilkan semua postingan

Malam Lebaran: Bulan di atas kuburan

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 09 September 2010 | September 09, 2010



MALAM LEBARAN

Bulan di atas kuburan

Karya : Sitor Situmorang

Puisi karya Sitor Situmorang di atas adalah puisi pendek yang benar-benar pendek dan paling banyak diperdebatkan maknanya oleh para penikmat sastra. Puisi Malam Lebaran tercipta saat Sitor melintas di sebuah kuburan sunyi.

Diksi malam lebaran, bulan dan di atas kuburan,  di malam lebaran ada bulan di atas kuburan. Memang di malam lebaran 1 syawal tidak ada bulan yang muncul, tetapi itulah keahlian dari penyair Sitor ini yang membuat orang bisa bermacam-macam penafsirannya. Makna dari puisi ini lebih mengarah pada kehidupan sosial bermasyarakat sesuai tema yang ingin disampaikan oleh penulis yaitu rasa kemanusiaan.

Kata “bulan” dalam puisi di atas adalah bulan di malam lebaran. Lebaran adalah hari kemenangan setelah latihan sebulan penuh menahan hawa nafsu dalam bulan ramadhan yang memang telah disediakan Allah SWT. Lebaran bisa jadi adalah juga kekalahan; kekalahan bagi yang tak berhasil meningkatkan kualitas fitrah kemanusiaannya, juga kekalahan bagi yang tidak bisa"mudik" ke kampung spiritual-religiusitas.


 Selamat Hari Raya Idul Fitri 1431 Hijriah
Minal Aidin Wal Faidzin
Mohon Maaf Lahir dan Bathin


Di Bawah Postingan Rasaku Yang Terbaru

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 07 September 2010 | September 07, 2010


-prosa kecil buat gadis "i"

Masih ingatkah kau tentang sebuah template cantik yang kita unggah ke dalam hati pada blogwalking panjang mimpi-mimpi yang enggan berhenti? Pada mulanya mungkin hanya sebuah akun blogspot yang biasa dengan security sistem yang tak begitu kokoh.

"Aku terlalu bingung dengan kode-kode html dan javascript dalam kolom waktu yang telah diberikan Tuhan, sayang!" katamu dari balik widget-widget yang kau tanam sendiri di pekarangan tubuhmu. Aah, hanya sebuah header yang masih memerlukan sedikit sentuhan photoshop di sela-sela perjalanan panjang ini, pikirku.

"Bagaimana dengan SEO? Link-link mana saja yang mudah membuatmu terindeks di hari depan? Lantas bagaimana cinta ini dengan PageRank yang seadanya?" katamu lagi. Tapi lagi-lagi sengaja kau meninggalkan komentar tanpa URL di bawah postingan rasaku yang terbaru.

Berikan saja kepada browser yang telah kita sepakati untuk memulainya pada awal dahulu. Ataukah kepada dekstop yang kusam? Mungkin. Tapi maaf, aku terlanjur menyayangimu. Terlanjur mengabarkan rasaku melalui social bookmark itu. Entah mengapa.



Bulukumba, 28 Ramadhan 1431 Hijriah.


Jalan Menuju-Mu Adalah Ketika Aku Sesekali Sengaja Mampir Istirahat dan Bahkan Sengaja Berlama-lama Tidak Memasuki Rumah-Mu

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 03 September 2010 | September 03, 2010


ah. cinta yang sedikit dan merasa berhasil memenuhinya adalah ketika aku telah mengaku berhasil menemuimu dalam ukuran hitungan semesta. 


padahal belum menjadi takbir, tasbih dan tahmid para malaikat langit pertama hingga langit ketujuh.


jalan menujumu adalah ketika aku sesekali sengaja mampir istirahat dan bahkan sengaja berlama-lama tidak memasuki rumah-mu.


cinta yang sedikit dan hanya menghapalkan kalimat-kalimat.




surau kecil di kaki bukit, 24 ramadhan 1431 hijriah 

Mengikat Dua Potong Sajak Untuk Kuhadiahkan Kepadamu Sebelum Lebaran

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 31 Agustus 2010 | Agustus 31, 2010


mungkin tidak akan menjadi apapun. tapi sebenarnya aku tuliskan saja dengan berani. termasuk mengikat dua potong sajak untuk kuhadiahkan kepadamu sebelum lebaran.

tahun ini menyimpan terlalu banyak mimpi di atas bantal. separuhnya kita bawa keluar melalui jendela kamar tempat kita kemarin bercakap-cakap dengan hujan. lalu mungkin tidak akan menjadi apapun.

masih kau panggil aku dengan sebutan hujan di beranda tempat kita memotret matahari. tapi sudahlah, aku terlanjur menulis dua potong sajak untukmu sebelum badai.

bulukumba, 21 ramadhan 1431 hijriah 


Manusia Bugis, Tradisi, Seni dan Religi

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 23 Agustus 2010 | Agustus 23, 2010

 
Hampir semua jenis kesenian tradisional di Sulawesi Selatan - selalu terkait antara religi, tradisi, dan seni. Kenyataan ini memperlihatkan kepada kita betapa kompleksnya kesenian tradisional yang ternyata tidaklah sesederhana seperti yang dibayangkan, di dalamnya terdapat inner power yang bersangkut paut dengan sukma pemilik kesenian itu. Karena itu, manakala seseorang ingin mengusung sebuah kesenian sakral di luar konteksnya tanpa memperhitungkan kesakralannya dan perasaan pendukungnya, maka sukma ini kehilangan auranya, dan yang tertinggal adalah sebuah onggokan kreativitas yang tak berjiwa.

Dalam  Bugis Religion yang terdapat dalam The Encyclopedia of Religion, Mircea Eliade antara lain menulis bahwa meskipun orang-orang Bugis telah menjadi Islam dan beriman, tapi mereka masih memelihara sejumlah tradisi yang bersumber dari elemen-elemen pra-Islam, seperti bissu dan kitab suci La Galigo.. Berbagai ajaran Islam dan Bugis yang mengandung spirit dan unsur-unsur yang sama diadaptasikan dan didialogkan yang kemudian memunculkan warna-warni kebudayaan Islam dengan wajah Bugis, atau kebudayaan Bugis dengan wajah Islam.

Patotoqé sebagai Dewata Séuawaé (dewata yang tunggal) yang diadopsi dari konsep Allah yang Maha Esa - padahal di dalam La Galigo, Dewa tidaklah tunggal, ia beranak-pinak - atau sebaliknya, kita menemukan konsep siriq yang kemudian diadaptasikan dengan konsep jihad. Puncak dari semua itu adalah dikukuhkannya Islam dalam sistem Pangngaderreng di Sulawesi Selatan yang merupakan falsafah hidup manusia Bugis, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Ada 5 unsur yang saling mengukuhkan dalam konsep Pangngaderreng ini yaitu, 1) wariq (sistem protokoler kerajaan), 2) adeq (adat-istiadat), 3) bicara (sistem hukum), 4) rapang (pengambilan keputusan berdasarkan perbandingan), dan 5) saraq (syariat Islam). Empat dari yang pertama dipegang oleh Pampawa Adeq (pelaksana adat), sedangkan yang terakhir dipegang oleh Paréwa Saraq (perangkat syariat).

La Galigo sebagai kitab suci dan sumber religi bagi penganut agama To ri Olo orang Bugis mewariskan sejumlah tradisi yang saling kait-mengait dengan berbagai upacara suci dan sakral. Dalam upacara suci dan sakral itu selalu diiringi dengan pemotongan hewan dan pembacaan sureq La Galigo. Itulah kemudian yang dikenal dengan upacara: mappano bine (upacara menidurkan benih padi) menjelang tanam padi.; maccéraq tasiq upacara 
persembahan dewa laut, ménréq baruga upacara peresmian balairung tempat berlangsungnya upacara keduniaan berlangsung; mattemu taung mengunjungi dan menziarahi kuburan leluhur mereka, dan masih banyak lagi. Semua upacara itu dibarengi berbagai kesenian dan pembacaan episode-episode La Galigo yang episodenya disesuaikan dengan isi dan upacara yang berlangsung. Kesenian yang mengiringinya antara lain séré bissu (joget bissu) maggiriq (para bissu menari sambil menusuk badannya dengan badik) massureq (membaca La galigo), maggenrang (bermain gendang), massuling lontaraq (meniup suling diiringi nyanyian La Galigo), mallae-lae, dan sebagainya.

Seluruh rangkaian upacara ini dilaksanakan oleh tiga komponen yang saling melengkapi, yaitu: 1) Pendeta Bissu, pendeta banci yang bertugas memimpin upacara ritual, 2) sanro, praktisi di belakang layar yang bertugas menyiapkan seluruh perlengkapan upacara, dan 3) passureq, pembaca dan penembang La Galigo.

Karena itu, Bissu, sanro, passureq, dan para dewan adat adalah empat warga Bugis yang merupakan pemelihara dan pengawal La Galigo yang berada di garda paling depan yang siap mempertaruhkan apa saja demi kesucian ajaran La Galigo. Mereka pernah ditangkap bahkan dibunuh pada zaman DI-TII berkecamuk di Sulawesi Selatan, mereka pernah dipaksa menjadi Hindu atau dirazia melalui “operasi tobat” di zaman Orde Baru. Mereka tidak bergeming sedikitpun.

Ini memperlihatkan bahwa religi, tradisi, dan seni dalam La Galigo di Sulawesi Selatan memperlihatkan suatu rangkaian sistem yang merupakan satu kesatuan struktural dan fungsional. Karya La Galigo itu sendiri sebagai teks yang berbentuk sastra tak perlu lagi diperdebatkan, konvensi sastranya yang 5 suku kata pada setiap larik yang mencapai ribuan bait, alurnya yang datar, kilas balik dan pembayangan, kompleksitas karakter tokohnya, dan kemasan temanya yang rumit membuat orang susah memahami bagaimana sebuah karya sastra lama ini memiliki semua dimensi sastra modern. Itulah yang menempatkannya sebagai warga sastra dunia.

Sumangeq dan ininnawa begitulah orang Bugis menyebut “sukma” dan “hati nurani” dari prinsip-prinsip hidup yang diwarisinya dari La Galigo. Dengan sumangeq dan ininnawa itulah mereka mengarungi seribu dunia dan menerjemahkannyanya ke dalam kehidupan dunia kekinian.


Surau Kecil Di Kaki Bukit

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 21 Agustus 2010 | Agustus 21, 2010


adalah ilalang dan pematang. adalah jemuran padi dan matahari. adalah kita yang menjemur kerinduan di atap-atap rumbia dan di bawah pelepah. sebagaimana azan dan iqamah di waktu kanak-kanak. adalah kita yang berlarian kecil mengisi saf paling depan.

tapi kini tak kukenali letak pancuranmu yang dulu tempat membasuh wajah mungil kita dengan air wudhu. mungkin tak ada yang benar-benar hilang. jutaan akun baru di internet itu yang mengganggu kepulangan kita sesekali ke waktu kanak-kanak.

bulukumba, 11 ramadhan 1431 hijriah

Cinta Yang Biasa dan Dikunyah Melalui Doa Doa

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 20 Agustus 2010 | Agustus 20, 2010



menemuimu dari beberapa penjuru yang biasa. terasa hanya masih cinta yang biasa dan tak tahu diri mengunyah begitu banyak keinginan melalui doa-doa. 

padahal angin dan gunung-gunung pun telah ruku' abadi kepadamu tanpa pamrih surga entah sejak berapa kapan yang silam.

bulukumba, 10 ramadhan 1431 hijriah


Hanya Menulis

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 15 Mei 2010 | Mei 15, 2010


menulis lagi 
di akhir pekan
kali ini 
ada rerumputan 
dalam pikiran
malam,  maaf 
aku hanya menulis
bukannya  membawamu ke dalam senyap
yang biasa tertera  di antara kita berdua.

bulukumba, sabtu 15 mei 2010

Pasar Seni Lukisan Indonesia di Surabaya

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 13 Mei 2010 | Mei 13, 2010



Sebanyak 370 pelukis dari Jawa, Bali dan Sumatera meramaikan Pasar Seni Lukisan Indonesia (PSLI) ketiga yang digelar Sanggar Merah Putih, Balai Pemuda Kota Surabaya, sepanjang tanggal 7-17 Mei. Pasar Seni ini adalah bentuk kepedulian para pelukis terhadap masyarakat pencinta seni. Selain pencinta seni bisa langsung bertransaksi dengan pelukis, masyarakat seni juga bisa bertukar ide dan gagasan.

Harga yang ditawarkan di Pasar Seni ini lebih miring dari harga lukisan yang dijual di galeri atau pameran. Jika lukisan yang berada di galeri dijual sampai Rp 20 juta namun di pasar seni bisa hanya Rp 6 juta.

Panitia membangun 159 stan yang diikuti 370 pelukis. Jumlah lukisan yang dipamerkan sebanyak 1.100. Sebelumnya, pada Pasar Seni 2008 diikuti sebanyak 118 pelukis, dan pada 2009 diikuti sebanyak 360 pelukis. Pada 2010 ini panitia menargetkan transaksi jual beli sebesar Rp 1,5 milliar, pada 2009 lalu transaksi mencapai 980 juta.

Dalam Pasar Seni ini juga disediakan stan khusus untuk penjualan lukisan seharga Rp 500 ribu. Selain itu juga diadakan lomba sketsa wajah atau karikatur Gubernur Jawa Timur Soekarwo dan Wakil Gubernur Jawa Timur Saiffulah Yusuf.

(berbagai sumber)

Setelah Rambutmu Tergerai

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 12 Mei 2010 | Mei 12, 2010

Indonesian Cultural Night 2010 Di Ohio Amerika

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 11 Mei 2010 | Mei 11, 2010


Seorang sahabat, Try Juandha, mahasiswa asal Bulukumba yang kini menimba ilmu di Amerika Serikat mengirimkan informasi kepada saya melalui Facebook. Try Juandha bersama teman-temannya yang tergabung dalam  PERMIAS (Persatuan Mahasiswa Indonesia) yang sedang kuliah di Ohio State University mengadakan acara cultural night (malam kebudayaan) dengan tema Unity In Diversity (bhineka tunggal ika), 7 Mei 2010.

Acara agenda tahunan in disemarakkan dengan cerita legenda Malin Kundang yang diadaptasikan ke kehidupan modern. Intinya, Malin kundang jadi pengusaha sukses dan mengajak para investor asing untuk investasi di beberapa daerah di indonesia. Dalam sebuah adegan, tari Gandrang Bulo ditampilkan, karena ceritanya si Malin ke Makassar.

Selain Tari Gandrang Bulo dari Makassar, juga ikut ditampilkan Tari Saman dari Aceh, Tari Tor-Tor dan Sarampang Dua Belas dari daerah Batak

Di ujung acara cultural night, para pengunjung bisa menikmati makanan khas indonesia, seperti gado-gado, sate dan lain-lain. Pengunjung juga dapat berbelanja souvenir khas indonesia, batik, wayang, dan lain-lain. Sebagai pamungkas cultural night mereka melakukan presentasi peluang bisnis di indonesia. 

Berikut video perfomance Try Juandha dan teman-temannya ketika membawakan Gandrang Bulo.


Padang Bulan Dan Cinta Di Dalam Gelas Andrea Hirata Di Bulan Juni

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 09 Mei 2010 | Mei 09, 2010


Andrea Hirata penulis novel "Laskar Pelangi" dan "Sang Pemimpi" kini merasa nyaman menemukan dirinya dalam ciri khas novel-novel dengan latar belakang budaya Melayu. Andrea sering mengakui mendapat kepuasan luar biasa dengan menulis novel berlatar budaya Melayu. 

Dua novelnya yang terbaru berjudul "Padang Bulan" dan "Cinta di dalam Gelas" akan diluncurkan pada pertengahan Juni 2010.  Kedua novel tersebut sudah selesai digarap dan sekarang berada di Penerbit Bentang.


Andrea mengungkapkan, dua novel yang merupakan karya kelima dan keenamnya tersebut masih dengan latar belakang Belitung dan budayanya. Andrea  menyelesaikan penulisan dua novel tersebut hanya dalam lima minggu namun sebelumnya dengan riset yang dilakukan selama dua tahun. 

Maryamah menjadi tokoh utama pada dua novel tersebut yang diceritakan sangat suka bermain catur. Novel 'Padang Bulan', lebih bercerita tentang kisah cinta dan novel 'Cinta di dalam Gelas' lebih banyak bercerita tentang Maryamah yang kesal terhadap suaminya dengan bentuk perlawanan berupa main catur.

(berbagai sumber)


Pusat Bahasa dan Microsoft Alihkan 250 Ribu Kosakata

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 07 Mei 2010 | Mei 07, 2010


Pusat Bahasa menggandeng Microsoft untuk mengalihkan lebih dari 250.000 kosakata atau istilah bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Upaya ini memperkaya bahasa Indonesia dan memberi kemudahan generasi muda dalam memanfaatkan komputer dan mengakses teknologi informasi.

Pengalihan kosakata atau istilah asing harus dilakukan secepatnya agar masyarakat tidak terjebak menggunakan bahasa asing. Pengalihan kosakata bidang ilmu teknologi ke dalam bahasa Indonesia jika tidak secepatnya dilakukan akan menimbulkan kendala. Sebab, pengalaman selama ini menunjukkan pengalihan kata/istilah bahasa Inggris yang telah lama digunakan ke bahasa Indonesia cenderung tidak diterima masyarakat.

Perkembangan bidang teknologi telah mencapai kemajuan yang amat berarti. Teknologi komputer misalnya, menghasilkan alat bantu kerja yang tidak hanya urusan tulis dan cetak. Tetapi, mampu menerobos teknologi komunikasi. Perpaduan kemajuan teknologi komputer dan teknologi komunikasi melahirkan kosakata/istilah baru di bidang itu. Teknologi, baik perangkat lunak maupun perangkat keras datang dari mancanegara sehingga kosakata/istilah yang digunakan adalah bahasa asing. Yang  terbanyak adalah bahasa Inggris.

sumber: www.tempointeraktif.com

Ini Mei!

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 06 Mei 2010 | Mei 06, 2010


Bagi bangsa manapun, kekuatan bahasa adalah defensif awal terhadap agresi dari luar yang mulai menggerogoti kebudayaan. Membangun kekuatan bahasa berarti membangun pertahanan awal dalam mencapai taraf kesejahteraan sebuah bangsa. Bahasa adalah muara dari sebuah identitas.
   
Bagi bangsa ini semestinya Mei merupakan bulan identitas. Tanggal 2 Mei merupakan Hari Pendidikan Nasional, sedangkan tanggal 20 Mei Hari Kebangkitan Nasional. Hari Buruh  jatuh pada 1 Mei, wafatnya pejuang buruh, Marsinah, pada 9 Mei, dan Hari Buku Nasional pada tanggal 21 Mei. Tanggal 21 Mei juga adalah tonggak demokratisasi yang menumbangkan kekuasaan otoritarian Orde Baru.

Kebangkitan Nasional tidak tercapai hakikatnya ketika identitas diri bangsa perlahan musnah. Tidak akan bisa suatu keinginan tercapai bila tidak menghadirkan kekuatan bahasa. Dengan hilangnya identitas secara bahasa, akan hilang pula suatu proses yang berarti dari sejarah-sejarah tersebut di bulan Mei.
      
Berbagai proses yang telah mengabaikan bahasa nasional telah merekonstruksi masyarakat terdidik untuk berorientasi menuju bahasa yang tidak sesuai dengan identitas bangsanya sendiri. Buku-buku pendidikan pun lambat laun didominasi oleh bahasa bercampur paham asing. Sangat diperlukan 'improvisasi permainan' oleh dunia perbukuan nasional pada Hari Buku Nasional bulan ini.
       
Republik ini  semakin melemah akibat intervensi asing. Penjajahan baru dalam bentuk eksplorasi alam dan budaya berlangsung secara besar-besaran. Kebudayaan leluhur semakin terdiskriminasi di sisi sosial sebab masyarakat tergiring ke individualistik dan konsumerisme. Mulut besar kapitalisme menganga di ujung sana dan menelan manusia Indonesia bulat-bulat.
      
Bahasa nasional yang telah diracuni kebudayaan asing dan terus diabaikan oleh kaum intelektualnya sendiri akan membuat peradaban serta kekuatan negara dalam identitas akan segera musnah tidak lama lagi. Lalu darimana harus memulainya ketika itu semua terasa terlambat? Satu kekuatan bersama dalam membangun tahap identitas bangsa yang kuat adalah melalui bahasa nasional. Tidak berlebihan jika hari ini bahasa nasional yang baik dan benar semestinya sudah harus dimulai di situs blog, website, catatan harian pribadi, jurnal-jurnal tidak resmi, status di facebook maupun twitter dan sebagainya. 

Belum terlambat jika hari ini blogger dan facebooker menunjukkan bahasa nasional sebagai identitas Indonesia kepada dunia. Mengapa Jepang kuat dan besar? Hari ini generasi muda Jepang ternyata tetap terinspirasi leluhur mereka. Mereka ternyata selalu terbiasa memposting blog dan menulis status di jejaring sosial dengan menggunakan bahasa nasional Jepang yang baik dan benar. Dan kepada blogger Indonesia? Saya hanya ingin menyampaikan,"Ini Mei!" 


Sajak Aku Selalu Berlari Bersama Mimpiku

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 04 Mei 2010 | Mei 04, 2010

Ku lari ke hutan......

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 03 Mei 2010 | Mei 03, 2010

Sajak Negeri Para Bedebah ~ Adhie M. Massardi

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 02 Mei 2010 | Mei 02, 2010

Hujan Kali Ini

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 28 April 2010 | April 28, 2010


semestinya rindumu bertangkupan dengan musim hujan
kali ini.
dawai-dawai gitarmu juga  tidak sedang memainkan malam yang murung 
dan pecah.
tidak sengaja aku menuliskan sajak  selama berhari-hari
hanya untuk mengutip sedikit kalimat yang pernah kau  titipkan 
di bawah hujan, "akhirnya tak ada yang bisa membaca arah angin,"
katamu 
untuk musim berikutnya.


bulukumba, 28 april 2010


Gandrang Bulo

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 26 April 2010 | April 26, 2010

Aku Bukanlah Gitar Yang Tiap Hari Selalu Kau Peluk

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 24 April 2010 | April 24, 2010


Lelaki tampan dengan suara merdu dan kemampuan memetik gitar. Perempuan mana tak jatuh hati? Semua begitu indah di awal. Belakangan sang perempuan sadar, kekasihnya lebih memilih yang lain. Bukan wanita idaman lain, tapi yang dipilih sang pria: gitarnya sendiri. Ditambah kelakuan playboy si pria, perempuan itu pun termehek-mehek di akhir cerita.

Cerita klasik dan sederhana itu menjadi plot lukisan komik Bambang “Toko” Witjaksono. Tema Titian Muhibah diusung Bambang dalam pameran lukisannya yang digelar di Langgeng Gallery di Jakarta Art District, Grand Indonesia Shopping Town, Jakarta, sepanjang 8-30 April ini.

Karya Bambang merupakan reproduksi dari komik Akhir yang Tragis karya Jan Mintaraga. Bambang, pengagum berat Jan, memproyeksikan komik itu di atas kanvas berukuran lebih dari 1 meter persegi. Sapuan akrilik digunakan untuk mempercantik 12 lukisan yang dipamerkan. “Saya meminjam visual komik, tapi ceritanya saya bikin sendiri,” katanya. Penekanan cerita ala Bambang pada gitar dan perjalanan cinta sepasang kekasih.

Nostalgia komik roman mampu dimunculkan dosen Institut Seni Indonesia Yogyakarta tersebut. Pencapaian yang cukup mengagumkan karena mampu menyeleksi satu buku komik menjadi tinggal 12 frame. Sayang, keterbatasan ruang di Langgeng Gallery membuat tak semua lukisan dipajang. Bahayanya, penikmat lukisan akan kehilangan alur cerita.

Keklasikan komik dijaga dengan mempertahankan sosok-sosok pada 1970-an, seperti tergambar dalam Akhir yang Tragis. Sang perempuan kerap digambarkan dengan rok di bawah lutut, rambut terkepang, atau berbandana besar. Adapun prianya dihadirkan dengan rambut berjambul dan kemeja lengan panjang dengan kancing atas terbuka.

Bambang juga menampilkan warna-warna pastel nan lembut dalam lukisannya. Misalnya, dalam lukisan berjudul Merdunya, Bambang menggunakan warna oranye pada gitar si pria, termasuk barisan fret-nya. Kemeja lelaki itu berwarna pink menyala. Begitu juga dengan rok terusan sosok perempuan yang terlihat jauh. Latar belakang langit biru cerah menambah ngejreng lukisan tersebut.

Layaknya komik, Bambang pun menghadirkan teks dalam lukisannya. Beberapa kali dialog tercipta antara laki-laki dan perempuan. Tapi tak jarang monolog. Teks dalam lukisan Bambang berhuruf kapital dan cenderung sama dengan judul lukisan. Terkadang panjang, terkadang singkat. Bambang sebenarnya bisa memilih salah satu, judul saja atau lukisan saja.

Pada beberapa gambar, penghilangan itu akan tetap mampu menjaga pesan visual dalam lukisan. Ini terlihat pada lukisan Tangannya Selembut Salju, yang menggambarkan pasangan kekasih sedang berpegangan tangan. Dengan membaca judul saja, pesan lukisan mampu ditangkap dengan mudah.

Bambang tak jarang menyisipkan unsur puitis dalam teks. Contohnya, dalam Aku Bukanlah Gitar, teks yang dibuat Bambang untuk menunjukkan suasana hati sang perempuan berbunyi: “Aku bukanlah gitar yang tiap hari selalu kau peluk”.

Dalam lukisannya, Bambang terlihat sangat memperhatikan angle. Dalam lukisan Mulailah Kejengkelan Itu, misalnya, pertemuan dua kekasih digambar dari luar rumah dengan posisi agak ke atas. Pohon yang beberapa rantingnya tak berdaun lagi menjadi latar depan, berpadu dengan terali rumah yang tergambar hitam. “Saya tak ingin menggambarkan karakter komik dari depan saja,” kata pendiri grup komik Apotik ini.

sumber: www.tempointeraktif.com

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday