Latest Post

Achdiat Kartamihardja, Novelis Revolusi

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 29 Juli 2009 | Juli 29, 2009


Setiap kali menyebut namanya maka orang-orang cenderung selalu mengidentikkan namanya dengan sebuah novelnya yang berjudul Atheis. Achdiat Kartamihardja lahir di Cibatu, Garut, Jawa Barat, 6 Maret 1911. Berpendidikan AMS-A Solo dan Fakultas Sastra dan Filsafat UI.

Ia pernah bekerja sebagai guru Taman Siswa, redaktur Balai Pustaka, Kepala Jawatan Kebudayaan Perwakilan Jakarta Raya, dosen Fakultas Sastra UI (1956-1961), dan sejak 1961 hingga pensiun dosen kesusastraan Indonesia pada Australian National University, Canberra, Australia. Achdiat juga pernah menjadi redaktur harian Bintang Timur dan majalah Gelombang Zaman (Garut), Spektra, Pujangga Baru, Konfrontasi, dan Indonesia. Ia pernah menjadi Ketua PEN Club Indonesia, Wakil Ketua Organisasi Pengarang Indonesia, anggota BMKN, angggota Partai Sosialis Indonesia, dan wakil Indonesia dalam Kongres PEN Club Internasional di Lausanne, Swiss (1951).

Ciri khas karya Achdiat dalam meramu karyanya adalah keberhasilannya membuat mata pembaca agar tidak mengantuk. Sebahagian pembaca biasanya menghabiskan waktu membaca novelnya berhari-hari. Penyebabnya adalah selalu ada saja beberapa puluh halaman menarik yang ingin dibaca ulang . 

Alur cerita dan bahasa pada setiap karyanya sekilas mengalir polos namun menyembunyikan pertanyaan-pertanyaan menghentak. Kumpulan cerpennya, Keretakan dan Ketegangan (1956) mendapat Hadiah Sastra BMKN tahun 1957 dan novelnya, Atheis (1949) memperoleh Hadiah Tahunan Pemerintah RI tahun 1969 (R.J. Maguire menerjemahkan novel ini ke bahasa Inggris tahun 1972) dan Sjuman Djaya mengangkatnya pula ke layar perak tahun 1974).

Karya-karya Acdiat yang lainnya adalah Polemik Kebudayaan (editor, 1948) Bentrokan dalam Asrama (drama, 1952), Keretakan dan Ketegangan (kumpulan cerpen), Kesan dan Kenangan (1960), Debu Cinta Berterbangan (novel, Singapura, 1973), Belitan Nasib (kumpulan cerpen, 1975), Pembunuhan dan Anjing Hitam (kumpulan cerpen, 1975), Pak Dullah in Extrimis (drama, 1977), Si Kabayan, Manusia Lucu (1997), dan Manifesto Khalifatullah (novel, 2006). 

Sebab lahir di zaman revolusi, maka karya-karyanya juga mewakili suasana dan kehidupan revolusi di tanah air. Pikiran-pikiran dan pesan yang ingin disampaikan Achdiat dalam karyanya sebenarnya sangat sederhana dan cuma satu yakni: bagaimana cara berpikir dan berbuat sebagaimana layaknya manusia Indonesia. Bukan sebagai orang asing.






Nasib Naskah Kuno Nusantara

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 28 Juli 2009 | Juli 28, 2009

Mungkin anda pernah berkunjung ke Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI, Jakarta? Hingga kini terdapat 10 ribu lebih naskah kuno yang ada di Perpusnas. Jumlah sebanyak itu sebenarnya hanya segelintir dibanding ratusan ribu naskah lainnya yang entah di mana rimbanya kini. 

Menurut sejarah dan bukti-bukti yang ada, sebahagian besar naskah kuno nusantara diangkut ke negeri Belanda oleh penguasa Hindia Belanda pada abad ke-17 dan 18. Yang mengenaskan, ratusan naskah kuno yang dibawa Belanda itu membuktikan nusantara adalah tempat kediaman peradaban besar di zaman lampau yaitu peradaban tinggi Lumeria yang terkenal itu. Jauh berabad-abad sebelum Majapahit dan Sriwijaya berdiri.


Naskah-naskah kuno warisan nenek moyang bangsa Indonesia dan memiliki nilai berharga itu disimpan di tempat khusus di Perpusnas, Tujuannya agar
naskah aslinya yang terbuat dari daun lontar, kulit kayu atau kertas yang sudah berumur ratusan tahun itu tidak rusak. Ribuan manuskrip penting itu berisi soal ramalan-ramalan, nasihat, budaya, sastra dan lainnya, baik menggunakan huruf Batak, Melayu, Jawa kuno, Sunda kuno, Bugis, Sansekerta maupun Belanda. Namun sayang, dari 10 ribu naskah itu ternyata hanya sekitar 100 naskah kuno yang sudah diteliti.

Sebenarnya di berbagai daerah di tanah air masih banyak naskah kuno dipegang oleh masyarakat. Masih banyak masyarakat yang enggan menyerahkan naskah kuno kepada Perpusnas, karena mereka beranggapan naskah yang dipegangnya itu adalah jimat. Suburnya mitos di tengah masyarakat mengenai keampuhan naskah-naskah kuno yang disimpannya, membuat mereka enggan untuk menyerahkannya ke pepustakaan nasional. Lagipula proses untuk mengambil naskah kuno itu harus melalui proses ritual-ritual dan izin dari pihak kerajaan setempat.

Seharusnya pihak Perpusnas dan instansi terkait lainnya harus melakukan pengawasan dan penarikan agar naskah-naskah kuno itu tidak hilang, sehingga masih ada nilai-nilai sejarah yang ditinggalkan oleh nenek moyang bisa dipelajari dengan baik. Penarikan naskah-naskah kuno yang berada di tengah masyarakat harus dilakukan secara persuasif oleh Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI agar tidak menimbulkan masalah. Salah satu cara agar naskah-naskah kuno itu tidak hilang, Perpusnas harus meminta duplikatnya melalui foto digital, sehingga nantinya bisa dicetak dan kemudian diteliti isi materinya. Banyak naskah kuno yang ada di Perpusnas yang belum diteliti dan dikaji, padahal kandungannya penting diketahui oleh masyarakat.

Salah satu jalan keluar yang pernah ditawarkan oleh beberapa ahli, Perpusnas bersama peneliti, pengkaji naskah dan lainnya perlu segera menerbitkan naskah kuno yang masih menggunakan bahasa Jawa kuno, Batak, Sansekerta, Belanda, Arab kuno, Bugis, Sunda dan Melayu. Untuk mendukung program penyelamatan naskah-naskah kuno itu Perpusnas sudah selayaknya memberikan penghargaan kepada para peneliti dan pengkaji naskah yang telah merampungkan penelitiannya, salah satunya bisa berupa pemberian honor yang pantas sesuai dengan jerih payah dan prestasi peneliti atau penelaah naskah.

Naskah-naskah kuno yang tersimpan di Perpusnas harus segera diselamatkan melalui proses terjemahan (transkrip) dan transliterasi oleh para peneliti, yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku. Selama ini bahkan ada naskah kuno yang diperdagangkan ke luar negeri seperti Malaysia dan Singapura, terutama naskah kuno Melayu. Terjemahan naskah kuno melalui penerbitan buku sangat bermanfaat agar agar anak-anak bangsa di zaman sekarang dapat bergairah membaca naskah kuno.

Materi-materi yang terkandung dalam naskah-naskah kuno merupakan karya sastra. Untuk mempopulerkannya di tengah masyarakat harus direncanakan penerbitan karya adaptasinya. Karya adaptasi adalah pengalihan bentuk dan pengolahan kembali sebuah karya sastra agar lebih sesuai dengan kalangan pembaca tertentu dalam memperhatikan unsur lingkungan dan budaya. Kadang-kadang karya adaptasi lebih hidup dibandingkan karya aslinya. Mungkin ada baiknya bila naskah-naskah kuno yang ada diadaptasi dalam bentuk roman atau cerita anak-anak, sehingga menarik minat generasi muda.

Kang Abik Sang Pengembara Intelektual

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 27 Juli 2009 | Juli 27, 2009


Saat ini hampir tidak ada orang Indonesia yang tidak mengenal namanya. Habiburrahman El Shirazy atau akrab disapa Kang Abik. Novel karyanya Ketika Cinta Bertasbih (KCB) terjual 350.000 copy hanya dalam waktu kurang dari 2 tahun. Melampaui rekor novel fenomenal sebelumnya, Ayat-Ayat Cinta (AAC) yang "hanya" mencapai angka 400.000 copy selama 3 tahun. 

Sutradara muda berbakat Hanung Bramantyo cukup berhasil memvisualisasikan AAC di layar lebar. Lalu giliran novel KCB sukses besar diinterpretasikan sutradara kawakan Chaerul Umam dalam film berjudul sama yang juga melampaui jumlah penonton AAC.

Kang Abik lahir di Semarang 30 September 1976. Ia seorang pengembara intelektual, penyiar radio, dai, novelis, teaterawan dan penyair. Ratusan kitab kuning pernah dibacanya di Pondok Pesantren Al Anwar, Mranggen, Demak di bawah asuhan KH. Abdul Bashir Hamzah. Pada tahun 1992 ia merantau ke kota Budaya Surakarta untuk belajar di Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) Surakarta, lulus pada tahun 1995. Setelah itu melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Fak.Ushuluddin, Jurusan Hadis, Universitas Al-Ashar, Cairo Mesir dan selesai pada tahun 1999. Merampungkan Postgraduate Diploma(Pg.D) 52 di The Institute for Islamie Studies in Cairo yang didirikan oleh imam Al-Baiquri (2001).

Kang Abik juga pernah menjadi penyiar di radio JPI Surakarta selama satu tahun (1994-1995) mengisi program acara Syarhil Qur’an setiap jumat pagi. Bagi anda yang berlangganan Solo Pos, Republika Anninda, Saksi, Sabilli, dan Muslimah, pasti telah akrab dengan nama dan karyanya jauh sebelum AAC dan KCB booming di tanah air.
Beberapa karya Kang Abik yang telah terbit: Ketika Cinta Berbuah Surga (MQS Publishing, 2005), Pudarnya Pesona Cleopatra (Republika, 2005), Ayat- Ayat Cinta (Republika-Basmala, 2004), Di Atas Sajadah Cinta (Republika- Basmala, 2005, Ketika cinta Bertasbih 1 & 2, Dalam Mihrab Cinta (Republika-Basmala, 2007), Langit Makkah Berwarna Merah, Bidadari Bermata Bening, dan Bulan Madu di Yerussalem. Cerpen-cerpennya dimuat dalam antologi Ketika Duka Tersenyum (FBA, 2001), Merah di Jenin, (F8A, 2002) dan Ketika Cinta Menemukanmu (GIP, 2004), dan lain-lain. Bersama penyair-penyair dunia lainnya puisinya bisa ditemukan dalam Antologi Puisi Dunia PPDKL (2002) dan Masalah Dewan Sastra Q002) yang diterbitkan Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia dalam 2 bahasa yaitu Inggris dan Melayu. 



Berikut beberapa puisi Kang Abik sebagai representasi hatinya untuk Palestina.

Ketika Seorang Ibu Palestina Melahirkan Anaknya


(Sajak ini ditulis untuk mengenang terbunuhnya Shafia, bocah Palestina
berumur tiga tahun yang ditembak tentara Israel beberapa hari setelah
tertembaknya Muhammad Al Dorrah )

Ketika seorang ibu Palestina melahirkan anaknya
Ia lantunkan suara adzan di telinga kanannya
Dan pangggilan qamat di telinga kirinya
Lantas ia tanamkan sebuah pesan suci dalam hatinya

Anakku, ayo sebut nama Allah,
Cepatlah bangkit, ambillah surgamu, ambillah mahkotamu
Yang dirampas ular bersisik bintang setan bernama Israel durhaka.
Anakku, Ular itu menjijikkan ibumu,
Ular itu menjijikkan seluruh umat manusia
Ular itu meresahkan dunia
Cepat bunuh dia, rajam dia dengan batu-batu neraka.

"Anakku, ayo sebut nama Allah,
Cepatlah bangkit, ambil batu-batu itu
rebutlahlah surgamu, rebutlah mahkotamu
Jangan ragu!!
Jika kau mundur setapak saja
Melawan Israel durjana
Yang telah berabad-abad menjadi musuh Tuhanmu,
Menjadi musuh nabimu,
Menjadi musuh ibumu,
Menjadi musuh ayahmu,
Dan menjadi musuh saudara-saudaramu seluruh umat manusia
Jangan kau sebut aku ini ibumu."

Seketika itu satu juta pahlawan Palestina tercipta
Dengan keberanian luar biasa
Dengan dada merah menyala
Bergerak bersama-sama
Bersenjata batu-batu neraka
Siap melumat Israel durjana sejadi-jadinya
Tanpa sisa.


Cara Orang Palestina Berbuka Puasa

Orang-orang Islam sedunia berbuka puasa
Dengan kurma dan makanan yang lezat lainnya
Tapi orang-orang Palestina berbuka puasa
Dengan batu-batu dan luka-luka yang menganga.


Cara Orang Palestina Berhari Raya

Tiap hari orang Palestina berhari raya
Merayakan gugurnya pahlawan mereka
Bunga-bunga surga


Mengungkap Sedikit Misteri Agatha Christie

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 25 Juli 2009 | Juli 25, 2009


Bagi anda yang pecandu cerita misteri mungkin pernah membaca salah satu atau puluhan karya Agatha Christie. Hampir pasti, anda yang aslinya tergolong pembaca misteri tak akan pernah mau membuka lebih dulu halaman terakhir dari novelnya. Sebab menikmati karyanya jelas lebih menegangkan jika membukanya dari awal hingga tamat. 

Kisah-kisah misteri dan detektifnya membius dunia dan membuatnya sangat laku sepanjang masa . Buku-bukunya telah terjual lebih dari satu miliar eksemplar dalam bahasa Inggris dan satu miliar lagi dalam 45 bahasa asing hingga 2003. Dame Agatha Mary Clarissa Christie, lahir pada 15 September 1890 dan wafat 12 Januari 1976 di Inggris, negeri yang banyak memberinya inspirasi seperti halnya William Shakeaspeare.

Terlanjur identik dengan novel misteri membuatnya lebih dikenal dengan novelis misteri dibanding sebagai penulis dengan genre roman. Padahal sebenarnya Christie juga menulis kisah-kisah roman dengan nama Mary Westmacott. Karyanya dengan nama Mary Westmacott, di antaranya Giant's Bread, Unfinished Portrait Novel, dan The Rose and the Yew Tree. Christie juga seorang pemain sekaligus penulis naskah teater. Sandiwara panggungnya "The Mousetrap" memegang rekor sebagai sandiwara dengan masa putar terpanjang di London,—sejak dimulai pada 25 November 1952 hingga sekarang ia telah diputar lebih dari 20.000 kali.

Christie pernah bekerja sebagai seorang apoteker pada masa Perang Dunia II. Pekerjaan itu mempengaruhi karyanya. Misalnya banyak dari pembunuhan dalam kisah-kisahnya dilakukan dengan racun. Pada Desember 1926 dia menghilang selama sebelas hari dan menimbulkan suatu keributan dalam pers. Mobilnya ditemukan dibiarkan kosong di sebuah lubang kapur. Dia akhirnya ditemukan sedang tinggal di sebuah hotel di Harrogate, di mana dia mengatakan bahwa dia telah mengalami amnesia yang disebabkan gangguan urat syaraf setelah kematian ibunya dan masalah dalam perkawinan pertamanya. Bersama suaminya Sir Max Mallowan, seorang arkeolog Inggris, dia menjelajahi Timur Tengah yang memberinya banyak ide untuk beberapa novelnya. Novel-novel lainnya mengambil lokasi di Torquay, Devon, di mana di dilahirkan.

Christie telah menerbitkan lebih dari 80 novel dan sandiwara teater yang kebanyakan merupakan kisah detektif dan misteri ruangan tertutup, kebanyakan berkisah mengenai salah satu tokoh serialnya, Hercule Poirot atau Miss Marple. Dia adalah seorang tokoh besar dalam fiksi detektif untuk keberhasilan komersilnya dan inovasinya dalam genre tersebut. Ciri khas Christie adalah kemampuan mengaduk-aduk alur cerita namun tetap mempersulit kisahnya dengan teka-teki yang lain dari umumnya. Dia juga sangat teliti dalam "bermain adil" terhadap para pembacanya dengan memastikan bahwa semua informasi yang diperlukan untuk menyelesaikan teka-tekinya diberikan. Salah satu karya awalnya, "Pembunuhan atas Roger Ackroyd", terkenal untuk akhir ceritanya yang tak terduga dan mengejutkan.

Beberapa novelnya yang difilmkan seperti: Pembunuhan di Atas Orient Express, Pembunuhan di Sungai Nil, Kereta 4.50 dari Paddington. BBC telah memproduksi versi televisi dan radio dari hampir semua kisah-kisah Poirot dan Marple. Pada 1971 dia dianugerahi gelar "Dame Commander of the British Empire". Anda ingin lebih jauh menyibak "misteri" Agatha Christie? Silahkan buka saja Situs resmi Agatha Christie.


Karl May, Petualang Hebat Dari Penjara

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 24 Juli 2009 | Juli 24, 2009


Kira-kira seperti apa perasaan anda ketika karya anda digemari oleh orang-orang terkenal seperti Albert Einstein? Dr. Karl May yang lahir tahun 1842 di Jerman mengalami hal istimewa itu. Karya-karyanya dibaca oleh Albert Einstein, Hermann Hesse, Bertha von Suttner bahkan Adolf Hitler. Remaja Indonesia pada dekade 1930-an seperti Bung Karno, Bung Hatta dan para perintis kemerdekaan di masa itu konon mengenal arti kemerdekaan setelah membaca buku-buku Karl May. Ia merupakan penulis Jerman yang karyanya terlaris sepanjang masa. Hampir di semua negara terdapat komunitas penggemar buku-buku Karl May termasuk di Indonesia. 

Karl hidup sejaman dengan Jules Verne dan Mark Twain. Buku-bukunya bertema petualangan seperti Winnetou Si Kepala suku Indian, Kara Ben Nemsi, dan juga cerita remaja seperti Raja Minyak. Buku Karl May yang paling populer adalah Winnetou. Buku itu menceritakan orang Eropa yang ingin berpetualang. Tanpa sengaja, ia bertemu Winnetou, seorang kepala suku Indian Apache. Karena kekuatan pukulan tangan orang Eropa tersebut cukup kuat, ia disebut Old Shatterhand (yang mempunyai arti "Tangan Menghancurkan").

Karl sangat menderita di masa kecil Dia terlahir sebagai bayi yang buta untuk empat tahun pertama. Anak lelaki satu-satunya dari 12 orang bersaudara dengan ayah seorang penenun miskin. Bisa dibayangkan ekonomi yang morat-marit dari masa kanak-kanaknya. Kekurangan gizi selain menyebabkan kebutaan, juga menjadikan tubuhnya pendek untuk ukuran orang Jeman (hanya 166 cm), serta berkaki bengkok akibat terkena rakitis. Tapi justru dengan bentuk fisik seperti itu, dia kemudian menciptakan tokoh-tokoh berfisik serupa, yang kocak dan menawan, yang dicintai pembacanya, yang sebenarnya adalah representasi dirinya sendiri.

Menginjak umur 5 tahun, Karl kecil dioperasi sehingga ia bisa melihat lagi. Saat umurnya 27 tahun, Karl pernah dipenjara selama 7 tahun karena dituduh mencuri. Kehidupan penjara yang menjenuhkan terpaksa diisinya dengan kesibukan membaca. Kebetulan seorang penjaga penjara berkenan meminjamkan koleksi bukunya kepada Karl. Buku-bukunya itu adalah koleksi buku geografis. Mau tidak mau Karl membacanya sebab hanya itu yang tersedia. Ternyata itu adalah awal dari ilham Karl untuk menulis buku petualangan lebih dari 80 judul.

Hingga saat ini karya-karyanya telah diterjemahkan ke lebih dari 35 bahasa negara di dunia.Dalam bukunya yang berjumlah sekitar 80 judul Karl May bercerita tentang negeri-negeri yang eksotis mulai dari kawasan Artik hingga Laut Selatan (Indonesia atau Samoa), dari Eropah ke Afrika, dari Asia ke Amerika Tengah atau Selatan. Imajinasi yang keluar tentang negeri-negeri eksotis diperkuat dengan teknik penyebutan “Aku” sebagai si narator, studi literatur yang lengkap dan sangat mendukung kisah-kisah petualangannya.

Meskipun lahir di pertengahan abad 19, namun hingga abad ini, masih ada saja dan terus akan ada produk baru baik barang maupun jasa yang diproduksi berdasarkan karya-karyanya dengan menggunakan teknologi mutakhir, termasuk situs internet dari masyarakat literatur nomor lima terbesar di Jerman, trip reguler ke negeri Barat Jauh di Amerika Utara, atau produksi Digital Video Disc dari film-film berdasarkan tulisannya, hingga e-book dari buku versi Jerman dan juga Inggris yang untuk pertama kali diterbitkan 120 tahun sejak karyanya ditulis.

Karl May, seorang petualang hebat dalam banyak kisah perjalanan. Sampai saat ini banyak orang terkenal yang masih terinspirasi dengan karya-karyanya.



Fredy S, Yang Tidak Diakui Tapi Dikagumi


Saya mempunyai seorang tante yang suka membaca dan mengoleksi novel berjumlah sekitar 200 lebih novel Fredy Siswanto. Kata tante, koleksi novel tersebut dimulainya sejak masih duduk di bangku SMP. Tapi penulis merasa masygul hingga hari ini. Kemasygulan itu disebabkan tidak adanya pengakuan dunia sastra Indonesia terhadap Fredy S yang sebenarnya adalah seorang penulis hebat. Novelis pop yang telah menulis novel sebanyak 300 lebih judul ini ternyata tidak pernah dianggap ada di kancah sastra Indonesia. Namanya Fredy Siswanto atau menuliskan Fredy S saja pada sampul novelnya yang laris manis dan benar-benar selalu habis dibeli oleh jutaan penggemarnya.

Ratusan novel Freddy berjaya pada dekade 80 hingga 90-an di Indonesia. Tapi mengherankan, tetap saja di pentas sastra Indonesia dia diangggap tidak pernah ada. Mungkin saja sebab dia bukanlah Sutan Takdir Alihsyahbana, WS Rendra, Romo Mangunwijaya ataupun HB Yassin. Kebanyakan para kritikus memvonis karya-karyanya
memang jauh dari apa yang kerap disebut karya sastra dari sisi kualitas . Oleh karena itu novel-novelnya harus terpinggirkan dan harus puas dengan cap sebagai roman picisan bahkan ada yang menyebut sastra kaki lima. Tapi toh Fredy tidak pernah peduli. Novelnya tetap membanjiri kamar-kamar para remaja tanah air.

Sekitar 100 judul novelnya ternyata telah diterbitkan oleh beberapa penerbit luar negeri terutama di kawasan Asia.Novel-novelnya laku keras dijual di Malaysia, Singapur dan Brunei Darussalam. Ia menulis tentang apa saja terutama tentang cerita cinta. Mulai yang humor sampai serius. Gaya berceritanyamemang kadang tidak konsisten, terkadang dia meniru gaya pengarang yang sudah terkenal, Ashadi Siregar misalnya. Namun, salah satu novelnya Senyumku adalah Tangisku diangkat ke film layar lebar, dan sukses. Film itu diproduksi tahun 1980-an dengan bintang Rano Karno dan Anita Carolina.


Harus diakui, Fredy S adalah fenomena unik dalam mengajak kaum remaja agar gemar membaca. Fredy seangkatan dengan Abdullah Harahap juga Maria Fransiska di era 80-an di mana karyanya banyak dinantikan para penggemarnya. Dengan sangat mudah buku-bukunya dapat dijumpai di kaki lima, lapak koran, dan penjual buku eceran sebelum kemudian menjadi santapan anak-anak sekolahan dan mahasiswa. Dari kalangan muda inilah karya-karya Fredy banyak memperoleh sambutan hangat. Satu fenomena unik juga sebab kadang adegan-adegan nakal di beberapa lembar halaman novelnya menjadi koleksi dan beredar di antara anak-anak sekolahan.

Siapapun tidak dapat memungkiri novel-novel popular karya Fredy Siswanto merupakan salah satu jenis novel popular yang laku di pasaran. Hal ini tidak terlepas dari unsur-unsur intrinsik pembentuk novel. Unsur-unsur yang paling dominan dalam novel popular karya Fredy Siswanto yang berkaitan dengan struktural novel dan aspek penerbitan yakni tokoh yang steorotip dan adanya unsur tema yang ditonjolkan. Dengan demikian kaitan antara struktur novel dengan penerbitannya konsisten dengan ciri-ciri novel popular. Unsur-unsur tersebutlah yang menjadi pedoman penerbit bahwa karya sastra tersebut layak diterbitkan dan dibaca masyarakat. Dan terbukti masyarakat kita menerimanya dengan hangat. Mereka menikmatinya sebab memang novel Fredy adalah karya seni sastra.



*Tulisan ini Ivan dedikasikan buat sobat-sobat blogger yang tetap berdedikasi menulis apa saja di blognya. Tetaplah menulis dengan penuh semangat, kawan. Jangan peduli dengan nada sumbang. Teristimewa kepada beberapa sahabat (Newsoul, Joni, Irma, mbak Latifah, dan Bagus Siedharta) yang telah menganugerahkan award kepada Ivan. Maaf sebesar-besarnya sebab Ivan belum diberi waktu oleh Allah, SWT untuk mereview atau membalas award teman-teman dalam sebuah edisi khusus. Salah satu penyebabnya adalah terjadi broken link di blog ini dan memerlukan perbaikan beberapa waktu. Tapi Insya Allah, suatu saat. Kalau boleh, anggap saja ini adalah award sementara untuk semua yang telah memberi award juga semua yang telah mampir di sini. Terimakasih.

Helvy Tiana Rosa, Penulis dan Motivator Menulis Bagi Para Penulis

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 23 Juli 2009 | Juli 23, 2009


Menjadi penulis mungkin salah satu pilihan yang biasa. Tapi adalah hal yang tidak biasa jika memilih untuk menjadi motivator menulis agar orang yang berbakat menulis benar-benar menjadi penulis. Itulah yang dilakukan oleh Helvy Tiana Rosa, salah seorang sastrawan perempuan di republik ini yang lahir di Medan, 2 April 1970.

Kesibukannya sehari-hari adalah motivator menulis, editor dan dosen di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta. Helvy menyabet gelar sarjana sastra dari Fakultas Sastra UI. Gelar magister diperolehnya dari Jurusan Ilmu Susastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia.

Helvi pernah menjadi Redaktur dan Pemimpin Redaksi Majalah Annida (1991-2001). Pada tahun 1990 mendirikan Teater Bening di kampus FSUI yang seluruh anggotanya adalah perempuan. Helvy merupakan pendiri dan Ketua Umum Forum Lingkar Pena/ FLP (1997-2005), sebuah forum penulis muda beranggotakan lebih 7000 orang yang tersebar di 125 kota di Indonesia dan mancanegara. Bersama teman-temannya di FLP, ia mendirikan dan mengelola “Rumah baCA dan HAsilkan karYA” (Rumah Cahaya) yang tersebar di berbagai kota di Indonesia. Selama 11 tahun keberadaannya, bekerjasama dengan puluhan penerbit, FLP telah meluncurkan lebih dari 1000 judul buku. Karena kegiatannya The Straits Times dan Koran Tempo menyebut Helvy sebagai Lokomotif Penulis Muda Indonesia (2003).



Salah satu puisi Helvy, Fisabilillah menjadi Juara Lomba Cipta Puisi Yayasan Iqra, tingkat nasional (1992), dengan HB Jassin sebagai Ketua Dewan Juri. Cerpennya Jaring-Jaring Merah terpilih sebagai salah satu cerpen terbaik Majalah Sastra Horison dalam satu dekade (1990-2000). Lelaki Kabut dan Boneka mendapat Anugerah Pena sebagai Kumpulan Cerpen Terpuji (2002), sedangkan Bukavu masuk seleksi Long List Khatulistiwa Literary Award 2008. Sederet prestasinya yang lain di antaranya: Ikon Perempuan Indonesia versi Majalah Gatra (2007), Wanita Indonesia Inspiratif versi Tabloid Wanita Indonesia (2008), Tokoh Perbukuan IBF Award IKAPI (2006), Tokoh sastra Eramuslim Award (2006), Penghargaan Perempuan Indonesia Berprestasi dari Tabloid Nova dan Menteri Pemberdayaan Perempuan RI (2004), Ummi Award dari Majalah Ummi (2004), Muslimah Berprestasi versi Majalah Amanah (2000), Muslimah Teladan versi Majalah Alia (2006), dll. 

Sastrawan yang juga nominator Indonesia Berprestasi Award XL 2007 Bidang Seni Budaya ini, sering diundang sebagai pembicara dalam berbagai forum sastra dan budaya di dalam dan luar negeri.

Helvy Tiana Rosa dapat disebut sebagai salah satu pelopor sastra Islam kontemporer di Indonesia. Namun Beberapa karya Helvy, gaungnya justru lebih terdengar di luar negeri melaui terjemahan ke beberapa bahasa, seperti Arab, Perancis, Inggris dan Jepang. Menelusuri karya-karya Helvi diakui oleh para penikmatnya mampu menggugah rasa kemanusiaan pembacanya. Sebahagian besar diolah dalam bingkai sastra Islami. Putu Wijaya bahkan menyebut, karya Helvi adalah sastra zikir dan meditasi.





Asmaraman S. Kho Ping Hoo, Pendekar Besar dari Rimba Cerita Silat

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 22 Juli 2009 | Juli 22, 2009


Para penggemar novel silat di Indonesia bahkan di Asia pasti mengenal namanya. Dialah legenda pengarang cerita silat Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo, lelaki peranakan Cina kelahiran Sragen, Jawa Tengah, 17 Agustus 1926. Ratusan novel lahir dari tangannya. 

Buku-bukunya seperti Serial Bu-kek Sian-su, Serial Pedang Kayu Haru, Serial Pendekar Sakti, Serial Raja Pedang dan ratusan lagi lainnya berhasil menghipnotis pencinta sastra cersil (cerita silat) terutama pada dekade 70 hingga 90-an.Menakjubkan, sebenarnya dia tak bisa membaca aksara Cina tapi imajinasi dan bakat menulisnya luar biasa. Selama 30 tahun lebih berkarya, dia telah menulis sekitar 400 judul serial berlatar Cina, dan 50 judul serial berlatar Jawa. Ceritanya asli dan khas. Pengarang ini memiliki ide-ide tanpa henti yang dituangkan dalam napas ceritanya yang panjang. Seolahdia tak pernah kehabisan inspirasi.
Kho Ping Kho berasal dari keluarga miskin dan hanya dapat menyelesaikan pendidikan kelas 1 Hollandsche Inlandsche School (HIS). Namun, ia seorang otodidak yang amat gemar membaca sebagai awal kemahirannya menulis. Ia mulai menulis tahun 1952. Tahun 1958, cerita pendeknya dimuat oleh majalah Star Weekly. Inilah karya pertamanya yang dimuat majalah terkenal ketika itu. Sejak itu, tulisan-tulisannya mengalir seakan tak pernah berhenti.
Karya cerita silat pertamanya adalah Pedang Pusaka Naga Putih, dimuat secara bersambung di majalah Teratai. Majalah itu ia dirikan bersama beberapa pengarang lainnya. Saat itu, selain menulis, ia masih bekerja sebagai juru tulis dan kerja serabutan lainnya, untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun, setelah cerbung silatnya menjadi populer, ia pun meninggalkan pekerjaanya sebagai juru tulis dan kerja serabutan itu, dan fokus menulis. Hebatnya, ia menerbitkan sendiri cerita silatnya dalam bentuk serial buku saku, yang ternyata sangat laris. Hal itu membuat kreatifitasnya makin terpicu. Karya-karyanya pun mengalir deras. Cerita silatnya pun makin bervariasi. Tak hanya cerita berlatar Cina, tetapi juga cerita berlatar Jawa, di masa majapahit atau sesudahnya. 


Serial silat terpanjangnya Kisah Keluarga Pulau Es, yang mencapai 17 judul cerita, dimulai dari kisah Bu Kek Siansu sampai Pusaka Pulau Es. Karya serial berlatar Jawa, yang juga terbilang melegenda antara lain : Perawan Lembah Wilis, Darah Mengalir di Borobudur, dan Badai Laut Selatan. Serial Darah Mengalir di Borobudur pernah dirilis sebagai sandiwara radio.

Pendekar novel dan komik silat ini meninggal dunia akibat serangan jantung pada 22 Juli 1994 dan dimakamkan di Solo, namun namanya tetap melegenda. Karya-karyanya masih dinikmati oleh banyak kalangan penggemarnya. Beberapa karyanya dirilis ulang media massa, dirilis dalam sandiwara radio pada dekade 80-90-an, diangkat ke layar film layar lebar, dan sinetron laga. Legenda Kho Ping Hoo, pernah menjadi sinetron andalan SCTV. Lewat penerbit CV Gema, karya-karyanya masih terus dicetak.

Penggemar cerita silat Kho Ping Hoo sangat banyak yang setia. Mereka sudah gemar membaca karya Kho Ping Hoo sejak usia 10-an tahun hingga usia di atas 50-an tahun. Mula-mula mereka senang melihat gambar komiknya. Namun, lama-lama makin tertarik cerita tulisannya. Tak jarang penggemar mengoleksi karya-karya Kho Ping Hoo, bahkan mencarinya ke bursa buku bekas di kawasan Senen.

Dunia silat bukanlah hal yang asing bagi Kho Ping Kho. Sejak kecil, ayahnya telah mengajarkan seni beladiri itu kepadanya. Sehingga dia sangat mahir dalam gerak dan pencak, juga makna filosofi dari tiap gerakan silat itu. Keistimewaan Kho Ping Kho yang lain, di dalam setiap karyanya nampak keberhasilannya menyusupkan ajaran-ajaran filosofi tentang kehidupan. Salah satu tentang yang benar adalah benar, dan yang salah tetap salah, meski yang melakukannya kerabat sendiri.selain secara gemilang memasukkan makna-makna filosofis, dia pun menanamkan ideologi nasionalisme dalam cerita silatnya.

Di kawasan Asia bahkan mungkin seluruh dunia, Asmaraman S. Kho Ping Kho masih merupakan nama yang paling disegani oleh para pendekar cerita silat lainnya. Cerita silat adalah salah satu genre sastra yang memiliki segmen penggemar tersendiri hingga kini. Sekiranya Kho Ping Kho masih hidup sekarang, penulis yakin karyanya masih akan tetap mengalir satu serial dalam setiap minggu. Sayang sekali, pendekar besar dari rimba cerita silat ini tidak pernah mengangkat satu orang pun murid untuk mewariskan sedikit ilmunya.

Gaung Sastra dari Pesantren

Dalam sejarah islam khususnya pada masa perjuangan Nabi, sastrawan dan karyanya memiliki peran yang sangat penting. Saat perang Khandaq, Nabi Muhammad, SAW juga sempat menyenandungkan puisi. Bahkan Nabi memberikan penghargaan kepada Ka’ab bin Zuhair yang membacakan puisi di depan Banat Su’ad. Tradisi berpuisi juga dilakukan oleh Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali. Lalu, tradisi ini berkembang sampai ke tangan kiyai dan Pesantren. 

Begitu pentingnya sastra, sehingga dalam Alquran ada satu surah khusus yang diberi nama Assyuara’ (Para Penyair). Dalam sejarah Walisongo, salah satu wali yaitu Sunan Kalijaga juga disebutkan banyak menciptakan syair-syair di samping seni wayang sebagai salah satu medianya dalam berdakwah.

Dari masa ke masa tradisi ilmu sastra di pesantren telah diajarkan. Anda yang pernah belajar di pesantren mungkin pernah membaca kitab Siraj At-Talibin-nya Kyai Ihsan- Kediri, atau kitab Al-Miftah, Aroudl, Balagah, Ma’ani dan lain sebagainya. Banyak tokoh-tokoh islam yang intens berdakwah melalui sastra seperti Ibnu Hazm, ulama fiqh asal Spanyol, penulis buku fikih termashur Al Muhalla, puisi cinta yang luar biasa indah Tauqul Hamamah (Kalung Burung Merpati). 

Para penyair Islam non-ulama (fikih) antara lain Muizzi, Abu A’la Alma’ari, Hathim At Thai, Abu Nuwas Al Hani, Abu Faraj al Asfahani, hingga Syauqi Bey. Dari kalamgan sufi, pasti kita kenal nama Jalaludin Rumi, Hafiz, Attar, Al Hallaj, Rabiah al Adawiyah, Abu Yazid al Bustami, dan masa-masa subur para penyair sufi Islam pada abad ke 10-14.

Di Indonesia nama-nama sastrawan yang berlatar pendidikan Pesantren seperti, Emha Ainun Najib, Jamaluddin Kafie, Hamid Jabbar, Acep Zamzam Noor, Ahmadun Yosie Herfanda, Abdul Hadi WM, Fudholi Zaini, Danarto, D Zawawi Imron, Kuntowijoyo, Ibrahim Sattah, Jamal D. Rahman, Mathori A Elwa, Ahmad Nurullah, Zainal Arifin Thoha, Syubbanuddin Alwy, Isbedy Stiawan ZS, Abidah El-Khalieqy, Hamdy Salad, KH Mustofa Bisri, CM. Hizboel Wathoni serta sederet nama-nama lain yang banyak mengusung sastra spiritual.


Sejak awal tahun 2000, sastra pesantren di Indonesia menunjukkan geliat yang luar biasa. Atmosfir sastra pesantren menunjukkan sekaligus mengukuhkan eksistensi pesantren sebagai salah satu pusat peradaban. Di sisi lain, meski Seni (fan) dan kesenian (al-fannan) kadang dianggap tidak esensial, bahkan dicurigai sebagai sesuatu yang bisa melenakan orang, membuat penikmatnya berleha-leha, melalaikan orang dari urusan syari’at. Klaim ini diperkuat oleh adanya suatu histeria historis; dimana banyak sekali literatur keilmuan klasik (fiqh) yang dipergunakan pesantren yang menghukumi seni itu syubhat, makruh bahkan haram. Hukum-hukum fiqih ini kemudian difahami dengan sempit, tidak disertai dengan penggalian dengan wawasan hermeneutik. Padahal, interpretasi terhadap teks-teks fiqih terhadap kesenian seharusnya kritis dan kompherensif dalam mempertimbangkan berbagai konteks (asbabul wurudl). Salah satunya konteks kekinian di mana perubahan dan kecenderungan berbeda di setiap zaman.

Dewasa ini, secara kualitatif, dinamika sastra pesantren bisa kita analisis salah satunya adalah melalui pelbagai macam perubahan serta pergeseran corak orientasi paradigmatik yang menjadi substansi dalam karya sastra yang bersangkutan. Maka, bertambahlah jenis baru, genre baru ke dalam khazanah sastra pesantren mutakhir; sastra pop pesantren dan sastra pesantren yang subversif. Keberadaan dua jenis baru ini tidak hanya melengkapi dan menemani kanon sastra pesantren yang sudah ada, tetapi juga di banyak sisi menyimpan suatu potensi dialektis dan kritis baginya; intertextual clash.

Ciri khas sastra yang lahir dari kalangan pesantren giat mengangkat tema-tema nilai esoterik keagamaan; Cinta Illahiyyah, pengalaman-pengalaman sufistik, cinta sosial (habluminannaas), atau ekspresi dan impresi transendental keindahan alam semesta (makrokosmos). Sangat nyata mengusung nuansa religius. Bisa ditelusuri pada karya-karya sastrawan pesantren dekade 90-an seperti Acep Zamzam Noor, D Zawawi Imron, Zainal Arifin Toha, Jamal D Rahman, Abidah el-Khaeliqi, Kuswaidi Syafi’ie, Faizi L. Kaelan dan sastrawan-sastrawan lainnya yang secara kultural memang habitatnya adalah lingkungan kehidupan santri.

Secara kuantitatif, genre sastra pesantren pop juga meramaikan industri perbukuan. Sederetan karya sastra pop pesantren yang terkenal antara lain: Santri Semelekete (karya Ma’rifatun Baroroh), Bola-Bola Santri (Shachree M Daroini), Kidung Cinta Puisi Pegon (Pijer Sri Laswiji), Dilarang Jatuh Cinta (S. Tiny), dan Santri Baru Gede (Zaki Zarung) Salahkah Aku Mencintaimu (Ahmad Fazlur Rosyad) dan sederet nama lain yang tak bisa disebutkan satu-persatu. Motivasi lahirnya karya sastra pesantren yang "ngepop" ini mungkin beragam. Satu hal yang positif, anak-anak pesantren memang telah memasuki abad baru dalam berdakwah. Salah satunya melalui karya sastra, apapun bentuknya.

Menelusuri Jejak Lampau Palembang dari Naskah Sastra Kuno

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 21 Juli 2009 | Juli 21, 2009


Anda yang berasal dari Palembang mungkin pernah atau bahkan sering mendengarkan atau membaca kalimat ini: "Alqisah maka tersebutlah perkataan ada sebuah negeri ditanah Andalas, Palembang namanya, Demang lebar daun nama rajanya, asalnya dari anak cucu raja Syulan juga, Muara Tatang nama sungainya. Maka di hulu Muara Tatang itu ada sebuah sungai Melayu namanya. Dalam sungai itu ada sebuah bukit Si Guntang Mahameru namanya”(Ismail, 1998:83). Di tempat lain dikatakan pula: ”Sebermula dihikayatkan oleh orang yang empunya hikayat ini bahwa negeri Palembang itu Palembang yang sekarang ini, inilah” (Ismail, 1998:85). 

Menurut cerita dalam naskah ini, dari Bukit Si Guntang Mahameru tersebut turunlah tiga orang cucu raja Iskandar Zulkarnain dan yang bungsu menjadi raja di Palembang dengan nama Sang Utama (Nila Utama menurut naskah lain) yang kemudioan bergelar Sri Tribuana. Yang tertua diangkat menjadi raja di Minangkabau dengan nama Sang Sapurba, sedangkan yang kedua menjadi raja di Tanjungpura bernama Sang Maniaka. Jadi orang Melayu itu berasal dari daerah ini dan kemudian menyebar mencari tempat pemukiman baru. Raja-raja Melayu mengakui keturunan dari nenek moyang Bukit Si Guntang.

Periode awal sejarah Nusantara yang kita kenal dari sumber-sumber naskah sastra kuno yang berbentuk prasasti-prasasti Sriwijaya ditemukan dikota Palembang pada abad ke 7 dan ke-8. Seperti yang tertulis pada prasasti telagabaru yang kini disimpan dimusium nasional. Begetu pentingnya Sriwijaya sebagai pusat studi agama Budha ditentukan oleh prasasti yang ditemukan. I Cing, seorang agamawan pengembara, menyarankan kepada mereka yang berkeinginan untuk mempelajari agama Budha di India, hendaknya mereka terlebih dahulu bermukim selama satu tahun di Sriwijaya untuk belajar memfasihkan bahasa Sansekerta (Kumar,1996:xvi).


Salah satu keistimewaan Palembang sebagai tempat penemuan bukti-bukti arkeologi ialah adanya suatu kesinambungan dari segi penanggalan. Hal ini menandakan bahwa Palembang memiliki masa okupasi yang panjang dan berkesinambungan, sehingga seringkali ditemukan data-data sejarah dari zaman yang berbeda-beda. Prasasti yang ditemukan dikawasan Palembang dan sekitarnya ditulis dalam bahasa Melayu Kuno dengan tipe tulisan Pallawa Akhir. Para ahli menyimpulkan bahwa kecanggihan tulisan dan bahasa pada prasasti itu tidak berdiri sendiri, pasti sudah ada penggunaannya dalam kesusastraan yang hidup berdampingan dengan bahasa administratif yang terdapat pada prasasti, meskipun hingga kini tidak ditemukan sisa-sisa kesusastraan kuno dalam bentuk tertulis. 

Pada abad ke-14 ada kerajaan yang luas dengan raja Adityawarman yang mencakup sebagian besar Sumatera Tengah. Prasasti yang ditinggalkan kerajaan itu cukup banyak, meliputi masa pemerintahan raja (1356-1375), peninggalan-peninggalan tersebut menunjukkan hubungan dengan Majapahit, dalam isinya maupun aksaranya yang mirip aksara jawa timur yang sejaman, namun dengan karakter yang khas. Penetrasi pengaruh jawa tersebar disebagian besar kawasan ini.


Salah satu sumber dari kitab sastra kuno Cina menyebutkan bahwa San-Fo-Ci atau Sriwijaya pada tahun 1373 diperintah oleh tiga penguasa, yaitu satu di Palembang, Darmasraya (Jambi), dan Adityawarman (Minangkabau). Di daerah Minangkabau inilah ditemukan arca Amoghapasya Lokesywara yang merupakan hadiah dari Raja Kertanegara kepada Srimat Tribuanaraja Mauliwarmadewa di Suwamabumi (sumatera). Arca ini merupakan tiruan dari arca di Candi Jago (Jawa timur). Setelah tahun 1377 tidak ada lagi berita mengenai daerah ini, mungkin karena pada tahun itu Jambi diserang dan dikalahkan oleh Majapahit. Tulisan dari zaman Sriwijaya diperkirakan banyak yang hilang, bukan berarti bahwa sastranya mati setelah wilayah Palembang menjadi bawahan Majapahit. Dari naskah yang sampai ditangan kita diperkirakan dapat terjadi pengalihan sastra Jawa ke sastra Melayu. 

Pada bidang politik terjadi perubahan-perubahan yang mempengaruhi warna budaya Palembang. Kekuasaan Majapahit atas Palembang mulai melemah karena kegoncangan yang terjadi di kalangan Majapahit dan juga disebabkan karena jarak antara kedua tempat cukup besar, akibatnya terjadi suatu kekosongan kekuasaan. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Cina yang selalu hadir di Nusantara dan akhirnya menguasai Palembang (Groenevaldt dalam Purwanti, 2003:1). Setelah penguasaan Cina, menurut cerita sastra lisan Ki Gede Ing Suro mendirikan kerajaan yang dinamakan Palembang. Pendiri kerajaan Palembang berasal dari daerah pesisir utara Jawa, sebagaimana disebutkan dalam naskah sastra Melayu yang dikarang sebelum tahun 1536 (Ismail, 1998:125).

*dari berbagai sumber

Ahmadun Yosi Herfanda, Sastrawan Sufistik dari Kaliwungu


Ahmadun Yosi Herfanda dilahirkan di Kaliwungu, Kendal, 17 Januari 1958. Sejak remaja menjadi penulis puisi, cerpen, dan esei. Banyak menelurkan esei sastra, sajak sufistik dan sosial-religius.. Sastrawan Indonesia dari generasi 1980-an juga kerap menetaskan cerpen-cerpenn bergaya karikatural dengan tema-tema kritik sosial.

Ahmadun juga dikenal sebagai wartawan (dengan inisial AYH) dan redaktur sastra Harian Republika dan pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 2006. Ia juga sering diundang untuk membacakan sajak-sajaknya maupun menjadi pembicara dalam berbagai kegiatan seni budaya di dalam dan luar negeri.

Alumnus FPBS IKIP Yogyakarta ini menyelesaikan S-2 jurusan Magister Teknologi Informasi pada Universitas Paramadina Mulia, Jakarta, 2005. Ia pernah menjadi Ketua III Himpunan Sarjana Kesastraan Indonesia (HISKI, 1993-1995), dan ketua Presidium Komunitas Sastra Indonesia (KSI, 1999-2002). Tahun 2003, bersama cerpenis Hudan Hidayat dan Maman S. Mahayana, ia mendirikan Creative Writing Institute (CWI). Tahun 2007 terpilih sebagai Ketua Umum Komunitas Cerpen Indonesia (KCI, 2007-2010). Tahun 2008 terpilih sebagai Ketua Umum Komunitas Sastra Indonesia (KSI). Pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) periode 2006-2009, tapi mengundurkan diri. Ahmadun juga pernah menjadi anggota Dewan Penasihat dan anggota Mejelis Penulis Forum Lingkar Pena (FLP). Dianggap sebagai salah satu sastrawan Indonesia terkemuka saat ini.

Karya-karya Ahmadun dimuat di berbagai media sastra dan antologi puisi yang terbit di dalam dan luar negeri, antara lain Horison, Ulumul Qur'an, Kompas, Media Indonesia, Republika, Bahana (Brunei), antologi puisi Secreets Need Words (Ohio University, A.S., 2001), Waves of Wonder (The International Library of Poetry, Maryland, A.S., 2002), jurnal Indonesia and The Malay WorldThe Poets’ Chant (The Literary Section, Committee of The Istiqlal Festival II, Jakarta, 1995).

Pernah beberapa kali sajak-sajaknya diulas dalam program acara "Sajak-Sajak Bulan" Ini di Radio Suara Jerman Deutsche Welle. Cerpennya, Sebutir Kepala dan Seekor Kucing, memenangkan salah satu penghargaan dalam Sayembara Cerpen Kincir Emas 1988 Radio Nederland (Belanda) dan dibukukan dalam Paradoks Kilas Balik (Radio Nederland, 1989). Tahun 1997 ia meraih penghargaan tertinggi dalam Peraduan Puisi Islam MABIMS (forum informal Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura).

Beberapa buku karya Ahmadun yang telah terbit sejak dasawarsa 1980-an, antara lain: Ladang Hijau (Eska Publishing, 1980), Sang Matahari (kumpulan puisi, bersama Ragil Suwarna Pragolapati, Nusa Indah, Ende, 1984), Syair Istirah (bersama Emha Ainun Nadjib dan Suminto A. Sayuti, Masyarakat Poetika Indonesia, 1986), Sajak Penari (kumpulan puisi, Masyarakat Poetika Indonesia, 1990), Sebelum Tertawa Dilarang (kumpulan cerpen, Balai Pustaka, 1997), Fragmen-fragmen Kekalahan (kumpulan sajak, Forum Sastra Bandung, 1997), Sembahyang Rumputan (kumpulan puisi, Bentang Budaya, 1997), Ciuman Pertama untuk Tuhan (kumpulan puisi, bilingual, Logung Pustaka, 2004),Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (kumpulan cerpen, Bening Publishing, 2004), Badai Laut Biru (kumpulan cerpen, Senayan Abadi Publishing, 2004),The Warshipping Grass (kumpulan puisi bilingual, Bening Publishing, 2005),Koridor yang Terbelah (kumpulan esei sastra, Jakarta Publishing House, 2006). Berikut dua buah puisinya yang pernah penulis abcakan di radio.

SEMBAHYANG RUMPUTAN

walau kaubungkam suara azan
walau kaugusur rumah-rumah tuhan
aku rumputan
takkan berhenti sembahyang
:inna shalaati wa nusuki
wa mahyaaya wa mamaati
lillahi rabbil ‘alamin
topan menyapu luas padang
tubuhku bergoyang-goyang
tapi tetap teguh dalam sembahyang
akarku yang mengurat di bumi
tak berhenti mengucap shalawat nabi

sembahyangku sembahyang rumputan
sembahyang penyerahan jiwa dan badan
yang rindu berbaring di pangkuan tuhan
sembahyangku sembahyang rumputan
sembahyang penyerahan habis-habisan

walau kautebang aku
akan tumbuh sebagai rumput baru
walau kaubakar daun-daunku
akan bersemi melebihi dulu

aku rumputan
kekasih tuhan
di kota-kota disingkirkan
alam memeliharaku subur di hutan

aku rumputan
tak pernah lupa sembahyang
:sesungguhnya shalatku dan ibadahku
hidupku dan matiku hanyalah
bagi allah tuhan sekalian alam

pada kambing dan kerbau
daun-daun hijau kupersembahkan
pada tanah akar kupertahankan
agar tak kehilangan asal keberadaan
di bumi terendah aku berada
tapi zikirku menggema
menggetarkan jagat raya
: la ilaaha illalah
muhammadar rasululah

aku rumputan
kekasih tuhan
seluruh gerakku
adalah sembahyang

1992

DI BAWAH LANGIT MALAM

———— purworejo

kucium kening bulan
dalam sentuhan dingin angin malam
ayat-ayat tuhan pun tak pernah bosan
memutar planet-planet dalam keseimbangan

langit yang membentang
menenggelamkanku ke jagat dalam
kutemukan lagi ayat-ayat tuhan
inti segala kekuatan putaran

jagad yang menghampar
membawaku ke singgasana rahasia
pusat segala energi dan cahaya
membebaskan jiwa
dari penjara kefanaannya

kucium lagi kening bulan
engkau pun tersenyum
dalam penyerahan
1983


Beberapa bulan lalu, seorang pendengar mengirimkan CD ke studio yang berisi rekaman pembacaan dua buah puisi sastrawan sufistik ini untuk diputar di acara sastra RCA. Penulis sendiri baru mengenal nama Ahmadun Yossi Erfanda sejak itu.


 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday