Latest Post

Jejak-jejak senyap memukau dalam "Something In Bulukumba"

Posted By Alfian Nawawi on Kamis, 22 November 2012 | November 22, 2012



Resensi:

Judul Buku  : “Something In Bulukumba”
Penulis        : Anis Kurniawan
Penerbit      : P3i Press
Cetakan      : Pertama
Tahun          : 2012
Tebal           : 105 halaman


Kampung halaman yang eksotik bernama Bulukumba itu terletak di ujung  selatan Propinsi Sulawesi Selatan. Sejak dulu terkenal dengan industri perahu Phinisi, legenda hidup Suku Ammatowa di Kajang yang berpakaian serba hitam dan pasir putih Bira yang menawan. Terletak pada kondisi empat dimensi yakni dataran tinggi kaki Gunung Bawakaraeng dan Gunung Lompobattang, dataran rendah, pantai dan laut lepas menjadikan Bulukumba sebagai tempat mengasyikkan untuk jappa-jappa (jalan-jalan dalam bahasa Bugis) menelusuri kekhasan alam, perangai, local genius dan lekuk liuk sejarahnya.

Ilustrasi
Dalam buku ”Something In Bulukumba” yang ditulis oleh Anis Kurniawan  tertuang perihal berbagai sudut di Bulukumba yang ternyata selama ini merupakan kekayaan yang ‘terbenam’ dan belum pernah sebelumnya terekspose ke hadapan publik. Intelektual muda, cerpenis dan novelis alumnus S1 Fakultas Sastra UNM Makassar dan S2 Ilmu Komunikasi Politik UGM Jogjakarta ini berhasil memberitahu banyak orang melalui caranya ‘memotret’ Bulukumba pada banyak sisi yang selama ini tersembunyi.

Ditulis dengan bahasa ringan, menukik ke kumparan jurnalisme sastra, lebih tepatnya disebut begitu namun juga terjebak citizen reporter, perjalanannya menjelajah kampung-kampung di Bulukumba membangkitkan rasa  penasaran  untuk menerjemahkan makna-makna di balik suatu realitas, objek wisata atau situs budaya yang dia jelajahi. Seperti jejak-jejak senyap  yang entah apa tapi memukau.

Kemungkinan yang paling masuk akal,  buku ini pada mulanya terdiri dari catatan singkat atas pengalaman pribadi penulisnya. Prosesnya bisa dimulai ketika mengunjungi suatu tempat kemudian terkumpul beberapa tulisan lainnya yang juga meneropong sisi-sisi terdalam berbagai objek untuk ‘dipotret’ tanpa beban metodologi tertentu. Rentetan perjalanan memukau dalam buku ini sebenarnya bukan catatan sejarah yang detail, komprehensif terlebih lagi penelitian ilmiah yang teoritik dan komplit.

Objek-objek yang diangkat dalam  buku ini kebanyakan berada di pelosok-pelosok desa bahkan sebagian termasuk teralienasi. Rasanya agak sulit membayangkan betapa otentitas suatu situs budaya, cerita, jejak tokoh masih tersimpan di ingatan warga sekitarnya. Lalu itu semua dipaparkan dengan gaya citizen reporter bahkan jurnalisme sastra.

Anis tidak memakai metodologi penelitian tertentu, tidak pula bertendensi memecahkan masalah tertentu secara kompleks dan analitik. Justru dengan santai penulis menghindar dari klaim sebagai peneliti, lalu lebih memilih cara penulisan dan penelusuran fakta-fakta secara bebas dan lepas. Tendensi terhadap fenomena atau objek yang dituliskan murni untuk sekedar membeberkan pengalaman personal atas apa yangdia tangkap secara subjektif. Bisa jadi kumpulan tulisan perjalanan ini merupakan provokasi atau inspirasi atas kenyataan terdekat yang luput dari pengamatan di sekitar kita.

Sebagian besar catatan di buku ini merupakan potensi-potensi pariwisata yang seharusnya bisa dimaksimalkan menjadi potensi ekonomi. Bisa ditengok pada bab di mana penulis melanglang buana ke sepotong surga di Bulukumba bernama danau kahayya. Potensi eco-wisata di kahayya akan mengundang perhatian banyak wisatawan di tengah kerinduan dan minat tinggi masyarakat terhadap wisata alam. Lalu menyusuri Pantai lemo-lemo, salah satu alternatif wisata pantai yang belum dibenahi secara maksimal. Pantai yang di sekitarnya ada Taman Hutan Raya (Tahura) ini oleh sebagian besar masyarakat Bulukumba sendiri belum terlampau dikenal. Padahal pantai ini berpotensi menjelma menjadi wisata pantai terpadu yang mendatangkan pendapatan bagi daerah.

Yang juga sangat menarik, penulis buku ini juga memaparkan tentang sebuah radio legendaris di Bulukumba, Radio Cempaka Asri (RCA) 102,5 FM. Radio yang eksis hingga kini sebagai radio yang sangat merakyat dinilai menginspirasi masyarakat Bulukumba selama ini. Sejak berpuluh tahun silam masyarakat Bulukumba bahkan di selatan-selatan Sulawesi Selatan diperdengarkan dengan siaran-siaran berkualitas dan sehat.Terbetik pemahaman bahwa kebutuhan akan media lokal yang kental akan semangat local genius dan nilai-nilai kebangsaan selalu didambakan publik.

Begitupun dengan sisi-sisi humanis dalam masyarakat yang mengalami pengalaman akulturasi turun temurun pada masyarakat Mandar dan Konjo di Turungan Beru. Atau kedekatan emosional masyarakat Bone dan pribumi Ulutedong di Desa Garanta Kecamatan Ujung Loe. Atau cerita tentang masuknya tentara di Sampeang desa Swatani yang melahirkan banyak cerita-cerita menarik tentang pasar dan sebuah desa yang dihuni banyak pensiunan tentara.

Kelihatannya penulis memang sengaja tidak berminat mengeksplorasi sisi-sisi pariwisata secara lengkap di Bulukumba, terutama informasi tentang tempat-tempat wisata yang sudah ternama. Buku ini hanya ingin mengatakan bahwa Bulukumba sebenarnya tidak hanya memiliki Pantai Bira yang eksotik dengan pasir putihnya yang menawan. Inilah sebuah kabupaten yang kaya akan potensi pariwisata dan memiliki kekhasan tersendiri dalam dinamika sosialnya. Sebagai kabupaten dengan pantai terpanjang di Sulsel, potensi wisata pantai di Bulukumba memiliki banyak pilihan selain Pantai Bira yang sudah mendunia antara lain; pantai Panrang Lahu, Pantai Marumasa, Pantai Mandala Ria, Pantai Kasuso, Samboang dan juga Lemo-Lemo. Sebagian dari pantai ini hanya dikembangkan secara alami tanpa perencanaan wisata yang maksimal.

Bulukumba juga memiliki potensi wisata alam sangat variatif antara lain; air terjun Bravo, permandian alam limbuaq Hila-Hila, gua Malukua, gua Passea, gua Pasohara, puncak Pua Janggo dan Kahayya sendiri. Termasuk potensi wisata agro seperti; perkebunan karet dan agro wisata tambak.

Sayangnya memang dari potensi yang demikian besar itu, perhatian dan political will dari pihak pemerintah untuk mengembangkannya sebesar-besarnya demi kesejahteraan masyarakat belum sepenuhnya terlihat. Masyarakat yang bermukim di sekitar pantai Lemo-Lemo bisa menjadi contoh betapa keinginan mereka untuk hidup lebih baik belum kesampaian, meski mereka hidup di sekitar pantai yang istimewa.

Buku ini akan membuka mata hati kita bahwa rupanya ada begitu banyak hal yang tiada ternilai harganya di sekitar kita. Keunikan dan kekayaan yang ada itu harusnya memang dijaga bahkan dikembangkan. Dan yang paling penting adalah memperluas informasinya ke luar bahkan ke dunia internasional agar ada keinginan bagi orang lain untuk berkunjung ke Bulukumba.

Penulis tidak sempat mengangkat semua sisi menarik yang jumlahnya memang cukup banyak di tiap kecamatan di Bulukumba. Tetapi dengan alasan tertentu tetap berusaha untuk merepresentasikan seluruh catatan dari keberadaan sepuluh kecamatan di Bulukumba. Di kecamatan Rilau-Ale misalnya tertuang cerita tentang pasar tantara’ dan penyebaran agama Islam yang pertama kali di Bulukumba Bahagian Barat.
Khusus kecamatan Bulukumpa pembaca bisa menelusuri tradisi berdemokrasi di batu tujua serta kepercayaan masyarakat terhadap bukit karaeng-puang, serta potensi wisata di Balantaroang. Ketiganya merupakan tempat yang menarik namun luput dari pantauan banyak orang.

Di Kecamatan Kajang, kita akan terkesima dengan tradisi pengambilan keputusan dalam konflik sosial di kawasan Adat Kajang serta saksi bisu jembatan gantung Raowe yang hingga kini belum direhabilitasi meski usianya sudah dua dekade. Selain pantai Lemo-Lemo yang berada di kecamatan Bontotiro, penulis juga menulis catatan kecil tentang mesjid tertua yang diinisiasi oleh Dato Tiro’ sejak abad 17 silam.

Eksotisme Bunga Santigi di Bira  sengaja juga  diangkat karena kekhasan bunga ini. Bunga Santigi harganya sangat mahal dan bernilai ekspor, sayangnya belum ada akses informasi secara luas tentang keberadaan bunga tersebut.

Masih terlampau banyak yang nampaknya memang sengaja belum ditulis di buku ini. Ada banyak cerita dan perihal di Bulukumba  yang semestinya ‘mencubit-cubit’ perhatian. Puluhan objek-objek menarik di Bulukumba yang suatu saat harus terdokumentasi semuanya: tentang cerita di balik penamaan desa-desa, cerita di balik sungai-sungai bahkan cerita tentang sejumlah situs penting di Bulukumba antara lain; Makam Tonrang Gowa, Makam Matinroe Ri Puranga, Makam Maddikae Ri Barabba, Kompleks Makam Raja-Raja Gowa Ri Campagaya, Leang Passea, Leang Lajaya, Tempat Persemedian Puang Janggo, Kompleks Makam Sengngeng Lampe Uttu, Makam Lambere Dodoa, Situs Pra Sejarah Sapa Bessi, Makam Karaeng Sapohatu, Makam Massarussung Dg. Palinge, Kompleks Makam Boto Dg. Pabeta, Kompleks Makam Sugi Dg. Manontong, Kompleks Makam Possi Tana, dan banyak lagi situs penting lainnya. Inilah kekayaan lokal genius yang memukau dan tersembunyi. (*)

Selalu Ada Ternyata Yang Tak Sepagi Kita Tunggu

Posted By Alfian Nawawi on Minggu, 21 Oktober 2012 | Oktober 21, 2012

- buat  bi

menyanyikanmu atau menuliskanmu dalam bentuk huruf-huruf kecil,
bacalah: "tibalah waktunya kau menerjemahkanku."

seperti kelopak bunga, teh manis, pena dan kisah-kisah yang mencintaimu
 sebagai ribuan paragraf yang tanpa henti mengepung 
seperti itu, titik. tapi tetap menulis koma


pada deru - deru atau matahari yang telat menyambangi kamar berdua
selalu ada ternyata yang tak sepagi kita tunggu.

bulukumba, 20 oktober 2012.

‘Bumi Manusia’ Pramoedya di Festival Sastra Ubud

Posted By Alfian Nawawi on Rabu, 03 Oktober 2012 | Oktober 03, 2012


Karya besar Pramoedya Ananta Toer "Bumi Manusia" kembali digagas untuk dibahas oleh para sastrawan. Puluhan penulis dan budayawan akan mengapresiasi karya besar Pramoedya itu dalam sebuah festival sastra di kawasan wisata Ubud, Gianyar, Bali.  Festival sastra bertajuk Ubud Writers and Readers Festival kembali digelar sejak Rabu (3/10/2012). 

Festival Sastra di Ubud ini digelar di beberapa venue terpisah, di antaranya di Museum Neka, Indus, Left Bank Lounge, dan Rumah Baca serta Museum Puri Lukisan Ubud. Demikian melalui siaran pers, dikutip dari kompas.com. 

Festival ini juga menghadirkan penulis muda dari pelosok Nusantara untuk bergabung dengan penulis ternama dari Indonesia dan dunia internasional dari 30 negara. 


Selain malam apresiasi karya sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, festival sastra yang dibuka resmi pada Kamis (4/10/2012) dan berlangsung sampai akhir pekan ini juga diisi dengan sejumlah kegiatan, di antaranya diskusi dan pemutaran film. (*)

Lontara Rindu: Lazim dan Berani

Posted By Alfian Nawawi on Senin, 03 September 2012 | September 03, 2012

Sebahagian teman yang pernah membacanya mengatakan, novel ini genit dan memukau. Sebenarnya Novel "Lontara Rindu" karya S. Gegge Mappangewa ini sepintas biasa saja. Bahkan cenderung mengikuti gaya novel sebelum-sebelumnya yang mengambil setting lokasi daerah di Indonesia. 

Panorama sejarah dan lukisan palung-palung budayanya adalah asal mula adat istiadat Bugis terbentuk dan terbukukan dalam lontara. Genit dan memukau yang dihadirkan dalam bentuk kisah abadi Nenek Mallomo, sehingga menjadi adat yang dipatuhi oleh banyak generasinya sampai saat ini.

Setting lokasinya adalah tanah Bugis, Sulawesi Selatan. Hal itu terjadi mengingat wilayah Indonesia yang memiliki ragam budaya yang berbeda tetapi ada kemiripan di berbagai sisi. Keistimewaan novel baru terasa setelah memasuki bagian dua pertiga novel hingga tamat.

Lontara Rindu
Tanah Adat Bugis yang menjadi setting lokasi novel ini merupakan kontribusi khususi bagi dahaga primordialisme Bugis. Di sisi lain bisa jadi merupakan setitik pencerah bagi 'gurun gersang' penulis-penulis Sulawesi Selatan.

Yang termasuk biasa tentunya, novel ini juga menampilkan 
setting psikologis yang menggambarkan pergumulan batin para tokohnya.

Seperti biasa tokoh-tokohnya tidak digambarkan secara utuh, di mana seseorang yang baik akan terus baik dari awal sampai akhir, tetapi digambarkan hitam-putih, bahkan abu-abu. Ilham yang dulunya pengecut, di akhir hayatnya digambarkan menjadi orang baik dan menyesali perbuatannya masa lalu. Pak Japareng yang dulunya baik, berulah ingin menjadi penjual ballo’ (tuak) karena tergiur uang yang banyak. Halimah yang dulunya taat orang tua, digambarkan membangkang, dan kembali menjadi muslim yang baik lagi. Vito yang aslinya baik, penyayang orang tua, tetapi karena sedang galau, dia banyak berulah dan sering berdusta.

Sebagai novel yang lazim, sangat biasa. Sebagai 'keberanian' maka S.Egge Mappangewa sangat istimewa dan berhasil memaparkan Bugis yang cukup rumit. Luar biasa, novel ini laku keras di Makassar. (*)



Sastra Islam dan Gejala Kita

Posted By Alfian Nawawi on Sabtu, 28 Juli 2012 | Juli 28, 2012


Sejujurnya saya tidak punya otoritas berbicara tentang Sastra Islam. Terlebih lagi ketika lebih jauh Sastra Islam harus dibawa ke meja polemik yang menggugat eksistensi bahkan keabsahannya yang terlanjur hadir di tengah masyarakat (yang sekuler). Namun dengan referensi beberapa ahli paling tidak kita bisa mencoba memahami Sastra islam. 

Ilustrasi Karya Sastra Islam
Sastra dalam Islam disebut dengan adab. Dalam keseharian, kita bisa menyebutnya sebagai kesopanan, kesantunan, atau dengan istilah kelembutan kata. Sebuah keniscayaan jika menilai sikap dan tingkah laku seseorang kita harus melihatnya dengan adab. Baik dengan melihat kesopanannya, kesantunannya, atau dengan kelembutan tutur katanya saat bicara. 

Menurut Shauqi Dhaif, adab (sastra) adalah karya yang dapat membentuk ke arah kesempurnaan kemanusiaan, yang di dalamnya terkandung ciri estetika dan kebenaran. Dalam Islam, sastra haruslah mendorong hasrat masyarakat untuk menjadi pembaca yang baik. Masyarakatlah yang menjadi target utama pemahaman kesusastraan. Jadi sastra Islam lebih mengarah pada pembentukan jiwa.

Sedangkan definisi seni dan sastra Islam menurut Said Hawa dalam bukunya Al Islam, adalah seni/sastra yang berlandaskan kepada akhlak Islam. Senada dengan Said Hawa, menurut Ismail Raja Al Faruqi, seni Islam adalah seni infiniti (seni ketakterhinggaan), di mana semua bentuk kesenian diakomodir pada keyakinan akan Allah. Ia juga menyatakan bahwa ekspresi dan ajaran Alquran merupakan bahan materi terpenting bagi ikonografi seni/sastra Islam. Dengan demikian seni Islam dapat dikatakan sebagai seni Qurani atau seni Rabbani.

Lalu siapakah para penikmat Sastra Islam? Dalam menelusuri ranah ini kita jauh lebih gelap lagi. Tapi sebagai acuan, untuk menelisik wilayah penikmat Sastra Islam maka kita wajib memahami esensi adab dalam konsep Islam.  Penikmat dan Pembaca berada di dua ranah yang berbeda. Adab individu menentukan apresiasi kita terhadap Sastra Islam. Demikian halnya jika dikaitkan dengan Sastra Non-Islam. 


Serupa

Posted By Alfian Nawawi on Kamis, 07 Juni 2012 | Juni 07, 2012


Berkebun lagi seusai menemani hujan.
"Matahari bertumbuhan
di bawah jendela rumah kita,” katamu, kicau-kicau
setiap hari.
“Ya, semestinya selalu begitu,” ujarku, letup-letup 
dari secangkir teh manis yang diletakkan hatimu setiap pagi.
Sementara itu barisan pohon-pohon gegas berpelukan. Serupa meminjam wajah dan tanganmu menyelinap lalu membangunkan aku tepat azan shubuh.
Serupa obrolan tentang sungai, dangau, prosa, musik, lukisan, buku, teater dan sungai lagi, prosa lagi.
"Kita serupa buah manggis dan pala," kataku, deru-deru.

Bulukumba, 2012

Penghargaan Kepada Tubuh, Hari Tari Sedunia di Makassar

Posted By Alfian Nawawi on Selasa, 24 April 2012 | April 24, 2012


Penghargaan Kepada Tubuh, itulah tema dari Hari Tari Sedunia yang kembali diperingati di Makassar, Minggu 29 April 2012. Sebagaimana tahun lalu, peringatan akan dipusatkan di pelataran kantor Tribun Timur di Jl Cenderawasih No 430 Makassar.

Ilustrasi
Salah satu konsep acara ini, ratusan peserta akan ikut menari dengan tema Penghargaan Kepada Tubuh. Pesertanya berasal dari berbagai etnis dan suku serta berbagai komunitas seni yang ada di Makassar dan Palopo.

Seperti dikutip dari makassar.tribunnews.com,
penggagas acara ini, Dr Halilintar mengatakan, puluhan mahasiswa asing yang berlatarbelakang pendidikan musik juga akan hadir mengekpresikan diri di acara ini. Puluhan mahasiswa asing dari berbagai negara itu kebetulan sekarang sedang berada di Makassar.

Seorang panitia lainnya, Asia Ramprapanca, menjelaskan, Peringatan Hari Tari Sedunia kali ini di Makassar semakin menginternasioal karena diikuti puluhan mahasiswa asing dari berbagai negara. Karenanya acara ini benar benar akan dikemas sedemikian rupa sehingga meninggalkan kesan mendalam dari para mahasiswa asng itu.

Masyarakat umum juga dipersilakan mengikuti acara ini karena tidak membatasi hanya para seniman atau para penari. Masyarakat umum boleh mengikuti acara ini untuk melakukan tari apa saja.(*)

Bahaya Laten Aslan Abidin

Posted By Alfian Nawawi on Minggu, 01 April 2012 | April 01, 2012

Penyair asal Kota Kalong Soppeng Sulawesi Selatan, Aslan Abidin mewakili Makassar dalam pementasan baca puisi bersama puluhan penyair dari berbagai negara di dunia dan berbagai kota di Indonesia. Mereka  tergabung dalam Forum Penyair Internasional Indonesia (FPII).

Kegiatan seni ini berlangsung hingga 12 April 2012. Sebanyak 17 penyair dari berbagai negara serta 10 dari dalam negeri pada tanggal 1-3 April 2012 berada di Magelang, 4-6 April di Pekalongan, 7-9 April di Malang, dan 10-12 April di Surabaya.

Aslan Abidin memiliki buku antologi puisi perdana yang terkenal berjudul  "Bahaya Laten Malam Pengantin" yang diterbitkan oleh Ininnawa, 2008. Saat itu agak terasa aneh bagi kalangan penyair dan kritikus, sebab 79 sajak yang ada dalam buku tersebut ditulis dalam rentang waktu tiga belas tahun, dari 1993 hingga 2006 saja. Tapi Ahyar Anwar, Doktor Sosiologi Sastra UGM mengatakan, Aslan Abidin adalah satu dari sedikit penyair Sulawesi Selatan yang mendapatkan tempat terhormat dalam jagad sastra nasional hanya dengan dua-tiga sajak. 
Penyair yang masuk dalam angkatan abad 21 ini memiliki karakter karya yang khas di antara penyair-penyair Sulawesi-Selatan. Kekhasan itu muncul pada sajak-sajaknya yang kerap kali menggunakan ‘tubuh’ sebagai latar. Lihat saja salah satu puisinya:Polispermigate

perempuan jalang bertubuh pualam
pada simpang jalan itu menyimpan
bejana di tubuhnya. ia menjadi tempat minum
para lelaki pejabat yang datang
menghabiskan uang hasil rampokan
perempuan jalang di simpang jalan,
entah mengapa aku suka mengkhayalkan
diriku tersesat di kamarmu.
dan sebagai bentara para penjahat,
kau kisahkan padaku seluruh
riwayat dari negeri subur para perarmpok
“aku seperti nawang wulan dan
mereka adalah beruang yang rakus mengisap
madu tubuhku. mereka takut aku
menemukan baju dan segera
menguap ke udara.” tapi nawang wulan, aku juga
suka membayangkan kau membuka
celana untukku. dan mungkin aku
akan terkesiap menatap kemaluanmu yang mangap
seperti polisi yang siap menerima suap.

Sebuah puisi yang erotis tapi begitu rapi dalam penyampaian realitas sosial.


Para penyair yang ikut bergabung dalam acara
Forum Penyair Internasional Indonesia antara lain Ulrike Draesner, Michael Augustin, Arne Pautenberg (Jerman), Sujata Bhatt (India), Charl Piere Naude, Vonani Bila, Rustum Kozain, Mbali Bloom (Afrika Selatan), Chirikure (Zimbabwe), Hans van de waarsenburg, Hagar Peeters (Belanda), Adam Wiedewitsch (USA), Martin Glaz Serup (Denmark), Gerdur Kristny (Islandia), Sarah Holland Batt (Australia), Courtney Sina Meredith (SelandiaBaru), Nikola Madzirov (Makedonia).

Sedangkan penyair dari Indonesia antaralain Samargantang (Bali),D Zawawi Imron (Madura), Fikar W Eda (Bekasi), Gracia Asri (Paris), Ribut Wiyoto (Surabaya), Hamdy Salad (Yogyakarta), Kusprihyanto Namma (Ngawi), Ari MP Tamba (Jakarta), KH Mustofa Bisri atau Gus Mus (Rembang).

Lalu penyair yang membaca puisi di Pekalongan yaitu Stephanie Mamonto (Jakarta), Ragil Supriyatno Samid (Malang), Mikael Johani (Tangerang), Ratry Nindia (Depok), Wowok Hesti Prabowo (Tangerang).

Kemudian yang membacakan di Malang yaitu F Azis Manna (Surabaya), Y Thendra BP (Yogyakarta), Hasta Indriyana (Yogyakarta), W Haryanto, Mahendra, Nanang Suryadi (Malang). Dan pembaca puisi di Surabaya yaitu Aslan Abidin (Makasar), Ratna Ayu Budiarti (Bali), Anis Sayidah (Bandung), John Waromi (Papua), Akhudiat (Surabaya). 
(*)

Kembali Turun Gunung

Posted By Alfian Nawawi on Rabu, 07 Maret 2012 | Maret 07, 2012

Apa kabar sahabat-sahabat blogger? Lama juga ya rasanya saya mengalami hibernasi. Selama satu tahun lebih! Beberapa weblog terbengkalai terutama ivankavalera.com.

Kerinduan untuk mengupdate blog kian membuncah sejak pasca pernikahan saya pada 14 November 2011. Sempat juga saya update beberapa kali namun bisa dihitung dengan jari.


Kesibukan di dunia nyata benar-benar menyita waktu. Sementara kesibukan di dunia maya paling ketika mengkoordinir teman-teman di portal www.rca-fm.com sebagai underbow dari program news di radio, salah satu pekerjaan saya. Selebihnya paling cuma muncul di jejaring sosial seperti facebook dan Twitter.

Alhamdulillah. Allah SWT masih memberikan kepada saya waktu yang sangat berharga. Meski saya  sangat sadar, intensitas blogging saya di tahun 2012 ini kemungkinan besar tidak sama seperti tahun-tahun kemarin.


Tapi apapun itu, tidak ada yang abadi. Termasuk hibernasi. Insya Allah, saya kembali turun gunung. Kembali meramaikan dunia persilatan...eeeh salah..dunia blogging, maksudnya..hehehe...!(*)

Buya Hamka, monument tak terbantahkan

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 15 Januari 2012 | Januari 15, 2012



Ivankavalera.com rasanya tidak akan lengkap tanpa mengulas sedikit tentang tokoh sastra kita yang satu ini. Karya-karyanya yang masih terus menjadi inspirasi banyak generasi sesudahnya menjadi monument tak terbantahkan di jagad sastra tanah air.



Buya  Hamka
Di masa kecil Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau selama dua tahun. Ketika usianya 10 tahun, ayahnya mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka kemudian mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Melalui sebuah perpustakaan yang dimiliki oleh salah seorang gurunya, Engku Dt. Sinaro, bersama dengan Engku Zainuddin, Hamka diizinkan untuk membaca buku-buku yang ada diperpustakaan tersebut, baik buku agama maupun sastra.



Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan Hamka, yakni singkatan namanya, (lahir di Maninjau, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun) adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, ahli filsafat, dan aktivis politik. Hamka diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan Keppres No. 113/TK/Tahun 2011 pada tanggal 9 November 2011



Hamka juga seorang wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, ia menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, ia menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.



Hamka belajar secara otodidak untuk bidang filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti.



Pada tahun 1928, Hamka menulis buku romannya yang pertama dalam bahasa Minang dengan judul si Sabariah. Kemudian, ia juga menulis buku-buku lain, baik yang berbentuk roman, sejarah, biografi dan otobiografi, sosial kemasyarakatan, pemikiran dan pendidikan, teologi, tasawuf, tafsir, dan fiqih. Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir al-Azhar. Di antara novel-novelnya seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan Merantau ke Deli juga menjadi perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura. Beberapa penghargaan dan anugerah juga ia terima, baik peringkat nasional maupun internasional.



Pada tahun 1959, Hamka mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar, Cairo atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama Islam dengan menggunakan bahasa Melayu. Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia memperoleh gelar kehormatan tersebut dari Universitas Nasional Malaysia pada bidang kesusasteraan, serta gelar Profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo. Hamka wafat pada 24 Juli 1981 dalam usia 73 tahun dan dikebumikan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan. (pelbagai sumber)
 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday