Latest Post

Serupa

Posted By Alfian Nawawi on Kamis, 07 Juni 2012 | Juni 07, 2012


Berkebun lagi seusai menemani hujan.
"Matahari bertumbuhan
di bawah jendela rumah kita,” katamu, kicau-kicau
setiap hari.
“Ya, semestinya selalu begitu,” ujarku, letup-letup 
dari secangkir teh manis yang diletakkan hatimu setiap pagi.
Sementara itu barisan pohon-pohon gegas berpelukan. Serupa meminjam wajah dan tanganmu menyelinap lalu membangunkan aku tepat azan shubuh.
Serupa obrolan tentang sungai, dangau, prosa, musik, lukisan, buku, teater dan sungai lagi, prosa lagi.
"Kita serupa buah manggis dan pala," kataku, deru-deru.

Bulukumba, 2012

Penghargaan Kepada Tubuh, Hari Tari Sedunia di Makassar

Posted By Alfian Nawawi on Selasa, 24 April 2012 | April 24, 2012


Penghargaan Kepada Tubuh, itulah tema dari Hari Tari Sedunia yang kembali diperingati di Makassar, Minggu 29 April 2012. Sebagaimana tahun lalu, peringatan akan dipusatkan di pelataran kantor Tribun Timur di Jl Cenderawasih No 430 Makassar.

Ilustrasi
Salah satu konsep acara ini, ratusan peserta akan ikut menari dengan tema Penghargaan Kepada Tubuh. Pesertanya berasal dari berbagai etnis dan suku serta berbagai komunitas seni yang ada di Makassar dan Palopo.

Seperti dikutip dari makassar.tribunnews.com,
penggagas acara ini, Dr Halilintar mengatakan, puluhan mahasiswa asing yang berlatarbelakang pendidikan musik juga akan hadir mengekpresikan diri di acara ini. Puluhan mahasiswa asing dari berbagai negara itu kebetulan sekarang sedang berada di Makassar.

Seorang panitia lainnya, Asia Ramprapanca, menjelaskan, Peringatan Hari Tari Sedunia kali ini di Makassar semakin menginternasioal karena diikuti puluhan mahasiswa asing dari berbagai negara. Karenanya acara ini benar benar akan dikemas sedemikian rupa sehingga meninggalkan kesan mendalam dari para mahasiswa asng itu.

Masyarakat umum juga dipersilakan mengikuti acara ini karena tidak membatasi hanya para seniman atau para penari. Masyarakat umum boleh mengikuti acara ini untuk melakukan tari apa saja.(*)

Bahaya Laten Aslan Abidin

Posted By Alfian Nawawi on Minggu, 01 April 2012 | April 01, 2012

Penyair asal Kota Kalong Soppeng Sulawesi Selatan, Aslan Abidin mewakili Makassar dalam pementasan baca puisi bersama puluhan penyair dari berbagai negara di dunia dan berbagai kota di Indonesia. Mereka  tergabung dalam Forum Penyair Internasional Indonesia (FPII).

Kegiatan seni ini berlangsung hingga 12 April 2012. Sebanyak 17 penyair dari berbagai negara serta 10 dari dalam negeri pada tanggal 1-3 April 2012 berada di Magelang, 4-6 April di Pekalongan, 7-9 April di Malang, dan 10-12 April di Surabaya.

Aslan Abidin memiliki buku antologi puisi perdana yang terkenal berjudul  "Bahaya Laten Malam Pengantin" yang diterbitkan oleh Ininnawa, 2008. Saat itu agak terasa aneh bagi kalangan penyair dan kritikus, sebab 79 sajak yang ada dalam buku tersebut ditulis dalam rentang waktu tiga belas tahun, dari 1993 hingga 2006 saja. Tapi Ahyar Anwar, Doktor Sosiologi Sastra UGM mengatakan, Aslan Abidin adalah satu dari sedikit penyair Sulawesi Selatan yang mendapatkan tempat terhormat dalam jagad sastra nasional hanya dengan dua-tiga sajak. 
Penyair yang masuk dalam angkatan abad 21 ini memiliki karakter karya yang khas di antara penyair-penyair Sulawesi-Selatan. Kekhasan itu muncul pada sajak-sajaknya yang kerap kali menggunakan ‘tubuh’ sebagai latar. Lihat saja salah satu puisinya:Polispermigate

perempuan jalang bertubuh pualam
pada simpang jalan itu menyimpan
bejana di tubuhnya. ia menjadi tempat minum
para lelaki pejabat yang datang
menghabiskan uang hasil rampokan
perempuan jalang di simpang jalan,
entah mengapa aku suka mengkhayalkan
diriku tersesat di kamarmu.
dan sebagai bentara para penjahat,
kau kisahkan padaku seluruh
riwayat dari negeri subur para perarmpok
“aku seperti nawang wulan dan
mereka adalah beruang yang rakus mengisap
madu tubuhku. mereka takut aku
menemukan baju dan segera
menguap ke udara.” tapi nawang wulan, aku juga
suka membayangkan kau membuka
celana untukku. dan mungkin aku
akan terkesiap menatap kemaluanmu yang mangap
seperti polisi yang siap menerima suap.

Sebuah puisi yang erotis tapi begitu rapi dalam penyampaian realitas sosial.


Para penyair yang ikut bergabung dalam acara
Forum Penyair Internasional Indonesia antara lain Ulrike Draesner, Michael Augustin, Arne Pautenberg (Jerman), Sujata Bhatt (India), Charl Piere Naude, Vonani Bila, Rustum Kozain, Mbali Bloom (Afrika Selatan), Chirikure (Zimbabwe), Hans van de waarsenburg, Hagar Peeters (Belanda), Adam Wiedewitsch (USA), Martin Glaz Serup (Denmark), Gerdur Kristny (Islandia), Sarah Holland Batt (Australia), Courtney Sina Meredith (SelandiaBaru), Nikola Madzirov (Makedonia).

Sedangkan penyair dari Indonesia antaralain Samargantang (Bali),D Zawawi Imron (Madura), Fikar W Eda (Bekasi), Gracia Asri (Paris), Ribut Wiyoto (Surabaya), Hamdy Salad (Yogyakarta), Kusprihyanto Namma (Ngawi), Ari MP Tamba (Jakarta), KH Mustofa Bisri atau Gus Mus (Rembang).

Lalu penyair yang membaca puisi di Pekalongan yaitu Stephanie Mamonto (Jakarta), Ragil Supriyatno Samid (Malang), Mikael Johani (Tangerang), Ratry Nindia (Depok), Wowok Hesti Prabowo (Tangerang).

Kemudian yang membacakan di Malang yaitu F Azis Manna (Surabaya), Y Thendra BP (Yogyakarta), Hasta Indriyana (Yogyakarta), W Haryanto, Mahendra, Nanang Suryadi (Malang). Dan pembaca puisi di Surabaya yaitu Aslan Abidin (Makasar), Ratna Ayu Budiarti (Bali), Anis Sayidah (Bandung), John Waromi (Papua), Akhudiat (Surabaya). 
(*)

Kembali Turun Gunung

Posted By Alfian Nawawi on Rabu, 07 Maret 2012 | Maret 07, 2012

Apa kabar sahabat-sahabat blogger? Lama juga ya rasanya saya mengalami hibernasi. Selama satu tahun lebih! Beberapa weblog terbengkalai terutama ivankavalera.com.

Kerinduan untuk mengupdate blog kian membuncah sejak pasca pernikahan saya pada 14 November 2011. Sempat juga saya update beberapa kali namun bisa dihitung dengan jari.


Kesibukan di dunia nyata benar-benar menyita waktu. Sementara kesibukan di dunia maya paling ketika mengkoordinir teman-teman di portal www.rca-fm.com sebagai underbow dari program news di radio, salah satu pekerjaan saya. Selebihnya paling cuma muncul di jejaring sosial seperti facebook dan Twitter.

Alhamdulillah. Allah SWT masih memberikan kepada saya waktu yang sangat berharga. Meski saya  sangat sadar, intensitas blogging saya di tahun 2012 ini kemungkinan besar tidak sama seperti tahun-tahun kemarin.


Tapi apapun itu, tidak ada yang abadi. Termasuk hibernasi. Insya Allah, saya kembali turun gunung. Kembali meramaikan dunia persilatan...eeeh salah..dunia blogging, maksudnya..hehehe...!(*)

Buya Hamka, monument tak terbantahkan

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 15 Januari 2012 | Januari 15, 2012



Ivankavalera.com rasanya tidak akan lengkap tanpa mengulas sedikit tentang tokoh sastra kita yang satu ini. Karya-karyanya yang masih terus menjadi inspirasi banyak generasi sesudahnya menjadi monument tak terbantahkan di jagad sastra tanah air.



Buya  Hamka
Di masa kecil Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau selama dua tahun. Ketika usianya 10 tahun, ayahnya mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka kemudian mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Melalui sebuah perpustakaan yang dimiliki oleh salah seorang gurunya, Engku Dt. Sinaro, bersama dengan Engku Zainuddin, Hamka diizinkan untuk membaca buku-buku yang ada diperpustakaan tersebut, baik buku agama maupun sastra.



Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan Hamka, yakni singkatan namanya, (lahir di Maninjau, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun) adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, ahli filsafat, dan aktivis politik. Hamka diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan Keppres No. 113/TK/Tahun 2011 pada tanggal 9 November 2011



Hamka juga seorang wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, ia menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, ia menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.



Hamka belajar secara otodidak untuk bidang filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti.



Pada tahun 1928, Hamka menulis buku romannya yang pertama dalam bahasa Minang dengan judul si Sabariah. Kemudian, ia juga menulis buku-buku lain, baik yang berbentuk roman, sejarah, biografi dan otobiografi, sosial kemasyarakatan, pemikiran dan pendidikan, teologi, tasawuf, tafsir, dan fiqih. Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir al-Azhar. Di antara novel-novelnya seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan Merantau ke Deli juga menjadi perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura. Beberapa penghargaan dan anugerah juga ia terima, baik peringkat nasional maupun internasional.



Pada tahun 1959, Hamka mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar, Cairo atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama Islam dengan menggunakan bahasa Melayu. Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia memperoleh gelar kehormatan tersebut dari Universitas Nasional Malaysia pada bidang kesusasteraan, serta gelar Profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo. Hamka wafat pada 24 Juli 1981 dalam usia 73 tahun dan dikebumikan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan. (pelbagai sumber)

Bung Karno dan Puisi

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 18 Desember 2011 | Desember 18, 2011

Salah satu pemikiran Bung Karno adalah bahwa kemerdekaan tidak menyudahi soal-soal, kemerdekaan malah membangun soal-soal, tetapi kemerdekaan juga memberi jalan untuk memecahkan soal-soal itu. Hanya ketidak-kemerdekaanlah yang tidak memberi jalan untuk memecahkan soal-soal. Termasuk ketika Rumah kita dikepung, rumah kita hendak dihancurkan.

Bung Karno melihat Indonesia dengan cara yang biasa. Puisinya yang ditulis dengan judul Aku Melihat Indonesia bisa memberikan gambaran dari pemikirannya yang sebenarnya tidak terlalu rumit. Sebab Indonesia ada untuk membangun soal-soal sekaligus memecahkannya.

Aku Melihat Indonesia
Djikalau aku melihat gunung gunung membiru
Aku melihat wadjah Indonesia
Djikalau aku mendengar lautan membanting di pantai bergelora
Aku mendengar suara Indonesia

Djikalau aku melihat awan putih berarak di angkasa
Aku melihat keindahan Indonesia


Djikalau aku mendengarkan burung perkutut dipepuhunan
Aku mendengarkan suara Indonesia

Djikalau aku melihat matanja rakjat Indonesia di pinggir djalan
Apalagi sinar matanja anak anak ketjil Indonesia
Aku sebenarnja melihat wadjah Indonesia



Bung Karno bertafakur memandang alam bebas, mengagumi 
kebesaran Allah SWT untuk mendapatkan inspirasi. Salah satu hasilnya 
Bung Karno menuangkannya ke dalam bentuk puisi
yang diberi judul Aku Melihat Indonesia. foto: gentasuararevolusi.com.


Salah satu kutipan dari Wejangan Revolusi Bung Karno berikut ini menegaskan bahwa Founding Fathers kita ini memandang hari depan sebagai sebuah optimisme atau "revolusi benar-benar belum selesai". 

"Engkau nanti akan melihat matahari terbit, djadilah manusia jang berarti, manusia jang manfaat, manusia jang pantas untuk menjambut terbitnja matahari. Jang pantas menjambut terbitnja matahari itu hanja manusia-manusia abdi Tuhan, manusia-manusia jang manfaat. Ibu menghendaki aku mendjadi manusia jang pantas menjambut terbitnja matahari, oleh karena aku dikatakan oleh Ibu adalah anak fadjar. Tuhan memberi otak kepada manusia, memberi pikiran kepada manusia. Tuhan memberi djuga rasa kepada manusia. Hanja manusia jang otaknja tjerdas, rasa hatinja baik, kenang-kenangannja tinggi, bisa mendjadi manusia jang manfaat."


Prosa kecil ini diberi nama 'Hujan' di tengah Nopember

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 11 November 2011 | November 11, 2011

Prosa kecil ini diberi nama 'Hujan' di tengah Nopember. Sebenarnya tidak layak disebut prosa sebab hanya berupa tema tanpa figura berupa teks yang lazim. Tapi sepotong puisi yang pernah saya tulis di musim lalu masih tersisa dalam ingatan.  Mungkin ini akan melengkapinya kelak di musim berikutnya. Entah.

..dan mungkin akan kerap kali kita bacakan 
pada setiap ingatan tentang perhentian kereta
setiap kereta tentang riwayat lama.




Mohon doa restu dan kami harapkan kehadiran sahabat-sahabat blogger.


         Akan menikah:
Ivan Kavalera & Israwati Samad

Akad Nikah: Senin, 14 November 2011
Jalan Kopi No. L16 Tanete Kecamatan Bulukumpa.

Resepsi Pernikahan: Sabtu, 19 November 2011
Jalan Poros Bulukumba-Tanete, dekat Masjid Baburrahman,
Kelurahan Palampang, Kecamatan Rilau Ale, Kabupaten Bulukumba, Sulsel.

Namaku Hujan

Posted By admin on Rabu, 28 September 2011 | September 28, 2011

- buat is



namaku hujan.
aku ingin segera berkenalan dengan kemarau
lalu mencatat gejala.

setiap musim sama saja
jendela terbuka di pagi hari,
malam-malam bertukaran
dengan rindu yang pecah.
namaku  hujan.
tidak seperti menyusun rencana-rencana
aku jatuh dan mengalir saja
dan kelak juga ke matamu.


Is,
namamu sendiri siapa?


bulukumba, 29 september 2011.

Berlebaran Jauh

Posted By admin on Sabtu, 27 Agustus 2011 | Agustus 27, 2011


sesekali berlebaran jauh. segala estetika mudik ke kampung halaman. kita merasa kembali ke doa-doa. kemudian puitika mungkin sesekali kita belah pada ketupat bikinan ibu.

di hari berlebaran kita saling menghampar. saling bersalaman. kita kembali ke lembah-lembah rasa di desa. seharusnya. ciuman pada tangan ibu mengembalikan waktu kanak-kanak kita. saat kita belum mengerti tentang kota. 

hanya sekali setahun. setelah itu kembali ke kota. haruskah kita melupakan  estetika mudik yang sebenarnya? ibu, anak-anakmu masih minta didoakan untuk mudik tahun depan. dan seharusnya berlebaran jauh-jauh ke kedalaman mudik paling fitri.

Bulukumba, 27 Ramadhan 1432 Hijriah.

Bahasa Indonesia Yang tak Kunjung Merdeka

Posted By admin on Rabu, 17 Agustus 2011 | Agustus 17, 2011

Bahasa Indonesia tidak kunjung merdeka. Di otak orang-orang Eropa  yang terpikir bukanlah bahasa khas Indonesia, melainkan bahasa Melayu yang dituturkan di Malaysia juga.

Kekalahan telak bahasa Indonesia dari bahasa Melayu bisa dikatakan sebagai kecelakaan fatal. Kerja sama penyatuan bahasa Melayu dan bahasa Indonesia (Melindo) yang dirintis sejak tahun 1950-an dan hingga sekarang masih dilakukan dengan berbagai menifestasi sangat kontraproduktif. Bahkan, kerjasama ini cenderung bermotif nekolim (neo-kolonialisme dan imperialisme).

Bahasa Indonesia memang belum merdeka di mata dunia internasional. Sudah tepat ada program internasionalisasi bahasa Indonesia dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 untuk mengupayakan kampanye kemerdekaan bahasa ini di luar negeri. Sementara itu, di dalam negeri terdapat dilema, kemerdekaan bahasa Indonesia mau tidak mau harus mengendurkan semangat primordialisme. 

Di hari-hari ini pun kita hanya terjebak pada kebuntuan perang terhadap bahasa prokem. Di lain sisi, bahasa daerah membutuhkan perhatian untuk dilestarikan. Sebuah pertanyaan besar pula, benarkah kita tidak pernah benar-benar memiliki politisi kebudayaan yang handal?
 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday