Latest Post

Tampilkan postingan dengan label Jejak Pesastra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jejak Pesastra. Tampilkan semua postingan

Sutan Takdir Alisyahbana, Tasik Yang Tenang

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 21 Februari 2010 | Februari 21, 2010

Ia adalah tasik yang tenang, tiada beriak. Sutan Takdir Alisyahbana namanya. Di pelataran sastra Indonesia ia adalah jaminan bagi sejarah perkembangan perpuisian dan ide-ide mencengangkan bagi humanisme. Bagi saya pribadi, membaca puisinya sungguh sulit. Chemistry, diksi dan gaya kepenyairannya memang beda. Tapi heran, ia  menginspirasi begitu banyak generasi sesudahnya. 

Salah satu puisinya "Menuju Ke Laut" sungguh sulit dipahami lagi dalam bahasa Indonesia modern tapi masih menjadi sumber rujukan sebagai puisi dengan diksi yang revolusioner bagi banyak penyair-penyair di zaman sekarang.

 

MENUJU KE LAUT

Kami telah meninggalkan engkau,
tasik yang tenang, tiada beriak
diteduhi gunung yang rimbun
dari angin dan topan
Sebab sekali kami terbangun
dari mimpi yang nikmat :

“Ombak ria berkejar-kejaran
di gelanggang biru bertepi langit
Pasir rata berulang dikecup,
tebing curam ditantang diserang,
dalam bergurau bersama angin,
dalam berlomba bersama mega.”

Sejak itu jiwa gelisah,
Selalu berjuang, tiada reda,
Ketenangan lama rasa beku,
gunung pelindung rasa penggalang.
Berontak hati hendak bebas,
menyerah segala apa mengadang.

Gemuruh berderau kami jatuh,
terhempas berderai mutiara bercahaya,
Gegap gempita suara mengerang,
dahsyat bahna suara menang.
Keluh dan gelak silih berganti
pekik dan tempik sambut menyambut

Tetapi betapa sukarnya jalan,
badan terhempas, kepala tertumbuk,
hati hancur, pikiran kusut,
namun kembali tiadalah ingin,
ketenangan lama tiada diratap

Kami telah meninggalkan engkau,
tasik yang tenang, tiada beriak,
diteduhi gunung yang rimbun
dari angin dan topan
Sebab sekali kami terbangun
dari mimpi yang nikmat


Mawar dan Penjara, Tragedi Yang Nyaris Terlupakan

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 16 Februari 2010 | Februari 16, 2010


Ia adalah juga magma dari gunung berapi yang berpotensi meletus setiap saat. Penyair muda kelahiran Bulukumba, 1980 yang selalu melakukan perjalanan sunyi di tengah alam tapi senantiasa alam menyambutnya gemuruh. Di jagad kepenyairan khususnya di kawasan timur republik ini, Andhika Mappasomba tidak asing lagi. Sosoknya  juga pernah diulas di weblog ini. Dalam beberapa kali pertemuan saya dengannya ia kerap mengucapkan kalimat, "kumpulan puisiku; Mawar dan Penjara adalah tragedi yang nyaris terlupakan." 

Tapi seperti dugaan saya jauh sebelumnya, tragedi itu tak akan pernah terlupakan sebab kumpulan puisi itu akhirnya segera terbit tahun ini. Ini adalah buku kedua setelah bersama cerpenis Anis K. Al Asyari, dia pernah menggebrak  dengan menerbitkan buku Ingin Kukencingi Mulut Monalisa (2003).

Andhika menuliskan beberapa larik pikirannya di facebook hari ini, Selasa 16 Februari. Catatan lengkapnya berikut ini:

akhirnya, setelah enam tahun menunggu hari itu, impian itu pun sudah di depan mata. kumpulan puisi tunggalku akan segera terbit dan sekarang sedang dalam proses cetak.

beberapa puisi memang pernah dimuat di media cetak lokal.dan beberapa puisi sengaja tak pernah dipublikasikan.
setelah hampir setahun berburu ide sampul buku, akhirnya aku memutuskan untuk tak memberinya ornamen apapun di sampulnya. beberapa kawan yang saya mintai pertolongan tak kunjung memberikan hasil. yah, hanya sebuah buku dengan gagasan bentuk yang klasik. tidak seperti buku dengan gaya kontemporer. hanya sebuah buku merah degan guratan huruf berwarna hitam.

Mawar dan Penjara adalah judul buku itu. di dalamnya penuh dengan catatan kesedihan dan catatan perjalananku, catatan cara pandangku menatap semesta dan isinya. aku menuliskan beratus-ratus nama di dalamnya. bahkan puluhan nama yang tak pernah kutemui wujud pemiliknya.
beberapa hanya bertemu di Facebook, imajinasi mimpi dan nama-nama masa kecil.

selama sepuluh tahun belakangan, aku pernah bertualang kemana saja. melintasi dan juga menginap di sudut-sudut yang aku tak kenal lalu menuliskan puisi. mungkin itu kampung anda. atau pernah kutuliskan sebuah peristiwa kecil. mungkin itu juga peristiwa anda.

buku kumpulan puisi ini, pengantarnya dituliskan oleh DR Ahyar Anwar, sahabat yang sekaligus Guru yang banyak menemaniku dalam perjalanan menuju alam sastra tujuh tahun belakangan ini.

puisi Mawar dan Penjara adalah puisi yang aku tulis di sebuah sel Polsekta di makassar pada tahun 2002. dan juga puisi pertama yang saya bacakan buat kanda Ahyar Anwar saat pertama kali berjumpa di Gedung Jurusan BS Unm lantai dua di akhir tahun 2003. puisi ini juga adalah puisi yang dibacakan oleh kanda saya Andi Mappasomba di kantor LBH Makassar, ketika itu di Jalan Macan Makassar, sebelum menyerahkan diri ke POLDA Sulsel atas pertanggungjawabannya melakukan perlawanan bersama petani kajang tahun 2003, melawan PT LONSUM. bahkan puisi ini telah digubah menjadi lagu oleh UKM SB 9 Univ. Islam Makassar.

buku ini, juga alhamdulillah akan menjadi MAHAR PERNIKAHAN saya, insya allah jika Allah Meridhai. perempuan itu telah ditemukan.

semoga siapapun yang telah menjadi inspirasi dari penulisan semua puisi ini, selalu mendapat limpahan rahmat dan hidayah dari Allah yang Maha Agung dan Pemurah.

buku puisi ini belum akan dijual dan diedarkan di toko manapun. buku ini, akan saya berikan secara khusus, kepada mereka yang memiliki sinergi hati dan kesamaan warna hidup dalam memandang kenangan. mereka yang selalu mau menghargai peristiwa kecil dan kisah kecil dalam kehidupan mereka. aku akan mengantarkan sendiri buku ini untuk mereka.

tak ada peristiwa yang betul-betul sama terulang dalam waktu

salam cinta dariku yang sedang sakit!

Andhika Mappasomba


Beberapa hari lalu Andhika membacakan puisi di hadapan Pansus Century yang datang ke Makassar. Bukan hanya puisi, Andhika juga menyerahkan sebilah badik kepada Akbar Faizal, salah satu anggota pansus, sebagai simbol keberanian. 

 
Andhika yang tertidur di pantai

Khrisna Pabichara, Lelaki Paling 'Bicara'

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 20 Januari 2010 | Januari 20, 2010


Khrisna Pabichara, ia masih saja seorang motivator dan penggiat sastra. Seorang trainer dan motivator pengembangan kecakapan belajar. Puluhan tahun mengembara di dunia pendidikan alternatif, menemani para siswa sekolah menengah dan mahasiswa. Nafasnya tetap  aktif menggeliat dengan berbagai artikel tentang pendidikan dan pola asuh anak di media massa dan dunia maya. Selain berkhidmat di Komunitas Sastra Jakarta (KOSAKATA), juga bergiat sebagai penulis buku, dan penyunting di Rumahkata Publishing.

Krishna Pabichara juga seorang blogger yang 'khusyu'. Ia dan sebahagian besar pikirannya dapat ditemui di http://dusunkata.blogspot.com/. Saya menangkapnya sebagai salah seorang lelaki yang termasuk paling 'bicara'  dalam ruang humanisme ketika membaca dua contoh puisinya berikut ini. 

Perjalanan Rindu
Rindu berdiri di halaman hari. Matahari masih mengepul di mata sepinya. Mata pengap: menjerang air mata dan senyap. Kupu dan serangga berloncatan: melenting, menggelinding. Dukanya tanak, mengepul di cangkir kopi: menguapi cinta yang sederhana.
Rindu sekarang berjalan di beranda senja. Langkahnya ringan menapak pucuk rumputan sunyi. Wajahnya masih sama: tenang-terang, hening-bening. Detik dan menit berlomba-melaju: melompat, menjingkat. Rindu yang sepi menimang-nimang kenangan: menjaga cinta yang sederhana.
Rindu pulang ke pangku malam. Matahari sampirkan letih di kening bulan. Rindu gemeretak menahan gigil, berderit di telikung pilu. Malam ini ingin sekali dia menangis. Sudah lama dia tidak menangis: terakhir dia menangis ketika pacarnya pergi selepas merampok selembar selaput dara. Dan dia tercatat sebagai bekas perawan: meratapi cinta yang tidak sederhana. 

Lelaki Paling Puisi
Aku, lelaki paling sepi, menyelam ke perut laut. Memetik ingatan mencari kenang yang dulu karam di cangkang karang. Mengeruk arus. Menandai wajah ibu: ada rindu terdampar di pantai. Berkali-kali.
Hari ini, kubangun rumah pasir. Membayangkan ibu duduk tenang di salah satu lengang ruang, menyulam rabuk perahu yang lapuk ditulah usia. Tapi gelombang selalu menyapu rumah itu, bahkan sebelum aku usai memasang atapnya.
Aku, lelaki paling puisi, melepas matahari ke rahim laut. Agar tak ada lagi senja atau camar yang riang mengajak pulang. Sepanjang siang aku menjala kenangan: ibu, dulu dirimbun bakau, aku selalu membuang risau. Sekarang, sunyi:
Menghitung sesak.

Rousseau, Esais Di Balik Revolusi Prancis

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 16 Januari 2010 | Januari 16, 2010

Jean Jacques Rousseau (Geneva, 28 Juni 1712 – Ermenonville, 2 July 1778). Ia adalah seorang tokoh filosofi besar, penulis dan komposer pada abad pencerahan. Pemikiran filosofi dan beberapa esai kecilnya mempengaruhi rakyat kelas bawah dan menengah untuk melakukan revolusi Prancis.

Tidak banyak catatan sejarah yang menuliskan tentang sebuah karya sastra yang bisa menumbangkan sebuah Negara. Tapi Prancis mengenal dan tetap mengenang Rousseau menyumbangkan pemikiran untuk perkembangan politika modern dan dasar pemikiran edukasi. 

Karya novelnya, Emile, atau On Education yang dinilai merupakan karyanya yang terpenting adalah tulisan kunci pada pokok pendidikan kewarganegaraan yang seutuhnya. Julie, ou la nouvelle Héloïse, novel sentimental tulisannya adalah karya penting yang mendorong pengembangan era pre-romanticism dan romanticism di bidang tulisan fiksi.

Karya autobiografi Rousseau adalah 'Confession', yang menginisiasi bentuk tulisan autobiografi modern, dan Reveries of a Solitary Walker adalah contoh utama gerakan akhir abad ke 18 "Age of Sensibility", yang memfokus pada masalah subjectivitas dan introspeksi yang mengkarakterisasi era modern. Rousseau juga menulis dua drama dan dua opera dan menyumbangkan kontribusi penting dibidang musik sebagai teorist. Pada perioda revolusi Prancis, Rousseau adalah ahli filsafat terpopuler diantara anggota Jacobin Club. Dia diangkat sebagai pahlawan nasional di Panthéon Paris, pada tahun 1794, enam belas tahun setelah kematiannya.


Ekspresi Novelis Ramli Palammai

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 11 Januari 2010 | Januari 11, 2010


Novelis Ramli Palammai akhirnya bersedia hadir di studio RCA untuk ditodong beberapa pertanyaan. Saya mengintervieunya sekitar 40 menit di program Ekspresi, edisi Minggu 10 januari 2010. Direktur p3i Press Makassar, Andhika Mappasomba, selaku pihak penerbit turut mendampingi. Andhika yang juga salah seorang sastrawan Bulukumba membacakan beberapa prosa lirik romantik dalam sesi pembacaan karya sastra.

Sebagaimana yang disuguhkannya dalam novel Aku Di Sebuah Novel, Ramli jujur mengakui tentang beberapa kegelisahannya. Salah satunya tentang ruang sempit bagi karya-karya anak negeri terutama di daerah. Terungkap pula bahwa novel pertamanya itu adalah bagian dari trilogi dengan judul-judul novel selanjutnya yang masih dirahasiakan. Hanya ada satu bocoran tentang  tebal halaman novelnya yang kedua yakni lebih dari 500 halaman.

Di salah satu halaman novel pertamanya, Ramli mengutip sebuah puisi yang dicuplik dari karya Andhika Mappasomba. Yang menjadi penanda ketegasannya dalam menulis tersingkap keluguan berupa rasa gerah terhadap gaya kepenulisan novel tanah air yang dianeksasi oleh kepentingan industri penerbitan semata. Satu hal yang justru dimusuhinya dan perlawanan itu terungkap jelas dalam novel Aku Di Sebuah Novel. 

Tapi terlanjur sebuah titik rasa yang berbeda telah dituangkan Ramli ke dalam bejana sastra tanah air. Selama 10 tahun terakhir, ini adalah novel yang pertama ditulis oleh manusia Bulukumba. Sekitar 20 tahun lalu, sebenarnya juga pernah terbit novel anak-anak berlatar sejarah revolusi fisik berjudul Bulukumba Membara yang ditulis oleh Fahmi Syarif.

Di akhir wawancara, Ramli menjanjikan, Aku Di Sebuah Novel dapat diperoleh di toko-toko buku di semua kota besar di Indonesia dalam waktu dekat ini. Distribusinya sementara mulai dilakukan.

Yupnical Saketi Si Penyair Bertopeng

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 07 Januari 2010 | Januari 07, 2010




Publik penggemar musik underground pasti mengenal Slipknot, kelompok musik bertopeng di Amerika. Di Indonesia juga ada Kuburan Band  dengan topeng khasnya. Jagad kepenyairan Indonesia pun memiliki Yupnical Saketi Si Penyair Bertopeng. Sosok unik seniman multi-genre ini senantiasa mengenakan topeng mirip superhero fiksi Zorro atau Batman. Yupnical Saketi, Penyair bertopeng yang lahir di Kerinci (Jambi), 15 Juni 1976 dan menyelesaikan kuliah di PBS Bahasa Inggris FKIP Universitas Jambi (Unja).

Karyanya dimuat dalam antologi bersama Harimau Sumatera (cerpen, 2001), Dari Kedondong Sampai Tuah (cerpen, 1999), Lahir (puisi, 1999), Mengenang HM Sabki (puisi,1998), Rakit Biru (puisi,1997), Midle (puisi,2002), Antologi Penyair Sumatera 2005 (puisi,2005), dan CD Puisi Pariwisata Jambi di Mata Penyair (deklamasi, 2005).

Beberapa media cetak juga menjadi santapan empuk karyanya, antara lain SKH Sriwijaya Post, Jambi Independent, Jambi Ekspress, dan lain-lain. Penyair bertopeng ini adalah aktor, penulis naskah dan sutradara, juga pernah belajar cinematografi dan pernah  menggarap beberapa fragmen drama TVRI Jambi. Di dunia seni rupa sering mengadakan pameran lukisan baik di dalam maupun di luar Jambi .Di bidang musik aktif menggeluti musik etnik-tradisi dan balada.

Yupnical Saketi juga adalah wartawan yang bekerja di Harian Kriminal Posmetro Jambi yang menjadikannya  sangat dekat dengan berbagai kalangan. Salah satu puisinya berikut ini bisa menandakan bahwa ia memang banyak bermain di segala lapisan.


O Bulian yang Mengibarkan Daunnya di Tepian
;Bupati Syahirsah yang makin bersahaja ketika berbasah-basah luluk sawah

ketika laut begitu larut, langit begitu sengit
tanah begitu ranah dan api begitu sunyi
kutemukan seniman yang tidak bernyanyi
apalagi nyinyir dengan puisi
O sungguh aku iri pada ruh puisi
yang menderas hidup di aliran darahnya
sajak yang bernyawa pada setiap jejak
sementara aku baru sebatas tajak yang mengumban lagak
mengumbar imaji pada tembok angin
jadi graviti gugusan gemini
di sepanjang nadi turab tepian batanghari

di sisi curam situlah sebatang bulian mengibarkan dedaunnya
laksana bendera yang patahkan tiang-tiang puting beliung
O dialah lelaki dengan berjuta pataka kearifan di dadanya
rela melarutkan diri ke desakan aroma keringat kaum pafa
atau mencebur ke luluk lumpur yang mengukur
petak-petak sawah sahaya nan susah melata ludak
atau ke debur laut keperihan
karena ranah politik penuh titik
dan itik yang berbaris pulang kandang
kala petang mulai menjelang

O lelaki kayu bulian
telah kulihat daging kambiummu mendidih
di kawah langit gerhana merah darah, segar
ketika kau menyapa seniman apa adanya
O

(berbagai sumber)

Eksakta Kepenyairan Umar Khayyam

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 27 Desember 2009 | Desember 27, 2009



Di dunia Barat, Umar Khayyam telah melampaui batas geografis dan demografis dengan julukan The Rub iy t of Omar Khayyam. Bahkan nama besarnya diabadikan menjadi salah satu nama planet kecil di luar angkasa. Pada tahun 1980, seorang ahli astronomi dari Uni Soviet bernama Lyudmila Zhuravlyova menemukan sebuah planet kecil melalui teleskop. Zhuravlyova kemudian menamakan planet itu Umar Khayyam. Kontribusi dan dedikasi Khayyam di bidang astronomi juga diabadikan sebagai salah satu nama kawah di bulan. Pada tahun 1970, para astronom sepakat untuk menggunakan nama Khayyam di salah satu kawah bulan.

Ia seorang ilmuwan matematika, astronomi dan filsafat tapi lebih termasyhur sebagai penyair.  Beberapa sumber sejarah menyebutkan, syair dan puisinya banyak dipengaruhi karya-karya Abu Nawas. Khayyam telah menulis seribu bait syair dan puisi. Puisi-puisinya yang dikenal skeptik justru begitu berpengaruh di dunia Barat. Lahir di Persia (Iran) pada 18 Mei 1048 M dengan nama lengkap Ghiyath A-Din Abu'l-Fath Umar ibnu Brahim Al-Nisaburi A-Khayyami. Secara bahasa, Khayyam berarti 'pembuat tenda'. Nama itu digunakan, karena sang ayah bernama Ibrahim adalah seorang pembuat tenda.

Sebagai seorang ahli matematika ia  menulis buku tentang aljabar berjudul Treatise on Demonstration of Problems of Algebra. Salah satu kontribusinya yang lain dalam bidang matematika, dia menemukan metode memecahkan persamaan kubik dengan memotong sebuah parabola dengan sebuah lingkaran. Pada 1077 M, Khayyam menulis kitab Sharh ma ashkala min musadarat kitab Uqlidis (Penjelasan Kesulitan dari Postulat-postulat Euclid). Umar Khayyam juga berkontribusi dalam geometri, khususnya pada teori perbandingan.

Sebagai pakar astronomi, Khayyam sempat diundang penguasa Isfahan, Malik Syah pada tahun 1073 M. Ia diminta untuk membangun dan bekerja pada sebuah observatorium, bersama-sama dengan sejumlah ilmuwan terkemuka lainnya. Akhirnya, Khayyam dengan sangat akurat (mengoreksi hingga enam desimal di belakang koma) mengukur panjang satu tahun sebagai 365,24219858156 hari.

Ia terkenal di dunia Persia dan Islam karena observasi astronominya. Khayyam pernah membuat sebuah peta bintang (yang kini lenyap) di angkasa. Salah satu prestasinya dalam bidang astronomi dan matematika adalah keberhasilannya mengoreksi kalender Persia.

Pada 15 Maret 1079 M, Sultan Jalaluddin Maliksyah Saljuqi (1072 M - 1092 M) memberlakukan kalender yang telah diperbaiki Khayyam, seperti yang dilakukan oleh Julius Caesar di Eropa pada tahun 46 SM dengan koreksi terhadap Sosigenes, dan yang dilakukan oleh Paus Gregorius XIII pada Februari 1552 dengan kalender yang telah diperbaiki Aloysius Lilius.

Rubaiyat Umar Khayyam merupakan antologi puisi karya Umar Khayyam yang ditulis dalam bahasa Persia. Antologi puisi karya ahli matematika dan astronom itu berjumlah sekitar seribu. Setiap syair dan puisi Khayyam berjumlah empat baris. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia. Salah satu asset terbesar dari dunia Islam itu tetap dikagumi dunia Barat sampai hari ini. Ironisnya, justru kurang dikenal di Timur bahkan di kalangan masyarakat islam sendiri. Mungkin juga akibat kegersangan dunia Timur akan ilmu pengetahuan itulah yang telah disorot Umar Khayyam  dalam salah satu syairnya:


Mari, di bawah pohon dengan sepotong roti 
Sebotol anggur, buku puisi dan Engkau ini 
Di sampingku bernyanyi-nyanyi di padang gurun
Dan padang gurun pun menjadi tanah surgawi.


Acep Zamzam Noor Juga Blogger

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 15 Desember 2009 | Desember 15, 2009

Seperti mimpi saja. Beberapa hari lalu saya sungguh tidak menyangka akan dikunjungi oleh penyair senior ini di WebBlog sastra-radio dan kedai kopi. Bahkan ia sempat meninggalkan jejak berupa promo update blognya di kolom komentar.
Tema-tema dan artistik yang tinggi dalam sajak-sajaknya pantas diganjar anugerah Sastra South East Asian (SEA) Write Award tahun 2005. Sebuah penghargaan yang dikhususkan bagi para sastrawan Asia Tenggara oleh Kerajaan Thailand. Ia juga memperoleh penghargaan Penulisan Karya Sastra 2000 Depdiknas dan Khatulistiwa Literary Award (2007).
Acep Zamzam Noor lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 28 Februari 1960. Setelah mereguk ilmu agama Islam di Pesantren Cipasung dan As-Syafi’iah, Jakarta Ia masuk Jurusan Seni Lukis Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB (1980-1987) lalu Universit Italia per Stranieri, Perugia, Italia.
Karya-karya kumpulan sajaknya yang telah dibukukan antara lain Tamparlah Mukaku!(1982), Aku Kini Doa (1986), Kasidah Sunyi (1989), The Poets Chant (1995), Aseano (1995), In Words In Colours (Antologi, 1995), A Bonsai’s Morning (Bali, Antologi, 1996) Di Luar Kata (1996), Dari Kota Hujan (1996), Di Atas Umbria (1999), Dongeng dari Negeri Sembako (2001), Jalan Menuju Rumahmu (2004), Asia Literary Review (2006), dan Menjadi Penyair Lagi (2007).
Di samping menulis, melukis dan blogging ia juga sehari-hari bergiat di Sanggar Sastra Tasik (SST) dan Komunitas Azan. Ia adalah penyair Indonesia yang menulis sajak secara terus-menerus dengan mempertahankan kualitas dan ciri khas.

Bagian dari Kegembiraan
1
Jalan di belakang stadion itu sudah lama tidak kulewati
Mungkin madrasah yang dibangun persis depan kamarmu
Sekarang sudah rampung. Aku teringat pohon beringin
Yang berdiri anggun dekat taman kanak-kanak dan pos ronda
Setiap pulang mengantarmu aku sering kencing di sulur-sulurnya
Yang rimbun. Sepi terasa menyayat jika kebetulan lewat:
Ingin sekali minum jamu kuat, tapi kios yang biasa kita kunjungi
Sudah tidak nampak di sana
2
Volkswagen yang bentuknya mirip roti tawar itu masih kusimpan
Di garasi. Aku belum berniat menjualnya meski dengan harga tinggi
Di badannya yang mulai karatan masih tersimpan ratusan senja
Yang pernah kita lewati bersama. Di joknya yang mulai rombeng
Masih melekat ribuan pelukan dan ciuman. Catnya belum kuganti
Aku masih ingat bagaimana dulu kau ngotot memilih hijau lumut
Biar mirip seragam tentara,” ujarmu. Tapi mobil yang usianya
Delapan tahun lebih tua darimu atau tiga belas tahun di bawahku itu
Akhirnya kulabur dengan hitam. Kini mesinnya harus sering dipanaskan
Dan sesekali mesti dibawa jalan-jalan. Aku sangat menyayanginya
Sekalipun kerap membuatku jengkel dan putus asa. Pada kaca spionnya
Masih tersimpan gambar yang menjelaskan betapa berliku jalan
Yang kita susuri. Pada rodanya masih tercatat angka yang menunjukkan
Betapa panjang kilometer yang kita tempuh
3
Apa makna alun-alun bagimu? Kenapa selalu mengajakku duduk-duduk
Di salah satu sudutnya? Apakah kau suka mendengar bunyi air mancur
Atau senang melihat pasangan-pasangan yang berpelukan dalam remang
Lampu taman? Atau ingin menjadi bagian dari Tasik Volkswagen Club
Yang sering nongkrong malam-malam? Lalu apakah makna kegembiraan
Bagimu? Kau hanya tersenyum setiap kutunjukkan di mana letak bintang
Yang suka menyendiri di gelap malam, setiap kukatakan bahwa ricik air
Adalah suara hatiku yang paling dalam
4
Tiba-tiba kausentuh lagi ingatanku pada bunyi tek-tek
Pedagang mie keliling. Kautarik lagi kenanganku
Pada nama jalan, tembok penuh coretan dan tiga kelokan
Yang selalu menyaksikan kita sempoyongan malam-malam
Menuju kamar kontrakanmu di ujung gang. Kaugetarkan lagi
Kesepianku pada harum rambut, sisa bedak serta kecupan singkat
Yang sesekali hinggap di antara rintik gerimis yang rapat:
Jangan menelpon. Aku tidak akan tahan mendengar suaramu
5
Waktu melingkar seperti jalan yang mengelilingi stadion
Berawal dari titik sepi dan akan selalu berujung pada titik
Yang sama. Bermula dari kekosongan dan kembali lagi
Pada kekosongan. Sejak perutku membuncit dan punggungku
Mulai terserang rematik, setiap sore aku selalu ikut berlari
Bersama mereka yang rajin memelihara badan dan kesehatan
Aku tidak muda lagi, namun seperti yang pernah kaukatakan dulu
Cinta tidak ada hubungannya dengan usia. Aku berlari pelan-pelan
Melewati lapak-lapak kaki lima, melewati warung-warung kopi
Yang jika malam akan berubah menjadi tempat transaksi, melewati
Anak-anak sekolah yang main basket, melewati deretan sepeda motor
Melewati ibu-ibu muda yang bajunya ketat serta rambutnya cokelat
Dan sepi terus melingkar seperti mereka yang rutin berolahraga, seperti
Mereka yang takut akan kematian, seperti poster-poster yang bertaburan
Seperti wajah-wajah calon walikota yang senyumnya seragam, seperti
Baris-baris puisi yang tidak sempat kutuliskan. Di depan sebuah gang
Kadang aku berhenti dan tanpa terasa meleleh airmata di pipi

Ruang eksistensial manusia yang dibayangi oleh kegamangan pada sebuah tujuan telah membuatnya mencari dan menemukan idiom, metafora, dan imaji-imaji alam yang khas. Itulah yang dapat dinikmati di sepanjang perjalanan kepenyairan Acep Zamzam Nor.

Satu dari Segelintir, Aspar Paturusi dari Bulukumba

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 13 Desember 2009 | Desember 13, 2009


Pada 10 April 2011, bertepatan usianya yang ke-68, sosoknya tetap berani 'menghunus badik' ketika di Graha Pena Makassar diluncurkan buku puisinya yang berjudul "Badik". Buku itu memuat 303 puisi dengan tebal 372 halaman.

Dengan penuh percaya diri Ia tampil sepanggung dengan sejumlah nama besar dari pentas teater nasional. Ia bergabung dengan Teater Kecil-nya Arifin C Noer. Bersama Teater Saja-nya Ikranegara, ia bermain di Taipei di tahun 1984, Singapura dan Malaysia di tahun 1985. Ia salah satu seniman kebanggaan warga Sulawesi Selatan, satu hal yang bahkan diformalkan dengan penghargaan yang ia terima pada tahun 1978 sebagai Warga Kota Berprestasi. 

Aspar Paturusi lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan, 10 April 1943. Seorang aktor, dramawan, dan novelis Indonesia. Selain bermain teater dan menulis novel humanisme ia juga menulis puisi, karyanya Apa Kuasa Hujan, berisi 134 judul puisi yang ia tulis sejak tahun 1971 sampai tahun 2002. Pada tahun 1960, dua puisinya: "Mereka Tercinta" dan "O Anak Kemana Kau" dimuat di lembaran kebudayaan Mimbar Indonesia ydi mana  saat itu redakturnya adalahHB Jassin dan AD Donggo. 

Tahun 1987 ia memboyong keluarganya ke Jakarta. Aspar bermain untuk film layar lebar Tragedi Bintaro . Ia aktor terbaik peraih Piala Vidya lewat Anak Hilang yang digarap Slamet Rahardjo. Ia juga bermain di dalam produksi TVRI, Alang-Alang garapan Teguh Karya. Beberapa sinetron seperti Bengkel Bang Jun arahan Chaerul Umam. Namun, ia sempat merasa sangat konyol ketika ia bermain dalam sinetron Pelangi Harapan produksi dari Multivision. Perannya adalah menjadi hantu. Terakhir, dia ikut ambil peran film Ketika Cinta Bertasbih garapan sutradara Chaerul Umam sebagai ayah Furqon.

Sejumlah naskah dramanya dan ia sutradarai sendiri antara lain Samnidara yang berpentas di TIM tahun 1982, Perahu Nuh II pentas di TIM tahun 1985 dan Festival Istiqlal tahun 1995, serta Jihadunnafsi yang dipentaskan di Makassar tahun 1986 dan TIM tahun 1991.

Aspar pernah menjabat Ketua Ikatan Seniman Budayawan Muhammadiyah (ISBM) Sulawesi Selatan periode 1962-1968. Ia juga ikut mendirikan Dewan Kesenian Makassar dan menjadi pengurus selama 18 tahun. Menjadi Ketua Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) Sulawesi Selatan dan kemudian Wakil Ketua Umum PB Parfi, anggota Dewan Kesenian Jakarta, dan menjadi ketua komite teater tiga periode 1990-2001. Ia satu dari segelintir seniman teater daerah yang mampu menaklukkan ibukota.
 
referensi: http://id.wikipedia.org/wiki/Aspar_Paturusi

Dorothea Rosa, Perempuan Yang Menuliskan Perempuan

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 11 Desember 2009 | Desember 11, 2009


"Sampaikanlah tema-tema politik dengan bijaksana dan tenang." Kalimat seperti itulah mungkin yang ingin disampaikan Dorothea Rosa melalui karya-karyanya. Buku-buku kumpulan sajaknya adalah Nyanyian Gaduh (1987), Matahari yang Mengalir (1990), Kepompong Sunyi (1993), Nyanyian Rebana (1993), Nikah Ilalang (1995), Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999) dan Kill the Radio (2001) terpilih sebagai pemenang kedua Sayembara Kumpulan Puisi Terbaik 1998-2000 PKJ-TIM.
Sejak kecil bercita-cita menjadi psikolog tapi setelah dewasa yang kesampaian justru menjadi penulis. Ia masih duduk di bangku SMP ketika tulisan pertamanya dalam bentuk opini dimuat di majalah Hai. Ia suka membaca meski bukan berasal dari keluarga berada yang mampu membeli buku.
Perempuan penulis yang mengagumi Sapardi Djoko Damono, W.S. Rendra, dan Arswendo Atmowiloto ini dilahirkan di Magelang, Jawa Tengah, 20 Oktober 1963. Sewaktu kuliah di Jurusan Sastra Indonesia IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta, puisi-puisinya selalu menghiasi rubrik sastra di harian Sinar Harapan dan Suara Pembaruan.
Sempat beberapa tahun menjadi guru di SMA Gama Yogyakarta. Tapi akhirnya ia terjun total sebagai penyair dan penggiat kebudayaan. Pernah menjadi koresponden harian Suara Pembaruan, majalah Prospek, majalah Sarinah dan sejak tahun 1995 menjadi redaktur Jurnal Kebudayaan Kolong terbitan Magelang, Jawa Tengah.
Rosa pernah mengikuti Pertemuan Sastrawan Muda ASEAN di Philiphina tahun 1990, dan Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda tahun 1995. Tahun 2000, ia menjadi writer-residence di Australia.
Rosa mungkin begitu menyadari dirinya yang perempuan dan untuk itu Ia banyak menulis sajak untuk menggambarkan perempuan dari perspektif seorang perempuan. Citra perempuan Indonesia adalah salah satu sumber inspirasinya yang utama. Sebagaimana dalam dua sajaknya ini.


Surat dari Ibu
kutulis pada lipatanlipatan wajahku yang lelah kukisahkan kekecewaanku
pada sungai yang makin kering menjalari rusukrusuk kota kita. seperti urat
yang tak lagi rajin mengalirkan darah ke penjuru tubuhmu. setiap jatuh daun
dan pendar uap menyanyikan murungku pada hari yang selalu berjalan resah.
detikdetik berjajar melukiskan gairah rumput dan amarah batu yang bisu.
kutuliskan suratku, tak beralamat rindu. tahuntahun yang renta mengurung
perjalanan hati yang tak punya cinta. selongsong waktu yang kerontang
berserakan. harihari baru yang berlumut tumbuh di atas tanah tandus.
kutulis surat ini di atas lelangit cerah di lengkung jejalan setapak ruangkosong.
kereta bayi dan keranda tua beriringan seperti bergegas mencari alamat dan nama.
tak kukirimkan kepada sesiapa....
parkhotel am taunus, oktober 2008

Ibu Sembarang Waktusetiap pintu dan lapislapis tangga menembus igauan cahaya yang gelisah.
lalu di batas yang jauh sana tidak mudah kutebak bayangan menyingkap pendar udara.
langit mengatup pelahan. menyebarkan gerimis atau selinap embun yang bimbang.
ibuku melahirkan kegelapan dan bukit-bukit tandus. melahirkan kejahatan dan
kekacauan. tapi para dewa menghembuskan jiwa ke dalam cangkang-cangkang sunyi.
kehidupan merayap dalam jubahjubah para suci yang memanggul pedang dan
menenteng kepala. gelombang manusia menggulung dalam rintihan parasit di
pokokpokok pohon hutan asing. ibuku menuliskan kelahiran yang tidak berhenti....
rumahrumah ditinggalkan dalam dinding dan benteng yang renta. genangan sejarah palsu
mengubur lantailantai dan merapuhkan pintupintu dan meniupkan angin untuk
membangunkan geritnya. di langit yang tanpa warna burungburung nazar dan gagak liar
membesutkan
bayangan dan kabar keabadian derita.
ibuku menyusui jejakjejak gelap. gulungan waktu yang kering dan sepi. nyanyian pujian
dan ayat-ayat doa yang teramat jauh mendekap luka yang rindu pada keniscayaan.
anakanak durhaka dikloning dalam tebaran lalat dan serangga pencari darah dan nanah.
tubuhnya yang ditindih bermacam penyakit kelamin membekaskan jejak ludah tarantula tua.
sembarang bayi mengubur tubuhnya sendiri yang rapuh dengan tulangtulang lunak.
jarijari tangannya menggoreskan pesan rahasia: tak terbaca dalam kumpulan riwayat
dan doa pelepasan.
ibuku melahirkan sejarah gelap dan sakit. waktu bergerak memanjati bukitbukit ketakutan
dan detaknya menembus rerimba bisu yang mati. langkahlangkahnya menyanyikan gema
dan irama yang dingin dan sedih. bulan tua menuntaskan kalimat dalam sederet kisah luka.
sebagai telur yang gagal, aku membiarkan cangkangku retak dan menetaskan kesia-siaan....
oberursel, oktober 2008


Penyair (itu) Bodoh Akhirnya Terbit Juga

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 08 Desember 2009 | Desember 08, 2009


Anak muda ini lebih suka disebut penyair independen. Entah dalam prototipe seperti apa maksudnya. Tapi namanya sendiri jauh lebih bagus, Dea Anugrah. Ia lahir di Pangkalpinang, Bangka Belitung, 27 Juni 1991. Puisi-puisinya dimuat di berbagai media lokal dan nasional. Saat ini masih berstatus mahasiswa di Fakultas Filsafat UGM dan menetap di Jogjakarta.

Lebih dari 10 puisinya pernah saya bacakan di program sastra Ekspresi di RCA
Salah satu puisinya "Gadis Bar" bisa didownload di sini. Pertama kali kami berkenalan pada sekitar Maret 2009 melalui dunia blogging. Berbulan-bulan kemudian kami ketemu di facebook. Dan kemarin, saya termasuk yang beruntung dia undang secara pribadi. Dea menulis:

Kawan-kawan, mari datang ke launching buku puisi "Penyair (itu) Bodoh" karya Dea Anugrah. Hari Kamis, 10 Desember 2009, pukul 19.00. Pembicara: Saut Situmorang. Acara akan dilaksanakan di kantor penerbit Erlangga cabang Jogja, Jl. Gedong Kuning no. 132 (perempatan PLN ke selatan 200 Meter). (nb: Jl. Gedong Kuning itu dekat Kebun Binatang Gembira Loka)

Salam hangat,
Dea Anugrah




Demikian undangan itu dikirim melalui facebook dan diposting di blog pribadinya, Sepasang Baling-Baling. Judul buku kumpulan puisinya Penyair (itu) Bodoh sebelumnya hanya bertengger di blognya sekian lama dan akhirnya kini telah terbit.

Usia Dea yang masih 18 tahun dengan launching buku yang menghadirkan seorang sastrawan dan kritikus sastra sekelas Saut Situmorang sebagai pembicara tentu bukan launching biasa di jagad sastra tanah air.
Bukan anak muda biasa. Tidak seperti kemarin, hari ini sepasang baling-balingnya justru berbalik melawan angin.

Seno Gumira Ajidarma Sang Pembangkang

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 06 Desember 2009 | Desember 06, 2009

Alina tercinta,
Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja-dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap?

Seno menulis kalimat-kalimat pembuka di atas dalam salah satu puisinya yang panjang layaknya sebagai sepucuk surat berjudul Sepotong Senja Untuk Pacarku. Tipografi semua puisi maupun cerpen karya Seno mungkin tidak lazim tapi para penikmat sastra selalu mencintai karya-karyanya disebabkan kegenitan bahasa dan cara unik Seno melontarkan gagasan tentang banyak realitas.

Saat masih duduk di bangku sekolah Seno gemar membangkang terhadap peraturan sekolah, sampai-sampai ia dicap sebagai penyebab setiap kasus yang terjadi di sekolahnya. Waktu SMP, ia memberontak tidak mau pakai ikat pinggang, baju dikeluarkan, yang lain pakai baju putih ia pakai batik, yang lain berambut pendek ia gondrong. Imajinasinya begitu liar. Setelah lulus SMP, Seno tidak mau sekolah. Terpengaruh cerita petualangan Old Shatterhand di rimba suku Apache, karya pengarang asal Jerman Karl May, ia pun mengembara mencari pengalaman. Pada umur 17 tahun, salah satu puisi mbeling Seno dimuat pertama kali oleh majalah Horison.

Semua cerpen dan puisinya mungkin bisa melarutkan keinginan-keinginan bagi yang sedang dilanda banyak obsesi. Tapi itulah Seno Gumira Ajidarma. Seniman kelahiran Boston, Amerika Serikat, 19 Juni 1958. Bagi manusia Indonesia yang mengalami gairah baru karya-karya sastra sejak dekade 80 hingga 90-an, Seno telah diletakkan sebagai salah satu wajah baru gaya kepenulisan di tanah air. Beberapa buku karyanya adalah Manusia Kamar (1988), Penembak Misterius (1993), Saksi Mata (l994), Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995), Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (1996), Iblis Tidak Pernah Mati (1999). Karya lain berupa novel Matinya Seorang Penari Telanjang (2000).
Tapi Seno mulai terkenal mungkin karena dia pernah menulis tentang situasi di Timor Timur ketika masih menjadi bagian Indonesia. Tulisannya tentang Timor-Timur dituangkan dalam trilogi buku roman Saksi MataJazz, Parfum, dan Insiden , dan kumpulan esai Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara.
Tipografi dan gayanya mungkin tak lazim tapi Seno tetap membangkang terhadap pakem-pakem yang ada. Puisinya Sepotong Senja Untuk Pacarku yang panjang itu misalnya. Seno menutupnya dengan kalimat kesedihan sekaligus harapan.

Alina yang manis, paling manis, dan akan selalu manis,
Terimalah sepotong senja itu, hanya untukmu, dari seseorang yang ingin membahagiakanmu. Awas hati-hati dengan lautan dan matahari itu, salah-salah cahayanya membakar langit dan kalau tumpah airnya bisa membanjiri permukaan bumi.

Dengan ini kukirimkan pula kerinduanku padamu, dengan cium,peluk, dan bisikan terhangat, dari sebuah tempat yang paling sunyi di dunia.

referensi: http://takoer.multiply.com/
http://id.wikipedia.org/wiki/Seno_Gumira_Ajidarma

Hamzah Fansuri: Penyair Pertama Nusantara

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 04 Desember 2009 | Desember 04, 2009

Jagad kepenyairan Indonesia kemungkinan besar tidak akan pernah ada jika tidak diawali syair-syair yang ditulis Hamzah Fansuri, penyair pertama nusantara pada abad ke-16. Hamzah Fansuri adalah ibarat Jalaluddin Rumi-nya nusantara. Ia seorang ulama dan sastrawan sufi terbesar di zamannya bahkan sampai hari ini. Mobilitasnya tinggi dan sering berpindah tempat dan merupakan ciri khas penyair Melayu klasik yang suka berpetualang. Karya-karyanya dalam bentuk prosa: Asrar al-Arifin, Sharab al-Asyikin dan Zinat al-Muwahidin.
Syair-syairnya yang diyakini sebagai puisi-puisi petama di nusantara:
Dengan menguasai bahasa Arab, Urdu, Persia, dan Melayu beliau dapat memahami dan menghayati tasawuf/thariqat dan filsafat Ibn Arabi, Al Hallaj, Al Bistani, Maghribi, Syah Nikmatullah, Abdullah Jalil, Jalaluddin Rumi, Abdulkadir Jaelani, dan lain-lain dengan baik.
Uniknya, riwayat hidup Hamzah Fansuri tidak satu pun meninggalkan catatan, baik tahun kelahiran maupun tahun wafatnya. Salah satu faktor yang menyebabkan kekaburan ini sebab beliau tidak mencantumkan tahun dalam karya-karyanya—walaupun Hamzah merupakan pengarang Melayu pertama yang menulis karya-karya ilmiah dengan mencantumkan nama dalam karyanya—hal ini kemudian diikuti oleh pengarang-pengarang Melayu berikutnya.
Beberapa catatan sejarah menyebutkan Hamzah dilahirkan di Pantsoer (Barus). Barus merupakan salah satu daerah di Kabupaten Tapanuli Tengah, secara geografis terletak di pesisir barat pulau Sumetera, dan secara dialektologi penduduknya mayoritas menggunakan bahasa Mandailing. Pada jaman Hamzah daerah ini merupakan pusat perdagangan dengan penduduk yang ramai.
Nama Fansur adalah ucapan Arab untuk Pancur yang oleh orang Batak disebut Pansur. Sebelumnya Barus disebut Pangsur. Bisa disimpulkan bahwa nama Hamzah Fansuri berarti Hamzah berasal dari Barus. Pendapat lain mengatakan bahwa Hamzah berasal dan lahir di Syarnawi, Ayuthia (ibu kota Siam pada jaman dahulu).

referensi: Oud en Niew Oost-Indien karya Francois Valentijn

Lelaki Gesit Itu Bernama Radhar Panca Dahana

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 30 November 2009 | November 30, 2009


Ia begitu komplit dan gesit untuk ukuran seniman Indonesia. Energinya menjalar-jalar di dunia seni. Pernah menjadi pemain pantomim bayaran hingga pemain gitar sekaligus perkusi dalam kelompok musik Poci Jakarta. Pernah bergumul dengan dunia jurnalistik, politik, dan akademik.

Pertama kali main teater ketika berumur 14 tahun. Pada usia 12 tahun telah menjadi editor tamu majalah Kawanku. Cerpennya yang pertama "Tamu Tak Diundang" dimuat Kompas ketika ia masih berumur 10 tahun. Karir jurnalistiknya dimulai sebagai reporter lepas hingga pemimpin redaksi di berbagai media, seperti Hai, Kompas, Jakarta Jakarta, Vista TV dan indline.com. Beberapa di antara belasan karyanya seperti Menjadi Manusia Indonesia (esai humaniora, 2002), Lalu Waktu (kumpulan sajak, 2003), Jejak Posmodernisme (2004), Cerita-cerita dari Negeri Asap (kumpulan cerpen, 2005), Inikah Kita: Mozaik Manusia Indonesia (esai humaniora, 2006), Dalam Sebotol Coklat Cair (esai sastra, 2007), dan Metamorfosa Kosong (kumpulan drama, 2007).

Ia menjadi aktor yang pertama kali memerankan tokoh perempuan Rebecca dalam drama Jack dan Penyerahan (1978), kemudian menyutradarai dan menulis sendiri puluhan drama. Radhar diganjar berbagai penghargaan nasional dan internasional, di antaranya Paramadina Award dan Le Prix Francophonie ini, profilnya pernah dibuat dan disiarkan oleh Stasiun TV NHK Jepang, dan juga mengasuh sebuah rubrik gagasan (Teroka) di Harian Kompas, penulis tetap cerita komik Mat Jagung di Koran Tempo, dan Kolom Perspektif di majalah Gatra. Ia juga pernah diundang untuk membaca Puisi ke beberapa festival sastra di Eropa maupun bicara dalam berbagai forum sastra Internasional seperti di Tokyo, Hongkong, Bangkok, Filipina, Jerman, Prancis, Belgia, Brunei, dan Belanda.

Lelaki kelahiran Jakarta, 26 Maret 1965 ini menyelesaikan studi sosiologinya di Ecole des Hautes Etudes en Science Sociales, Paris, Perancis. Selain itu Ia juga sibuk mengurusi Federasi Teater Indonesia, Bale Sastra Kecapi, dan Cahaya Prima Putradahana, putra tunggalnya. Anda ingin akrab dengan Radhar? Dia mudah ditemui di facebook.

* disarikan dari berbagai sumber

Ide JK Rowling Di Atas Kereta

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 21 November 2009 | November 21, 2009


Siapapun tidak akan mengira bahwa ide cerita Harry Potter lahir di atas kereta api yang mogok. Dalam sebuah perjalanan dari Manchester ke London tahun 1990, kereta yang ditumpangi Joane mogok selama empat jam. Saat duduk di kereta, sambil memandangi segerombolan sapi melalui jendela, ide tentang kisah Harry Potter tiba-tiba muncul di benak perempuan ini. Selama beberapa bulan berikutnya Joane berhasil merampungkan kisah petualangan penyihir cilik Harry Potter.

Joanne Kathleen Rowling atau lebih dikenal sebagai J.K. Rowling dilahirkan pada 31 Juli 1965 di Chipping Sodbury, dekat Bristol, Inggris. Sebagai seorang ibu tunggal yang tinggal di Edinburgh, Skotlandia, Rowling menjadi sorotan kesusasteraan internasional pada tahun 1999 saat tiga seri pertama novel remaja Harry Potter mengambil alih tiga tempat teratas dalam daftar New York Times best-seller setelah memperoleh kemenangan yang sama di Britania Raya. Kekayaan Rowling semakin bertambah saat seri ke-4, Harry Potter dan Piala Api diterbitkan pada bulan Juli tahun 2000. Seri ini menjadi buku paling laris penjualannya dalam sejarah.

Sejak kecil Joanne Kathleen Rowling punya cita-cita jadi penulis. Tapi, mengikuti saran orangtuanya, ia belajar Sastra Prancis di Universitas Exeter supaya bisa jadi sekretaris yang mampu bicara dalam dua bahasa. Pekerjaan itu ternyata tidak cocok baginya. Soalnya, bukannya mencatat jalannya rapat, ia malah sibuk menulis cerita fiksi. Bisa ditebak, akhirnya ia dipecat.

Pada September 1990 Joane jatuh cinta pada seorang jurnalis televisi berkebangsaan Portugal bernama Jorge Arantes. Mereka menikah dan tahun 1993, lahirlah putri mereka, Jessica. Sayang sekali akhirnya mereka bercerai, dan Joanne balik ke Edinburgh, Skotlandia. Pada masa itu hidup Joanne benar-benar terpuruk, begitu miskin sehingga ke mana-mana ia harus jalan kaki meski ongkos bus kota murah. Ia sering menulis di kafe, karena flatnya yang sempit dan dingin jelas bukan tempat yang penuh inspirasi. Untung si pemilik kafe baik bati, membiarkan Joanne menulis di sana meski ia cuma memesan secangkir kopi dan segelas air, sementara bayinya tertidur.

Nasib Joane ditakdirkan berubah total ketika penerbit Inggris, Bloomsbury Press, bersedia menerbitkan buku Harry Potter yang pertama Harry Potter and the Philosopher`s Stone (di Amerika terbit dengan judul Harry Pooter and Sorcerer`s Stone) pada tahun 1997. Sebuah buku yang membuat dunia terperangah dan JK Rowling sukses sebagai penulis sesuai cita-citanya.

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday