Home » » Menunggu Wiro Sableng Turun Gunung

Menunggu Wiro Sableng Turun Gunung

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 02 April 2009 | April 02, 2009


Ada dua nama melegenda yang menyebabkan saya mulai mencintai buku sejak kecil. Bastian Tito dan Wiro Sableng! Anda mungkin kenal. Siapapun di Indonesia pasti tahu tentang mereka walau belum pernah baca bukunya. Sebab paling tidak pernah lihat sekilas di layar kaca atau sekedar pernah dengar namanya dibicarakan anak tetangga yang doyan cerita silat. Tapi mungkin jagad sastra telah meminggirkannya ke pojok sejarah. Kematiannya pada 2 Januari 2006 meninggalkan karya yang tak mudah dilupakan orang. Puluhan film laga yang diangkat dari karyanya pernah menghipnotis anak-anak Indonesia. Semasa kecil, saya pernah berhasil mengoleksi 74 buku Wiro Sableng. Sebuah kebiasaan waktu itu yang mengajarkan saya bagaimana cara merawat buku dan mencintainya. Batman dan Superman kalah populer dibanding Wiro Sableng di kalangan anak-anak pada masa itu.

Nama Bastian Tito terlebuh Wiro Sableng sama sekali tak tertera dalam sejarah sastra, baik dalam khasanah sastra serius maupun sastra populer dan cerita silat. Padahal, karakter Wiro Sableng sungguh populer dan mungkin menjadi karakter tokoh cerita silat yang paling banyak dikenal. Bastian menulis lebih dari 150 serial cerita Wiro Sableng. Jutaan orang Indonesia menggilainya. Bahkan nyaris seperti gilanya pecandu cerita silat terhadap Asmaraman S. Kho Ping Kho. Pencipta Wiro Sableng dan Sinto Gendeng itu layak disebut legenda cerita silat nusantara. Sebagai bacaan yang mudah dijangkau dan bisa didapat dengan harga murah pada era 90'an Wiro Sableng menjadi pemuas dahaga anak-anak pinggiran akan bacaan yang menggoda dan terjangkau.
Sangat mudah didapat di toko manapun dan murah. Wiro Sableng punya kekuatan yang memungkinkannya disukai secara luas, terutama oleh anak-anak dan remaja tanggung. Salah satunya terletak pada kekuatan humornya. Ia hadir untuk menjembatani kerinduan akan cerita silat yang bermutu sekaligus mengakomodasi hasrat remaja dan pemuda tanggung akan bacaan yang bisa memancing gelak tawa.

Karakter tokoh-tokohnya pun tidak selalu hitam putih. Di luar Wiro Sableng yang nyaris selalu lurus (walaupun bertabiat mata keranjang), tokoh-tokoh golongan putih seringkali digambarkan punya kecenderungan (sedikit) hitam. Sinto Gendeng digambarkan punya prilaku hobi membunuh musuhnya dengan amat keji, Tua Gila yang pada masa mudainya doyan meniduri perempuan, kakak beradik Dewa Sedih dan Dewa Ketawa yang mencla-mencle hingga Sabai Nan Rancak yang menjadi kompleks pribadinya karena dendam yang barlarat-larat.

Bastian Tito telah dengan jeli memunculkan tokoh-tokoh dengan karakter-karakter unik, yang keunikannya sudah terperikan dengan baik sejak dari nama dan gelar tokohnya dan terutama lewat laku tindak masing-masing tokoh. Wiro Sableng dikhaskan selalu menggaruk-garuk kepala dan cengar-cengir; Sinto Gendeng dengan bau pesing dan tiga tusuk konde yang menancap di batok kepalanya; Kakek Segala Tahu dengan mata tanpa warna hitam dan suara dari kaleng rombeng yang selalu ia jinjing, dll.

Strategi literer Bastian yang paling menonjol yaitu dalam hal waktu, baik waktu dalam sebagai setting cerita maupun dalam memersepsikan waktu. Berbeda dengan cerita-cerita Khoo Ping Hoo atau SH Mintardja yang lebih jelas setting waktunya, Bastian tak pernah secara eksplisit menyebutkan pada masa apa Wiro melanglangi rimba persilatan. Sesekali Bastian menggunakan setting waktu yang bisa dilacak (misalnya pada masa kerajaan Pajajaran dalam seri Maut Bernyanyi di Pajajaran), tetapi pembaca tetap akan kesulitan melacak karena nama Pajajaran yang disebut itu tidak mencirikan kerajaan Pajajaran-nya Prabu Siliwangi.

Ini memungkinkan Bastian lebih leluasa mengeksplorasi imajinasi. Dalam rangkaian serial Latanahsilam, Wiro Sableng dikisahkan terlempar pada masa 1200 tahun silam dari kehidupan Wiro yang sesungguhnya. Di negeri Latanahsilam itu, Wiro bertemu dengan tokoh-tokoh unik dengan ciri-ciri fisik yang juga unik. Misalnya tokoh Hantu Jati Landak yang merupakan perpaduan karakter tumbuhan (badannya mirip kayu jati yang lurus, kaku dan kokoh) dan hewan (dengan kulit dipenuhi duri mirip landak). Dua bentuk eksplorasi Bastian sukar kita temukan pada cerita silat lain.

Dalam hal pemberian waktu dan jarak, menggunakan satuan yang lebih kontekstual dengan logika cerita, seperti sepeminuman teh, sepenanakan nasi, sepelemparan tombak, sepelemparan batu, dll.

Bastian juga sering membuat seri muhibah Wiro Sableng ke luar Jawa (Sumatera, Madura, Bali) bahkan hingga ke luar negeri (Jepang dan Cina). Itu bisa kita baca pada seri Pendekar dari Gunung Fuji maupun Sepasang Manusia Bonsai. Dari sana lah saya pertama kali mengenal apa itu sake, katana, pangilan san (kakak), tatami, dll.

Ada perserawungan lintas budaya di sana. Tiap kali Wiro ber-muhibah ke luar Jawa, Bastian dengan pas tanpa berlebihan memerikan sejumlah ciri unik kebudayaan non Jawa yang didatangi Wiro, dari mulai kata-kata yang sering diucapkan, jenis senjata, alat musik hingga beberapa bentuk kesusastraannya. Salah satu bentuk “multikulturalisme” ala Bastian yang menarik bisa dibaca dalam seri Gerhana di Gajah Mungkur yang mengisahkan bagaimana semua pendekar kelas satu tanah Jawa dan Andalas (Sumatera) berkumpul dan saling membuka tabir dirinya masing-masing yang ternyata saling berhubungan satu sama lain.

Bastian ternyata juga lihai mengukur kekuatan baca para penggemarnya. Ia bisa membatasi imajinasinya sehingga tidak sampai membuat cerita Wiro Sableng terlalu panjang maupun terlampau pendek. Inilah ciri lain Bastian. Ia sangat jarang menulis lebih dari 130 halaman. Paling banyak Bastian mengakhiri kisahnya pada halaman 128. Saya mencatat Bastian hanya sekali menulis cerita Wiro Sableng hingga lebih dari 140 halaman, tepatnya 148, yaitu dalam seri Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin (itu pun bisa dimaklumi karena ada dua pribadi antagonis yang harus “dihabisi” Wiro).

Misteri Tanggal 2, Bulan 1, dan paduan 212
Paduan angka itu menjadi trade mark Wiro Sableng si Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Angka 212 dipilih dengan argumen yang cukup filosofis. Seperti yang dijelaskan dalam seri pertama Wiro Sableng (Empat Brewok dari Gua Sanggreng), 212 menunjukkan bahwa dunia ini dbangun di atas hamparan dualisme (baik-buruk, panas-dingin, air-api, bumi-langit, laki-perempuan, dll) yang kesemuanya tetap berasal dan akan kembali pada satu sumber: Tuhan yang Maha Esa.

Uniknya, Bastian Tito menjadi wafat juga pada angka dua dan satu, tepatnya pada tanggal dua bulan satu (Januari) tahun 2006. Ini sebuah kebetulan yang sungguh-sungguh pas. Bagaimana jika Bastian dipanggil pulang pada tanggal 21 bulan 2.

Lebih aneh lagi peringkat Bastian dalam indeks pengarang cerita silat maupun cerita populer, Bastian tidak masuk peringkat dua apalagi satu. Bastian Tito jauh lebih “apes” ketimbang Asmaraman Khoo Ping Hoo, misalnya. Ia tenggelam di antara tebaran nama-nama pengarang cerita silat lainnya. Dalam buku Sastra Peranakan Tionghoa yang ditulis Leo Suryadinata, lagi-lagi, nama Bastian Tito juga tak terendus jejaknya.

Om Bastian Tito, kapan turun gunung lagi? Siapa tahu di antara anda ada yang pernah jadi muridnya Bastian? Atau siapa tahu salah satu murid Wiro Sableng? Saya sangat mengharapkan anda agar segera memasuki rimba cerita persilatan. Anak-anak Indonesia sekarang membutuhkan pendekar yang bisa diadikan anutan, bukan play station. Anak-anakIndonesia menyenangi pendekar yang realistis tapi menghibur. Meski imajinatif.
Share this article :
Komentar

0 apresiator:

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday