Latest Post

Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Dendam di Rumah Panggung

Posted By Redaksi on Sabtu, 08 Agustus 2020 | Agustus 08, 2020

                                             Oleh: Assyifa Barizza 

Dari kejauhan, aku menatap rumah panggung yang bergaya tradisional khas Makassar. Tidak ada yang berubah, tetap sama dengan puluhan tahun yang lalu. Hanya saja, rumah itu tampak rapuh dimakan usia. Halamannya pun tampak tidak terawat, bunga tidak tertata rapi. Pagarnya juga sudah banyak yang ambruk.

Di rumah itu, masa kecilku kuhabiskan. Masih teringat jelas, tiap pagi Ibu siapkan bubur Bassang untuk sarapan. Ayah yang selalu mendudukkanku di pangkuannya tatkala menikmati teh hangat dan pisang goreng buatan Ibu di sore hari. Ah, masa kecil itu seakan menari di pelupuk mata. Bagaimana aku menunggu Ayah di serambi rumah jika dia pergi berkebun. Berharap, saat pulang dia membawa buah-buahan untukku. Ibu yang selalu menjewer telingaku saat lupa pulang ke rumah jika bermain di rumah tetangga. Rumah itu, menyimpan banyak kenangan.

Tapi kebahagiaan itu sirna, saat saudara jauh Ibu yang bernama Marni datang ke rumah. Dia datang dengan mengiba, menangis di pangkuan Ibu menceritakan tentang suaminya yang menikah lagi dengan perempuan remaja dan menceraikannya. Dan Ibu yang berhati malaikat, tanpa prasangka buruk membawa Marni masuk ke dalam rumah dan memberinya tumpangan.

Rupanya, di situlah awal mala petaka itu. Aku yang masih kecil, hanya menganggap biasa saja ketika Ayah masuk ke kamar Marni saat Ibu berkeliling kampung menawarkan dagangannya. Ibu saat itu tukang kredit peralatan dapur. Bahkan, saat Ibu ke kota belanja pesanan pelanggan, Marni berani masuk ke kamarnya. Teriakan kecil dan desahan dari mulut Marni yang terdengar sampai ke kamarku, kadang menimbulkan tanya dalam hati, apakah Marni dipukuli Ayah? Tapi saat keluar kamar, tidak ada luka di tubuh Marni.

***

Tubuh tua itu memelukku dengan erat saat kuberi tahu siapa diriku. Dia mengusap rambut panjangku dan mengelus pipiku.

"Setelah puluhan tahun, akhirnya kau pulang, Nak!" Ujarnya dengan mata yang memancarkan penuh kerinduan. "Kau sangat cantik."

Aku tersenyum, memandangi wajahnya yang sudah berkeriput itu, rambutnya sudah memutih semua. Laki-laki ini adalah saudara tertua Ibuku.

"Bagaimana kabar Ibumu, Tenry?"

"Baik-baik saja, Puang. Dia juga kembali ke sini." jawabku lirih. "Aku pulang untuk merebut hak Ibuku, Puang."

Laki-laki yang kupanggil Puang memandangku sejenak. "Maksudmu?"

"Rumah panggung itu, Puang. Rumah yang ditempati oleh laki-laki biadab itu beserta istri dan anaknya adalah hasil jerih payah Ibuku. Aku tidak ikhlas, jika rumah itu jatuh ke tangan anak dari perempuan pelacur itu." Ada rasa jijik jika mengingat wajah perempuan itu.

Puang terdiam, tangannya sibuk menggulung rokok tembakau.

"Tapi, itu sulit Tenry. Kudengar kabar, Ayahmu telah memberikan rumah itu kepada Herman, anak hasil pernikahannya dengan Marni."

Darahku mendidih mendengar ucapan Puang. Laki-laki itu sangat keterlaluan, bagaimana mungkin rumah yang dibangun dari hasil keringat Ibu sebagai tukang kredit diberikan kepada anak pelacur itu? Demdam semakin merajai hati.

"Aku butuh bantuanmu, Puang!"

Puang menghisap rokoknya kuat-kuat dan memandangku tajam. "Bagaimana caranya?"

Aku mendekat ke arah Puang dan berbisik di telinganya. Wajahnya seketika cerah mendengar kalimat yang kubisikkan padanya.

Rumah itu bagaimana pun caranya, harus kurebut.

Dulu, rumah itu menjadi saksi saat Ibu diusir keluar oleh Ayah. Kala itu, dini hari, Ibu kaget tidak melihat ayah tidur di sampingnya. Ibu pun terbangun dan keluar kamar, alangkah terperanjatnya Ibu ketika mendengar suara Ayah dan tawa manja Marni terdengar dari arah kamar Marni.

Ibu sangat marah dan mengusir Marni malam itu juga. Tapi, Ayah justru membela Marni dan akan menikahinya, karena dia telah hamil dua bulan. Ibu tidak terima, dia memberi pilihan pada Ayah. Pilih dia atau Marni. Ibu meraung, saat ayah memilih Marni dan mengusir Ibu untuk keluar dari rumah malam itu.

Saat itu juga, dengan air mata yang terus menetes tanpa henti, Ibu mengemasi pakaiannya dan pakaianku ke dalam koper. Aku yang sudah terbangun dari tadi mendengar pertengkaran mereka, hanya menurut ketika Ibu memelukku dan menggandeng tanganku  keluar dari rumah.

"Kita mau ke mana, Bu?"

"Akan pergi ke tempat yang jauh, Nak."

Ibu memegang tanganku menyusuri jalan yang masih gelap. Ketika azan subuh berkumandang, aku dan Ibu beristirahat sejenak di Masjid sekaligus menunaikan salat Subuh.

Hari itu, aku dan Ibu melakukan perjalanan panjang selama lima jam melalui jalur darat. Kemudian melanjutkan perjalanan naik kapal yang sangat besar, belakangan baru kutahu, kalau itu namanya kapal Pelni. Kami melakukan perjalanan selama tiga hari tiga malam baru sampai di tujuan. Kalimantan, ke situlah Ibu membawaku.

***

Dengan langkah anggun, kulangkahkan kakiku ke rumah panggung itu. Tiga orang menyambutku di sana, laki-laki tua yang masih sangat kuhapal raut mukanya. Seorang perempuan tua yang sangat kubenci sampai detik ini, juga ada laki-laki muda yang usianya sekitar 23 tahun.

Tanpa menunggu dipersilahkan, kujatuhkan pantatku di sofa. Pandanganku kuarahkan ke sekeliling ruang tamu itu, tidak ada yang istimewa. Hanya beberapa bingkai foto yang mengabadikan kebersamaan keluarga mereka.

"Aku kembali ke sini, untuk merebut milik Ibuku," tanpa basa-basi terlebih dahulu, aku langsung ke pokok permasalahan.

"Kau siapa?" Perempuan yang tiada lain adalah Marni itu menatap lekat wajahku. Sedang dua orang laki-laki di sampingnya hanya diam, menatapku bingun.

Aku tertawa kecil. "Apakah kau lupa padaku, perempuan pelacur? Aku Tenry, anak dari Maryani. Perempuan yang memberimu tempat tinggal, malah kau rebut suaminya.

"Tenry, kau … anakku?"

Laki-laki tua itu menghampiri dan ingin memelukku. Namun aku menghindar. Tidak sudi rasanya tubuhku dipeluk oleh lelaki tua yang dulu kupanggil Ayah. Dia tetap Ayahku, hanya saja aku belum bisa memaafkan apa yang pernah dia lakukan pada Ibu.

"Sekali lagi kukatakan, aku datang ke sini untuk mengambil hak Ibuku. Rumah ini adalah hasil keringatnya. Kalian harus keluar dari sini," ucapku datar tanpa ekspresi.

"Tidak bisa, rumah ini sudah diserahkan Ayahmu pada Herman, anakku."

"Dasar perempuan pelacur! Kau tidak saja merebut suami Ibuku, tapi juga ingin menguasai rumah ini."

"Sekali lagi kau menghina Ibuku, aku tidak segan untuk menghancurkan mulutmu itu." Laki-laki yang bernama Herman itu bersuara juga.

Kualihkan pandanganku ke arahnya sambil tersenyum menghina.  "Jadi, kau anak yang terlahir dari hasil zina mereka?"

"Dia adikmu, Tenry." Laki-laki tua itu menyelaku.

"Tidak, seumur hidupku tidak akan kuakui dia sebagai saudaraku. Apalagi dia lahir dari rahim perempuan pelacur ini." Kuarahkan jari telunjukku pada Marni.

Mirna diam, begitupun laki-laki tua yang dulu kupanggil Ayah. Herman mukanya sudah merah padam, tapi sudah tidak berani mengeluarkan suara lagi. Anak itu tidak punya salah, tapi kelahirannya adalah sebuah kesalahan. Kesalahan orang tuanya.

"Ingat, rumah ini akan kuambil alih. Camkan itu!"

Aku meninggalkan rumah itu dengan tatapan angkuh, suara Marni masih sempat terdengar di telingaku.

"Rumah ini sertifikatnya atas nama Ayahmu, jadi jangan pernah bermimpi untuk merebutnya."

***

Sore ini, gerimis jatuh membasahi bumi. Dari balik kaca mobil, aku menyaksikan Ayah, Marni dan Herman keluar dari rumah panggung itu dengan menenteng koper. Dejavu, aku seperti melihat kejadian beberapa tahun silam yang terjadi padaku dan Ibu. Senyum bahagia tersungging dari bibirku dan juga Ibu yang duduk bersamaku dalam mobil.

Puang, yang kumintai bantuan dengan iming-iming 50 juta rupiah berhasil mendapatkan tanda tangan Ayah untuk pengalihan sertifikat nama rumah atas nama Ibuku.

Saat Ayah seorang diri di rumah, Puang mendatanginya. Memaksanya untuk menandatangani berkas yang sudah kusiapkan terlebih dahulu. Awalnya Ayah menolak, tapi saat Puang mengeluarkan golok tajam dan menodongkan ke lehernya, dia pun membubuhkan tandatangan di berkas itu.

"Silahkan angkat kaki di rumah ini, Ayah sudah menyerahkan rumah ini pada Ibuku." Siang tadi, aku datang ke rumah panggung itu dan memperlihatkan berkas pengalihan rumah yang telah ditandatangani oleh Ayah.

"Bagaimana mungkin?" teriak Marni histeris. Ayah hanya diam, begitupun Herman. " Terus, kami akan tinggal di mana? Jangan usir kami dari sini.

Apa peduliku dengan mereka? Apa yang dilakukan mereka dulu pada Ibu lebih kejam, sebuah pengkhianatan. Bukan itu saja, mengusir Ibu untuk keluar dari rumah panggung itu tanpa belas kasih. Saat itu, Ibu tidak berdaya untuk melawan. Karena rumah tersebut, sertifikatnya atas nama Ayah.

Rumah panggung itu, sebenarnya kami tidak membutuhkannya. Hanya saja ingin membalas perlakuan mereka puluhan tahun yang lalu dengan melakukan hal yang sama, pengusiran. Di Kalimantan kami sudah sukses. Ibu dengan kepiawaiannya berdagang telah berhasil membeli berhektar-hektar kebun sawit dan toko elektronik pun telah kami miliki di sana. Kami hanya pulang untuk membalaskan sakit hati.

***

Dengan memegang kunci rumah di tangan yang berhasil kudapatkan dari Ayah, kusaksikan kobaran api yang melahap rumah itu. Tidak ada yang tersisa, semuanya menjadi abu.

Rumah panggung itu, Ibu tidak sudi lagi menginjakkan kakinya di sana. Kenangan pahit tidak bisa dia lupakan. Perbuatan Ayah dan Marni masih sangat membekas dalam ingatannya.

Hanya dengan merubah rumah itu menjadi abu, satu-satunya cara untuk membantu Ibu terlepas dari bayang masa lalu.

Tidore, 11 Februari 2020

Note:  Puang merupakan panggilan hormat suku Bugis untuk orang yang lebih tua, dituakan. Jaman dulu, sebutan Puang adalah sebutan yang hanya digunakan oleh bangsawan.

Aku dan Gadis Mualaf

                                           Oleh: Assyifa Barizza

Cuaca hari ini tak bersahabat, gelombang di lautan tampak bergejolak. Sedikit ngeri melihat ombak yang saling berkejaran.Namun, tidak menyurutkan langkahku untuk tetap menaiki kapal kayu yang akan membawaku dari Halmahera menuju Ternate.

Ombak dan gelombang adalah hal yang biasa bagiku sebagai anak yang berasal dari daerah kepulauan. Apalagi ayahku berprofesi sebagai seorang nelayan.

Dengan perlahan, aku menaiki tangga kapal dan mencari tempat duduk yang nyaman. Kapal agak sedikit oleng, jadi kuputuskan untuk duduk di lantai bawah, biar goncangan kapal tidak terasa. Aku memilih bersandar dekat pintu masuk, agar bisa memandang bebas ke laut lepas. Hentakan ombak pada dinding kapal tak urung membuat nyaliku gentar.

Di sampingku duduk seorang perempuan, berambut keriting sebahu, manis dan masih muda. di lehernya tergantung kalung bertanda salib. Sesekali dia memperbaiki letak roknya yang tertiup angin.

Kapal mulai meninggalkan pelabuhan, aku mencoba membuka percakapan dengan gadis itu, biar perjalanan yang memakan waktu lebih satu jam tidak membosankan.

"Ke Ternate?"

"Iya," jawab perempuan itu singkat. Terlihat ada ketakutan di raut wajahnya. Ombak kali ini memang ganas, kapal sampai oleng ke kanan dan ke kiri. Tangannya berpegangan pada tiang kapal, agar tubuhnya tidak ikut terhuyung.

"Dari mana?"

"Tobelo, tapi kuliah di Ternate. Universitas Khairun."

"Oh," ucapku singkat sambil meraih rokok di saku bajuku dan membakarnya.

Tobelo memang penduduknya mayoritas menganut Kristiani.

"Kakak kuliah juga?" Perempuan itu melirikku.

Aku menggeleng, "Mau menemui teman."

Aku memang mau menemui teman, teman perempuan yang berstatus sebagai kekasihku. Dia saat ini sudah menungguku di Ternate, tempat kostnya. Rasanya tidak sabar lagi untuk menuntaskan rindu padanya.

[Kak Rifki, Adek kangen] Kemarin Mita mengirim pesan padaku.

[Baru seminggu yang lalu lalu ketemu, kok, sudah kangen lagi?] Aku menggoda Mita. Perempuan itu sudah kupacari sejak setahun lalu. Namun, hubungan kami sudah selayaknya suami istri, entah sudah berapa kali aku dan Mita mereguk kenikmatan surga duniawi. Nafsu yang kami atas namakan cinta telah membuatku jatuh dalam perbuatan dosa berkali-kali.

[Adek rindu dibelai sama kakak Rifki]

Aku tersenyum membaca pesan Mita, perempuan itu sudah takluk dalam pelukanku, dia selalu memintaku untuk memuaskan nafsu birahinya.

Mita dan entah berapa lagi perempuan yang sudah menjadi korban rayuan gombalku.  Bermodal wajah tampan dan kelihaian merayu, membuat perempuan mudah jatuh hati padaku. Dengan janji manis, aku mudah membawa mereka mereguk kenikmatan.

Tiba-tiba goncangan kapal semakin kuat. Ombak memukul kapal hingga Semakin oleng ke kanan, lamunanku pun buyar seketika.

Ketakutan terlihat di wajah penumpang. Penumpang kapal yang sekitar lima puluh orang tampak panik, tidak sedikit yang sudah mulai menangis. Gadis di sebelahku mulutnya komat komit sambil memegang salib di lehernya, jelas kecemasan terlihat di wajahnya yang sudah pucat pasi.

"Krak." Terdengar bunyi keras di dinding kapal.

"Kapal bocor!" Teriak seorang awak kapal.

"Buang semua muatan!" Suara nahkoda kapal lantang memerintahkan awak kapal untuk melemparkan semua barang yang berada di dek.

"Di mana pelampung?" Seorang penumpang laki-laki berteriak ke arah awak kapal.

"Di sini tidak tersedia pelampung," jawab awak kapal yang sibuk membuang barang ke laut.

Kapal kayu di sini memang tidak menyiapkan pelampung. Mungkin selama pelayaran mereka, tidak pernah terjadi apa pun, jadi pelampung dianggap tidak penting.

Penumpang semakin panik dan berteriak-teriak minta tolong, namun dalam kondisi yang seperti ini, penumpang hanya memikirkan nasib mereka masing-masing.

Air sudah mulai memenuhi lantai bawah, penumpang sibuk berdo'a dengan keyakinan yang mereka anut. Jeritan dan teriakan terdengar dari para penumpang, nahkoda dan awak kapal berusaha sekuat mungkin untuk menenangkan mereka.

"Allahu Akbar." Beberapa kali kalimat itu menggema dari mulut para penumpang.

"Tuhan Yesus, selamatkan kami!" Di dalam kapal ini, beberapa orang beragama Kristiani rupanya.

Namun, kapal dengan perlahan mulai tenggelam.

"Ya Tuhan, jika Allahnya orang Islam itu ada, maka selamatkan aku, aku berjanji untuk memeluk agama Islam. Tolong aku Tuhan!" Gadis di sebelahku bersuara lantang sambil mengangkat tangannya ke atas, seperti orang berdo'a. Dia tidak lagi memegang salibnya.

Seketika aku juga tiba-tiba mengingat Allah. Aku lupa, kapan terakhir aku salat, seingatku terakhir Idul Fitri beberapa bulan yang lalu. Sholat Jumat saja tidak pernah aku lakukan, apalagi shalat lima waktu.

Dosa yang kulakukan juga silih berganti hadir di depan mataku. Ya, aku adalah seorang peminum, hampir tiap malam aku mabuk-mabukan bersama pemuda di kampungku. Kadang juga berjudi, main perempuan. Entah sudah berapa gadis perawan yang sudah kutiduri. Sungguh tidak terhitung dosaku ya Rabbi.

Takut menyergap dalam jiwaku, aku takut bila harus meninggal hari ini. Aku belum sempat bertaubat. Penyesalan muncul dalam diriku, takut bila hari ini adalah hari terakhir bagiku.

'Ya Rabbi, aku memang pendosa. Tidak pernah menjalankan perintahmu, hanya kemaksiatan yang sering aku lakukan, Namun aku tidak pernah mengingkari keberadaanMu. Aku tetap mengakui Islam sebagai agamaku. Tolong beri aku kesempatan untuk hidup.' Aku berusaha berdo'a dalam hati.

Kapal semakin tenggelam, aku tidak peduli dengan penumpang lainnya. Aku berusaha menyelamatkan diri. Kebetulan bisa berenang, jadi segera kuceburkan diriku ke laut dan berenang mencari pantai terdekat.

Aku berenang dengan sisa tenaga yang aku punya, mengikuti ritme gelombang laut yang membawaku entah ke mana. Aku sudah pasrah dengan nasibku, menangis dalam terjangan ombak yang beberapa kali memukul badanku yang semakin melemah.

"Aku bukan Fir'aun ya Allah, aku hanya makhluk hina yang penuh dengan dosa."

 

***

"Dia sudah sadar." Terdengar suara asing di dekatku.

"Aku di mana?"

"Kau ditemukan terdampar tadi malam di pantai dalam keadaan pingsan, jadi aku membawamu ke rumahku," papar seorang laki-laki setengah baya yang duduk di dekat kepalaku.

"Kapal yang aku tumpangi tenggelam, Pak." Aku langsung mengingat kejadian mengerikan kemarin. "Apa penumpang di kapal itu semua selamat?"

Laki-laki itu menggeleng lemah, "menurut kabar yang kudengar, banyak penumpang yang meninggal karena tidak bisa berenang."

"Dan gadis itu, bagaimana nasibnya? semoga dia selamat," desisku dalam hati.

Dengan tubuh yang masih lemah, aku mencoba untuk berdiri.

"Mau ke mana?" tegur laki-laki itu.

"Aku mau shalat, Pak! aku mau mengucapkan terima kasih karena Allah masih memberiku kesempatan untuk hidup, karena tanpa campur tangan dariNya mustahil aku masih bisa hidup," ucapku sembari menanyakan letak kamar mandi.

Semoga dengan kejadian yang aku alami, membawaku hijrah ke jalan Allah. Selama ini hidupku penuh dengan noda hitam, dan semoga dengan peristiwa ini merupakan langkah awal dalam hidupku untuk meraih ridho Allah.

***

Hatiku merasa tenang dan tenteram setiap kali mendengar tauziah yang di bawakan oleh ustadz Yusuf.

"Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyucikan diri."

Ucapan ustadz Yusuf  yang dikutip dari surah Al-Baqarah ayat 222 bagai oase menyirami hatiku yang selama ini berkubang dengan nafsu duniawi dan dosa yang banyaknya seperti buih di lautan.

Aku selalu menyempatkan diri untuk menghadiri setiap kajian yang di bawakannya di Masjid Agung Ternate setiap hari Minggu. Bahkan aku juga banyak membaca buku islami untuk mengisi otakku yang cetek tentang ilmu agama Islam.

Setelah insiden kapal tenggelam itu, aku menemui temanku Rahmat yang alumni pondok pesantren untuk mengajariku mengaji dan membimbingku untuk mempelajari ilmu agama. Rahmat pulalah yang mengenalkan aku dengan ustadz Yusuf, seorang ustadz yang sangat dihormati karena akhlak dan ilmu agamanya yang tinggi.

Setelah keluar dari gerbang masjid, netraku menangkap sosok perempuan yang tidak asing di mataku, seorang gadis yang kutemui di kapal sebelum peristiwa tenggelamnya kapal. Tapi, dia berbeda sekarang, sangat berbeda.

Tapi tidak ada lagi untaian salib di lehernya, kini kepalanya bertutup mahkota sebuah jilbab syar'i. Tubuhnya anggun mengenakan gamis biru tua senada dengan hijab yang dikenakannya. Aura kecantikannya lebih terlihat dengan balutan busana islami.

"Masya Allah." Aku mengguman dalam hati sambil berusaha mengatur detak jantung yang tidak beraturan. Aku gembira melihatnya selamat, sama seperti diriku.

"Kau juga selamat dari kapal tenggelam itu?" Aku berjalan mendekatinya.

"Alhamdulillah Kak, Allah mendengar do'aku saat itu. Kini, aku sudah berada di jalan Allah, memeluk agama Islam, seperti agama yang kau yakini," ujarnya dengan mata berbinar-binar bahagia.

"Alhamdulillah, Allah telah memberikan hidayah pada kita lewat peristiwa itu. Semoga kita tetap istiqamah," ucapku dengan kebahagiaan yang tidak bisa kulukiskan dengan kata-kata.

"Aku pamit pulang ya, Kak! Assalamu'alaikum."

"Waalaikum salam." Aku memandangi kepergiannya dengan senyum yang tak pernah lepas membingkai mulutku. Ada kekaguman yang muncul secara tiba-tiba, kekaguman karena dia menepati janji saat berdo'a beberapa menit sebelum kapal tenggelam. Allah telah memberinya keselamatan. Ah, harusnya aku bertanya, bagaimana dia bisa selamat dari peristiwa itu.

Alangkah indah dan nikmatnya hidayah yang engkau berikan padaku ya Allah, dan juga pada perempuan itu. Perempuan yang belum kuketahui namanya, semoga dipertemuan selanjutnya aku bisa mengenal namanya dengan cara yang halal.(*)

Tidore, 1 Agustus 2020

Program Galau Radio Gress

Posted By Redaksi on Kamis, 06 Agustus 2020 | Agustus 06, 2020

Oleh: Alfian Nawawi


“Pendengar, terimakasih, anda tetap staytuned di Radio Gress 105,7 FM. Tidak terasa waktu terus bergerak. Dua puluh menit lagi ke depan program Lagu dan Curhat Malam Minggu (Galau) akan tuntas. Tapi saya yakin rasa cinta anda terhadap program ini tidak bakal tuntas kan?  Oh ya, kita masih punya dua lagu lho sebelum benar-benar berpisah di malam ini. Sekali lagi terimakasih buat anda semuanya yang sudah meluangkan waktu bergabung di Galau. Kepada beberapa teman kita yang tadi curhat, bagaimana? Semoga solusi-solusi yang ditawarkan oleh belasan teman kita dapat bermanfaat. Buat semuanya, berikut saya hadiahkan Someone Like You dari Adele. Paling pas juga buat anda yang masih tetap begadang sampai detik ini.” Suara berat yang berasal dari seorang penyiar cowok terdengar mantap di salah satu gelombang radio. 

             Lagu dari Adele pun mengalun. Mulut Fiko menguap lebar. Mengantuk berat! Sebentar lagi jam siarannya selesai malam ini. Dering telepon mengagetkan Fiko.

            “Siapa ya? Padahal mataku semakin berat nih.” Gumam Fiko.

            “Halo, dengan siapa ya?”

            “Fitri,” terdengar suara seorang perempuan di seberang sana.

            “Fitri, ada yang bisa Fiko bantu? Tapi maaf lho, curhat secara live sudah ditutup nih, mbak. Hehehe...”

            “Kalau curhat secara pribadi boleh nggak?”

            “Hmmmhhh.......boleh kok, mbak.”

            “Jangan panggil mbak dong. Panggil saja namaku Fitri.”

            “Okey, okey. Fitri. Curhatnya lama nggak ya?”

            “Nggak lama kok. Aku hanya mau Fiko mendengarkan curhatku malam ini saja. Terserah Fiko mau beri masukan atau tidak. Tapi, Fiko sudah mengantuk kan?”

            “Kok tahu sih?”

            “Hahaha....!” Tawa Fitri terdengar renyah.

            “Wow, suaranya mendamaikan banget!” Kata Fiko dalam hati.

            “Mmmhh, sebaiknya Fiko selesaikan dulu siaran dong baru aku curhat. Awas, teleponnya jangan ditutup ya.”

            “Hmmmh...baiklah, Fitri. Tunggu ya. Sehabis commercial break aku akan pamitan kepada pendengar.”

            Setelah tiga iklan terputar semua kini giliran tangan Fiko memencet tombol merah di hadapannya pertanda audio untuk mikropon dalam posisi on air. Intro lagu yang cukup panjang dari lagu legendaris berjudul Forever Love milik Gary Barlow mulai mengalun. Seiring suara berat Fiko:

            “105,7 FM. Wow, bagaimana rasanya jika program Galau berakhir, pendengar? Semoga tetap kangen ya dan menunggu lembaran program spesial ini di malam Minggu berikutnya. Galau anda sendiri secara pribadi bagaimana? Semoga mulai malam ini anda bisa menentukan langkah apa saja yang akan anda tempuh. Ya, sesuai dengan masukan solutif dan brilian dari teman-teman kita malam ini. Semoga berhasil. Lagu lembut dari Gary Barlow ini akan segera memisahkan pertemuan kita malam ini. Eiiitss....jangan lupa, bagi anda yang sudah mau tidur jangan lupa berdoa dulu. Yang masih mau begadang tetap hati-hati saja. Jangan lupa memeriksa kembali pintu dan jendela. Pastikan semuanya benar-benar sudah terkunci. Tidak ada salahnya juga mengecek ruang dapur. Jangan sampai masih ada nyala api di kompor lho. Bagi yang sering ketakutan sendiri, tidak apa-apa melongok sejenak ke kolong tempat tidur. Hihihihihi! Hahahaa, bercanda kok, pendengar. Salah satu bagian terpenting dari kehidupan adalah masalah-masalah yang berbeda setiap hari. Masalah-masalah itu sesungguhnya dirancang oleh Tuhan untuk semakin mendewasakan kita. Setuju? Saya Fiko Sugara di Radio Gress 105,7 FM  pamit dari ruang dengar anda semua. Sampai jumpa. Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.”

            Sedetik kemudian suara emas Gary Barlow muncul mengalun menghipnotis pendengar.

            “Hehehe, asyik banget siaran kamu. Suara kamu seksi lho.” Suara Fitri  semakin renyah.

            “Ah bisa aja” Fiko meraba kepalanya. Fiko seperti kuatir saja, jangan-jangan ukuran kepalanya benar-benar membesar.

            ”Jadi, aku sudah bisa curhat nih?”

            “Siip. Sekarang aku siap mendengarkan. Cukup mendengarkan saja kan?”

            “Ya.”

            Sesaat hening tanpa suara. Kemudian terdengar suara Fitri, “Begini, curhatku singkat saja. Aku benar-benar galau sampai saat ini.” Suara Fitri sesaat seperti tertahan. Yang terdengar kemudian adalah suara isak tangis.

            “Fitri. Apa yang telah terjadi, Fitri?”

            “Aku telah membuat kesalahan besar dalam hidup aku.”

            “Kesalahan besar? Setiap manusia tentu pernah melakukan kesalahan. Bukan kamu saja. Aku pun sering melakukan kesalahan. Kecil ataupun besar.”

            “Kesalahanku yang terbesar adalah mencintainya!”

            “Apa yang telah dilakukan cowok itu, Fit?”

            “Kesalahanmu sangat besar Fiko. Bahkan berkali-kali kamu berbuat kesalahan serupa!”

            “What? Maksudnya? Fitri! Kok,... aku?”

            “Ya! ”

            Fiko dilanda kebingungan luar biasa.

            “Ternyata kamu sudah lupa sama aku ya Fiko! Begitulah kalau terlalu banyak pacar! Saking banyaknya, sampai lupa mantan sendiri.”

            “Kamu.....kamu....” Fiko mendadak gagap. Keringat dinginnya mengucur.

            “Aku Fitri. Pacar kamu yang meninggal dua pekan lalu akibat aborsi janin hasil hubungan gelap kita!”

            Semua yang ada di depan Fiko tiba-tiba berubah menjadi gelap. Sangat gelap.

**

            “Selamat malam, pendengar! Apa kabar? Tetap semangat kan? Semangat dong! Saya tahu banget bahwa pendengar radio Gress terutama penggemar program Galau masih berduka sampai saat ini. Tentunya kita semua masih ingat kan? Kita telah kehilangan salah seorang penyiar terbaik kita. Malam Minggu lalu pengasuh program Galau, Fiko meninggal secara tiba-tiba di studio Gress. Yuk, kita kirimkan do’a untuk almarhum Fiko. Semoga arwahnya tenang di alam sana. Berdoa dimulai .......................... berdoa selesai. Nah, mulai edisi malam ini dan edisi selanjutnya program Galau akan dipandu oleh penyiar paling gress di Radio Gress 105,7 FM. Perkenalkan, salam hangat dari saya, Fitri Subekti. Yuk, yang mau curhat malam ini. Saya tunggu telepon anda secara live. Nah, siapa gerangan yang mau curhat pertama kali sehabis lagu ini?” Sedetik kemudian suara emas Bryan Adams melantunkan lagunya, Heaven. (*)

Pustaka RumPut, 21 September 2014

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday