Latest Post
Sekedar Catatan Dari Cross Culture Fest 2009
Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 17 Oktober 2009 | Oktober 17, 2009
Seniman Australia di Benteng Rotterdam
Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 16 Oktober 2009 | Oktober 16, 2009
Kehadiran Omar di Makassar merupakan rangkaian dari Ubud Readers and Writers Festival yang berlangsung di Bali, di mana para pembaca puisi mendapat kesempatan untuk melancong ke berbagai daerah di Indonesia. Omar, kebagian untuk hadir di Makassar. Dalam wawancara dengan sebuah koran lokal, Omar mengaku, "Saya melihat, kalau anak muda kebanyakan bosan jika mendengar pembacaan puisi. Karenanya, saya hadir dengan hip-hop poetry yang bisa lebih menyegarkan."
Ternyata ide dari penampilan yang menarik di atas panggung saat membacakan puisi ini datang dari almarhum seniman senior Indonesia, Rendra. "Saat itu saya masih umur sekitar delapan tahun. Saya mendengar Rendra berpuisi dengan penampilan yang sangat menarik di atas panggung," ujarnya. "Biasanya, saya melihat puisi itu dibacakan begitu saja sehingga sangat membosankan. Sejak saat itu tertanam di hati saya tentang penampilan Rendra yang menarik, dan menjadi inspirasi saya," kata pria blasteran Malaysia -Australia ini.
Sepanjang hari Kamis 15 Oktober kemarin, Omar tampil di sejumlah tempat di Makassar. Pukul 11.00 wita di Bengkel Seni UNM, pukul 13.30 wita di SMA Katolik Rajawali, pukul 15.30 wita di Unhas, dan pukul 19.30 wita di Festival Seni UNM di Benteng Rotterdam. Puisi yang dibawakan oleh Omar antara lain adalah puisi tentang tanah kelahirannya, Queabeyan, serta tentang masyarakat Aborigin, Aurukun. Acara seni ini digelar gratis.
Asdar Muis RMS, Pekerja Yang Berpikir
Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 14 Oktober 2009 | Oktober 14, 2009
Asdar Muis RMS namanya. Pertama kali mengenal sosoknya ketika saya mendengar siarannya melalui program "Kolom Udara" di Radio Suara Celebes 90,9 FM Makassar. Sebuah acara radio yang bermuatan kritik sosial dan politik. Lelaki berbadan tambun kelahiran Pangkep, 13 Agustus 1963 ini dikenal sebagai esais, novelis selain sebagai penyiar radio.
Tulisannya pernah rutin dimuat di harian Pedoman Rakyat dan di Harian Fajar. Bila menulis karya sastra, suami Herlina ini kerap memakai berbagai nama samaran, antara lain Linaku Nunung Rosita. Sejak awal 1984, ia menambahkan RMS pada namanya, singkatan dari “Rachmatiah Muis Sanusi”. Direktur Berita Radio Suara Celebes FM 90,9 Mhz dan staf pengajar Universitas Fajar Makassar ini menulis buku antara lain “Sepatu Tuhan” dan “HZB Palaguna : Jangan Mati Dalam Kemiskinan”. Yang fenomenal, novelnya "Eksekusi Menjelang Shubuh" yang terbit tahun 2009.
Di belantara jurnalistik, ia pernah menjadi Pemred Tabloid Harian Suaka Metro Jakarta, Redpel Manado Post, Redpel Tabloid Anak Wanita “Gita” Jakarta, redaktur Harian Berita Yudha, bekerja di Harian Fajar, koresponden MBM Tempo, Kepala Biro Harian Nusa-Bali di Jakarta, Direktur Pemberitaan Harian Pedoman Rakyat, dan beberapa media lainnya di Sulawesi dan Kalimantan.
Asdar Muis adalah pendiri “Komunitas Sapi Berbunyi” di Makassar. Jebolan Asdrafi (Akademi Seni Drama Indonesia) Yogyakarta, Fisipol Unhas dan sosiologi Pascasarjana Program Magister Universitas Hasanuddin ini setiap kali ditanya tentang pekerjaannya selalu menjawab secara serius: "berpikir!"
*disarikan dari berbagai sumber
Perempuan Palembang
Posted By Ivan Kavalera on Senin, 12 Oktober 2009 | Oktober 12, 2009
Bunga Lampung: Iswadi Pratama
Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 10 Oktober 2009 | Oktober 10, 2009
Dia salah satu bunga dari Lampung tapi dia bukan gadis. Saya mengenal karya-karyanya dari beberapa buku antologi puisinya yang dipinjamkan seorang teman pada sekitar tahun 2000. Dia bunga di halaman sastra Lampung. “Bunga tumbuh di halaman layu di hatiku.” Begitu penggalan salah satu kalimatnya yang terkenal. Sebuah kalimat yang dia ciptakan pada masa kanak-kanak yang lalu membawanya menelusuri pergumulan sastra di Indonesia. Iswadi Pratama lahir 8 April 1971 di Tanjungkarang, Bandarlampung. Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lampung dan selesai tahun 1996 ini mulai menulis dan suka membaca buku-buku karya sastra sejak duduk di bangku sekolah dasar.
Salah seorang mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada tahun 1992 ini juga sempat aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa Bahasa dan Seni (UKMBS) pada tahun 1993, dan sebagai anggota pada Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) pada tahun 1994.
Iswadi adalah seniman dua arah, sastra dan teater. Pada kedua genre seni inilah dia bisa mengekspolarasi ide-idenya. Karya Iswadi Pratama, selama tahun 1993 sampai 1996 dipublikasikan di berbagai media tanah air diantaranya, Republika, Media Indonesia, Horison, Koran Tempo, Kompas, Lampung Post, Jurnal Puisi, Swadesi, Serambi Indonesia, dan Teknokrat, surat kabar mingguan Salam. Berkat prestasinya yang cukup gemilang, ia pernah diundang pada acara Refleksi Kemerdekaan di Solo pada tahun 1995, diundang DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) mengikuti Mimbar Penyair Abad 21 di TIM Jakarta (1996), temu penyair se-Sumatra di Jambi, di samping pertemuan teater di berbagai kota di tanah air.
Sebuah prestasi terbesar yang pernah diraihnya adalah pernah menjadi nominasi 10 besar lomba puisi kemerdekaan di stasiun televisi swasta (AN-Teve). Penyair-cum jurnalis di Lampung Post ini pernah mementaskan drama yang diilhami dari puisi-puisinya, diantaranya ”Nostalgia Sebuah Kota”. Sebagai penulis naskah dan sutradara, Iswadi pantas diacungi jempol, karyanya ”Nostalgia Sebuah Kota”, meraih peringkat ketiga GKJ (Gedung Kesenian Jakarta) awards 2003: Anugrah Festival Teater Alternatif se-Indonesia (Oktober 2003). Pada kegiatan itu, naskah “Nostalgia Sebuah Kota” didaulat sebagai naskah terbaik. ”Nostalgia Sebuah Kota: Kenangan Pada Tanjung Karang”, Iswadi malakukan pentas keliling ke tiga kota yaitu Bandung, Jakarta, dan Makasar, atas dana hibah Yayasan Kelola (September 2004). Sebelumnya, Iswadi Pratama bersama Teater Satu memperoleh hibah seni dari Yayasan Kelola pada tahun 2002. Dedikasinya yang besar terhadap teater di Lampung mengantarkannya merintis Festival Teater Pelajar dan Arisan Teater Pelajar di lampung.
Iswadi pernah mengikuti Festival Seni Tari Mahasiswa tingkat nasional Padangpanjang pada Januari 1993. Ia juga pernah mengikuti seminar pertunjukan Indonesia, temu ilmiah ke III Masyarakat Seni Pertunjukan di Taman Ismail Marzuki (TIM) November 1992, dan festival teater tingkat nasional pertama di Surabaya.
Beberapa karya puisi Iswadi Pratama yang telah terbit: Belajar Mencintai Tuhan, Daun-Daun Jatuh Tunas Tumbuh, Refleksi Setengah Abad Indonesia, Antologi Cerpen Dari Lampung, Antologi Cerpen Dari Bumi Lada Cetik, Mimbar Penyair Abad 21 (DKJ)-Balai Pustaka (1996), Hijau Kelon dan Puisi 2002 (penerbit buku Kompas, 2002), Pertemuan Dua Arus (Jung Foundation, 2004), dan Matinya Cerita Pendek (DKJ)-Cipta (2007).
*disarikan dari berbagai sumber
Bunga silaturahmi dari Avior Clef:
Terimakasih ya, sobat. Award keren ini saya berikan lagi kepada: 136 followers Sastra Radio. Harap diambil dan disebarkan lagi kepada teman-teman yang lain.
Merebut Hegemoni Sastra dari Sastrawan dan Ahli Sastra
Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 09 Oktober 2009 | Oktober 09, 2009
Pada dasarnya manusia sebenarnya secara alami sudah dibekali tuntunan menghargai seni dari rima bahasa sehari-hari dan panca indranya. Yang dibutuhkan bukan lebih banyak teori lagi, tapi cara mengupas dan menyerap esensi karya seni dengan cara sangat alami. Sastra sehari-hari semestinya adalah sastra yang ditekuni sebagaimana pekerjaan rumah lainnya.
Tujuan utama suatu karya seni adalah ia bisa dinikmati oleh segala lapisan dan dihargai lebih dalam sewaktu ia dikupas lapisan lain. Semua karya seni yang berhasil sukses karena semua elemen dalam karya itu bentuknya boleh tidak menyatu tapi konsisten dan mencerminkan visi individualisme sang pencipta.
Dengan membebaskan karya sastra dari akademisasi berlebihan, mungkin ia bisa berkembang lebih baik. Di masa yang didominasi oleh media elektronik dan mainan virtual ini, terdapat banyak penghalang bagi perkembangan sastra. Yang paling nampak adalah mengerucutnya para sastrawan ke dalam kelompok yang terorganisir secara sengaja ataupun tidak sengaja. Mereka cenderung membentuk kelompok elitis dan selebritas. Akhirnya sastra dianggap hanya dari, oleh dan untuk sastrawan dan para ahli sastra. Para penikmatnya berada dalam kelompok-kelompok tersendiri. Kebanyakan terisolir dari kesempatan publikasi karya. Sebab mereka secara alami hanya bermain di wilayah blog atau facebook, misalnya.
Saatnya merebut hegemoni sastra dari tangan para sastrawan dan ahli sastra. Sebahagian dari kita telah melakukan itu tapi mungkin lebih bagus lagi jika melakukan kudeta bersama.Memahami Karya Sastra dari Alam
Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 08 Oktober 2009 | Oktober 08, 2009
Tak akan pernah ada petunjuk khusus yang bisa lebih membantu memahami puisi selain mendengar dengan seksama segala bunyi yang dilontarkan oleh setiap puisi yang dibaca ataupun mendengarkannya dibacakan orang lain. Pengetahuan dari pendengaran kita untuk memahami satu larik puisi adalah pengetahuan pola bahasa yang sudah terbiasa pada kita sejak masih bayi. Pada intinya puisi bisa kita nikmati, sebagaimana kita menikmati percakapan, lagu, tanpa perlu pengetahuan khusus sebab puisi dan rima-rimanya mampu menggedor hati kita.
Bila ingin mempelajari metrik tradisional, kita hanya perlu baca kumpulan puisi William Butler Yeats atau Ben Johnson, misalnya. Untuk memahami free verse, baca dua volume kumpulan puisi William Carlos Williams dan Wallace Stevens. Untuk memahami linea pendek, baca kumpulan puisi Emily Dickinson. Tentang adaptasi metrik balada ke dalam puisi modern, baca kumpulan puisi Thomas Hardy.
La Galigo: Realitas Baru dari Idealisme Leluhur
Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 06 Oktober 2009 | Oktober 06, 2009
Mungkin ada benarnya jika seorang sastrawan didefinisikan sebagai manusia yang berusaha lari dari realitas di lingkungannya dan berusaha membangun sebuah realitas baru yang ia yakini sebagai realitas yang ideal. Dari sastrawan ini lahir sebuah realitas baru dalam dunia sastra yang diyakini oleh semua orang sebuah realitas yang ideal dan mungkin saja sebagai sebuah kebenaran. Sastrawan-sastrawan Bugis kuno juga telah menunjukkan sisi penting ini.
Keberadaan La Galigo dalam masyarakat Bugis telah menjadi pegangan dalam kehidupan masyarakat Bugis sejak dahulu. Sebagai sebuah karya, sebagian para ahli melihat La Galigo dalam berbagai perspektif, antara lain sebagai karya sastra dan ada juga yang menganggapnya sebuah tulisan sejarah. Terlepas dari semuanya, La Galigo telah menempatkan dirinya sebagai sebuah karya yang menjadi pedoman hidup sebuah komunitas masyarakat yang hidup sampai saat ini.
Dalam bukunya Catalogus van de Boegineesche tot de I La Galigocyclus Behoorende Handschriften der Leidsche Universiteitbibliotheek yang diterbitkan oleh Universiteitbibliotheek Leiden (1939 : 1), penulisnya, R.A. Kern menempatkan La Galigo sebagai karya sastra terpanjang dan terbesar di dunia setaraf dengan kitab Mahabarata dan Ramayana dari India, serta sajak-sajak Homerus dari Yunani. Kenyataan ini pula diungkapkan Sirtjof Koolhof pada pengantarnya dalam buku I La Galigo yang diterbitkan atas kerjasama Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) dan Penerbit Djambatan. (1995 : 1) mencapai lebih 300.000 baris panjangnya. Sementara Epos Mahabarata jumlah barisnya hanya antara 160.000-200.000 halaman. Keunggulan La Galigo sebagai karya sastra bukan hanya dalam bentuk tulisan, namun juga telah menyebar dalam bentuk lisan ke berbagai daerah, sebab terbukti tokoh utama dalam La Galigo, Sawerigading, secara mitologis dikenal pada berbagai etnik di Sulawesi, Kalimantan, dan Semenanjung Malaysia.
Sebagai karya sastra, La Galigo memiliki konvensi-konvensi yang terealisasi dalam estetika dan muatan etikanya. Keindahan La Galigo termanifestasi pada konvensi bahasa, sastra, metrum serta alurnya. Isinya meliputi berbagai macam sumber tradisi, norma-norma, serta konsep-konsep kehidupan masyarakatnya. Peristiwa-peristiwa dan tokoh-tokoh dalam La Galigo bagaikan suatu pertunjukan tentang suasana kehidupan manusia Bugis beserta aktifitas sosial dan kulturalnya pada suatu zaman.
La Galigo adalah realitas baru dari idealisme leluhur. Selama berabad-abad terbukti La Galigo telah berfungsi sebagai realitas baru yang dianggap ideal yang dapat dijadikan pegangan dalam kehidupan oleh masyarakatnya. Telah saatnya kesadaran akan kekayaan budaya sendiri dibangun sedemikian rupa agar mampu melihat diri kita sendiri. Kesadaran akan tingginya peradaban dan kebudayaan leluhur di sisi lain juga tak seharusnya sekedar menjaga teks, literatur dan kitab kuno melainkan penjagan terhadap kandungannya dalam keseharian.
Perjalanan Prajurit Para Komando
Posted By Ivan Kavalera on Senin, 05 Oktober 2009 | Oktober 05, 2009
Penulis: Hendro Subroto
Kata Pengantar: Prof. Taufik Abdullah
Buku ini menarik bagi para penggemar cerita militer dan kontroversi yang melingkupi para Jenderal. Inilah buku yang peluncurannya langsung menuai komentar dan kontroversi, utamanya bagi pihak-pihak yang bersinggungan dengan isi buku, antara lain mantan capres dari Partai Gerindra, Letnan Jenderal TNI Purn Prabowo Subianto dan mantan capres dari Partai Hanura, Jenderal TNI Purn Wiranto.
HB Jassin, Paus Sastra Indonesia
Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 04 Oktober 2009 | Oktober 04, 2009
Nama H.B Jassin selalu dihubungkan dengan dokumentasi sastra
Setelah keluar dari Balai Pustaka, H.B Jassin secara terus-menerus bekerja dalam lingkungan majalah sastra- budaya. Ia menjadi redaktur majalah Mimbar Indonesia ditahun 1947-1966, majalah Zenith ditahun 1951-1954, majalah Bahasa dan Budaya ditahun 1952-1963, majalah Kisah tahun 1953-1956, majalah Seni tahun 1955 dan majalah Sastra ditahun 1961-1964 dan tahun 1967-1969.
Ia juga pernah menjadi anggota dewan pertimbangan pembukuan Perum Balai Pustaka (1987-1994), anggota Panitia Pertimbangan Pemberian Anugerah Seni Bidang Sastra, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1975), anggota juri Sayembara Kincir Emas oleh radio Wereld Omroep Nederland (1975), anggota Panitia Pelaksana Ujian Calon Penerjemah yang disumpah (1979-1980), Extrernal assessor Pengajian Melayu, Universiti Malaya (1980-1992), anggota Komisi Ujian Tok-Vertlader, Leiden tahun 1972, peserta 29 tahun International Congress of Orientalist, Paris dari tanggal 16-22 Juli 1973, penasehat Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditahun 1973-1982, anggota dewan juri Sayembara Mengarang Novel Kompas-Gramedia tahun 1978, ketua dewan juri Sayembara Novel Sarinah di tahun 1983, anggota dewan juri Pegasus Oil Indonesia pada tahun 1984 dan ketua dewan juri Sayembara Cerpen Suara Pembaruan ditahun 1991.
Pada tanggal 30 Mei 1970, lahirlah Yayasan Dokumentasi Sastra H.B Jassin yang menggantikan Dokumentasi Sastra, Sejak akhir September 1982 s/d sekarang bangunan itu berdiri dan menempati areal seluas 90 meter persegi dalam komplek Taman Ismail Marzuki, jalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat.
Jejak Harimau Sastra di Sumatera
Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 02 Oktober 2009 | Oktober 02, 2009
Sumatera menjadi pulau yang paling sering disebut-sebut sejak beberapa hari ini. Peristiwa gempa telah meluluhlantakkan beberapa bagiannya di wilayah barat. Sumatera tidak hanya penghasil rempah. Sejarah telah membuktikan, swarnadwipa ini merupakan sokoguru budaya. Melayu, Minangkabau, Batak, Gayo-Alas-Singkil, Aceh, merupakan puak terbesar di samping kaum pendatang dari Jawa. Dalam sejarah, dua kerajaan besar pra Indonesia bermukim di sini: Samudera Pasai dan Sriwijaya. Gugusan pegunungan membentang dan menjulang dari utara hingga selatan: Bukit Barisan. Toba, Singkarak, dan Maninjau adalah danau yang menjadi ikon semenanjung Sumatera.
Deretan sastrawan besar Indonesia lahir di sini dan membesarkan Indonesia. Melacak nama mereka tidaklah sesulit melacak jejak harimau Sumatera yang semakin langka. Para harimau sastra Sumatera itu di antaranya adalah Agus Mulia, Ahmad Badren Siregar, Antonius Silalahi, Djamal, Elidawani Lubis, Herni Fauziah, Januari Sihotang, Lia Anggia Nasution, Pria Ismar, Pusriza, Embar T Nugroho, Indra Dinata SC. Ada pula nama Indra YT, Irwan Effendi, Richad Yanato, Rina Mahfuzah Nasution, Sumiaty KSM, Variati Husni, dan Yunita Sari. Itu semua dari Provinsi Sumatera Utara. Dari Sumatera Barat muncul sastrawan mudanya, seperti Anda S, Chairan Hafzan Yurma, Edo Virama Putra, Esha Tegar Putra, Pinto Anugrah, dan Yetti A.KA .
Konstelasi sastra itu menumbuhkan Kota Medan dan Kota Padang sebagai pusat sastra Indonesia yang utama di luar Pulau Jawa. Sastrawan dari kedua wilayah ini kemudian saling memberi warna sehingga muncullah Chairil Anwar dan Hamka sebagai orang Minang yang secara bersamaan melekat sebagai orang Medan. Sebaliknya, Sutan Takdir Alisjahbana dan Mochtar Lubis sebagai orang Medan yang merasakan atmosfer sastra Minang. Mereka merupakan bagian dari kelas menengah Hindia Belanda yang memperoleh pendidikan, sehingga terampil dalam mengekspresikan gagasannya, pandangan hidup sebagai subjek kolektif. Sedangkan Sumatera Utara, sebagaimana halnya Riau, tampaknya punya kedekatan sejarah dengan Semenanjung Malaysia. Karya-karya para sastrawan banyak yang terbit di sana. Setidaknya 12 novel telah dibukukan dan beberapa antologi puisi dan Cerpen.
Ada pula even “Dialog Utara” yang dilaksanakan sejak awal 1980-an yang pada mulanya diisi oleh para sastrawan dari Medan dan Pulau Pinang yang dianggap sebagai kota kembar karena kemiripannya yang sama-sama memiliki tradisi sebagai kota pantai. Genre sastra yang banyak ditulis adalah puisi dan kemudian cerita pendek. Kurang diimbangi oleh penulisan novel.
Lampung menyumbang nama Isbedy Stiawan ZS. Peta sastra Indonesia tidak lengkap tanpa Lampung. Lalu Assaroeddin Malik Zulqornain Ch alias Amzuch. Lalu Iwan Nurdaya-Djafar, Sugandhi Putra, Hendra Z., Djuhardi Basri, dan Naim Emel Prahana. Bersamaan itu, dinamika sastra di Lampung kian bergolak dengan munculnya Syaiful Irba Tanpaka, Achmad Rich, serta yang berkiprah kemudian yaitu Panji Utama, A.J. Erwin, Iswadi Pratama, Ivan Sumantri Bonang, D.Pramudia Muchtar, Eddy Samudra Kertagama, Ari Pahala Hutabarat, Jimmy Maruli Alfian, Inggit Putria Marga, Diah Indra Mertawirana , Lupita Lukman dan Elya Harda. Pada era 90-an muncullah Dimas Arika Mihardja, Acef Syahril (sekarang berdomisili di Indramayu), Iif Ranupane, Dimas Agus Pelaz, Iriani R. Tandi, Budi Veteranto, Ari Setya Ardhi, EM. Yogiswara, Nanang Sunarya, Suardiman Malay, Firdaus, Asro Al-Murthawy, Amri Suwarta dan Indriatno. Masih banyak lagi nama lainnya. Setelah peristiwa gempa, semoga eksistensi mereka tak menjadi langka seperti nasib harimau Sumatera.
September, Novel Sejarah Hitam
Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 01 Oktober 2009 | Oktober 01, 2009
Judul: September
Pengarang: Noorca M. Massardi
Penerbit: Tiga Serangkai, 2006
Tebal: 622 Halaman
Sebuah kalimat tercetak: "Sebuah bangsa telah terluka. Luka itu tidak akan pernah terlupakan dan tidak akan terhapuskan untuk selama-lamanya… " cukup provokatif menghiasi sampul hitam novel September karya Noorca M. Massardi, seakan menyeret ingatan kita pada sejarah kelam bangsa Indonesia yang dipicu oleh Gerakan 30 September 1965.
Tapi jangan tergesa membayangkan detik-detik yang mencekam. Karena kita harus bersabar mengikuti petualangan Darius, manajer senior yang di-PHK karena pabrik kecap Mas Koki tempatnya bekerja dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. Karena ”masih punya otak, punya kaki, dan punya tangan”, Darius berangkat mencari pekerjaan. Di dalam Bis Kota Darius jatuh pingsan setelah bertemu dengan Bo Gesti, seorang pemuda yang begitu mirip dengan dirinya sendiri.
Setelah sadar, Darius menghadapi hal-hal aneh yang terasa sudah menjadi bagian dari masa lalunya, terutama ketika tubuhnya bisa merasuki tubuh orang lain. Dalam tubuh Bo Gesti, Niko Firdaus maupun bintang film Johan Bagus Redana, Darius memasuki kehidupan-kehidupan borjuasi muda metropolitan dengan segala dinamika dan romantikanya. Termasuk hubungan seksual antar dan sesama jenis.
Merasuki tokoh inilah, yang dipakai Noorca untuk mengintip perjalanan sejarah. Detik-detik sejarah yang mencekam itu, dimulai dari pesan pendek yang mengabarkan bahwa malam itu ibu kota tegang dan mungkin akan terjadi peristiwa penting. Sebuah peristiwa kudeta terjadi ... tujuh samurai yang disewa warga kampung itu dibunuh semua. Para banditnya justru yang sekarang menguasai seluruh desa. Bahkan, kepala kampung dan istrinya juga disandera...
Dari sinilah pembaca mulai diajak untuk membuka kembali ingatan sejarah dan mengingat nama-nama. Hal itu penting karena tokoh-tokoh sejarah yang dihadirkan oleh Noorca telah dibolak-balik susunan hurufnya, misalnya Letjen Mahya Nida (Ahmad Yani?), Jenderal Tasnio Hanu (AH Nasution?), Wakil PM Alimenje (J. Leimena?), Letnan Errie Pandeten (Pierre Tendean?) dan lain-lain. Nama-nama itu mau tidak mau mengingatkan kita pada tokoh-tokoh bersejarah seputar peristiwa G 30 S PKI, hanya saja hari dalam novel Noorca itu bertanggal 10 september.
Maka untuk mengetahui bagaimana kronologis yang sebenarnya, Darius merasuki tubuh Kolonel Djiwakarno, seorang ajudan presiden. Tidak hanya sebagai saksi sejarah, Darius ternyata juga mengubah sejarah itu sendiri. Apalagi ketika ia merasuki tubuh tokoh paling penting yaitu Presiden Sukresno, yang digambarkan sudah melek iptek dan terbiasa menggunakan komputer, internet dan mempunyai situs pribadi.
Pada waktu itu opini publik sedang dikuasai oleh militer, melalui media Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha. Kedua media itu dimanfaatkan untuk menebar isu tentang penganiayaan para jenderal oleh perempuan-perempuan Gerwani di lubang buaya. Tak pelak, isu itu mengakibatkan pembantaian yang meluas terhadap ratusan ribu orang yang dituduh sebagai anggota dan terkait dengan Paki, Partai Kiri yang dianggap berada di belakang penculikan dan penganiayaan itu.
Melihat semua itu, Darius dalam tubuh ”Putra Sang Surya” itu tidak tinggal diam. Ia bergerak mengubah sejarah dengan mengerahkan kemampuan tokoh-tokoh yang pernah dirasukinya. Yaitu Niko Firdaus (pemimpin redaksi harian Novum), Tamara, Nadya Duvierge dan Bo Gesti.
Empat sekawan itu berhasil mematahkan propaganda hitam, dan akhirnya memojokkan Mayjen Theo Rosa selaku Panglima Komando Pasukan Cadangan AD (Kopascad), untuk mengakui sebagai dalang kudeta september itu di depan DPR. Theo Rosa pun mengakhiri hidup secara tragis dengan menembakkan pistol, setelah menyampaikan sebuah pidato pengunduran dirinya. Adegan bunuh diri itu menjadi begitu sensasional ketika secara langsung disiarkan oleh televisi.
Kenyataan itu pasti akan meruntuhkan kronologis sejarah yang sudah dibangun pembaca. Tapi tak masalah karena menurut Noorca, novel ini seratus persen fiksi. Dan seperti cerita fiksi lainnya, Noorca harus mengembalikan Darius yang terjebak dalam dimensi lain ke dalam kehidupan nyata. Darius tersadar dan mendapati dirinya masih di rumah dan belum berangkat mencari pekerjaan. Jadi benarkah semua yang dialami Darius itu?
Entahlah, yang jelas ketika tersadar, Darius mendapati bagian dari perjalanan itu hadir dan nyata. Melalui novel ini, Noorca sepertinya ingin menyodorkan pemahaman baru tentang peristiwa kudeta itu. Apalagi ketika novel ini menyinggung sejarah penting tentang terbunuhnya Arief Rahman Hakim. Benarkah dia sendiri yang terbunuh atau orang lain?
Yang menjadi pertanyaan mendasar ketika membaca novel ini adalah, siapa sebenarnya Darius? Apakah ia adalah gambaran Noorca itu sendiri, karena mantan manajer kecap Mas Koki itu bertanggal lahir sama, yaitu 28 Februari. Atau jangan-jangan Noorca juga sedang terasuki oleh sosok Darius. Novel ini cukup berhasil menghadirkan persepsi baru terhadap segala kejadian seputar 30 September di Indonesia.