Latest Post

Tampilkan postingan dengan label Jejak Tokoh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jejak Tokoh. Tampilkan semua postingan

Arena Wati, Sastrawan Besar di Negeri Orang

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 26 Juni 2009 | Juni 26, 2009


Sampai hari ini beberapa daerah di tanah air masih terlalu kecil untuk dipetakan dalam peta sastra Indonesia. Tidak bisa dipungkiri sentralisasi sejak orde lama ke orde baru hingga kini berhasil mentradisikan keterpencilan sastra di daerah-daerah. Mungkin bukan masalah waktu tapi lebih pada niat untuk bangkit. Minimnya produktifitas karya sastra di daerah bisa jadi juga adalah buah dari periode panjang invasi sastra di pusat ke segala penjuru nusantara. Tapi tidak bijak menyalahkan sejarah semata.

Hari ini adalah juga sejarah yang mesti dibangun sendiri selama masih ada energi untuk menggeliat. Semisal di Sulsel kampung halaman penulis, mungkin hanya ada nama Aslan Abidin, Hendragunawan S.Thayf, Muhary Wahyu Nurba, dan Tri Astoto Kodarie serta beberapa nama lainnya yang bisa dihitung dengan jari. Itupun, Sulsel hanya lebih banyak dikenal sebagai gudang puisi dan penyair. Cerpenis, novelis, dramawan dan lainnya entah di mana.

Nama Arena Wati tentu tak bisa dimasukkan sebab beliau adalah warga Malaysia walaupun lahir dan besar di Jeneponto, Sulsel. Benarkah kultur yang ada di negeri sendiri telah menyebabkan sastrawan besar seperti Arena Wati lebih memilih berkiprah di negeri orang? Memang tidak banyak yang mengenalnya. 

Penulis sendiri baru pertama kali mendengar nama dan jejaknya ketika dikabarkan wafat pada 26 Januari 2009. Arena Wati adalah nama pena dari Muhammad bin Abdul Biang alias Andi Muhammad Dahlan bin Andi Buyung (lahir di Jeneponto, 20 Juli 1925 – wafat di Cheras, Malaysia, 26 Januari 2009 pada umur 83 tahun), sastrawan negara Malaysia asal Indonesia. Ia juga memakai nama pena lain seperti Duta Muda dan Patria. Selama tiga tahun (1986-1989) pernah menjadi dosen tamu di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Masa muda Arena ditempuhnya di Makassar. Ia menjadi pelaut sejak 1943 dan pada usia 17 tahun sudah jadi nahkoda kapal. Sekitar tahun 1954 ia telah menetap di Malaya dan bekerja di lingkungan penerbitan majalah "Royal Press" dan penerbitan "Harmy". Tidak lama kemudian, dia pindah ke Johor Baru bekerja pada penerbitan Melayu Ltd,, selama lima tahun. Tahun 1962-1974 bekerja di Pustaka Antara, Kuala Lumpur.

Novel pertamanya, Kisah Tiga Pelayaran, terbit tahun 1959 di Singapura. Setelah itu menyusul Lingkaran (1962), Sandera (1971), Bunga dari Kuburan (1987), Kuntum Tulip Biru (1987), Sakura Mengorak Kelopak (1987), Panrita (1993), Sukma Angin (1999), Trilogi Busa (2002), Trilogi Armageddon (2004), dan Trilogi Bara Baraya. Ia juga menulis buku-buku kajian sastra dan kebudayaan. Penghargaan tingkat internasional yang diraihnya adalah Penghargaan Sastra Asia Tenggara, SEA Write Award, dari Raja Thailand pada tahun 1985 dan Sastrawan Negara dari Pemerintah Malaysia tahun 1988. 

Arena Wati menikah dengan Halimah Sulong dan dikaruniai enam anak. Ia wafat akibat gangguan pada paru-parunya. Mungkinkah masih banyak sosok mengagumkan di berbagai bidang termasuk sastra selain Arena Wati di luar sana? Ada benarnya kondisi di negeri sendiri yang telah mempersempit mereka dan akhirnya lebih memilih bernafas bebas di negeri orang. Seorang teman yang kebetulan puluhan cerpennya tak pernah berhasil dimuat di koran nasional pernah berbisik,"Jangan pernah berhenti menyerbu kota!"


Aslan Abidin, Satu dari Sedikit

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 25 Juni 2009 | Juni 25, 2009

Penyair yang juga lebih suka menjadi jurnalis ini memiliki buku antologi puisi perdana "Bahaya Laten Malam Pengantin" yang diterbitkan oleh Ininnawa, 2008. Saat itu agak terasa aneh bagi kalangan penyair dan kritikus, sebab 79 sajak yang ada dalam buku tersebut ditulis dalam rentang waktu tiga belas tahun, dari 1993 hingga 2006 saja. Tapi Ahyar Anwar, Doktor Sosiologi Sastra UGM mengatakan, Aslan Abidin adalah satu dari sedikit penyair Sulawesi Selatan yang mendapatkan tempat terhormat dalam jagad sastra nasional hanya dengan dua-tiga sajak.

Realitas dihadirkan Aslan dalam sajak-sajaknya yang erotisme atau lebih tepat disebut erotisme sosial. Apakah Aslan terperangkap dalam sastra pornografi? Kekuatan kata yang menjadikan tubuh sebagai media menjadika Aslan bebas menelanjangi realitas di sekelilingnya. Tidak berbeda dengan para penyair tertentu yang lebih suka menjadikan benda alam sebagai latar. Tapi aslan berhasil dalam hal ini. Entahlah jika memang benar Aslan Abidin termasuk dalam kategori penyair selangkang.

Aslan lahir di kota kalong, Soppeng Sulawesi Selatan, 31 Mei i972. Menuntaskan kuliah di Fakultas Sastra jurusan Sastra Indonesia di Universitas Hasanuddin Makassar tahun 1997. Sajak-sajaknya mengalir di Horison, Basis, Jurnal Puisi, Kompas, Republika, Media Indonesia, Bernas, dan beberapa harian di Makassar. Dibukukan antara lain dalam Mimbar Penyair Abad 21 (1996) Antolog Puisi Indonesia (1997), Sastrawan Angkatan 2000, Kitab Puisi Horison Sastra Indonesia (2002), Puisi Tak Pernah Pergi (2003), dan Tak Ada Yang Mencintaimu Setulus Kematian (2004). Membaca puisi di TIM Jakarta dalam Mimbar Penyair Abad 21 (1996), Pembacaan Sajak Penyair Delapan Kota (1998), dan Cakrawala Sastra Indonesia (2004). 


Mengikuti Program Penulisan Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) Puisi tahun 2002 di Cisarua, Jawa Barat. Mengikuti Ubud Writer and Readers Festiva.tahun 2004 di Bali. Memenangkan beberapa lomba penulisan sajak, antara lain LCPI Tasikmalaya 1999, Art and Peace Bali 1999, dan LCPI Post 2003. Aktif bekerja sebagai wartawan di Makassar. Pernah mengetuai Masyarakat Sastra Tamalanrea (MST) dan lain-lain.

P
enyair yang masuk dalam angkatan abad 21 ini memiliki karakter karya yang khas di antara penyair-penyair Sulawesi-Selatan. Kekhasan itu muncul pada sajak-sajaknya yang kerap kali menggunakan ‘tubuh’ sebagai latar. Lihat saja salah satu puisinya:
Polispermigate


perempuan jalang bertubuh pualam
pada simpang jalan itu menyimpan
bejana di tubuhnya.
ia menjadi tempat minum
para lelaki pejabat yang datang
menghabiskan uang hasil rampokan
perempuan jalang di simpang jalan,
entah mengapa aku suka mengkhayalkan
diriku tersesat di kamarmu.
dan sebagai bentara para penjahat,
kau kisahkan padaku seluruh
riwayat dari negeri subur para perarmpok
“aku seperti nawang wulan dan
mereka adalah beruang yang rakus mengisap
madu tubuhku. mereka takut aku
menemukan baju dan segera
menguap ke udara.”
tapi nawang wulan, aku juga
suka membayangkan kau membuka
celana untukku. dan mungkin aku
akan terkesiap menatap kemaluanmu yang mangap
seperti polisi yang siap menerima suap.


Sebuah puisi yang erotis tapi begitu rapi dalam penyampaian realitas sosial. Sebagaimana rambutnya yang pernah dibiarkan tumbuh panjang lurus tapi selalu diikat rapi. Penulis masih sering mengingat itu saat melihatnya terakhir kali pada sekitar tahun 1997 di kampus merah Unhas Makassar.

Taufik Ismail, Penyair Bertanah Air Puisi

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 24 Juni 2009 | Juni 24, 2009


PRESIDEN BOLEH PERGI
PRESIDEN BOLEH DATANG

oleh : Taufiq Ismail



Sebuah orde tenggelam
Sebuah orde timbul
selalu saja ada suatu lapisan

masyarakat di atas gelombang itu selamat
Mereka tidak mengalami guncangan yang berat
Yang selalu terapung di atas gelombang
Seseorang dianggap tidak bersalah
sampai dia dibuktikan hukum bersalah
Di negeri kami ungkapan ini begitu indah
Kini simaklah sebuah kisah
Seorang pegawai tinggi
gajunya satu setengah juta rupiah
Di garasinya ada volvo hitam
BMW abu-abu, Honda metalik,
dan Mercedes merah
Anaknya sekolah di Leiden,
Montpellier dan Savana
Rumahnya bertebaran di Menteng,
Kebayoran dan macam-macam indah
Setiap semester ganjil isteri terangnya
belanja di Hongkong dan Singapura
Setiap semester genap isteri gelapnya
liburan di Eropa dan Afrika
Anak-anaknya....................
Anak-anaknya pegang dua pabrik
tiga apotek dan empat biro jasa
Selain sepupu dan kemenakannya
buka lima toko onderdil, lima biro iklan
dan empat pusat belanjaKetika rupiah anjlok terperosaok,
kepeleset macet dan hancur jadi bubur,
dia, hah ! dia ketawa terbahak-bahak
kerena depositonya dollar Amerika semua
Sesudah matahari dua kali tenggelam
di langit Barat, jumlah rupiahnya
melesat sepuluh kali lipat
Krisis makin menjadi-jadi
Dimana-mana orang antri
Maka 100 kotak kantong plastik hitam
dia bagi-bagi
Isinya masing-masing : Lima genggam beras,
empat cangkir minyak goreng, dan tiga bungkus
mie cepat jadi.
Peristiwa murah ini diliput
dua menit di kotak televisi
dan masuk koran halaman lima pagi sekali
Gelombang mau datang,
Datang lagi gelombang setiap bah air pasang
Dia senantiasa terapung di atas banjir bandang
Banyak orang tenggelam toh mampu timbul lagi
lalu ia berkata sambil berdiri :
Yaaa..... masing-masing kita kan
punya rejeki sendiri-sendiri
Seperti bandul jam bergoyang-goyang
Kekayaan misterius mau diperiksa
Kekayaan ......tidak jadi diperiksa
Kekayaan ......mau diperiksa
Kekayaan ......tidak jadi diperiksa
Kekayaan ......mau diperiksa
Kekayaan ......tidak jadi diperiksa
Kekayaan ......harus diperiksa
Kekayaan ......tidak jadi diperiksa


Sebagaimana puisi-puisinya yang lain, puisi Taufik Ismail di atas selalu bisa tertangkap apa adanya, jujur namun menghunjam dengan tegas. Nyaris tak ada metafora yang rumit dan mengambang seperti kebiasaan kebanyakan para penyair muda. Penyair yang telah berhasil melintas batas beberapa zaman. Setidaknya itu adalah gambaran pendekar kata-kata yang namanya pasti tertera dan disebut di mana-mana. Di panggung puisi, radio, televisi, internet bahkan panggung musik. Lirik lagu Panggung Sandiwara yang ditulisnya sukses dipopulerkan God Bless di era 70-an dan bahkan melegenda di belantara musik Indonesia. Taufik, satu-satunya penyair yang paling banyak puisinya digubah menjadi lagu populer, seperti yang pernah dinyanyikan Bimbo, Chrisye, Ahmad Albar dan Ucok Harahap. Lagu Pintu Sorga dipercayakan oleh Taufik kepada Gigi band untuk dilantunkan pada 2008.
Taufik adalah seorang sastrawan senior Indonesia yang dilahirkan di negeri pantun, Bukittinggi, 25 Juni 1935. Ia dibesarkan di Pekalongan dalam keluarga guru dan wartawan, hingga profesi itu pun pernah dilakoninya juga. Penyair Angkatan '66 ini tak habis-habis. Buku-buku antologi puisinya dapat dilacak seperti Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tirani dan Benteng, Tirani, Benteng, Buku Tamu Musim Perjuangan, Kenalkan, Saya Hewan, Puisi-puisi Langit, Prahara Budaya:Kilas Balik Ofensif Lekra/ PKI dkk, Ketika Kata Ketika Warna, Seulawah-Antologi Sastra Aceh, Sajak Ladang Jagung dan lain-lain. Taufik remaja memang bercita-cita menjadi sastrawan sejak masih SMA, walau pada akhirnya harus kuliah dii UI Bogor pada 1963 jurusan Kedokteran Hewan dan Peternakan.


Penyair ini selalu rajin memotret dengan sangat jelas berbagai peristiwa zaman di mana ia tulus menjepretnya dengan lensa puitika. Puisi telah menjadi tanah air yang kedua bagi Taufik Ismail. Di tanah airnya yang kedua inilah puisi-puisi Taufik beranak pinak dan menggugat dengan lembut. Tapi, tidak menghujat.

Chairil Anwar, Penyiar dan Penyair

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 16 Juni 2009 | Juni 16, 2009


Pemuda dari Medan ini anak tunggal. Ayahnya seorang pamong praja. Dari pihak ibunya, Saleha dia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Pada mulanya hanya suara dan namanya dikenal orang ketika menjadi penyiar di sebuah radio milik Jepang di Jakarta. Usianya masih belasan tahun ketika jatuh cinta kepada gadis bernama Sri Ayati. Tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya kecuali melalui puisi. Nama Chairil mulai terkenal dalam jagad sastra tanah air setelah puisi-puisinya dimuat Majalah Nisan pada tahun 1942. Usianya baru dua puluh tahun saat itu tapi hampir semua puisi-puisi yang dia tulis bertema kematian.

Tiga buku penting yang lahir dari kegelisahan sekaligus semangat sebagai anak muda di zaman itu: Deru Campur Debu, Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin.
Chairil Anwar (Medan, 26 Juli 1922 - Jakarta, 28 April 1949) atau dikenal Sebagai "Si Binatang Jalang" (dalam karyanya berjudul Aku). Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 dan puisi modern Indonesia.


Mungkin Chairil malas mengumpulkan puisi-puisinya pada saat remaja sehingga tak satupun puisi-puisi awalnya ditemukan oleh para ahli sejarah. Padahal dia menulis semenjak remaja. Luar biasa, di usia sembilan belas tahun Chairil telah menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman, dan dia mengisi jam-jamnya dengan membaca pengarang internasional ternama, Seperti: Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald Macleish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Ferron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.
Sebelum bisa menginjak usia dua puluh tujuh tahun, pemuda ini sudah kena sejumlah penyakit. Chairit Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC. Hingga kini makamnya
Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta tetap diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari zaman ke zaman. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar. Dia tetaplah tonggak penting dalam sejarah sastra Indonesia. Mengagumkan, Chairil ternyata memang bisa hidup seribu tahun lagi melalui puisi, riwayat dan semangatnya. Jutaan anak muda di tanah air masih terinspirasi dengan mantan penyiar radio yang menjadi penyair itu.

Cak Nun, Sebuah Oase

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 13 Juni 2009 | Juni 13, 2009


Cak Nun, lelaki nyentrik paling menarik yang pernah dimiliki pelataran seni Indonesia. Kiai Mbeling, salah satu julukannya. Emha Ainun Nadjib, kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953 menumbuhkan potensialitas rakyat melalui puisi, cerpen, esai, musik, teater dan apa saja. Di suatu hari Emha berujar,"Negeri ini mengalami kesalahan, pluralisme adalah makanan kita sehari-hari dan tidak ada masalah sejak zaman Majapahit tapi intervensi luar negeri yang membuat kita menganggapnya makanan aneh."

Dia anak keempat dari 15 bersaudara. Ayahnya, Almarhum MA Lathif, adalah seorang petani. Dia mengenyam pendidikan SD di Jombang (1965) dan SMP Muhammadiyah di Yogyakarta (1968). Sempat masuk Pondok Modern Gontor Ponorogo tapi kemudian dikeluarkan karena melakukan demo melawan pemerintah pada pertengahan tahun ketiga studinya. Kemudian pindah ke SMA Muhammadiyah I, Yogyakarta sampai tamat. Lalu sempat melanjut ke Fakultas Ekonomi UGM, tapi tidak tamat.

Semasa muda pada 1970-1975 hidup menggelandang di Malioboro, Yogya, ketika belajar sastra dari guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat mempengaruhi perjalanan Emha berikutnya. Karirnya diawali sebagai Pengasuh Ruang Sastra di harian Masa Kini, Yogyakarta (1970). Kemudian menjadi Wartawan/Redaktur di harian Masa Kini, Yogyakarta (1973-1976), sebelum menjadi pemimpin Teater Dinasti (Yogyakarta), dan grup musik Kyai Kanjeng hingga kini. Penulis puisi dan kolumnis di beberapa media. Ia juga mengikuti berbagai festival dan lokakarya puisi dan teater. Di antaranya mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, AS (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).

Suatu waktu pernah bersama Teater Salahudin mementaskan Santri-Santri Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun). Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar); dan Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993). Juga mementaskan Perahu Retak (1992, tentang Indonesia Orba yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram, sebagai buku diterbitkan oleh Garda Pustaka), di samping Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, Duta Dari Masa Depan. Baru-baru ini mementaskan Presiden Balkabalda di Surabaya.
Sebagai penyair, Emha penulis 16 buku puisi di antaranya: “M” Frustasi (1976); Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978); Sajak-Sajak Cinta (1978); Nyanyian Gelandangan (1982); 99 Untuk Tuhanku (1983); Suluk Pesisiran (1989); Lautan Jilbab (1989); Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990); Cahaya Maha Cahaya (1991); Sesobek Buku Harian Indonesia (1993); Abacadabra (1994); dan Syair Amaul Husna (1994).
Dari berkecamuknya berbagai ide dan peristiwa di tanah air dan mancanegara lahirlah 30-an buku esai, di antaranya: Dari Pojok Sejarah (1985); Sastra Yang Membebaskan (1985); Secangkir Kopi Jon Pakir (1990); Markesot Bertutur (1993); Markesot Bertutur Lagi (1994); Opini Plesetan (1996); Gerakan Punakawan (1994); Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996); Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994); Slilit Sang Kiai (1991); Sudrun Gugat (1994); Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995); Bola- Bola Kultural (1996); Budaya Tanding (1995); Titik Nadir Demokrasi (1995); Tuhanpun Berpuasa (1996); Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997); Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997); : Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997); 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998); Mati Ketawa Cara Refotnasi (1998); Kiai Kocar Kacir (1998); Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (1998); Keranjang Sampah (1998); Ikrar Husnul Khatimah (1999); Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000); Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000); Menelusuri Titik Keimanan (2001); Hikmah Puasa 1 & 2 (2001); Segitiga Cinta (2001); “Kitab Ketentraman” (2001); “Trilogi Kumpulan Puisi” (2001); “Tahajjud Cinta” (2003); “Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun” (2003); Folklore Madura (2005); Puasa ya Puasa (2005); Kerajaan Indonesia (2006, kumpulan wawancara); Kafir Liberal (2006); dan, Jalan Sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006); dan Jejak Tinju Pak Kiai(2009).


Cak Nun, siapapun dan apapun lelaki ini, tanah air kita belum tentu bisa melahirkan lagi manusia sepertinya dalam kurun waktu seabad kemudian. Dia masih tetap sebuah oase bagi penjernihan pikiran bangsa. Walau masih banyak orang enggan singgah ke oase itu.

*dari berbagai sumber

NH Dini: dari Sajak di Radio hingga Seks

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 11 Juni 2009 | Juni 11, 2009


Perempuan luar biasa ini adalah termasuk dari sedikit perempuan Indonesia yang mendunia melalui sastra dan gerakan feminis. Nama lengkapnya Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin kelahiran Semarang, Jawa Tengah, 29 Februari 1936. Masih berdarah Bugis. Jika keras kepalanya muncul ibunya sering berujar,"Nah darah Bugisnya muncul lagi." Para penikmat sastra Indonesia lebih mengenalnya dengan nama NH Dini.


NH Dini mengaku mulai tertarik menulis sejak kelas tiga SD. Buku-buku pelajarannya penuh dengan tulisan yang merupakan ungkapan pikiran dan perasaannya sendiri. Ia sendiri mengakui bahwa tulisan itu semacam pelampiasan hati. Ibu Dini adalah pembatik yang selalu bercerita padanya tentang apa yang diketahui dan dibacanya dari bacaan Panji Wulung, Penyebar Semangat, Tembang-tembang Jawa dengan Aksara Jawa dan sebagainya. Baginya, sang ibu mempunyai pengaruh yang besar dalam membentuk watak dan pemahamannya akan lingkungan.

Sekalipun sejak kecil kebiasaan bercerita sudah ditanamkan, sebagaimana yang dilakukan ibunya kepadanya, ternyata Dini tidak ingin jadi tukang cerita. la malah bercita-cita jadi supir lokomotif atau masinis. Tapi ia tak kesampaian mewujudkan obsesinya itu hanya karena tidak menemukan sekolah bagi calon masinis kereta api.

Kalau pada akhirnya ia menjadi penulis, itu karena ia memang suka cerita, suka membaca dan kadang-kadang ingin tahu kemampuannya. Misalnya sehabis membaca sebuah karya, biasanya dia berpikir jika hanya begini saya pun mampu membuatnya. Dan dalam kenyataannya ia memang mampu dengan dukungan teknik menulis yang dikuasainya.
Dini ditinggal wafat ayahnya semasih duduk di bangku SMP, sedangkan ibunya hidup tanpa penghasilan tetap. Mungkin karena itu, ia jadi suka melamun. Bakatnya menulis fiksi semakin terasah di sekolah menengah. Waktu itu, ia sudah mengisi majalah dinding sekolah dengan sajak dan cerita pendek. Dini juga suka mendengarkan radio. Dini pun tak menyangka jika radio ternyata bisa menjadi salah satu pijakan awalnya di belantara sastra tanah air. Dini menulis sajak dan prosa berirama dan membacakannya sendiri di RRI Semarang ketika usianya 15 tahun. Sejak itu ia rajin mengirim sajak-sajak ke siaran nasional di RRI Jakarta dalam acara Tunas Mekar.


Beberapa karya Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin yang dikenal dengan nama NH Dini, ini yang terkenal, di antaranya Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975) atau Namaku Hiroko (1977), Orang-orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1986), Hati yang Damai (1998), belum termasuk karya-karyanya dalam bentuk kumpulan cerpen, novelet, atau cerita kenangan. Budi Darma menyebutnya sebagai pengarang sastra feminis yang terus menyuarakan kemarahan kepada kaum laki-laki. Terlepas dari apa pendapat orang lain, ia mengatakan bahwa ia akan marah bila mendapati ketidakadilan khususnya ketidakadilan gender yang sering kali merugikan kaum perempuan. 

Dalam karyanya berjudul Dari Parangakik ke Kamboja (2003), ia mengangkat kisah tentang bagaimana perilaku seorang suami terhadap isterinya. Ia seorang pengarang yang menulis dengan telaten dan produktif.

Kebanyakan novel-novelnya yang berjumlah lebih 20 itu bercerita tentang perempuan. Namun banyak orang berpendapat, wanita yang dilukiskan Dini terasa “aneh”. Ada pula yang berpendapat bahwa dia menceritakan dirinya sendiri. Pandangan hidupnya sudah amat ke barat-baratan, hingga norma ketimuran hampir tidak dikenalinya lagi. Itu penilaian sebagian orang dari karya-karyanya. Akan tetapi terlepas dari semua penilaian itu, karya NH Dini adalah karya yang dikagumi. Buku-bukunya banyak dibaca kalangan cendekiawan dan jadi bahan pembicaraan sebagai karya sastra.

Bukti keseriusannya dalam bidang yang ia geluti tampak dari pilihannya, masuk jurusan sastra ketika menginjak bangku SMA di Semarang. Ia mulai mengirimkan cerita-cerita pendeknya ke berbagai majalah. Ia bergabung dengan kakaknya, Teguh Asmar, dalam kelompok sandiwara radio bernama Kuncup Berseri. Sesekali ia menulis naskah sendiri. Dini benar-benar remaja yang sibuk. Selain menjadi redaksi budaya pada majalah remaja Gelora Muda, ia membentuk kelompok sandiwara di sekolah, yang diberi nama Pura Bhakti. Langkahnya semakin mantap ketika ia memenangi lomba penulisan naskah sandiwara radio se-Jawa Tengah. Setelah di SMA Semarang, ia pun menyelenggarakan sandiwara radio Kuncup Seri di Radio Republik Indonesia (RRI) Semarang. Bakatnya sebagai tukang cerita terus dipupuk. Cita-citanya yang dulu tidak pernah kesampaian, masinis!

Pada 1956, sambil bekerja di Garuda Indonesia Airways (GIA) di Bandara Kemayoran, Dini menerbitkan kumpulan cerita pendeknya, Dua Dunia. Sejumlah bukunya bahkan mengalami cetak ulang sampai beberapa kali - hal yang sulit dicapai oleh kebanyakan buku sastra. Buku lain yang tenar karya Dini adalah Namaku Hiroko dan Keberangkatan. la juga menerbitkan serial kenangan, sementara cerpen dan tulisan lain juga terus mengalir dari tangannya. Walau dalam keadaan sakit sekalipun, ia terus berkarya.

Dini dikenal memiliki teknik penulisan konvensional. Namun menurutnya teknik bukan tujuan melainkan sekedar alat. Tujuannya adalah tema dan ide. Tidak heran bila kemampuan teknik penulisannya disertai dengan kekayaan dukungan tema yang sarat ide cemerlang. Dia mengaku sudah berhasil mengungkapkan isi hatinya dengan teknik konvensional.

Ia mengakui bahwa produktivitasnya dalam menulis termasuk lambat. Ia mengambil contoh bukunya yang berjudul Pada Sebuah Kapal, prosesnya hampir sepuluh tahun sampai buku itu terbit padahal mengetiknya hanya sebulan. Baginya, yang paling mengasyikkan adalah mengumpulkan catatan serta penggalan termasuk adegan fisik, gagasan dan lain-lain. Ketika ia melihat melihat atau mendengar yang unik, sebelum tidur ia tulis tulis dulu di blocknote dengan tulis tangan.

Pengarang yang senang tanaman ini, biasanya menyiram tanaman sambil berpikir, mengolah dan menganalisa. la merangkai sebuah naskah yang sedang dikerjakannya. Pekerjaan berupa bibit-bibit tulisan itu disimpannya pada sejumlah map untuk kemudian ditulisnya bila sudah terangkai cerita. Tanaman-tanamannya di dunia sastra masih terus berbau harum. Perempuan ini pernah ditanya masalah seks yang kerap muncul dalam karya-karyanya. Dia menjawab dengan ringkas,"Itu wajar-wajar saja. Perempuan Indonesia dalam sastra sesekali harus dipandang dari sudut paling peka sekalipun untuk memahami mereka." Masihkah akan muncul NH Dini-NH Dini lainnya setelah 50 tahun ke depan?

sumber: wikipedia bahasa Indonesia

Musa Manurung

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 03 Mei 2009 | Mei 03, 2009

Anak muda itu bernama Musa Manurung. Dia salah satu dari sekian banyak anak muda di negeri ini yang suka menulis puisi, prosa dan sebagainya. Seperti kebanyakan pendengar radio lainnya, Musa dengan saya belum pernah bertemu langsung. Komunikasi kami hanya melalui email, SMS dan saling mengunjungi blog masing-masing. Yang juga agak sedikit berbeda dengan pendengar radio lainnya, Musa hanya bisa mendengarkan RCA 102, 5 FM melalui internet. 

Rumahnya di kota Barru, salah satu kabupaten yang belum bisa terjangkau oleh siaran RCA yang baru meliputi tujuh kabupaten di Sulsel. Saya memastikan dia paling menyukai program acara Ekspresi, sebuah program pembacaan puisi dan prosa di RCA setiap jam 11 siang hari Minggu.

Yang menarik, sejak sebulan terakhir saya baru menyadari bahwa ternyata nama Musa Manurung jauh lebih akrab di telinga pendengar RCA dibanding nama-nama besar seperti Afrizal Malna, Zawawi Imron,
WS Rendra, Ikranegara dan sederetan sastrawan lainnya yang karya mereka juga sering dibacakan di RCA. Beberapa waktu lalu sebuah survei kecil-kecilan pernah dilakukan oleh beberapa relawan terhadap masyarakat pendengar radio.

Program Ekspresi RCA memang identik dengan dominasi karya-karya sastra yang tidak atau belum pernah dipublikasikan di media cetak. Sebuah peluang manis bagi siapa saja yang suka menulis. Pintu istimewa bagi para penulis muda seperti Musa untuk lebih intens menetaskan karya. 

Pada edisi Minggu hari ini di Ekspresi saya akan membacakan sebuah puisi karya Musa yang dikirim beberapa hari lalu melalui e-mail di ivankavalera@yahoo.co.id dan sebenarnya saya juga sangat menginginkan dia untuk sekali waktu mengirimkan rekaman pembacaan puisi dengan suaranya sendiri (siapa pun juga boleh). Entah dalam bentuk CD, kaset atau audio lewat e-mail. Meski membacakan karya sendiri di Ekspresi itu bukanlah hal yang wajib. Berikut ini isi email dari Musa yang estetis:

apa kabar mas ivan? maaf, baru muncul, sibuk sih. ni aku baru nulis lagi sekitar 3 jam lalu, itung itung met hari kartini kemaren mas. nih ada dikit buat acara ekspresi:



Surat

salam sejahtera wahai perempuan calon
ibu dari anak anakku
hanya mampu kusapa engka dari kejauhan ini
ketika langit sedang mendung
dan
angin angin menerbangkan dedaunan

bahkan rindu tak membuatku berani menemuimu
aku takut!
haruskah dengan belasan luka kuhampiri
engkau di kaki pelangi sudut sana
atau dengan api yang menyala dalam pelukku?

kutemukan aromamu pada cahaya senja
dan hangat air laut
mereka masih resah membisikkan syair syairmu
syair yang engkau balut dengan bening keristal airmata
dan nada nada gema

di kejauhan ini, di sebuah persimpangan
pilihanku jelas.

Puisi dari Musa itu merupakan kiriman karyanya yang ke lima kalinya ke RCA. Sesuatu yang luar biasa sebab nama anak muda itu lebih populer dibanding WS Rendra khusus bagi kalangan pendengar RCA. Sastra di radio, dia melintas di telinga dan tidak banyak terdokumentasikan bagi penikmatnya dalam bentuk arsip cetak. Sebagian kecil mungkin juga ada pendengar yang berusaha merekamnya. 

Mungkin sebahagian kadang terlepas dan ada juga karya dan nama penulisnya yang tertangkap pendengaran hati di kalangan pendengar radio. Kadang ada yang menyadari sendiri bahwa karya mereka mungkin akan dimakamkan di sastra-audio seperti radio, bukan di pekuburan sastra cetak atau bahkan sastra cyber sebab sebahagian penulis di sastra radio bukan blogger. Mereka sebahagian besar hanya anak-anak muda biasa, pelajar, mahasiswa, pengangguran, sastrawan sungguhan dan sebagainya. Musa Manurung adalah salah seorang dari mereka.


 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday