Latest Post

Jelang Kompetisi Teater Indonesia 2010

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 30 September 2010 | September 30, 2010


Sebulan menjelang penyelenggaraan Kompetisi Teater Indonesia 2010 (KTI 2010), panitia penyelenggara yang terdiri dari Dewan Kesenian Surabaya dan Lintas Masyarakat Teater Jawa Timur menggelar acara peluncuran sekaligus pemasangan patung WS Rendra di Taman Budaya Jawa Timur, Jalan Genteng Kali 85, Surabaya, hari ini Kamis (30/9).

Patung WS Rendra setinggi 3 meter yang dibuat oleh pematung Bambang Kuncung itu akan menjadi petanda selama ajang kompetisi berlangsung 1-8 november mendatang.

Acara peluncuran akan menghadirkan orasi budaya oleh Budayawan Akhudiat. Juga dimeriahkan dengan pertunjukan perkusi Jajan Pasar dan parade puisi WS Rendra yang dibacakan oleh seniman dan tokoh Jawa Timur.

Diana AV Sasa , Bagian Humas, mengatakan, “Para penyair dan seniman lainnya yang akan ambil bagian di antaranya adalah Sabrot D Malioboro, Pendeta Simon Filantropa, Mardi Luhung, Luhur Kayungga, Leres Budi Santoso, Maemura, Deny Aryanti, Ndindy Indijati, Gita Pratama, Niken Probo, Ribut Wijoto, Dedy Obenk, W Haryanto, dan Harwi Mardianto.”

Kompetisi Teater Indonesia yang dipersembahkan untuk WS Rendra ini adalah bentuk apresiasi terhadap kiprah Rendra dalam dunia teater sebagai tonggak teater modern di Indoenesia. WS Rendra dalam mengembangkan Bengkel Teaternya banyak mencontohkan laku dalam berteater sehingga mencerminkan kehidupan keseharian dan menjadi kerja komunal. Rendra menjadikan teater sebuah tontonan yang menjadi bagian dari kehidupan penontonnya.

Dalam kegiatan ini diharapkan komunitas-komunitas teater di Indonesia dapat saling bertukar wacana dan pengalaman. Masyarakat pun mendapat kesempatan untuk menikmai seni pertunjukan yang tidak melulu metro pop seperti yang selama ini dihadirkan media visual elektronik. Ajang ini sekaligus merupakan upaya menjejaki kembali upaya-upaya pencarian bibit baru teater Indonesia

Film Igitur: Dari Makassar Untuk Sastra

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 28 September 2010 | September 28, 2010


Film berucap melalui serangkaian sistem tanda yang bertumpuk dan kompleks, sedangkan sastra berucap dengan sistem tanda yang sangat sederhana berupa bahasa tulis. Sistem tanda pada film dan sastra memiliki kesamaan yaitu terdiri dari ikon, indeks, dan simbol.

 Lalu sebuah film untuk sastra dipersembahkan oleh sekelompok seniman dan sineas muda di Makassar. Di awal hingga akhir Oktober Laskar Kelor Production akan menggelar shooting film Igitur (The Last Days of Poetry) di Makassar. Film ini digarap secara indie dan bersifat non profit yang dibuat untuk menggerakkan kecintaan publik terhadap sastra.

Film Igitur diproduseri oleh Abdul Haris Awie dan ide cerita DR. Ahyar Anwar. Skenario ditulis oleh Anis K Al Asyari. Sutradara: Ahmad Wildan Nomeiru dibantu Co Sutradara Dahri Dahlan dan Publik Relation, penyair muda Andhika Mappasomba.

Casting pemain akan dilakukan dalam waktu dekat di kampus Sastra UNM Parangtambung, Makassar pada awal september 2010. Waktu tepatnya akan diumumkan melalui akun Facebook Andhika Mappasomba.

Take gambarnya juga akan dilaksanakan di Makassar. Kepada anda yang tertarik, dapat mengirimkan biodata/autobiografi lengkap dengan art experiencen ke akun Facebook Andhika Mappasomba. Berminat? Proyek ini adalah sebuah kerja sosial.


Pakarena dan Multi Tafsirnya

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 25 September 2010 | September 25, 2010


Sepuluh penari perempuan berpakaian baju kurung sederhana melingkar mengepung enam lelaki penabuh perkusi. Genderang bertalu sangat rampak, menjadikannya riuh dan emosional. Bukan kemarahan, tetapi justru sebuah kegembiraan.

Para penari itu tak berdendang riang, tetapi justru bergerak pelan. Walaupun ritmik musik perkusinya sangat padat, tak juga menggoda penari-penari itu menggerakkan kaki dengan lincah.

Itulah Akkarena Sombali, sebuah tari kontemporer yang berangkat dari tradisi Makassar, Sulawesi Selatan. Tarian ini diciptakan oleh koreografer Wiwiek Sipala . Tarian ini kerap menghiasi panggung-panggung seni di berbagai even nasional. Terakhir menjadi sajian pertunjukan dalam pembukaan Festival Salihara Ketiga di Komunitas Salihara, Pasar Minggu, Jakarta, Kamis malam lalu.

Sebuah paradoks. Begitulah Wiwiek menyajikan tarian yang ditafsir ulang dari Pakarena, tari ritual masyarakat Makassar sebagai rasa syukur kepada dewa. Musik yang sangat ritmis tak selalu linier dengan gerakan yang riang. Justru gerakan penari-penari itu diciptakan lebih kontemplatif. Secara visual, terkesan mencekam namun terbentur oleh musik yang sangat padat. 

Pakarena biasanya diselenggarakan 3 sampai 7 hari, yang dimulai dari sore hingga menjelang fajar. Tapi, Wiwiek memadatkannya menjadi sekitar 28 menit saja. Tentu, riset yang panjang terhadap tari ini telah ia lakukan sejak 1978. Garapannya lebih fokus menafsirkan Pakarena sebagai tarian ritual yang lebih menggambarkan syukur, doa, dan keikhlasan

Pakarena terdiri atas 12 babak. Tetapi dalam tafsir ulang ini, Wiwiek hanya memasukkan 9 babak. Selebihnya belum ia jamah dan dirasa belum perlu untuk garapan ini. Konsep geraknya sangat sederhana, tetapi justru membutuhkan penjiwaan yang matang untuk melafalkan gerakan-gerakan itu. Wiwiek selalu memaknai setiap gerakan yang ia buat. Misalnya, sikap tubuh penari yang condong ke depan dan kemudian menarik diri menjadi tegap lagi, di situ Wiwiek sedang berbicara tentang kehidupan manusia.

Wiwiek juga menafsir ulang musik yang dipakai. Dulu, mereka memakai dulang, yaitu piringan logam yang fungsinya mirip dengan kentongan. "Saya mencari warna musik yang sama, karena alat ini sekarang sudah tidak ada," katanya. Musik pengiring lebih bersifat perkusif. Hanya terompet kecil yang sesekali mengisi kalimat-kalimat melodisnya.


BBC Rayakan Shakespeare pada 2012

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 23 September 2010 | September 23, 2010


Pada tahun 2012, BBC akan merayakan karya dan warisan abadi Shakespeare sebagai bagian dari acara 2012, festival budaya terbesar yang pernah dipentaskan di Inggris.

Kehidupan dan karya William Shakespeare akan dirayakan BBC dalam berbagai acara yang disiarkan pada 2012. Acara itu akan menampilkan empat tafsir atas drama paling terkenal sang pengarang dan film dokumenter tentang kehidupan pujangga besar Inggris itu. 

Acara ini tampaknya ingin mengulang sukses adaptasi Hamlet dari BBC Two, yang dibintangi David Tennant.

"Pada 2012, bersamaan dengan acara olah raga terbesar dunia, kami akan merayakan genius dari salah satu pengarang terbesar, William Shakespeare, dalam sebuah mata acara, yang terdiri dari drama, dokumenter dan film, yang akan menggali politik Shakespeare, konteks dia menulis dan kenikmatan murni untuk sungguh-sungguh memahami tokoh-tokohnya dan penggunaan bahasanya," kata Direktur BBC Vision, Jana Bennett, dalam acara BBC's Vision Forum pada Rabu (22/9).

sumber: BBC News 
  

Nietzche Juga Penyair

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 21 September 2010 | September 21, 2010


Ungkapannya yang paling terkenal sepanjang sejarah, berbunyi, "Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya. Bagaimanakah kita, pembunuh dari semua pembunuh, menghibur diri kita sendiri? Yang paling suci dan paling perkasa dari semua yang pernah dimiliki dunia telah berdarah hingga mati di ujung pisau kita sendiri. Siapakah yang akan menyapukan darahnya dari kita? Dengan air apakah kita dapat menyucikan diri kita? Pesta-pesta penebusan apakah, permainan-permainan suci apakah yang perlu kita ciptakan? Bukankah kebesaran dari perbuatan ini terlalu besar bagi kita? Tidakkah seharusnya kita sendiri menjadi tuhan-tuhan semata-mata supaya layak akan hal itu?

Filsuf Jerman, Friedrich Nietzche (1844-1900), termasuk pemikir yang paling berpengaruh di zaman modern. Sebagai filsuf, dia sudah dikenal di berbagai negeri, termasuk Indonesia. Tapi, tahukah Anda bahwa pengarang Also Sprach Zarathustra itu juga seorang penyair?

Untuk memperkenalkan sosok Nietzche sebagai penyair, Goethe Institut menerbitkan kumpulan puisi sang filsuf dalam bahasa Indonesia, Syahwat Keabadian, yang diluncurkan di GoetheHaus, Jalan Sam Ratulangi No.9-15, Menteng, Jakarta Pusat, pada Senin (20/9) pukul 19.30 WIB.

Puisi-puisi itu diterjemahkan oleh sastrawan Indonesia, Agus R. Sarjono, dan pengamat sastra dari Universitas Bonn, Jerman, Berthold Damshäuser, untuk Seri Puisi Jerman VI. Kedua penulis sudah menyunting Seri Puisi Jerman sejak 2003 dan melahirkan buku-buku puisi terjemahan dari karya para sastrawan Jerman, yakni  Rainer Maria Rilke, Bertolt Brecht, Paul Celan, Johann Wolfgang von Goethe dan Hans Magnus Enzensberger.

Buku Nietzsche yang diterbitkan Komodo Books ini merupakan kumpulan puisi Nietzsche dalam bahasa Indonesia pertama sekaligus memperkenalkan Nietzsche sebagai seniman bahasa, yang, di samping Martin Luther dan Goethe, dianggap pembaharu bahasa Jerman yang terpenting. Buku ini memuatkan puisi-puisi Nietzsche dari semua fase kepenyairannya dan disajikan secara kronologis.Acara peluncuran dan pembacaan puisi Nietzsche ini juga digelar di berbagai kota selama 20-29 September. Berikut ini jadwalnya.

22 September 2010, 19:30 WIB
Cine Club Fakultas Bahasa & Seni Universitas Negeri Yogyakarta, Karang Malang, Yogyakarta

24 September 2010, 19:30 WIB
Toko Buku Toga Mas Petra, Jl. Pucang Anom Timur No. 5, Surabaya

27 September 2010, 19:30 WIB
Goethe-Institut Bandung, Jl. L.L.R.E. Martadinata 48, Bandung

29 September 2010, 19:30 WIB
FKIP Universitas Tirtayasa Banten, Auditorium Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Jl. Raya Jakarta Km. 4, Pakupatan, Serang, Banten

 (berbagai sumber)

Sang Pencerah

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 18 September 2010 | September 18, 2010



Sebuah gambar peta dunia dibentangkan di dinding. Di hadapan para kiai sepuh yang memandangnya sinis, pemuda 21 tahun itu dengan tegas mengatakan arah kiblat semua masjid dan langgar harus diubah. Dengan sebuah kompas, dia membuktikan arah kiblat yang selama ini diyakini ke barat ternyata bukan menghadap ke Ka’bah di Mekah, melainkan ke Afrika. “Tak perlu mengubah arah masjid, cukup menggeser posisi kiblat saja,” katanya.

Usul yang dianggap ekstrim itu membuat para kiai, termasuk penghulu Masjid Agung Kauman, Kiai Cholil Kamaludiningrat (Slamet Rahardjo), meradang. Ahmad Dahlan, anak muda yang lima tahun menimba ilmu di Kota Mekah, dianggap membangkang aturan yang sudah berjalan selama berabad-abad lampau. Apalagi bukan sekali ini Ahmad Dahlan (Lukman Sardi) membuat para kiai naik darah.

Dalam khotbah pertamanya sebagai khatib, dia menyindir kebiasaan penduduk di kampungnya, Kampung Kauman, Yogyakarta. “Dalam berdoa itu cuma ikhlas dan sabar yang dibutuhkan, tak perlu kiai, ketip, apalagi sesajen,” katanya. Walhasil, Dahlan dimusuhi. Dahlan, yang piawai bermain biola, dianggap kontroversial, bahkan disebut-sebut sebagai kiai kafir. Langgar kidul di samping rumahnya, tempat dia salat berjemaah dan mengajar mengaji, bahkan sempat hancur diamuk massa lantaran dianggap menyebarkan aliran sesat.

Meski sempat putus asa, Dahlan, yang juga dituduh sebagai kiai kejawen karena dekat dengan organisasi Boedi Oetomo, tetap pada niat awalnya: menyebarkan ajaran Islam secara benar. Islam sebagai agama yang mampu memperbaiki kesejahteraan masyarakat melalui pendidikan, rahmatan lil alamin, bukan agama mistik dan takhayul seperti anggapan kalangan Eropa dan kaum modern saat itu. Maka, bersama istri tercinta, Siti Walidah (Zaskia Adya Mecca), dan lima murid setianya, Sudja (Giring Nidji), Sangidu (Ricky Perdana), Fahrudin (Mario Irwinsyah), Hisyam (Dennis Adishwara), dan Dirjo (Abdurrahman Arif), dia membentuk organisasi Muhammadiyah pada 19 November 1912.

Itulah sepenggal kisah Ahmad Dahlan (1868-1923) yang tersaji dalam film Sang Pencerah. Film garapan sutradara Hanung Bramantyo itu membawa kita mengenal lebih dekat tokoh pendiri Muhammadiyah yang selama ini namanya lebih dikenal sebagai nama jalan semata. Selama 109 menit, kita diajak menyelami pergulatan fisik dan pemikirannya, sejak anak-anak hingga dewasa.

Dahlan muda (diperankan penyanyi jebolan Indonesian Idol, Ihsan Tarore) gundah dengan tradisi yang berlaku di kampungnya yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Dengan kenakalan khas remaja, dia kerap mencuri makanan yang diletakkan warga kampung di bawah pohon besar sebagai sesajen untuk dibagikan ke fakir miskin.

Sebagai sebuah biografi, Sang Pencerah mampu menghadirkan tontonan yang menarik. Meskipun alur cerita terkadang lambat, plot yang menarik, konflik-konflik yang dibangun sepanjang cerita, bumbu kekonyolan, serta tata musik yang digarap serius mampu membuat penonton betah di tempat duduknya. Apalagi didukung para pemain yang mampu menunjukkan akting yang cukup maksimal. Lukman Sardi mampu menghadirkan sosok Ahmad Dahlan yang karismatik. Kualitas akting maksimal juga ditunjukkan para pemain lainnya, seperti Slamet Rahardjo, termasuk Ikranegara dan Yati Surachman, yang tampil cuma sebentar.

Hanung Bramantyo, yang pernah menggarap Ayat-ayat Cinta dan Perempuan Berkalung Sorban, berhasil menghidupkan atmosfer dan lanskap Yogyakarta pada akhir 1800-an. “Kami harus membangun satu set yang menggambarkan Kota Yogyakarta pada zaman Ahmad Dahlan. Lalu bagaimana kami set Kota Yogya itu pada sekitar 1924, termasuk bangunan masjid besar,” alumnus Institut Kesenian Jakarta ini memaparkan. Selain dilakukan di Yogyakarta, syuting digelar di Museum Kereta Api Ambarawa dan kompleks Kebun Raya Bogor yang disulap menjadi Jalan Malioboro lengkap dengan Tugu Yogyakarta. Maka tak mengherankan bila dana yang dikeluarkan untuk pembuatan film ini lumayan besar, sekitar Rp 12 miliar.

Festival Layang-Layang Nasional 2010 Di Jogja

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 17 September 2010 | September 17, 2010



Saya mendadak kangen untuk kembali ke masa kanak-kanak untuk berlari mengejar layang-layang putus di tanah lapang. Serasa ingin ke Pantai Parangkusumo, Kabupaten Bantul, pada 18-19 September. Pada hari itu Dinas Pariwisata Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta bekerja sama dengan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata akan mengadakan Festival Layang-Layang Nasional 2010.

Ketua Panitia, Putu Kertayasa di Yogyakarta, mengatakan festival ini sebagai bagian untuk mempromosikan pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) di tingkat nasional. Festival Layang-Layang Nasional 2010 yang akan berlangsung di Pantai Parangkusumo tersebut juga menjadi kegiatan untuk menjaring wisatawan libur Lebaran yang tengah berkunjung di Yogyakarta. Kegiatan itu  akan diikuti beberapa peserta dari luar DIY di antaranya Batam, Jabar, Jatim, DKI,  dan beberapa peserta dari luar Jawa. Selain peserta dari lokal Yogyakarta.

Pimpinan Cipta Karisma selaku pelaksana festival, Dwi Santoso mengatakan bahwa dipastikan  29 klub pelayang tingkat nasional akan menjadi peserta dalam kegiatan festival tersebut, ditambah 14 klub pelayang lokal DIY.

Dalam festival  tersebut akan dilombakan kategori dua  dimensi, kategori tiga dimensi,  tradisional, train, rokaku Challenge dan Eksebhisi Layangan Kantong. Bagi masyarakat yang ingin mendaftar sebagai peserta masih diberi kesempatan sampai hari H pelaksanaan  festival digelar. Bagi calon peserta yang baru datang di Yogyakarta bisa langsung ikut mendaftar di Kantor Dinas Pariwisata Provinsi DIY Jalan Malioboro 56 telepon (0274) 587486.

source: AntaraNews 

Koleksi Pusaka Baru di Museum La Galigo

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 16 September 2010 | September 16, 2010


Seorang kolektor benda pusaka, Prof. Dr. Mustari Pide menyerahkan benda-benda pusaka miliknya kepada Museum Lagaligo di Benteng Rotterdam Makassar, Rabu (15/9).  Benda-benda pusaka itu diserahkan sebagai kontribusi peradaban untuk anak-anak bangsa. Sebanyak  21 koleksinya merupakan peninggalan kerajaan Bugis-Makassar dan Jawa.

Ke 21 koleksi tersebut terdiri atas lima tombak, dua kapak, satu sabit, tiga pedang, satu meriam, dua keris, satu cambuk besi, sejumlah panah dan satu meja giok. Jumlah pusaka di atas 200 buah itu merupakan peninggalan dari seluruh kerajaan di Indonesia, didominasi peninggalan kerajaan Jawa termasuk Batak dan Minangkabau.
 
Salah satu tombak besi yang diserahkan bersepuh emas dengan ukiran naga dan pegangan terbuat dari bahan gading begitu juga dengan sarungnya. Koleksi baru museum ini akan ditempatkan khusus dalam ruangan sesuai nama kolektornya sekaligus mendukung tahun kunjungan Sayang Museum pada 2011.

Sang kolektor, Prof. Dr. Mustari Pide mengatakan, koleksi benda-benda pusakanya tersebut telah dikumpulkannya sejak ia berusia muda dan diperoleh dari pemberian pemangku-pemangku adat kerajaan di Indonesia dan hasil perburuannya hingga ke luar negeri dan disimpan di Rumah Adat Saoraja di Kecamatan Batu batu Kabupaten Soppeng.

 sumber: www.rca-fm.com

Pisau Sepi

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 15 September 2010 | September 15, 2010


sepi-sepi 
sesepi sepi seluka luka
sesepi luka seluka sepi 

sepisau sepi setajam cinta
sepisau cinta setajam luka

serindu sepi sesepi rindu
setajam sepiku sepimu

(pisau sepi
semestinya tak abadi)

bulukumba, rabu 6 syawal 1431 hijriah
 

Malam Lebaran: Bulan di atas kuburan

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 09 September 2010 | September 09, 2010



MALAM LEBARAN

Bulan di atas kuburan

Karya : Sitor Situmorang

Puisi karya Sitor Situmorang di atas adalah puisi pendek yang benar-benar pendek dan paling banyak diperdebatkan maknanya oleh para penikmat sastra. Puisi Malam Lebaran tercipta saat Sitor melintas di sebuah kuburan sunyi.

Diksi malam lebaran, bulan dan di atas kuburan,  di malam lebaran ada bulan di atas kuburan. Memang di malam lebaran 1 syawal tidak ada bulan yang muncul, tetapi itulah keahlian dari penyair Sitor ini yang membuat orang bisa bermacam-macam penafsirannya. Makna dari puisi ini lebih mengarah pada kehidupan sosial bermasyarakat sesuai tema yang ingin disampaikan oleh penulis yaitu rasa kemanusiaan.

Kata “bulan” dalam puisi di atas adalah bulan di malam lebaran. Lebaran adalah hari kemenangan setelah latihan sebulan penuh menahan hawa nafsu dalam bulan ramadhan yang memang telah disediakan Allah SWT. Lebaran bisa jadi adalah juga kekalahan; kekalahan bagi yang tak berhasil meningkatkan kualitas fitrah kemanusiaannya, juga kekalahan bagi yang tidak bisa"mudik" ke kampung spiritual-religiusitas.


 Selamat Hari Raya Idul Fitri 1431 Hijriah
Minal Aidin Wal Faidzin
Mohon Maaf Lahir dan Bathin


Di Bawah Postingan Rasaku Yang Terbaru

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 07 September 2010 | September 07, 2010


-prosa kecil buat gadis "i"

Masih ingatkah kau tentang sebuah template cantik yang kita unggah ke dalam hati pada blogwalking panjang mimpi-mimpi yang enggan berhenti? Pada mulanya mungkin hanya sebuah akun blogspot yang biasa dengan security sistem yang tak begitu kokoh.

"Aku terlalu bingung dengan kode-kode html dan javascript dalam kolom waktu yang telah diberikan Tuhan, sayang!" katamu dari balik widget-widget yang kau tanam sendiri di pekarangan tubuhmu. Aah, hanya sebuah header yang masih memerlukan sedikit sentuhan photoshop di sela-sela perjalanan panjang ini, pikirku.

"Bagaimana dengan SEO? Link-link mana saja yang mudah membuatmu terindeks di hari depan? Lantas bagaimana cinta ini dengan PageRank yang seadanya?" katamu lagi. Tapi lagi-lagi sengaja kau meninggalkan komentar tanpa URL di bawah postingan rasaku yang terbaru.

Berikan saja kepada browser yang telah kita sepakati untuk memulainya pada awal dahulu. Ataukah kepada dekstop yang kusam? Mungkin. Tapi maaf, aku terlanjur menyayangimu. Terlanjur mengabarkan rasaku melalui social bookmark itu. Entah mengapa.



Bulukumba, 28 Ramadhan 1431 Hijriah.


Para Penulis Besar Indonesia akan Diberi Penghargaan dalam Ubud Writers and Readers Festival

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 05 September 2010 | September 05, 2010


Para penulis besar dari Indonesia diberikan penghargaan "Lifetime Achievement Award" dalam hajatan bertajuk Citibank-Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) pada 6 sampai 10 Oktober 2010 mendatang. "Hal yang baru ditawarkan dalam festival yang memasuki usia ke tujuh itu adalah memberikan penghargaan "Lifetime Achievement Award kepada satu penulis besar di Indonesia," kata Direktur Festival Ubud Writers & Readers Festival, Janet De Neefe, dalam keterangan persnya di Indus Restauran jalan raya Campuhan, Kelurahan Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali.

Selain memberikan penghargaan, kata Janet, dalam hajatan yang digelar setiap tahun itu akan diadakan diskusi khusus membahas tentang sastra lisan. "Tak ketinggalan juga usai 'opening ceremony', akan ada Tribute to Gus Dur," katanya.

Setelah itu, ujar Jannet akan ada pula pembacaan sastra serta pementasan drama Tari Sutasoma oleh Cok Sawitri. "Selain itu akan ditampilkan pula tukar pengalaman serta kisah ratusan penulis dunia," ujarnya.

Selain memaparkan soal hal yang baru pada hajatan UWRF 2010 itu, kata Janet, juga diselenggarakan acara 'launching' perubahan wajah Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) menjadi Citibank-Ubud Writers & Readers Festival 2010. "Perubahan tersebut sekaligus menandai kerjasama antara Citibank dengan UWRF hingga tiga tahun mendatang," kata Ketua Yayasan Mudra Swari Saraswati, I Ketut Suardana.

(berbagai sumber)

Jalan Menuju-Mu Adalah Ketika Aku Sesekali Sengaja Mampir Istirahat dan Bahkan Sengaja Berlama-lama Tidak Memasuki Rumah-Mu

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 03 September 2010 | September 03, 2010


ah. cinta yang sedikit dan merasa berhasil memenuhinya adalah ketika aku telah mengaku berhasil menemuimu dalam ukuran hitungan semesta. 


padahal belum menjadi takbir, tasbih dan tahmid para malaikat langit pertama hingga langit ketujuh.


jalan menujumu adalah ketika aku sesekali sengaja mampir istirahat dan bahkan sengaja berlama-lama tidak memasuki rumah-mu.


cinta yang sedikit dan hanya menghapalkan kalimat-kalimat.




surau kecil di kaki bukit, 24 ramadhan 1431 hijriah 

Mental Gerilya

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 02 September 2010 | September 02, 2010



Mental birokrasi yang korup meninggalkan kotoran sosial di mana-mana. Salah satu ironi itu dapat terlihat jelas dalam lukisan-lukisan karya perupa Stefan Buana, 39 tahun, yang dipamerkan di Tony Raka Art Gallery, Ubud, Gianyar, Bali, hingga 17 September mendatang. Pameran bertajuk Mental Gerilya tersebut digelar atas kerja sama Tony Raka dengan Tembi Contemporary Jogjakarta. 

Uniknya, Stefan menggunakan bahan-bahan nonkonvensional, seperti asap lilin, lempengan besi berkarat, arang, paku, campuran serbuk kayu, dan benang, di atas kanvas. Uniknya, Stefan tak segan merobek, memaku, dan melubangi kanvas lukisannya bila cara itu dianggapnya yang paling pas untuk mewakili  hatinya.

Siluet hitam menimpa semak belukar. Sepintas, siluet itu hanya merupakan bayangan seorang tentara yang tengah mengendap-endap dalam sebuah peperangan. Tapi, bila diamati lebih jauh, bayangan dalam lukisan bertajuk Mental Gerilya itu tak sekadar mengajak penikmatnya bernostalgia dengan masa revolusi. Lukisan itu hendak menyatakan saat ini kita juga harus memiliki mental yang sama seperti para gerilyawan itu, karena kita berhadapan dengan belukar persaingan dan ketidakpastian.

Semangat baja para gerilyawan juga tegas tersirat dalam seri 12 lukisan wajah berjudul Rakyatku Bermental Gerilya. Meski bersifat karikatural, wajah-wajah yang diklaim mewakili rakyat Indonesia itu menyiratkan kegigihan, keberanian, dan kekayaan strategi untuk bertahan hidup. Beberapa di antaranya tampak berlagak seperti badut atau dengan muka yang dipenuhi gincu.
 
Stefan juga membebaskan dirinya dari satu gaya melukisnya. Selain bergaya figuratif, karikatural, dan sebagian lagi vulgar, ia memainkan gaya surealistik. Itu tampak dalam karya Unknown Warrior, ketika ia meletakkan dua jejak kaki--satu kaki bersepatu dan satu lainnya tidak--di hamparan padang pasir serta sepucuk senjata di sudut yang lain. Ada juga karya yang hanya menampilkan sebuah ruang dengan anasir lipatan-lipatan kertas bertajuk Ranah Hukumku yang Kini Gamang.

(berbagai sumber)

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday