Home » » Sastra Pop, Sebuah Persimpangan

Sastra Pop, Sebuah Persimpangan

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 14 April 2009 | April 14, 2009

Sastra begitu berarti justru ketika ia berada dalam ranah sosial dan sekaligus mampu memamah biak demi kelangsungan kehidupan sosial. Sastra ada dan menjadi ada ketika ia ditempatkan dalam sebuah ruang yang bernama sosial. Sebab proses pembelajaran dan pengajaran dapat lahir sejauh individu berinteraksi dengan individu lain. Etimologisnya, sastra tersusun dari kata “Sas” dan sebuah akhiran “tra” (Sansekerta). “Sas” berarti “mengarahkan, mengajar, atau memberi petunjuk”. Sedangkan akhiran “Tra” bermakna alat. Secara umum sastra dapat kita maknai sebagai “alat untuk belajar, buku pengajaran yang baik, atau bisa juga dimaknai sebagai buku petunjuk”.

Belum pernah ada sebuah definisi yang mampu memberikan penjelasan yang memuaskan tentang sastra atau teks sastra. Pemaknaan tentang sastra, seperti juga pemaknaan terhadap banyak hal lain, bukanlah sebuah pemaknaan yang bersifat final. atau batasan tentang “sastra atau bukan sastra” senantiasa bersifat cair dalam dalam sebuah gerak menjadi. Sastra selalu mencari bentuk, menyesuaikan dengan gejolak yang ada di masyarakat. Senantiasa ada masyarakat di mana sastra lahir. Untuk sekedar memudahkan kita dalam membuat pembedaan sederhana antara sastra dan bukan sastra, kita mungkin bisa mengutip pendapat Austin Warren dan Rene Wellek. Mereka berpendapat bahwa ciri pembeda sastra dapat kita jumpai dalam “pemakaian khusus yang dibuat terhadap bahasa” Sastra adalah “bahasa dengan ciri yang khas, khusus, unik, dan mungkin “menyimpang”, dengan kualitas tekstual yang berbeda dari penggunaan bahasa secara umum”.



Pada alam gaya hidup masyarakat pasca-industrial mereka menemukan saluran lewat budaya pop. Kebudayaan pop telah membentuk masyarakat yang tak sekedar berbasis konsumsi, tapi lahir sebagai artefak dalam pusaran produk industri. Hanya menjadi komoditas. dinamika politik dan kultur dominan. Pertumbuhan lanjutan budaya pop ikut merekonstruksi format sosial dimana gaya sangat dikultuskan dan dipuja.



Budaya Pop adalah jenis kapitalisasi nilai dan estetika. Sastra merupakan bentuk estetika, walaupun belum jelas pembedaan sastra dan bukan sastra – karena teks yang sama akan memberikan arti yang berbeda bagi orang yang berbeda – sastra juga mengikuti jaman, sehingga kapitalisme (budaya pop) dapat mempengaruhi bentuk sastra saat ini.

Siapapun sepakat sastra di Indonesia sudah mendapat pengaruh dari budaya pop. Sehingga karya-karya sastra yang ada saat ini hanya dijadikan komoditas. Menjadikan produk gaya hidup yang terus menerus akan dicari walaupun tidak subtansial dari sagi cerita. Jika dikomparatifkan dengan makna sastra itu sendiri tidak akan bertolak belakang karena teks atau sastra yang sama akan memberikan makna dengan kata lain arti yang berbeda bagi orang yang berbeda. Ini dikarenakan pula hubungan antara pembaca dan karya sastra budaya pop (populer) merupakan hubungan aktif – produktif. Makna dari suatu karya sastra tidak bisa ditentukan dari tulisan-tulisan yang ada. Orang tidak hanya menentukan karya sastra tersebut bermakna bagaimana, tetapi terlebih pada menjadikan karya sastra tersebut bermakna apa bagi kebutuhan, pengalaman, dan hasrat mereka sendiri. 

Suatu karya sastra hanya akan memberikan arti dalam konteks, pengalaman, dan situasi dari pembaca. Kita telah tahu bahwa budaya pop saat ini sedang merajalela. Istilah “gaul dan kaum muda” adalah simbol utama dari budaya pop. Maka novel yang “tak gaul” adalah bukan novel “kaum muda”, sehingga pembelinya pun dari kalangan remaja. Kemunculan fenomena novel teenlith di dunia sastra Indonesia, merupakan bentuk nyata karya sastra yang telah dipengaruhi oleh budaya pop.

Gaya bahasa yang digunakan dalam novel ini merupakan bahasa sehari-hari, tidak ada majas ataupun bahasa baku. Isi ceritanya pun tidak jauh dari kehidupan remaja, yaitu permasalahan cinta, sekolah, ataupun gaya – menjadikan novel ini sangat laris. Ini merupakan sebuah bentuk sastra yang dapat menjadi komoditas, sebuah bentuk yang lebih mementingkan permukaan dari pada subtansi. Tapi satu hal yang tidak boleh dipungkiri bahwa sastra pop adalah juga karya anak-anak bangsa yang dapat memberikan kontribusi berarti. Apapun itu. Sastra, quo vadis?

Share this article :
Komentar

0 apresiator:

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday