Realitas dihadirkan Aslan dalam sajak-sajaknya yang erotisme atau lebih tepat disebut erotisme sosial. Apakah Aslan terperangkap dalam sastra pornografi? Kekuatan kata yang menjadikan tubuh sebagai media menjadika Aslan bebas menelanjangi realitas di sekelilingnya. Tidak berbeda dengan para penyair tertentu yang lebih suka menjadikan benda alam sebagai latar. Tapi aslan berhasil dalam hal ini. Entahlah jika memang benar Aslan Abidin termasuk dalam kategori penyair selangkang.
Aslan lahir di kota kalong, Soppeng Sulawesi Selatan, 31 Mei i972. Menuntaskan kuliah di Fakultas Sastra jurusan Sastra Indonesia di Universitas Hasanuddin Makassar tahun 1997. Sajak-sajaknya mengalir di Horison, Basis, Jurnal Puisi, Kompas, Republika, Media Indonesia, Bernas, dan beberapa harian di Makassar. Dibukukan antara lain dalam Mimbar Penyair Abad 21 (1996) Antolog Puisi Indonesia (1997), Sastrawan Angkatan 2000, Kitab Puisi Horison Sastra Indonesia (2002), Puisi Tak Pernah Pergi (2003), dan Tak Ada Yang Mencintaimu Setulus Kematian (2004). Membaca puisi di TIM Jakarta dalam Mimbar Penyair Abad 21 (1996), Pembacaan Sajak Penyair Delapan Kota (1998), dan Cakrawala Sastra Indonesia (2004).
Mengikuti Program Penulisan Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) Puisi tahun 2002 di Cisarua, Jawa Barat. Mengikuti Ubud Writer and Readers Festiva.tahun 2004 di Bali. Memenangkan beberapa lomba penulisan sajak, antara lain LCPI Tasikmalaya 1999, Art and Peace Bali 1999, dan LCPI Post 2003. Aktif bekerja sebagai wartawan di Makassar. Pernah mengetuai Masyarakat Sastra Tamalanrea (MST) dan lain-lain.
Penyair yang masuk dalam angkatan abad 21 ini memiliki karakter karya yang khas di antara penyair-penyair Sulawesi-Selatan. Kekhasan itu muncul pada sajak-sajaknya yang kerap kali menggunakan ‘tubuh’ sebagai latar. Lihat saja salah satu puisinya:
Polispermigate
perempuan jalang bertubuh pualam
pada simpang jalan itu menyimpan
bejana di tubuhnya. ia menjadi tempat minum
para lelaki pejabat yang datang
menghabiskan uang hasil rampokan
perempuan jalang di simpang jalan,
entah mengapa aku suka mengkhayalkan
diriku tersesat di kamarmu.
dan sebagai bentara para penjahat,
kau kisahkan padaku seluruh
riwayat dari negeri subur para perarmpok “aku seperti nawang wulan dan
mereka adalah beruang yang rakus mengisap
madu tubuhku. mereka takut aku
menemukan baju dan segera
menguap ke udara.” tapi nawang wulan, aku juga
suka membayangkan kau membuka
celana untukku. dan mungkin aku
akan terkesiap menatap kemaluanmu yang mangap seperti polisi yang siap menerima suap.
Sebuah puisi yang erotis tapi begitu rapi dalam penyampaian realitas sosial. Sebagaimana rambutnya yang pernah dibiarkan tumbuh panjang lurus tapi selalu diikat rapi. Penulis masih sering mengingat itu saat melihatnya terakhir kali pada sekitar tahun 1997 di kampus merah Unhas Makassar.