Latest Post

Tampilkan postingan dengan label puisi semak belukar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label puisi semak belukar. Tampilkan semua postingan

Puisi Lawas, Award Dan Tag

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 04 Maret 2010 | Maret 04, 2010


Mencintaimu

mencintaimu adalah termasuk merindukan anak-anak kecil bersuara renyah yang sedang mengejar capung di antara bebungaan
hujan akan membuyarkannya dan pagi akan merayunya kembali untuk bermain.
mencintaimu adalah termasuk membayangkan sebuah rumah sederhana di tepi hutan 
lalu terdengar kecipak air sungai hingga senja
mencintaimu adalah termasuk memeluk malam tanpa lampu-lampu taman kota.

Bulukumba, 1997 

  ilustrasi: award dari shasa


Sejak dua bulan terakhir beberapa award dan tag dari sahabat-sahabat blogger belum sempat saya posting. Mohon maaf yang sebesar-besarnya. Kesibukan yang cukup menyita waktu membuat saya  baru punya kesempatan mengerjakan satu tag dari mbak Aisha.

Buku-buku yang masih sering saya baca sampai sekarang justru bukan buku sastra. Saya sendiri heran. Sebahagian buku yang masih sering saya baca sampai sekarang, empat di antaranya yaitu:

1. Afzalur Rahman. Ini adalah  ensiklopedi    terlengkap seputar    Nabi Muhammad, SAW
2. Revolusi Pikiran  karya KH Buya Hamka, 1946. Buku ini peninggalan almarhum ayah  saya. 
3. Sejarah Filsafat Barat karya Bertrand Russell. Buku ini terdiri dari:
   -Filsafat kuno : Socrates-Plato-Aristoteles dan filsafat kuno setelah aristoteles 
   -Filsafat Katolik : meliputi filsafat dari para filsuf abad pertengahan
   -Filsafat Modern : Filsafat Renaisance, dari Rousseau hingga Filsuf abad ini
4. Hidup Sesudah Mati karya KH Bey Arifin.

Tag ini saya berikan kepada siapa saja yang menjadi apresiator postingan ini yang kebetulan belum mendapatkan  tag yang sama. Terimakasih.

Gadis

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 01 Maret 2010 | Maret 01, 2010

setelah bersekutu dengan kesunyian dan bersepakat dengan malam
mungkin ia akan segera terlunta-lunta bersama lamunannya.
gadis, biarkan bulan dan angin menyentuhmu kali ini saja
dengan caranya sendiri meski dengan sajak paling hitam.

bulukumba, 1 Maret 2010

Di Tanah Pemakaman Memori

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 24 Februari 2010 | Februari 24, 2010

 di bulan ini
pada pertengahan 
musim 
hujan 
ternyata
aku hanya ingin
selalu singgah 
di tanah 
pemakaman memori,
seperti sebutanmu
di waktu lampau.
tapi pernah juga 
kita menyebutnya 
sebagai stupa cinta 
sesunyi telaga.

bulukumba, 24 februari 2010

 
ilustrasi: Agus Sarwono

Hanya Puisi Kecil Di Sela-sela Kerja

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 23 Februari 2010 | Februari 23, 2010

kaca-kaca jendela yang memaki hujan. sebuah revolusi yang dimulai dari secangkir kopi.
tapi
ingatanku hanya mengepul kepada ibu.  hanya puisi kecil di sela-sela kerja kukirimkan untuknya sejak pagi. 

ia perempuan setengah baya yang mencuci kebaya coklat
tua.
ia
yang telah mengajarkan cinta tanah
kelahiran.
mengajarkan bagaimana cara bangun pagi
lalu memanen rindu di atas rerumputan. 

kaca-kaca jendela yang memaki hujan. ibuku yang  menjadi puisi di sela-sela kerja,
maafkan anakmu.
sebuah revolusi pagi ini berangkat menuju halaman rumah
calon menantumu
yang kesekian.
mungkin
sebuah revolusi dalam hati. kataku diam-diam.

bulukumba,  23 februari 2010

Perempuan Di Bawah Pohon Pinus Yang Menangkapi Angin Dari Arah Pantai

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 15 Februari 2010 | Februari 15, 2010


-catatan kecil buat sahabatku, dhea. lalu dhea menyebut ini sebagai prosa romantik yang terakhir.

ia perempuan di bawah pohon pinus. perempuan yang pernah bermimpi menelan bulan. si jabang bayi kini terasa menendang-nendang dinding perutnya. sebagaimana para perempuan lainnya yang menunggu kelahiran bayi dari buah cintanya, perempuan itu merasakan hatinya bertambah cantik. ia memulai pagi dengan embun yang berbutir-butir di atas rumput halaman rumah. ia menyudahi senja dengan angin dari arah pantai. sebenarnya ia hanya berusaha menangkapi angin dan siluet kenangan tepat di keningnya. 
kenangan begitu rutin menyambanginya di bawah pohon-pohon pinus. lelaki dalam siluet itu tak kunjung bisa diusir. ia tidak habis mengerti. lelaki itulah manusia yang paling ia cintai sekaligus yang  paling ia benci. 
perempuan yang pernah menelan bulan dalam salah satu mimpinya. perempuan yang menangkapi angin dalam kenangan. ia menemukan tubuhnya sendiri di waktu lampau berputar-putar di depan cermin dalam kamar. ia baru saja mengetahui aroma tubuh seorang lelaki yang sesungguhnya. ia mengingat wajah, nama dan segala apa yang terdapat dalam diri lelakinya melebihi ingatan dan perhatiannya terhadap musim, bunga dan pohon pinus di halaman rumahnya. ia selalu berharap wajah lelakinya tiba-tiba muncul dari jendela kamar yang selalu dibiarkannya terbuka hingga separuh malam. tetapi lelaki itu tidak pernah datang.  lelaki yang menjadi rahasia terbesar dalam lipatan-lipatan hatinya.  lelaki yang ternyata  tidak akan pernah datang dari balik  jendela kamar di masa lalu maupun mengetuk di pintu rumahnya di masa depan. kecuali ia hanya seorang lelaki yang pernah berhasil menitipkan benih cinta ke  dalam rahimnya. 
tidak lama lagi  buah hatinya akan lahir ke atas bumi. sejak perempuan itu mengerti tentang kehidupan baru kali ini ia merasa yakin bahwa wajahnya juga purnama. ternyata si jabang bayi kini menyita begitu banyak ruang-ruang dalam cintanya. ia tidak peduli jika bayinya nanti adalah juga lelaki. ia perempuan yang menemukan tubuhnya sendiri sekali lagi di waktu lampau. tapi di bawah pohon pinus ia masih menangkapi angin dari arah pantai.

bulukumba, tanggal yang tak tercatat di 2005

 
ilustrasi: award dari Kang Enes

Sajak Perjalanan Melayari Batu

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 13 Februari 2010 | Februari 13, 2010

-buat Nayla

berangkatlah sebagai burung camar,
matahari yang separuh baya dan hari ini terdiri dari
tiang-tiang kapal atau jangkar.
aku tahu kamu yang tahu tentang ombak
yang sejak dulu menjadikan pelaut sebagai
burung rajawali
di mana sayapnya pasti terbuat dari bendera.
dalam perjalanan melayari batu
tidak usah bersahabat dengan cuaca,
pelaut-pelaut ulung akan selalu menemukan pulau
dan terbiasa berdebat dengan karang
sebagaimana apa kata badai
sebagaimana apa kata cinta
sampai jumpa lagi 
di tengah jala ataupun
laut sunyi.

bulukumba, 05 agustus 2006 

 
     ilustrator:   Agus Sarwono

"Nayla, adikku yang tidak lulus di SPMB (Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru) pada saat puisi ini aku tulis sebagai pemantik api semangatnya. Sejak itu Nayla selalu ingat SPMB adalah akronim dari Sajak Perjalanan Melayari Batu. Lalu Nayla harus menunggu satu tahun berikutnya untuk lulus."

Menulis Sajak Cinta

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 12 Februari 2010 | Februari 12, 2010

tidak seperti biasanya,
aku memerlukan ijin darimu untuk mencoba lagi menulis
sebuah sajak cinta
sementara kamu melukis pantai sebagai mimpi 
sebuah hutan yang indah, gelap dan rimbun
aku tak akan berhenti berjalan di dalamnya
sebelum kamu tertidur.

bulukumba, jumat 12 februari


 
  ilustrasi: http://agus-sarwono.blogspot.com/                                     

Yang Mencintaimu

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 10 Februari 2010 | Februari 10, 2010

kami yang mencintaimu dari atas pematang-pematang
sawah. sepulang belajar dari bangunan sekolah yang hampir
roboh.
kami yang mencintaimu dari tengah empang
setelah menangkap  ikan dan berenang.
kami kurang mengerti apa itu kasus dana talangan
kami hanya ingin memahami makna semangat berjuang
sebagaimana yang diajarkan 
jenderal soedirman
dalam biografinya, satu-satunya buku yang masih utuh di perpustakaan 
sekolah kami. tapi kami tidak akan korupsi waktu.
beberapa tahun bersekolah harus digunakan untuk belajar 
sambil mengabdi pada alam, sekolah yang hampir roboh dan 
cuaca yang berubah tak menentu. sambil
menuliskan riwayat hidup sederhana yang 
tidak dicemooh sejarah.


 


Di Februari Yang Hujan

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 05 Februari 2010 | Februari 05, 2010

sedang mencoba saja melipat-lipat ingatan, pertemuan 
dan februari yang hujan. 
"itu metafora dari dialektika kesunyianmu, bukan?" tanyamu.
masih di sini kita bertangkupan dengan angin dari arah pantai.
seharusnya tak berjarak. seharusnya tak cemas.
sebuah hari mungkin akan tiba dan mengabarkan pertemuan berikutnya
dan seharusnya tak terduga. 
untuk sementara
beberapa dari hari-hariku lebih memilih menyiapkan garis-garis hujan
siapa tahu kelak diperlukan oleh kelopak matamu
sebagai airmata yang tak terencana. 

bulukumba, 5 Februari 2010



    ilustrasi:  http://agoez.carbonmade.com/

Di Negeri Pembuat Perahu

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 04 Februari 2010 | Februari 04, 2010


anak-anakmu hanya ingin melabuhkan rindu
di negeri para pembuat perahu.
menjaga jemuran rumput laut dari atas lego-lego
menjaga tanggul-tanggul pemecah ombak
selincah tangan para pengrajin gula kelapa
selincah tangan para pemanen padi dan pembakar jagung
mali' siparappe, meddung sipatokkong
sipakatau, sipakalebbi'
tallang sipahua' 

anak-anakmu hanya ingin melabuhkan rindu
sekuat tali jala pattikkeng bale 
sekokoh destar hitam ammatowa.
rantau anak-anakmu akan selalu melabuhkan rindu.
mali' siparappe, meddung sipatokkong
sipakatau, sipakalebbi'
tallang sipahua'

negeri para pembuat perahu,
di mana tanjung biramu yang dahulu
kemana terumbu karangmu.

bulukumba, 4 februari 2010


Selamat Hari Jadi Bulukumba yang ke-50, Kamis 4 Februari 2010


Rumit Juga Memulai

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 03 Februari 2010 | Februari 03, 2010


tidak rumit mencintai. semestinya hanya membutuhkan seunggun kayu bakar
yang kita nyalakan di musim dingin. api memulainya
di bawah sepotong bulan, keju, roti dan secangkir kopi panas di beranda
atau seserpih matahari di jendela yang sengaja lupa kita tangkapi.

tapi rumit juga memulai. sepotong matamu yang satunya lagi 
belum  kutemukan
di wajah bulan malam ini.

bulukumba, 3 Februari 2010


 

 

Palampang

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 01 Februari 2010 | Februari 01, 2010




meniup harmonika dari sela-sela akasia
berenang jauh ke rawa-rawa kenangan.
sebelum malam kami tiba di pundak bukitmu
menepuk-nepuk senja.
saatnya menggarap kembali lahan  ingatan  
cerita dari tanah purba 
ketika ibu meracik kemiri untuk dijadikan pelita.  
jatuh kami ke lubuk sejarah.
 bau humus daun-daun lontar
 masih terasa di sepanjang sisi danau.
kini jauh ke hulu sungai pasti bertemu sisa hutan dan limbah. 
ibu, kemana wangi daun pandan yang dahulu?

palampang, 31 januari 2010 


Dari Kampung Sebelah

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 30 Januari 2010 | Januari 30, 2010

dari kampung sebelah katanya
kami bertanya setelah melihat mereka melata.
perempuan-perempuan tanpa alas kaki,
kesuburan jiwanya turun temurun 
melingkari bukit-bukit kesetiaan sambil menjunjung padi

dari kampung sebelah
anak-anak mereka menekuni puisi di huma-huma
gadis-gadis melukis bulan di atas jerami.
listrik belum masuk katanya.
berabad-abad lelaki-lelaki mereka berkaki hitam legam
dan terpaksa memahat batu di ujung sungai.

tidak perlu merisaukan kasus century dan indonesia
sebab di sini tak ada koran dan televisi
di kampung sebelah
hanya memerlukan sedikit waktu saja
untuk menyalakan pelita di setiap senja.
lalu ronda akan dimulai dari ladang jagung

pada pagi yang lebih bersahabat  
kami tak mau kembali ke kota.

bulukumba, 30 januari 2010

Indonesia Di Desaku

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 27 Januari 2010 | Januari 27, 2010




sebuah indonesia di desaku. anak-anak tak berbaju yang memanggul keranjang bambu. perempuan-perempuan separuh baya yang membawa pasu.

aku menulis kembali beberapa teks yang pernah kuanggap sebagai puisi. aku tidak akan ke mana-mana.
di sini saja. sebuah rumah yang pernah mengajarkan cara mencintai pohon, angin, sungai dan bunga.

tengoklah ke mana mereka pergi. suara renyah gadis-gadis tertawa di bawah pancuran.
jalan setapak di tengah ladang itu adalah jalan terdekat menjenguk ibu.

sebuah indonesia di desaku. tanpa blackberry, akun facebook. twitter apalagi weblog. di sini saja. lalu putik-putik kenangan berjatuhan dari hutan pinus. bocah kecil berlari di atas pematang.
memanggil-manggil. memanggil-manggil.



bulukumba, 25 januari 2010

Pertemuan

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 25 Januari 2010 | Januari 25, 2010


sebuah pertemuan memecahkan beberapa metafora kata cinta. aku kini mendengarkannya dan bertemu denganmu adalah sangat bukan kebetulan. 

setiap penjelasanku kepadamu semestinya dibagi juga ke dalam buncah-buncah kerinduan yang pernah hilang di beberapa titik. ini bukan sekedar pertemuan. aku merasakannya dengan sangat yakin. sebaris hujan yang menggoda kerudungmu di suatu sore yang hangat, selarik angin yang menyelinap ke dalam buku yang kau baca di taman kota. aku ingin mengingatnya dengan sangat jelas. 

seperti apakah kerinduanku  sekarang dibanding dahulu?  tapi aku selalu ingin menjelaskannya. bahwa semestinya masih ada buncah rindu. dan hanya itu satu-satunya penjelasanku kini yang harus kau anggap  yang tersisa dariku sebagai titik paling romantis. 

meski aku tak lagi bisa mengingat dengan jelas. 

bulukumba di sore hangat, 25 Januari 2010 



Template

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 13 Januari 2010 | Januari 13, 2010


loadingnya tidak lama jika hanya sekedar mengenang, biasanya. 
 banyak yang telah berubah di kotamu. termasuk template di hatimu, mungkin. beberapa tahun lalu seseorang yang lain telah memberimu tutorial untuk cara-cara mencintai. 

aku masih mengingatnya. hari itu kita membuat satu akun saja untuk sebuah perjalanan yang disepakati. "tapi aku akan membuat beberapa buah  akun untuk mengantisipasi musim-musim yang biasanya membanned hati kekasihku," katamu di hari itu. sebuah hari penuh hujan di kotamu dengan template klasik. 

aku masih saja mengingat berbagai macam widget yang telah kau pasang di waktuku yang lampau. aku mengingatnya dengan cara yang termasuk paling setia. aku belum pernah memikirkan untuk menggantinya. paling tidak sampai aku bertemu lagi dengan bermacam kode
javascript yang tidak aku pahami.
 

musim-musim yang senantiasa berubah memang kadang  ditugaskan membanned cinta. yakinku, diam-diam.

Bulukumba, 13 Januari 2010

Prosa Kecil Januari, Seonggok Perempuan

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 12 Januari 2010 | Januari 12, 2010


“barangkali kepada angin saja aku akan menyampaikan perasaan ini jika waktu telah berkenan,” akhirnya perempuan itu mengucapkan kalimatnya di awal januari. perempuan yang kini menggigil dan memeluk tubuhnya sendirian. perempuan yang dilarutkan malam-malam seperti desember kemarin.

para lelakinya telah bergantian datang dan pergi selama bertahun-tahun ini. waktu telah berkenan memberinya kesempatan untuk dicintai. beberapa dari kekasihnya mendapatkan bagian-bagian cinta dari tubuhnya. beberapa dari kekasih-kekasihnya yang lain berkenan memberikan cinta kepada nafasnya. tapi perempuan itu masih saja merasa sendirian. angin pun  tak dapat menjelaskan kepadanya tentang makna-makna yang  dihilangkan waktu.

tahun-tahun akan segera bergantian melumat usia dan tubuhnya. musim-musim telah mencabik-cabik wajahnya yang jelita. perempuan itu begitu menyadarinya. kekasih-kekasihnya pasti akan meninggalkannya sendirian ketika waktu itu tiba. dan ia tak akan lagi dipanggil dengan sebutan pelacur.

perempuan yang mendesah sendirian di bawah bulan. rambutnya kini menjadi hutan. wajah dan tubuhnya tidak lagi jelita. ia berusaha menikmati saat-saat waktu menjemput peristiwa-peristiwa berikutnya. hari-hari misterius yang tidak akan pernah bisa dibayangkan olehnya. dengan tubuh dan usia yang tidak lagi bisa dicintai oleh siapapun. bahkan olehnya sendiri.

tersisa beberapa musim lagi. tapi seonggok tubuh perempuan itu tak kunjung disinari bulan. ia tak akan lagi dipanggil dengan sebutan pelacur.
 
Bulukumba, 11 Januari 2010

Tumbuhlah Lagi

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 02 Januari 2010 | Januari 02, 2010

-buat thantri. lagi 

hari ini jam tujuh lewat tujuh belas
sebuah pagi dilindas hujan.

jika sebuah kereta dihela bulan
dan kesunyianmua mendadak tumbuh
menjadi sebuah pohon akasia
ajaklah aku untuk ikut melingkarinya
dengan tujuh puluh batang pena
akan kutulis tujuh ratus hikayat
tentang kecipak rindumu
yang diasingkan oleh resah 
gedung-gedung kota

tumbuhlah lagi
menjadi tujuh ribu helai puisi
setiap hari
kitab-kitab dari kesunyianmu
akan dibaca oleh tujuh mata angin
satu diantaranya adalah janin
dari sebuah zaman 
yang belum lagi lahir

mata teduhmu masih terus diintai
oleh penyair-penyair yang lalu lalang
mereka resah dibalik tumpukan puisi.
belum satu pun judul yang kau berikan kepada mereka, bukan?
berangkatlah lagi
ceritakan, hidup ini belati.

bulukumba, 30 Juni 2007

Sepucuk Surat Dari Desa

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 31 Desember 2009 | Desember 31, 2009


-prosa kecil buat thantri

terbangun pada pagi hari di negerimu adalah terbangun karena aroma khas sepiring nasi goreng yang diracik dari puisi yang belum habis dikunyah pada mimpi semalam. secangkir kopi susu yang kau hidangkan di depan hidungku adalah sisa beberapa lembar halaman dari sebuah novel yang pernah kita perbincangkan saat matahari tenggelam. thantri, pelajaran apa lagi yang telah kau siapkan untuk anak-anak muridmu hari ini?
“sekeranjang nyanyian dan judul-judul puisi yang belum selesai,” jawabmu sederhana dan segera berlalu.
“apakah sekeranjang soundtrack film yang kau anggap sama membiusnya dengan novel-novel di kamar kosmu itu?” tanyaku menggumam tidak jelas tapi memang tidak ingin aku perdengarkan sebab langkahmu telah sampai di koridor kampus. disana telah banyak bergerombol para penyair yang belum cuci muka dan kumur-kumur. kebetulan mereka hanya lusuh karena waktu.


thantri, hari ini entah kenapa aku sangat merindukan mulut dan hatimu mendongeng sambil berteka-teki saja. sebab itu adalah negeri-negeri kenyataan bagi gagasan. bukannya mencintai puisi, cerpen, atau pun film yang kadang menghancurkan para penulisnya sendiri sebelum karya mereka sampai kepada penikmatnya. aku tidak bermaksud mengguruimu di negerimu sendiri. sebab bahkan kita telah terlanjur mencintai gagasan-gagasan dari karya-karya besar itu. walau tak kunjung menjadi nyata, sekalipun pada benak para penciptanya. 

pulanglah sewaktu-waktu untuk membuat sepiring lagi nasi goreng atau secangkir kopi susu dengan gagasan yang tidak pernah pura-pura. sebab telah kau tulis dengan puisi-puisi yang nyata. bukan puisi religius yang ditulis oleh penyairnya seusai meniduri salah seorang kekasih gelapnya. bukan puisi cinta yang ditulis oleh penyairnya sembari mengunyah-ngunyah paham hedonisme. bukan puisi pemberontakan terhadap segala ketimpangan termasuk kolusi. dimana justru puisi itu dimuat di koran tapi setelah melalui proses kolusi setidaknya hubungan pertemanan dengan redaktur koran. bukan puisi-puisi pengkhianatan!
aku tidak ingin kau menulis seperti mereka. 

pulanglah sewaktu-waktu untuk menemaniku menempelkan puisi-puisi pada batang-batang padi di sawah. setiap pagi dan sore hari dibaca oleh nurani anak-anak petani desa setiap menggiring ternak pulang ke kandang. aku ingin segera terbangun pada pagi hari di negerimu. selalu. tanpa pura-pura. sebab disini, beberapa lembar puisi dari kota tak lagi renyah saat kita baca dalam hati. 

bulukumba, 23 maret 2008.

Di Bawah Gerimis

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 23 Desember 2009 | Desember 23, 2009

beberapa hari ini aku merasa agak lebih baik jika hanya menuliskan beberapa potong sajak. aku harap bisa mendahului sebelum wajahmu benar-benar diguyur gerimis. lalu kita terjemahkan saja aksara yang ada. 

mungkin benar salah satu lirik lagu yang aku kenal dari yang kau hapal, "...yang menangis tinggalkan diriku, yang menangis lupakanlah aku."

di bawah gerimis. aku merasa telah mencuri sekuntum nyanyian dari sekeranjang waktumu. aku masih saja lelaki yang tidak mampu menjadi sekumpulan airmata atau telaga.

sebuah keberangkatan telah dimulai lagi dari sini. ia tak terbaca. setitik hujan menandainya pada sebaris huruf tak tereja.  

Bulukumba, 23 Desember 2009



 

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday