Latest Post

Cintanya Sepanjang Jalan

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 22 Desember 2009 | Desember 22, 2009



ia adalah purnama ketika kami anak-anaknya berpendaran di bawah bulan
bermain dan terus bertumbuhan.

ia adalah makhluk terkuat di dunia. bahunya mampu menahan seluruh beban dunia dan isinya. di lain hari bahu itu menjadi tempat nyaman dan lembut untuk menahan kepala bayi yang sedang tertidur. 

matanya lebih sempurna memberi energi dibanding matahari. ia tak tergantikan. cintanya sepanjang jalan. 

Bulukumba, 22 desember 2009



            SELAMAT HARI IBU 22 DESEMBER


Sajak Kecil Saja

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 21 Desember 2009 | Desember 21, 2009


apakah tema terbaru yang paling tepat tentangmu?
(semua tema tentang indonesia saja telah diborong oleh televisi, koran dan radio. sebuah revolusi mungkin belum akan cukup membuatnya sedikit berubah)

tapi aku berusaha menulis sajak kecil saja ketika sebuah keberadaan dilindas kekuasaan sunyi. tidak perlu biaya mahal. sajak ini bukan poster dan spanduk demo yang kalimat-kalimat protesnya tentu dicetak dengan biaya mahal. lalu sejumlah massa berkumpul dan berteriak tentang haknya.

aku sendiri saja. lalu apakah tema yang paling tepat untukmu?
jarum jam yang mengitari matamu mungkin akan menandakan kita akan segera selesai. jarum jam itu dulunya pernah berwarna pink. gerakan dan kecepatannya pernah sama persis dengan jarum jam di hatiku.

Bulukumba, sebuah tanggal tak tercatat di 2007 

Sedikit Tentang Desember

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 20 Desember 2009 | Desember 20, 2009




desember yang diletakkan di hari minggu itu ternyata masih pagi, katamu. desember yang terakhir itu ada di dalam kaca di rumah kita. tidak seperti kaleidoskop peristiwa di koran dan televisi. desember kita lebih lengkap. ada potret trotoar, karnaval, demonstrasi dan cinta yang mulai bekerja.

sebenarnya, mendadak aku hanya ingin membubuhkan sedikit tanda tangan pada  almanak di atas meja kerjamu. aku ingin membayangkan semuanya berisi tanggal merah pada tahun depan.

"hatiku tetap bekerja," bisikmu lagi.

Bulukumba, 20 Desember 2009



Festival Budaya dan Lovely Toraja 2009

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 19 Desember 2009 | Desember 19, 2009

Festival Budaya dan Lovely December 2009 di Tanah Toraja, Sulawesi Selatan akan menampilkan pergelaran seni budaya, antara lain kesenian dari 21 kecamatan di wilayah Kabupaten Toraja Utara, kabupaten/kota di Sulawesi Selatan serta provinsi lain. Juga digelar kegiatan pameran kerajinan daerah, pameran foto pariwisata, bazaar dan lomba masakan tradisional, pasar malam, hiburan rakyat, serta dialog dan seminar budaya daerah.

Puncak pelaksanaan even budaya ini akan berlangsung pada 26 Desember 2009 di Rantepao, Toraja Utara. Festival Budaya dan Lovely December 2009 telah masuk dalam agenda kegiatan pariwisata berskala internasional, dan mulai dicanangkan pada tahun 2008 lalu, dengan tujuan untuk mengembalikan citra pariwisata Toraja sebagai salah satu daerah tujuan wisata utama di Indonesia.

Tanah Toraja diharapkan sebagai destinasi utama pariwisata Sulawesi Selatan akan terekspos kembali semua potensi dan daya tarik wisata yang dimiliki, antara lain berupa keindahan alam dan budaya kepada masyarakat Indonesia maupun dunia. Festival itu juga akan dijadikan sebagai titik starting point untuk menyedot kunjungan wisatawan nusantara (wisnus) maupun wisatawan mancanegara (wisman) lebih banyak lagi ke Toraja pada tahun-tahun mendatang.

Festival Phinisi Bulukumba 2009

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 18 Desember 2009 | Desember 18, 2009


Setelah sempat tertunda, akhirnya Pemerintah Kabupaten Bulukumba menyatakan siap menggelar kegiatan budaya Festival Perahu Tradisional Phinisi pada 19 - 20 Desember 2009. Sekitar 3.000 personel dari pihak pemerintah dan masyarakat setempat disiapkan sebagai panitia. Panitia menjalin kerja sama dengan pengusaha travel dan biro perjalanan untuk membantu mempromosikan kegiatan itu. Festival perahu Phinisi rencananya dihadiri Gubernur Sulsel dan Dirjen Kebudayaan dan Pariwisata.


Kabupaten Bulukumba, Sulsel selama ini terkenal sebagai daerah pembuat perahu Phinisi yang produksinya sudah dikenal hingga ke mancanegara. Masyarakat di pesisir pantai Tanaberu, Kecamatan Bira, Kabupaten Bulukumba, setiap hari membuat aneka perahu seperti perahu Phinisi, Pajala dan Jolloro.

Warga Bulukumba khususnya yang mendiami Tanahberu sebahagian besar berprofesi nelayan. Sebahagian kecil memilih pekerjaan pembuatan perahu atau dalam bahasa Bugis dikenal sebagai "Panrita Lopi". Pemesanan perahu Phinisi, selain warga Sulsel, juga datang dari provinsi lainnya di Indonesia, bahkan pesanan dari Jepang dan negara-negara lainnya di Eropa.

sumber: RCA News

Aku Telah Memutuskan untuk Memotong Sajak ini Menjadi Dua Bagian

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 17 Desember 2009 | Desember 17, 2009


aku telah memutuskan untuk memotong sajak ini 
menjadi dua bagian 
agar kita merasa pernah bersinggahan 
dan bertukaran di pelupuk mata masing-masing
bertautan pada jendela-jendela kereta yang mendekatkan
jarak pandang
seperti angin, pepohonan dan perkampungan yang berlarian 
di sepanjang jalan
sebuah keintiman jemari saja sekejap cukup 
mengusap airmatamu.

cukup kita berdua saja yang merasa pernah membacanya
di samping waktu yang telah membatu,
di sebuah stasiun kereta yang ternyata 
tak kunjung menuliskan judul sajak kita.
aku telah memutuskan untuk memotong sajak ini 
menjadi dua bagian
beberapa dari kata dan kalimat telah kita anggap ikut bersepakat
dan mungkin akan kerap kali kita bacakan
pada setiap ingatan tentang perhentian kereta,
setiap kereta tentang riwayat lama.

Bulukumba, 17 Desember 2009

Festival Teater “Menengok Kembali Cerita Rakyat” Makassar 2009

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 16 Desember 2009 | Desember 16, 2009

Manusia dan peradabannya hari ini berada dalam ruang tempat keragaman, identitas, dan nilai budaya. Semua itu masih penuh semangat untuk diproduksi dan sekaligus dipertentangkan. Salah satu dimensi itu bernama teater. Teater tetap bergerak meski dalam ruang-ruang sesempit apapun. Dari celah-celah bumi leluhur yang gamang kadang teater menemukan juga lembah-lembah pertemuan kecil dengan nilai-nilai.

Berangkat dari substansi pemikiran itu Rumpun Seni Budaya Bulukumba (RSBB) berupaya turut mengangkat cerita rakyat dari Bulukumba berjudul “Sandiwara Panrita Lopi” dalam Festival Teater “Menengok Kembali Cerita Rakyat” yang diselenggarakan oleh Lembaga Petta Puang Makassar. Berlangsung selama tiga hari, 17, 18, 19 Desember 2009 di Gedung Societet de Harmonie Makassar.
Cerita rakyat dari Bulukumba yang diusung oleh RSBB hanya salah satu dari sekian banyak cara mendayung kearifan lokal yang dieksplorasi secara kekinian dengan tidak meninggalkan aksen tradisi dan mistiknya. Suguhan RSBB sebenarnya tidaklah pada wilayah di mana manusia sama-sama menikmati sebuah pertunjukan secara kompleks tetapi yang terpenting adalah bagaimana sebuah lokalitas pertunjukan menjadi ikon yang menandai sebuah arus perubahan.

Cerita rakyat adalah cara yang tepat untuk saling mengkaitkan kebudayaan yang berbeda, sedangkan bercerita maupun berteater adalah cara yang efektif untuk berkomunikasi. Semoga saja apa yang diapresiasi oleh RSBB mampu menjadi awal sinergi yang panjang. Melalui salah satu ombak keras bernama festival teater ini semoga RSBB mampu kembali menengok sekaligus menghidupkan estetika dan kekayaan nilai warisan leluhur. Bukannya menangisi yang telah terkubur lautan zaman.

Pemain berjumlah 8 orang dari Kelompok Teater RSBB mengusung cerita rakyat "Sandiwara Panrita Lopi" dengan disutradarai oleh Arie Dirgantara. Penulis Naskah & Penata Artistik Andhika Mappasomba. Pimpinan Produksi, saya sendiri. Kepada teman-teman sesama blogger dan semuanya, mohon doakan kami. Mungkin bukan untuk menang dan meraih jawara tapi lebih pada kemenangan nilai-nilai dari kearifan lokal. Mari menengok kembali cerita rakyat.

Acep Zamzam Noor Juga Blogger

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 15 Desember 2009 | Desember 15, 2009

Seperti mimpi saja. Beberapa hari lalu saya sungguh tidak menyangka akan dikunjungi oleh penyair senior ini di WebBlog sastra-radio dan kedai kopi. Bahkan ia sempat meninggalkan jejak berupa promo update blognya di kolom komentar.
Tema-tema dan artistik yang tinggi dalam sajak-sajaknya pantas diganjar anugerah Sastra South East Asian (SEA) Write Award tahun 2005. Sebuah penghargaan yang dikhususkan bagi para sastrawan Asia Tenggara oleh Kerajaan Thailand. Ia juga memperoleh penghargaan Penulisan Karya Sastra 2000 Depdiknas dan Khatulistiwa Literary Award (2007).
Acep Zamzam Noor lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 28 Februari 1960. Setelah mereguk ilmu agama Islam di Pesantren Cipasung dan As-Syafi’iah, Jakarta Ia masuk Jurusan Seni Lukis Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB (1980-1987) lalu Universit Italia per Stranieri, Perugia, Italia.
Karya-karya kumpulan sajaknya yang telah dibukukan antara lain Tamparlah Mukaku!(1982), Aku Kini Doa (1986), Kasidah Sunyi (1989), The Poets Chant (1995), Aseano (1995), In Words In Colours (Antologi, 1995), A Bonsai’s Morning (Bali, Antologi, 1996) Di Luar Kata (1996), Dari Kota Hujan (1996), Di Atas Umbria (1999), Dongeng dari Negeri Sembako (2001), Jalan Menuju Rumahmu (2004), Asia Literary Review (2006), dan Menjadi Penyair Lagi (2007).
Di samping menulis, melukis dan blogging ia juga sehari-hari bergiat di Sanggar Sastra Tasik (SST) dan Komunitas Azan. Ia adalah penyair Indonesia yang menulis sajak secara terus-menerus dengan mempertahankan kualitas dan ciri khas.

Bagian dari Kegembiraan
1
Jalan di belakang stadion itu sudah lama tidak kulewati
Mungkin madrasah yang dibangun persis depan kamarmu
Sekarang sudah rampung. Aku teringat pohon beringin
Yang berdiri anggun dekat taman kanak-kanak dan pos ronda
Setiap pulang mengantarmu aku sering kencing di sulur-sulurnya
Yang rimbun. Sepi terasa menyayat jika kebetulan lewat:
Ingin sekali minum jamu kuat, tapi kios yang biasa kita kunjungi
Sudah tidak nampak di sana
2
Volkswagen yang bentuknya mirip roti tawar itu masih kusimpan
Di garasi. Aku belum berniat menjualnya meski dengan harga tinggi
Di badannya yang mulai karatan masih tersimpan ratusan senja
Yang pernah kita lewati bersama. Di joknya yang mulai rombeng
Masih melekat ribuan pelukan dan ciuman. Catnya belum kuganti
Aku masih ingat bagaimana dulu kau ngotot memilih hijau lumut
Biar mirip seragam tentara,” ujarmu. Tapi mobil yang usianya
Delapan tahun lebih tua darimu atau tiga belas tahun di bawahku itu
Akhirnya kulabur dengan hitam. Kini mesinnya harus sering dipanaskan
Dan sesekali mesti dibawa jalan-jalan. Aku sangat menyayanginya
Sekalipun kerap membuatku jengkel dan putus asa. Pada kaca spionnya
Masih tersimpan gambar yang menjelaskan betapa berliku jalan
Yang kita susuri. Pada rodanya masih tercatat angka yang menunjukkan
Betapa panjang kilometer yang kita tempuh
3
Apa makna alun-alun bagimu? Kenapa selalu mengajakku duduk-duduk
Di salah satu sudutnya? Apakah kau suka mendengar bunyi air mancur
Atau senang melihat pasangan-pasangan yang berpelukan dalam remang
Lampu taman? Atau ingin menjadi bagian dari Tasik Volkswagen Club
Yang sering nongkrong malam-malam? Lalu apakah makna kegembiraan
Bagimu? Kau hanya tersenyum setiap kutunjukkan di mana letak bintang
Yang suka menyendiri di gelap malam, setiap kukatakan bahwa ricik air
Adalah suara hatiku yang paling dalam
4
Tiba-tiba kausentuh lagi ingatanku pada bunyi tek-tek
Pedagang mie keliling. Kautarik lagi kenanganku
Pada nama jalan, tembok penuh coretan dan tiga kelokan
Yang selalu menyaksikan kita sempoyongan malam-malam
Menuju kamar kontrakanmu di ujung gang. Kaugetarkan lagi
Kesepianku pada harum rambut, sisa bedak serta kecupan singkat
Yang sesekali hinggap di antara rintik gerimis yang rapat:
Jangan menelpon. Aku tidak akan tahan mendengar suaramu
5
Waktu melingkar seperti jalan yang mengelilingi stadion
Berawal dari titik sepi dan akan selalu berujung pada titik
Yang sama. Bermula dari kekosongan dan kembali lagi
Pada kekosongan. Sejak perutku membuncit dan punggungku
Mulai terserang rematik, setiap sore aku selalu ikut berlari
Bersama mereka yang rajin memelihara badan dan kesehatan
Aku tidak muda lagi, namun seperti yang pernah kaukatakan dulu
Cinta tidak ada hubungannya dengan usia. Aku berlari pelan-pelan
Melewati lapak-lapak kaki lima, melewati warung-warung kopi
Yang jika malam akan berubah menjadi tempat transaksi, melewati
Anak-anak sekolah yang main basket, melewati deretan sepeda motor
Melewati ibu-ibu muda yang bajunya ketat serta rambutnya cokelat
Dan sepi terus melingkar seperti mereka yang rutin berolahraga, seperti
Mereka yang takut akan kematian, seperti poster-poster yang bertaburan
Seperti wajah-wajah calon walikota yang senyumnya seragam, seperti
Baris-baris puisi yang tidak sempat kutuliskan. Di depan sebuah gang
Kadang aku berhenti dan tanpa terasa meleleh airmata di pipi

Ruang eksistensial manusia yang dibayangi oleh kegamangan pada sebuah tujuan telah membuatnya mencari dan menemukan idiom, metafora, dan imaji-imaji alam yang khas. Itulah yang dapat dinikmati di sepanjang perjalanan kepenyairan Acep Zamzam Nor.

Cerita Rakyat dan Kaum Muda

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 14 Desember 2009 | Desember 14, 2009


Pada zaman dulu cerita rakyat pernah mengalami masa kejayaan. Warisan turun temurun ini sangat mempengaruhi pola pikir masyarakat. Cerita rakyat merupakan gambaran otentisitas yang mencerminkan perilaku dan budaya masyarakat kita. Namun kenyataan berubah ketika kaum muda tidak lagi tertarik kepada cerita rakyat.

Mengapa kaum muda cenderung tidak berminat lagi pada cerita rakyat? Dalam sebuah diskusi ringan di Bulukumba beberapa minggu lalu, terbetik kesimpulan bahwa alur cerita maupun tokoh-tokoh dalam cerita rakyat dianggap sudah ketinggalan zaman. Sebahagian besar kaum muda yang telah kehilangan minat baca juga memperparah keadaan ini.

Kaum muda kurang begitu meminati cerita rakyat karena dianggap tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Ada ketidaksukaan bila melihat tokoh cerita berperan di hutan. Mereka lebih tertarik dengan obsesi metropolis. Lingkungan yang serba hiruk pikuk. Kaum muda justru merasa aneh dan lucu bila membaca sebuah cerita rakyat, dimana seorang tokohnya yang sedang menunggang kuda.

Dalam benak mereka, semestinya tokoh dalam cerita rakyat itu, haruslah mengendarai pesawat antariksa atau mobil mewah super canggih, misalnya. Pola pemikiran generasi muda mengacu pada hubungan logika dengan lingkungan mereka.

Saat ini dibutuhkan sistem distribusi cerita rakyat melalui kurikulum sekolah maupun kampus. Memperbanyak situs cerita rakyat dalam bentuk website maupun blog juga sangat efektif. Modifikasi juga perlu dilakukan pada keaslian cerita-cerita rakyat tapi tentu tak bisa dilakukan secara total sebab justru akan menjadikannya lebih terasa asing. 

Festival teater yang mengangkat cerita rakyat dan melibatkan kaum muda juga semestinya diagendakan setiap tahun. Semisal Festival Teater bertajuk “Menengok Kembali Cerita Rakyat” yang akan digelar di Gedung MULO Makassar pada 17 Desember 2009.

Satu dari Segelintir, Aspar Paturusi dari Bulukumba

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 13 Desember 2009 | Desember 13, 2009


Pada 10 April 2011, bertepatan usianya yang ke-68, sosoknya tetap berani 'menghunus badik' ketika di Graha Pena Makassar diluncurkan buku puisinya yang berjudul "Badik". Buku itu memuat 303 puisi dengan tebal 372 halaman.

Dengan penuh percaya diri Ia tampil sepanggung dengan sejumlah nama besar dari pentas teater nasional. Ia bergabung dengan Teater Kecil-nya Arifin C Noer. Bersama Teater Saja-nya Ikranegara, ia bermain di Taipei di tahun 1984, Singapura dan Malaysia di tahun 1985. Ia salah satu seniman kebanggaan warga Sulawesi Selatan, satu hal yang bahkan diformalkan dengan penghargaan yang ia terima pada tahun 1978 sebagai Warga Kota Berprestasi. 

Aspar Paturusi lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan, 10 April 1943. Seorang aktor, dramawan, dan novelis Indonesia. Selain bermain teater dan menulis novel humanisme ia juga menulis puisi, karyanya Apa Kuasa Hujan, berisi 134 judul puisi yang ia tulis sejak tahun 1971 sampai tahun 2002. Pada tahun 1960, dua puisinya: "Mereka Tercinta" dan "O Anak Kemana Kau" dimuat di lembaran kebudayaan Mimbar Indonesia ydi mana  saat itu redakturnya adalahHB Jassin dan AD Donggo. 

Tahun 1987 ia memboyong keluarganya ke Jakarta. Aspar bermain untuk film layar lebar Tragedi Bintaro . Ia aktor terbaik peraih Piala Vidya lewat Anak Hilang yang digarap Slamet Rahardjo. Ia juga bermain di dalam produksi TVRI, Alang-Alang garapan Teguh Karya. Beberapa sinetron seperti Bengkel Bang Jun arahan Chaerul Umam. Namun, ia sempat merasa sangat konyol ketika ia bermain dalam sinetron Pelangi Harapan produksi dari Multivision. Perannya adalah menjadi hantu. Terakhir, dia ikut ambil peran film Ketika Cinta Bertasbih garapan sutradara Chaerul Umam sebagai ayah Furqon.

Sejumlah naskah dramanya dan ia sutradarai sendiri antara lain Samnidara yang berpentas di TIM tahun 1982, Perahu Nuh II pentas di TIM tahun 1985 dan Festival Istiqlal tahun 1995, serta Jihadunnafsi yang dipentaskan di Makassar tahun 1986 dan TIM tahun 1991.

Aspar pernah menjabat Ketua Ikatan Seniman Budayawan Muhammadiyah (ISBM) Sulawesi Selatan periode 1962-1968. Ia juga ikut mendirikan Dewan Kesenian Makassar dan menjadi pengurus selama 18 tahun. Menjadi Ketua Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) Sulawesi Selatan dan kemudian Wakil Ketua Umum PB Parfi, anggota Dewan Kesenian Jakarta, dan menjadi ketua komite teater tiga periode 1990-2001. Ia satu dari segelintir seniman teater daerah yang mampu menaklukkan ibukota.
 
referensi: http://id.wikipedia.org/wiki/Aspar_Paturusi

Dorothea Rosa, Perempuan Yang Menuliskan Perempuan

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 11 Desember 2009 | Desember 11, 2009


"Sampaikanlah tema-tema politik dengan bijaksana dan tenang." Kalimat seperti itulah mungkin yang ingin disampaikan Dorothea Rosa melalui karya-karyanya. Buku-buku kumpulan sajaknya adalah Nyanyian Gaduh (1987), Matahari yang Mengalir (1990), Kepompong Sunyi (1993), Nyanyian Rebana (1993), Nikah Ilalang (1995), Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999) dan Kill the Radio (2001) terpilih sebagai pemenang kedua Sayembara Kumpulan Puisi Terbaik 1998-2000 PKJ-TIM.
Sejak kecil bercita-cita menjadi psikolog tapi setelah dewasa yang kesampaian justru menjadi penulis. Ia masih duduk di bangku SMP ketika tulisan pertamanya dalam bentuk opini dimuat di majalah Hai. Ia suka membaca meski bukan berasal dari keluarga berada yang mampu membeli buku.
Perempuan penulis yang mengagumi Sapardi Djoko Damono, W.S. Rendra, dan Arswendo Atmowiloto ini dilahirkan di Magelang, Jawa Tengah, 20 Oktober 1963. Sewaktu kuliah di Jurusan Sastra Indonesia IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta, puisi-puisinya selalu menghiasi rubrik sastra di harian Sinar Harapan dan Suara Pembaruan.
Sempat beberapa tahun menjadi guru di SMA Gama Yogyakarta. Tapi akhirnya ia terjun total sebagai penyair dan penggiat kebudayaan. Pernah menjadi koresponden harian Suara Pembaruan, majalah Prospek, majalah Sarinah dan sejak tahun 1995 menjadi redaktur Jurnal Kebudayaan Kolong terbitan Magelang, Jawa Tengah.
Rosa pernah mengikuti Pertemuan Sastrawan Muda ASEAN di Philiphina tahun 1990, dan Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda tahun 1995. Tahun 2000, ia menjadi writer-residence di Australia.
Rosa mungkin begitu menyadari dirinya yang perempuan dan untuk itu Ia banyak menulis sajak untuk menggambarkan perempuan dari perspektif seorang perempuan. Citra perempuan Indonesia adalah salah satu sumber inspirasinya yang utama. Sebagaimana dalam dua sajaknya ini.


Surat dari Ibu
kutulis pada lipatanlipatan wajahku yang lelah kukisahkan kekecewaanku
pada sungai yang makin kering menjalari rusukrusuk kota kita. seperti urat
yang tak lagi rajin mengalirkan darah ke penjuru tubuhmu. setiap jatuh daun
dan pendar uap menyanyikan murungku pada hari yang selalu berjalan resah.
detikdetik berjajar melukiskan gairah rumput dan amarah batu yang bisu.
kutuliskan suratku, tak beralamat rindu. tahuntahun yang renta mengurung
perjalanan hati yang tak punya cinta. selongsong waktu yang kerontang
berserakan. harihari baru yang berlumut tumbuh di atas tanah tandus.
kutulis surat ini di atas lelangit cerah di lengkung jejalan setapak ruangkosong.
kereta bayi dan keranda tua beriringan seperti bergegas mencari alamat dan nama.
tak kukirimkan kepada sesiapa....
parkhotel am taunus, oktober 2008

Ibu Sembarang Waktusetiap pintu dan lapislapis tangga menembus igauan cahaya yang gelisah.
lalu di batas yang jauh sana tidak mudah kutebak bayangan menyingkap pendar udara.
langit mengatup pelahan. menyebarkan gerimis atau selinap embun yang bimbang.
ibuku melahirkan kegelapan dan bukit-bukit tandus. melahirkan kejahatan dan
kekacauan. tapi para dewa menghembuskan jiwa ke dalam cangkang-cangkang sunyi.
kehidupan merayap dalam jubahjubah para suci yang memanggul pedang dan
menenteng kepala. gelombang manusia menggulung dalam rintihan parasit di
pokokpokok pohon hutan asing. ibuku menuliskan kelahiran yang tidak berhenti....
rumahrumah ditinggalkan dalam dinding dan benteng yang renta. genangan sejarah palsu
mengubur lantailantai dan merapuhkan pintupintu dan meniupkan angin untuk
membangunkan geritnya. di langit yang tanpa warna burungburung nazar dan gagak liar
membesutkan
bayangan dan kabar keabadian derita.
ibuku menyusui jejakjejak gelap. gulungan waktu yang kering dan sepi. nyanyian pujian
dan ayat-ayat doa yang teramat jauh mendekap luka yang rindu pada keniscayaan.
anakanak durhaka dikloning dalam tebaran lalat dan serangga pencari darah dan nanah.
tubuhnya yang ditindih bermacam penyakit kelamin membekaskan jejak ludah tarantula tua.
sembarang bayi mengubur tubuhnya sendiri yang rapuh dengan tulangtulang lunak.
jarijari tangannya menggoreskan pesan rahasia: tak terbaca dalam kumpulan riwayat
dan doa pelepasan.
ibuku melahirkan sejarah gelap dan sakit. waktu bergerak memanjati bukitbukit ketakutan
dan detaknya menembus rerimba bisu yang mati. langkahlangkahnya menyanyikan gema
dan irama yang dingin dan sedih. bulan tua menuntaskan kalimat dalam sederet kisah luka.
sebagai telur yang gagal, aku membiarkan cangkangku retak dan menetaskan kesia-siaan....
oberursel, oktober 2008


Atraksi Seni dalam Aksi Demo

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 10 Desember 2009 | Desember 10, 2009


Demo itu juga mengandung unsur seni. Sebahagian besar dimaksudkan sebagai salah satu cara menarik perhatian publik. Sebuah aksi demo tidak harus hanya berisi orasi. Sebuah demo juga kadang mementaskan aksi teatrikal, baca puisi, musik, seni rupa bahkan seni dan permainan tradisional. Seperti yang tampak dalam foto-foto berikut ini. Beberapa atraksi dalam berbagai demo yang berkaitan dengan kasus Bank Century.





Demonstrasi adalah hak azasi bagi manusia dan merupakan salah satu cara mengekspresikan diri ketika negoisasi mengalami stagnan. Ketika lahir kejenuhan terhadap sebuah kenyataan. Juga ketika suara dibungkam dan tidak menemui jalan lain untuk meneriakkannya. Sementara aksi-aksi seni yang biasanya mewarnai demonstrasi, itu semua sangat alamiah. Sebab seni juga adalah bagian dari hak-hak dasar bagi manusia.

SELAMAT HARI HAK AZASI MANUSIA 10 DESEMBER (^_*)


(foto-foto dari berbagai sumber di internet)

Sastra Versus Kekuasaan

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 09 Desember 2009 | Desember 09, 2009


WS Rendra membacakan puisi dengan gaya burung merak mengibaskan ekornya yang indah sambil membantai kekuasaan lewat pamflet kata. Penulis Kuntowijoyo pernah menuliskan kritik-kritik politiknya dalam Novel Mantra Pejinak Ular dengan ilustrasi-ilustrasi satire pula. Aksi demo mahasiswa pun di mana-mana juga serasa tak lengkap jika tidak diwarnai aksi pembacaan puisi saat jeda orasi. Banyak lagi contoh lainnya. Di setiap zaman ada pertempuran klasik antara sastra dengan politik.

Benarkah para penggiat sastra kadang berseberangan dengan dunia politik? Seharusnya sastra memang diarahkan untuk membetulkan kejanggalan-kejanggalan dalam kehidupan. Istilah sastra politik sebenarnya belum ditemukan oleh para kritikus sastra sekalipun, namun adalah wajar istilah ini mengemuka ketika memang dunia sastra tidak bisa dipisahkan dengan dunia politik.

Saya masih saja merasa kagum misalnya terhadap seorang penyair senior di Bulukumba, Mahrus Andhis yang sekian tahun telah berada di birokrat. Tapi dia tak habis-habis juga berkarya. Malahan sebaliknya. Puisi dan berbagai tulisannya di media lokal di selatan-selatan Sulsel senantiasa justru menohok kekuasaan. Meski lembut dan santun.

Sastra dengan kekuasaan. Sastra dengan politik. Sepintas bukanlah dikotomi yang meresahkan. Bukan tidak mungkin ada sastra yang berpolitik untuk memperoleh kekuasaan. Bagaimana halnya jika politisi bersastra dari wilayah kekuasaannya?


-Kepada semua elemen gerakan yang turun ke jalan pada hari ini: jangan kembali sebelum selesai.
Bersihkan tanpa harus membubarkan Indonesia. Selamat Hari Anti Korupsi Sedunia 9 Desember-

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday