Sastra Lampung sebagaimana daerah lainnya di Indonesia, adalah salah satu yang telah menyempurnakan mozaik dan peta kesusastraan tanah air.
Banyak sastrawan ternama berasal dari Lampung. Mungkin anda akrab dengan karya dan nama seperti penyair Iwan Nurdaya-Djafar Isbedy Stiawan ZS, A.M. Zulqornain, Sugandhi Putra, Djuhardi Basri, Naim Emel Prahana,Iswadi Pratama, Budi P. Hatees, Panji Utama, Udo Z. Karzi, Ahmad Yulden Erwin, Christian Heru Cahyo, dan lain-lain. Menyusul kemudian Ari Pahala Hutabarat, Budi Elpiji, Rifian A. Chepy, Dahta Gautama, Dina Oktaviani, Alex R. Nainggolan, Jimmy Maruli Alfian, Y. Wibowo, Inggit Putria Marga, Nersalya Renata, dan Lupita Lukman. Cerpenis terkenal dari daerah ini adalah Dyah Merta dan M. Arman AZ.
Sastra Lampung dimulai sejak zaman purba di mana secara turun temurun berkembang puisi, teka-teki, sastra tutur dan lain-lain. Sastra tutur (lisan) yang juga dikenal dalam bentuk hikayat atau dongeng dipengaruhi oleh masuknya Islam dan kebudayaan Banten di Lampung. Yang banyak berkembang adalah sastra tutur jenis Wawaghahan (Warahan). Warahan yaitu cerita berirama. Ciri-ciri wawaghahan terlihat pada irama yang menyertai cerita tersebut, dan sifatnya liris (dipengaruhi pribadi dan emosi si pembawa cerita).
Istilah Wawaghahan dikenal di Lampung Barat, sering kita dengar dari pembawa cerita (prosa) berirama, biasanya dibawakan oleh seorang nenek untuk cucu-cucunya, dengan irama sedemikian rupa, menaik dan menurun, menimbulkan kesan tertentu. Si pendengar akan terhanyut oleh irama yang mengiringi cerita yang disampaikan itu. Prosa berirama yang berasal dari daerah Liwa, misalnya, Si Cambai, dan Lindung Cumuk (= Belut Tercelup).
Warahan biasanya dilakukan pada saat sedang bekerja, seperti memetik cengkih atau menuai padi. Pada zaman dahulu, warahan dibawakan oleh orangtua ataupun kakek nenek dengan dikelilingi anak cucunya. Cerita rakyat berbentuk warahan ini, antara lain Radin Jambat, Anak Dalom, dan Sanghakhuk. Isi wawaghahan bersifat edukatif, menyadarkan semua orang agar berbuat baik, karena siapapun orangnya jika berbuat baik akan memperoleh ganjaran setimpal. Warahan terdapat dalam berbagai bentuk, antara lain dongeng, hikayat, epos, mitos.
Kisah Danau Ranau dan Sebuah Nama Ranau
Danau Ranau dan Sebuah Nama Ranau adalah salah satu bentuk dongeng dalam cerita rakyat Lampung yang sangat banyak, dongeng ada yang berbentuk legenda adapula yang berbentuk fabel. Kisah-kisah yang berbentuk legenda, antara lain Kisah Putri Petani yang Cerdik, Betung Sengawan, Incang-Incang Anak Kemang, Si Bungsu Tujuh Bersaudara, dan Berdirinya Keratuan Ratu Melinting dan Ratu Darah Putih.
Sedangkan dongeng yang berbentuk fabel, antara lain Dongeng Puyuh dan Kerbau dan Dongeng Merak dan Gagak.
Kisah Buay Selagai
Kisah Buay Selagai adalah cerita rakyat Lampung yang berbentuk hikayat, adapun kisah-kisah lainnya yang berbentuk hikayat, yaitu Kisah Si Raden dan si Batin, Si Luluk, Sekh Dapur, Sidang Belawan, dan Abdul Muluk Raja Hasbanan.
Radin Intan
Radin Intan adalah cerita rakyat Lampung yang berbentuk epos. Epos diyakini memiliki dasar cerita yang bersifat realita. Isinya menyangkut suatu peristiwa kepahlawanan yang benar-benar terjadi atau diyakini sebagai kebenaran yang pernah berlangsung di masa silam.
Epos yang terkenal dalam cerita rakyat Lampung adalah cerita kepahlawanan Radin Intan. Kisah ini diyakini nyata dan terdapat keturunan Radin Intan yang hidup sampai saat ini.
Cerita Si Pahit Lidah
Cerita Si Pahit Lidah adalah asalah jenis cerita rakyat Lampung yang berbentuk mitos. Mitos biasanya dihubungkan dengan cerita mengenai peristiwa gaib, kepercayaan masyarakat yang bersifat takhayul ataupun cerita mengenai kehidupan dewa-dewa. Kisah seperti ini ada dalam cerita rakyat suku Lampung, yaitu kisah Sukhai Cambai, Cerita Anak dalom, dan Raksasa Dua Bersaudara.
Warahan, dalam perkembangannya dari masa ke masa bernuansakan islam dalam hal inti dan pesan-pesan yang disampaikan dalam cerita.
referensi: Wikipedia Bahasa Indonesia