Latest Post

Penyair Gunung dari Sumatera Selatan

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 29 September 2009 | September 29, 2009


Tipografi, gaya dan pemilihan diksi dalam puisi-puisinya menandakan karakternya yang tidak pernah main-main untuk mengatakan segala sesuatu yang nyata dan benar itu adalah benar. Lelaki nyentrik yang suka memanjangkan rambut ini dijuluki oleh penyair-penyair nusantara sebagai "Penyair Gunung". Ia juga dikenal sebagai Pencetus terbentuknya Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan. Nama Kab. Empat Lawang pertama kali bergulir dari rumahnya di Desa Lubuk Puding, Kecamatan Ulumusi, 1998. Nama lengkapnya Syamsu Indra Usman, seorang penulis puisi, cerita bersambung, bahkan sering menulis resep masakan tradisional.

Sejak tahun 70-an karya-karyanya bertebaran di media massa lokal dan nasional, seperti Harian Pelita Jakarta, Harian Mimbar Umum Medan, Harian Semarak Bengkulu, Mingguan Sentana Jakarta, Mingguan Taruna Baru Medan, Buletin Sastra Kreatif Batu Malang, Gelora Musi Palembang, dan Buletin Sastra Revitalisasi Sastra Pedalaman Ngawi. Puisi-puisi karyanya telah diterbitkan dalam banyak antologi baik antologi bersama maupun antologi tunggal. Indra Usman juga seorang pencipta lagu. Ia menciptakan lagu daerah Empat Lawang. Lagu-lagu ciptaannya yang lain sudah diproduksi dalam bentuk kaset dan diedarkan di Sumatera Selatan.

Karakter penulisan puisinya sangat khas. Sesuai dengan julukannya, Penyair Gunung. Puisi-puisinya adalah bahasa tegas dan seringkali memuat repetisi yang lihai memainkan makna yang mudah dipahami oleh semua umur dan kalangan.

Tak Ada Gunanya Ijazah

Tak ada gunanya
ijazah
bila tak pandai bekerja

Tak ada gunanya
ijazah
bila hanya menjadi penghias pigura berkaca

Tak ada gunanya
ijazah
bila tak punya usaha

Tak ada gunanya
ijazah
bila tak pandai menciptakan lapangan kerja

Tak ada gunanya ijazah
bila tak punya minat wiraswasta

Tak ada gunanya
ijazah
bila hanya pandai meminta

Lahat Kota Takwa, 1978

Penyair Bercerita

Penyair
adalah manusia
yang bercerita
tentang seni dan sastra
dan bercerita
tentang kehidupan
bercerita tentang haus dan lapar
dan semua keindahan

dan kesucian
di antara duka dan tawa
mereka
mereka melihat ulah
manusia
yang kini berpaling
dari kebenaran
(Jember, 1978)

Kemaren Bukan Sejarah

Aku tak bisa bicara
dalam semua waktu dan peristiwa
dalam semua megnerti
aku tak mengerti
meski apa yagn kuperbuat
atas peristiwa hari ini
dan peristiwa kemaren
tentang ap ayagn telah terjadi
sepanjang penderitaan
yagn selau mengancam perjalanan
di sepanjang hidupku
akupun tak tau
sikap bagaimana menghadapi
segala cobaan
aku akan menerima segalanya
dengan rasa pasra
jika tuhan akan menghendaki demikian
aku akan tabah, aku akan sabar
barangkali ini adalah janjiku
yang dulu aku ikrarkan
saat menghadap-Mu
kini aku tak kuasa mengelak
karena aku sadari pada-Mu lah tempat
aku menyerahkan diri
dan seluruh ragaku
di hadapan-Mu aku terasa terlalu kerdil
yang tak punya kekuatan
segalanya kuperuntukkan untuk-Mu ya Tuhan

(Lubukpuding, 25/10 1991 - tatkala sedang sakit)

Saya tidak akan memposting banyak-banyak puisinya di sini. Jika ingin berkenalan lebih dekat lagi dengan karya-karyanya, langsung saja menuju ke sarangnya di http://penyairgunung.blogspot.com/

Warisan Karya Sastra dari Sunan Bonang

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 18 September 2009 | September 18, 2009


Sunan Bonang adalah ulama sufi, ahli dalam berbagai bidang ilmu dan sastra. Juga dikenal sebagai ahli falak, musik dan seni pertunjukan. Sebagai sastrawan dia menguasai bahasa dan kesusastraan Arab, Persia, Melayu dan Jawa Kuno. Nama aslinya ialah Makhdum Ibrahim. Salah seorang dari sembilan wali (walisongo) ini lahir pada pertengahan abad ke-15 M dan wafat pada awal abad ke-16 M

Sejak muda Makhdum Ibrahim adalah seorang santri yang tekun. Setelah mempelajari bahasa Arab dan Melayu, fiqih, usuluddin, tafsir Qur’an, hadis dan tasawuf; bersama saudaranya Sunan Giri dia pergi ke Mekkah dengan singgah terlebih dahulu di Malaka, kemudian ke Pasai. Di Malaka dan Pasai mereka mempelajari bahasa dan sastra Arab lebih mendalam. Sejarah Melayu merekam kunjungan Sunan Bonang dan Sunan Giri ke Malaka sebelum melanjutkan perjalanan ke Pasai. Sepulang dar Mekkah, melalui jalan laut dengan singgah di Gujarat, India, Sunan Bonang ditugaskan oleh ayahnya untuk memimpin masjid Singkal, Daha di Kediri. Di sini dia memulai kariernya pertama kali sebagai pendakwah.

Karya-karya Sunan Bonang yang dijumpai hingga sekarang dapat dikelompokkan menjadi dua: (1) Suluk-suluk yang mengungkapkan pengalamannya menempuh jalan tasawuf dan beberapa pokok ajaran tasawufnya yang disampaikan melalui ungkapan-ungkapan simbolik yang terdapat dalam kebudayaan Arab, Persia, Melayu dan Jawa. Di antara suluk-suluknya ialah Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Pipiringan, Gita Suluk Latri, Gita Suluk Linglung, Gita Suluk ing Aewuh, Gita Suluk Jebang, Suluk Wregol dan lain-lain (Drewes 1968). (2) Karangan prosa seperti Pitutur Sunan Bonang yang ditulis dalam bentuk dialog antara seorang guru sufi dan muridnya yang tekun. Bentuk semacam ini banyak dijumpai sastra Arab dan Persia.

Suluk adalah salah satu jenis karangan tasawuf yang dikenal dalam masyarakat Jawa dan Madura dan ditulis dalam bentuk puisi dengan metrum (tembang) tertentu seperti sinom, wirangrong, kinanti, smaradana, dandanggula dan lain-lain . Seperti halnya puisi sufi umumnya, yang diungkapkan ialah pengalaman atau gagasan ahli-ahli tasawuf tentang perjalana keruhanian (suluk) yang mesti ditempuh oleh mereka yang ingin mencpai kebenaran tertinggi, Tuhan, dan berkehendak menyatu dengan Rahasia Sang Wujud. Jalan itu ditempuh melalui berbagai tahapan ruhani (maqam) dan dalam setiap tahapan seseorang akan mengalami keadaan ruhani (ahwal) tertentu, sebelum akhirnya memperoleh kasyf (tersingkapnya cahaya penglihatan batin) dan makrifat, yaitu mengenal Yang Tunggal secara mendalam tanpa syak lagi (haqq al-yaqin). Di antara keadaan ruhani penting dalam tasawuf yang sering diungkapkan dalam puisi ialah wajd (ekstase mistis), dzawq (rasa mendalam), sukr (kegairahan mistis), fana’ (hapusnya kecenderungan terhadap diri jasmani), baqa’ (perasaan kekal di dalam Yang Abadi) dan faqr (catatan Abdul Hadi W. M. 2002:18-19).

Sebagaimana puisi para sufi secara umum, jika tidak bersifat didaktis, suluk-suluk Sunan Bonang ada yang bersifat lirik. Pengalaman dan gagasan ketasawufan yang dikemukakan, seperti dalam karya penyair sufi di mana pun, biasanya disampaikan melalui ungkapan simbolik (tamsil) dan ungkapan metaforis (mutasyabihat). Demikian dalam mengemukakan pengalaman keruhanian di jalan tasawuf, dalam suluk-suluknya Sunan Bonang tidak jarang menggunakan kias atau perumpamaan, serta citraan-citraan simbolik. Citraan-citraan tersebut tidak sedikit yang diambil dari budaya lokal. Kecenderungan tersebut berlaku dalam sastra sufi Arab, Persia, Turki, Urdu, Sindhi, Melayu dan lain-lain, dan merupakan prinsip penting dalam sistem sastra dan estetika sufi (Annemarie Schimmel 1983: ) Karena tasawuf merupakan jalan cinta, maka sering hubungan antara seorang salik (penempuh suluk) dengan Yang Satu dilukiskan atau diumpamakan sebagai hubungan antara pencinta (`asyiq) dan Kekasih (mahbub, ma`syuq).

Drewes (1968, 1978) telah mencatat sejumlah naskah yang memuat suluk-suluk yang diidentifikasikan sebagai karya Sunan Bonang atau Pangeran Bonang, khususnya yang terdapat di Museum Perpustakaan Universitas Leiden, dan memberi catatan ringkas tentang isi suluk-suluk tersebut. Penggunaan tamsil pencinta dan Kekasih misalnya terdapat dalam Gita Suluk Latri yang ditulis dalam bentuk tembang wirangrong. Suluk ini menggambarkan seorang pencinta yang gelisah menunggu kedatangan Kekasihnya. Semakin larut malam kerinduan dan kegelisahannya semakin mengusiknya, dan semakin larut malam pula berahinya (`isyq) semakin berkobar. Ketika Kekasihnya datang dia lantas lupa segala sesuatu, kecuali keindahan wajah Kekasihnya. Demikianlah sestelah itu sang pencinta akhirnya hanyut dibawa ombak dalam lautan ketakterhinggaan wujud.
Dalam Suluk Khalifah Sunan Bonang menceritakan kisah-kisah kerohanian para wali dan pengalaman mereka mengajarkan kepada orang yang ingin memeluk agama Islam. Suluk ini cukup panjang. Sunan Bonang juga menceritakan pengalamannya selama beradadi Pasai bersama guru-gurunya serta perjalanannya menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Karya yang tidak kalah penting ialah Suluk Gentur atau Suluk Bentur. Suluk ini ditulis di dalam tembang wirangrong dan cukup panjang.

Gentur atau bentur berarti lengkap atau sempruna. Di dalamnya digambarkan jalan yang harus ditempuh seorang sufi untuk mencapai kesadaran tertiggi. Dalam perjalanannya itu ia akan berhadapan dengan maut dan dia akan diikuti oleh sang maut kemana pun ke mana pun ia melangkah. Ujian terbesar seorang penempuh jalan tasawuf atau suluk ialah syahadat dacim qacim. Syahadat ini berupa kesaksian tanpa bicara sepatah kata pun dalam waktu yang lama, sambil mengamati gerik-gerik jasmaninya dalam menyampaikan isyarat kebenaran dan keunikan Tuhan. Garam jatuh ke dalam lautan dan lenyap, tetapi tidak dpat dikatakan menjadi laut. Pun tidak hilang ke dalam kekosongan (suwung). Demikian pula apabila manusia mencapai keadaan fana’ tidak lantas tercerap dalam Wujud Mutlak. Yang lenyap ialah kesadaran akan keberadaan atau kewujudan jasmaninya.

Karya Sunan Bonang yang juga amat terkenal ialah Gita Suluk Wali, untaian puisi-puisi lirik yang memikat. Dipaparkan bahwa hati seorang yang ditawan oleh rasa cinta itu seperti laut pasang menghanyutkan atau seperti api yang membakar sesuatu sampai hangus. Untaian puisi-puisi ini diakhiri dengna pepatah sufi “Qalb al-mucmin bait Allah” (Hati seorang mukmin adalah tempat kediaman Tuhan).Jenis Suluk lainnya adalah Suluk Jebeng. Ditulis dalam tembang Dhandhanggula dan dimulai dengan perbimcanganmengenai wujud manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi dan bahawasanya manusia itu dicipta menyerupai gambaran-Nya (mehjumbh dinulu). Hakekat diir yang sejati ini mesti dikenal supaya perilaku dan amal perubuatan seseorang di dunia mencerminkan kebenaran. Persatuan manusia dengan Tuhan diumpamakan sebagai gema dengan suara. Manusia harus mengenal suksma (ruh) yang berada di dalam tubuhnya. Ruh di dalam tubuh sperti api yang tak kelihatan. Yang nampak hanyalah bara, sinar, nyala, panas dan asapnya. Ruh dihubungkan dengan wujud tersembunyi, yang pemunculan dan kelenyapannya tidak mudah diketahui. Ujar Sunan Bonang:

Puncak ilmu yang sempurna
Seperti api berkobar
Hanya bara dan nyalanya
Hanya kilatan cahaya
Hanya asapnya kelihatan
Ketauilah wujud sebelum api menyala
Dan sesudah api padam
Karena serba diliputi rahsia
Adakah kata-kata yang bisa menyebutkan?

Jangan tinggikan diri melampaui ukuran
Berlindunglah semata kepada-Nya
Ketahui, rumah sebenarnya jasad ialah ruh
Jangan bertanya
Jangan memuja nabi dan wali-wali
Jangan mengaku Tuhan
Jangan mengira tidak ada padahal ada
Sebaiknya diam
Jangan sampai digoncang
Oleh kebingungan

Pencapaian sempurna
Bagaikan orang yang sedang tidur
Dengan seorang perempuan, kala bercinta
Mereka karam dalam asyik, terlena
Hanyut dalam berahi
Anakku, terimalah
Dan pahami dengan baik
Ilmu ini memang sukar dicerna

Pitutur Seh Bari adalah satu-satunya karangan prosa Sunan Bonang. Salah satu naskah yang memuat teks karangan prosa Sunan Bonang ini ialah MS Leiden Cod. Or. 1928. Naskah teks ini telah ditransliterasi ke dalam tulisan Latin, serta diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Schrieke dalam disertasi doktornya Het Boek van Bonang (1911). Hoesein Djajadiningrat juga pernah meneliti dan mengulasnya dalam tulisannya ”Critische Beschouwing van de Sedjarah Banten” (1913). Terakhir naskah teks ini ditransliterasi dan disunting oleh Drewes, dalam bukunya The Admonotions of Seh Bari (1978), disertai ulasan dan terjemahannya dalam bahasa Inggris.


Di antara suluk karya Sunan Bonang yang paling dikenal dan relevan bagi kajian ini ialah Suluk Wujil. Dari segi bahasa dan puitika yang digunakan, serta konteks sejarahnya dengan perkembangan awal sastra Pesisir, SW benar-benar mencerminkan zaman peralihan Hindu ke Islam (abad ke-15 dan 16 M) yang sangat penting dalam sejarah Jawa Timur. Teks SW dijumpai antara lain dalam MS Bataviasche Genotschaft 54 (setelah RI merdeka disimpan di Museum Nasional, kini di Perpustakaan Nasional Jakarta) dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dilakukan oleh Poerbatjaraka dalam tulisannya ”De Geheime Leer van Soenan Bonang (Soeloek Woedjil)” (majalah Djawa vol. XVIII, 1938). Terjemahannya dalam bahasa Indonesia pernah dilakukan oleh Suyadi Pratomo (1985), tetapi karena tidak memuaskan, maka untuk kajian ini para ahli berusaha menerjemahkan sendiri teks hasil transliterasi Poerbatjaraka. Sebagai karya zaman peralihan Hindu ke Islam, pentingnya karya Sunan Bonang ini tampak dalam hal-hal seperti berikut: Pertama, dalam SW tergambar suasana kehidupan badaya, intelektual dan keagamaan di Jawa pada akhir abad ke-15, yang sedang beralih kepercayaan dari agama Hindu ke agama Islam. Di arena politik peralihan itu ditandai denga runtuhnya Majapahit, kerajaan besar Hindu terakhir di Jawa, dan bangunnya kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama. Demak didirikan oleh Raden Patah, putera raja Majapahit Prabu Kertabumi atau Brawijaya V daripada perkawinannya dengan seorang puteri Cina yang telah memeluk Islam. Dengan runtuhnya Majapahit terjadilah perpindahan kegiatan budaya dan intelektual dari sebuah kerajaan Hindu ke sebuah kerajaan Islam dan demikian pula tata nilai kehidupan masyarakat pun berubah.

Pada sastra peralihan ini dapat dilihat dengan berhentinya kegiatan sastera Jawa Kuna setelah penyair terakhir Majapahit, Mpu Tantular dan Mpu Tanakung, meninggal dunia pda pertengahan abad ke-15 tanpa penerus yang kuat. Kegiatan pendidikan pula mula beralih ke pusat-pusat baru di daerah pesisir. Dari segi bahasa suluk ini memperlihatkan “keanehan-keanehan bahasa Jawa Kuna zaman Hindu” (Purbatjaraka: 1938) karena memang ditulis pada zaman permulaan munculnya bahasa Jawa Madya. Dari segi puitika pula, cermin zaman peralihan begitu ketara. Penulisnya menggunakan tembang Aswalalita yang agak menyimpang, selain tembang Dhandhanggula. Aswalalita adalah metrum Jawa Kuna yang dicipta berdasarkan puitika Sanskerta. Setelah wafatnya Sunan Bonang tembang ini tidak lagi digunakan oleh para penulis tembang di Jawa.


Sunan Bonang dan penulis-penulis Muslim Jawa yang awal masih menggunakan huruf Jawa, dan baru ketika agama Islam telah tersebar luas huruf Arab digunakan untuk menulis teks-teks berbahasa Jawa. Dalam penulisan puisinya, Sunan Bonang juga banyak menggunakan tamsil-tamsil yang tidak asing dalam kebudayaan Jawa pada masa itu. Misalnya tamsil wayang, dalang dan lakon cerita pewayangan seperti Perang Bharata antara Kurawa dan Pandawa. Selain itu dia juga masih mempertahankan penggunaan bentuk tembang Jawa Kuno, yaitu aswalalita, yang didasarkan pada puitika Sanskerta. Dengan cara demikian, kehadiran karyanya tidak dirasakan sebagai sesuatu yang asing bagi pembaca sastra Jawa, malahan dipandangnya sebagai suatu kesinambungan.

Suluk Wujil mengandung renungan-renungannya tentang masalah hakiki di sekitar wujud dan rahasia terdalam ajaran agama. Suluk Wujil dimulai dengan pertanyaan metafisik yang esensial dan menggoda sepanjang zaman, di Timur maupun Barat:

1
Dan warnanen sira ta Pun Wujil
Matur sira ing sang Adinira
Ratu Wahdat
Ratu Wahdat Panenggrane
Samungkem ameng Lebu?
Talapakan sang Mahamuni
Sang Adhekeh in Benang,
mangke atur Bendu
Sawetnya nedo jinarwan
Saprapating kahing agama kang sinelit
Teka ing rahsya purba

2
Sadasa warsa sira pun Wujil
Angastupada sang Adinira
Tan antuk warandikane
Ri kawijilanipun
Sira wujil ing Maospait
Ameng amenganira
Nateng Majalanggu
Telas sandining aksara
Pun Wujil matur marang Sang Adi Gusti
Anuhun pangatpada

3
Pun Wujil byakteng kang anuhun Sih
Ing talapakan sang Jati Wenang
Pejah gesang katur mangke
Sampun manuh pamuruh
Sastra Arab paduka warti
Wekasane angladrang
Anggeng among kayun
Sabran dina raraketan
Malah bosen kawula kang aludrugi
Ginawe alan-alan

4
Ya pangeran ing sang Adigusti
Jarwaning aksara tunggal
Pengiwa lan panengene
Nora na bedanipun
Dening maksih atata gendhing
Maksih ucap-ucapan
Karone puniku
Datan polih anggeng mendra-mendra
Atilar tresna saka ring Majapait
Nora antuk usada

5
Ya marma lunganging kis ing wengi
Angulati sarasyaning tunggal
Sampurnaning lampah kabeh
Sing pandhita sundhuning
Angulati sarining urip
Wekasing jati wenang
Wekasing lor kidul
Suruping radya wulan
Reming netra lalawa suruping pati
Wekasing ana ora

Artinya, lebih kurang:

1
Inilah ceritera si Wujil
Berkata pada guru yang diabdinya
Ratu Wahdat
Ratu Wahdat nama gurunya
Bersujud ia ditelapak kaki Syekh Agung
Yang tinggal di desa Bonang
Ia minta maaf
Ingin tahu hakikat
Dan seluk beluk ajaran agama
Ssampai rahsia terdalam

2
Sepuluh tahun lamanya
Sudah Wujil
Berguru kepada Sang Wali
Namun belum mendapat ajaran utama
Ia berasal dari Majapahit
Bekerja sebagai abdi raja
Sastra Arab telah ia pelajari
Ia menyembah di depan gurunya
Kemudian berkata
Seraya menghormat
Minta maaf

3
“Dengan tulus saya mohon
Di telapak kaki tuan Guru
Mati hidup hamba serahkan
Sastra Arab telah tuan ajarkan
Dan saya telah menguasainya
Namun tetap saja saya bingung
Mengembara kesana-kemari
Tak berketentuan.
Dulu hamba berlakon sebagai pelawak
Bosan sudah saya
Menjadi bahan tertawaan orang

4
Ya Syekh al-Mukaram!
Uraian kesatuan huruf
Dulu dan sekarang
Yang saya pelajari tidak berbeda
Tidak beranjak dari tatanan lahir
Tetap saja tentang bentuk luarnya
Saya meninggalkan Majapahit
Meninggalkan semua yang dicintai
Namun tak menemukan sesuatu apa
Sebagai penawar

5
Diam-diam saya pergi malam-malam
Mencari rahsia Yang Satu dan jalan sempurna
Semua pendeta dan ulama hamba temui
Agar terjumpa hakikat hidup
Akhir kuasa sejati
Ujung utara selatan
Tempat matahari dan bulan terbenam
Akhir mata tertutup dan hakikat maut
Akhir ada dan tiada

Pertanyaan-pertanyaan Wujil kepada gurunya merupakan pertanyaan universal dan eksistensial, serta menukik hingga masalah paling inti, yang tidak bisa dijawab oleh ilmu-ilmu lahir. Terbenamnya matahari dan bulan, akhir utara dan selatan, berkaitan dengan kiblar dan gejala kehidupan yang senantiasa berubah. Jawabannya menghasilkan ilmu praktis dan teoritis seperti fisika, kosmologi, kosmogeni, ilmu pelayaran, geografi dan astronomi. Kapan mata tertutup berkenaan dengan pancaindra dan gerak tubuh kita. Sadar dan tidak sadar, bingung dan gelisah, adalah persoalan psikologi. Ada dan tiada merupakan persoalan metafisika. Setiap jawaban yang diberikan sepanjang zaman di tempat yang berbeda-beda, selalu unik, sebagaimana pertanyaan terhadap hakikat hidup dan kehidupan. Lantas apakah dalam hidupnya manusia benar-benar menguasai dirinya dan menentukan hidupnya sendiri? Siapa kuasa sejati itu? Persoalan tentang rahasia Yang Satu akan membawa orang pada persoalan tentang Yang Abadi, Yang Maha Hidup, Wujud Mutlak yang ada-Nya tidak tergantung pada sesuatu yang lain.

Tampaknya pertanyaan itu memang ditunggu oleh Sunan Bonang, sebab hanya melalui pertanyaan seperti itu dia dapat menyingkap rahasia ilmu tasawuf dan relevansinya, kepada Wujil. Maka Sunan Bonang pun menjawab:

6
Sang Ratu Wahdat mesem ing lathi
Heh ra Wujil kapo kamangkara
Tan samanya pangucape
Lewih anuhun bendu
Atunira taha managih
Dening geng ing sakarya
Kang sampun alebu
Tan padhitane dunya
Yen adol warta tuku warta ning tulis
Angur aja wahdat

7
Kang adol warta tuhu warti
Kumisum kaya-kaya weruha
Mangke ki andhe-andhene
Awarna kadi kuntul
Ana tapa sajroning warih
Meneng tan kena obah
Tinggalipun terus
Ambek sadu anon mangsa
Lirhantelu outihe putih ing jawi
Ing jro kaworan rakta

8
Suruping arka aganti wengi
Pun Wujil anuntu maken wraksa
Badhi yang aneng dagane
Patapane sang Wiku
Ujung tepining wahudadi
Aran dhekeh ing Benang
Saha-saha sunya samun
Anggaryang tan ana pala boga
Ang ing ryaking sagara nempuki
Parang rong asiluman

9
Sang Ratu Wahdat lingira aris
Heh ra Wujil marangke den enggal
Tur den shekel kukuncire
Sarwi den elus-elus
Tiniban sih ing sabda wadi
Ra Wujil rungokna
Sasmita katenggun
Lamun sira kalebua
Ing naraka isung dhewek angleboni
Aja kang kaya sira

... 11
Pangestisun ing sira ra Wujil
Den yatna uripira neng dunya
Ywa sumambar angeng gawe
Kawruhana den estu
Sariranta pon tutujati
Kang jati dudu sira
Sing sapa puniku
Weruh rekeh ing sariri
Mangka saksat wruh sira
Maring Hyang Widi
Iku marga utama

Artinya lebih kurang:

6
Ratu Wahdat tersenyum lembut
“Hai Wujil sungguh lancang kau
Tuturmu tak lazim
Berani menagih imbalan tiggi
Demi pengabdianmu padaku
Tak patut aku disebut Sang Arif
Andai hanya uang yang diharapkan
Dari jerih payah mengajarkan ilmu
Jika itu yang kulakukan
Tak perlu aku menjalankan tirakat

7
Siapa mengharap imbalan uang
Demi ilmu yang ditulisnya
Ia hanya memuaskan diri sendiri
Dan berpura-pura tahu segala hal
Seperti bangau di sungai
Diam, bermenung tanpa gerak.
Pandangnya tajam, pura-pura suci
Di hadapan mangsanya ikan-ikan
Ibarat telur, dari luar kelihatan putih
Namuni isinya berwarna kuning

8
Matahari terbenam, malam tiba
Wujil menumpuk potongan kayu
Membuat perapian, memanaskan
Tempat pesujudan Sang Zahid
Di tepi pantai sunyi di Bonang
Desa itu gersang
Bahan makanan tak banyak
Hanya gelombang laut
Memukul batu karang
Dan menakutkan

9
Sang Arif berkata lembut
“Hai Wujil, kemarilah!”
Dipegangnya kucir rambut Wujil
Seraya dielus-elus
Tanda kasihsayangnya
“Wujil, dengar sekarang
Jika kau harus masuk neraka
Karena kata-kataku
Aku yang akan menggantikan tempatmu”

...

11
“Ingatlah Wujil, waspadalah!
Hidup di dunia ini
Jangan ceroboh dan gegabah
Sadarilah dirimu
Bukan yang Haqq
Dan Yang Haqq bukan dirimu
Orang yang mengenal dirinya
Akan mengenal Tuhan
Asal usul semua kejadian
Inilah jalan makrifat sejati”

*disarikan dari berbagai sumber

Yusuf "Cat Stevens" Islam

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 17 September 2009 | September 17, 2009


Cat Stevens terpesona oleh suara azan yang kali pertama didengarnya saat berlibur di Marakes, Maroko. Ketika dia bertanya tentang suara itu kepada warga setempat, dijelaskan itu sebagai musik untuk Tuhan.
”Saya heran, musik untuk Tuhan? Saya belum pernah mendengar sebelumnya. Saya telah mendengar musik untuk uang, musik untuk ketenaran, musik untuk kekuatan personal, namun ini musik untuk Tuhan!,” ujar pria London kelahiran 21 JulI 1948 itu.
Tak disangkanya, seruan azan itu akhirnya disadari sebagai seruan baginya untuk memeluk Islam selama proses pencarian keyakinan.

Kekasihnya memberitahu dia memiliki mata seperti seekor kucing lantas dia mengubah nama Stephen Demetre Georgiou menjadi Cat Stevens. Karena dia senang dengan julukan pacarnya itu.

Pada usia 18 tahun, Cat Stevens merilis album pertamanya dan meledak. Dia menjadi sensasi bagi kaum remaja, menggelar tur ke Eropa. Selama karir musiknya, Cat Stevens berhasil menjual 40 juta copy album antara 1960 dan 1970-an. Lagu-lagunya yang populer seperti Morning Has Broken, Peace Train, Moonshadow, Wild World, Father and Son, Matthew and Son, Oh Very Young, dan The First Cut Is the Deepest.

Namun, ketika dia mengidap TBC kronis yang nyaris membuatnya mati, dia mempertanyakan apa yang sebenarnya dia dan musiknya cari.
”Saya terkena tuberkulosis fatal dan tiba-tiba semua lampu sorot dimatikan. Dan saya katakan: ”Hei, dimana cahaya? Dan itulah yang membuat saya untuk mencari jenis cahaya yang berbeda,” ujar Stevens.
Pengalaman sakaratul maut itu memicu ledakan kreatif dalam dirinya. Saat memulihkan diri dia menulis lebih dari 40 lagu yang menjadikan dia makin tenar sebagai pemusik.

Pada 1975, saat berenang di pantai Malibu California, sentuhan dengan kematian kembali menyingkap takdir dirinya. ”Saya berenang. Tidak ada yang memberitahu bahwa itu bukan waktu yang bagus untuk berenang,” kenangnya. ”Saya mencoba berenang ke pantai. Tiba-tiba gelombang menyeret saya,” kenangnya.
Terombang-ambing dalam ombak, Stevens amat ketakutan. Kemudian terlintas dalam pikirannya sebuah nadzar. ”Saya katakan: Tuhan, jika Engkau menyelamatkanku, saya akan bekerja untukmu. Tiba-tiba secara instingtif, ada satu kekuatan yang membantu saya.”
Kemudian ada gelombang mendorongnya ke pantai. ”Gelombang kecil, tidak terlalu besar. Namun itu adalah momen keajaiban ketika tiba-tiba gelombang berubah sesuai kehendak saya. Saya memiliki energi, saya bisa berenang kembali. Saya ada di tanah. Saya hidup. Wow, lalu apa selanjutnya?”
Sejak itu dia mengembara di belantara spiritual mencari cahaya kebenaran. Dia pun mempelajari Budhisme, Zen, I Ching, Tao, numerologi bahkan astrologi.
Suatu hari, kakaknya memberinya Al Qur'an sebagai hadiah ulang tahunnya ke-28. Kitab suci umat Islam yang baru dibeli kakaknya saat perjalanan ke Yerusalem itu diambilnya. Dia baca terjemahannya. Dia merasakan ada sesuatu yang lain.
Kemudian dia pergi ke Yerusalem tempat kakaknya membeli Al Qur'an. Dia mampir ke masjid yang dikenal sebagai Dome of Rock. Salah seorang dalam masjid itu bertanya, ”Siapa Anda?”
”Saat itulah saya bingung, lalu untuk kali pertama saya katakan, saya seorang Muslim,” ujarnya. Dia berkata begitu karena tahu Muslim berarti pasrah kepada Tuhan.

Ketika membaca Al Qur'an, dia tertarik dengan kisah Yusuf. ”Saya senang dengan surat Yusuf, surat yang pertama saya baca. Saya terpesona oleh Al Qur'an. Saya kaget dengan Al Qur'an, saya pun yakin ini bukan buatan manusia,” ujarnya.
Karena itulah kemudian dia mengganti namanya menjadi Yusuf setelah masuk Islam pada 23 Desember 1977 di puncak ketenarannya. ”Saya mencari sesuatu yang akan meresonansi arti kehidupan pada sudut apa pun Anda melihatnya,” ujarnya.
”Bagi sebagian orang, saya masuk Islam seperti lompatan luar biasa, namun bagi saya, itu adalah langkah bertahap hingga sampai di titik ini.”
Dalam wawancara dengan Rolling Stone Magazine, dia menegaskan, ”Saya telah menemukan rumah spiritual yang selama ini telah saya cari seumur hidup. Jika Anda mendengarkan musik dan lirik saya, seperti Peace Train dan On The Road to Find Out, itu dengan jelas menunjukkan hasrat saya untuk jalan spiritual yang saat itu tengah saya jalani.”
Dia menyadari dia tak bisa menyeimbangkan keyakinannya dengan karirnya. ”Yeah, ketika tiba waktunya menyeimbangkan, pengetahuan ini, penemuan ini, dengan gaya hidup saya, apakah saya harus terus bernyanyi? Maksud saya, itulah pertanyaannya,” katanya.
Pertunjukan terakhirnya adalah November 1979 di Stadium Wembley, London, dalam acara International Year of the Child yang diselenggarakan oleh UNICEF.
Saat itu dia berjalan di atas panggung sebagai Cat Stevens dengan rambut yang tercukur dan brewok tak rapi. Lantas dia pun pergi dari panggung sebagai Yusuf Islam. Setelah itu dia tidak menyentuh gitar selama lebih dari 20 tahun.
Lalu dia memenuhi nadzarnya. Dari royalti lagunya, dia mendirikan sekolah Islam pertama di London. Kemudian membantu anak-anak yatim di seluruh dunia.
Dia menikahi Fauzia Mubarak Ali pada 7 September 1979 di Masjid Regent’s Park London. Pernikahan itu istimewa karena menjadi upacara pernikahan ke-1000 di masjid tersebut. Yusuf memiliki lima anak.
Dia mendirikan yayasan kemanusiaan Small Kindness yang mulanya menolong korban kelaparan di Afrika dan sekarang membantu ribuan anak yatim dan keluarga di Balkan, Indonesia, dan Irak. Mendirikan yayasan kemanusiaan Muslim Aid.

Memeluk Islam bukannya tanpa benturan. Tahun itu Ayatullah Khomeini mengeluarkan satu fatwa, yang menyerukan kematian bagi penulis Inggris Salman Rushdi karena melecehkan Nabi Muhammad dalam bukunya, Ayat-ayat Setan.

Ketika ditanya pers atas fatwa itu dia berkomentar yang memicu kontroversi. ”Saya tidak pernah mendukung fatwa tersebut, namun ketika saya ditanya tentang prinsip penghinaan pada Tuhan dan hukumannya, ya seperti dikatakan Injil, kata saya, Anda tahu, ada di sana dalam Al Qur'an. Dan saya tidak bisa menyangkal itu,” katanya.
Saat tragedi 9/11, orang curiga padanya sebagai sosok Islam yang menjadi tertuduh atas teror itu. Pada 2004 saat terbang ke Washington DC untuk acara amal dia dilarang masuk AS. ”Tiba-tiba saya dikelilingi oleh FBI dan menginterogasi,” ujarnya. ”Demi Tuhan, semua orang tahu siapa saya,” tandasnya.

Menurutnya, Tuhan mengirim para nabi dan kitab tidak untuk bertengkar. Nabi itu mengajarkan untuk hidup bersama. ”Jika kita mengabaikan ajaran-ajara itu... apa pun keyakinan Anda, maka saya fikir kita akan berada dalam kekacauan yang lebih dalam lagi,” ungkapnya.

Soal kembali bernyanyi dia bercerita,”Satu titik balik yang besar terjadi ketika putra saya membawa ke rumah sebuah gitar,” ujarnya. ”Anda tahu, saya telah meninggalkan gitar itu saat acara amal 1979. Saya benar-benar tak menyentuh instrumen tersebut. Jadi suatu hari ketika semua orang tertidur dan tidak ada yang menyaksikan, saya ambil gitar itu dan ternyata saya masih tahu dimana saya harus meletakkan jari-jari saya. Hasil dari musik ini, saya katakan, mungkin saya punya pekerjaan lain untuk dilakukan.”

Kemudian dia merilis An Other Cup setelah 20 tahun dia mengakhiri karir musiknya.
”Anda tahu, cangkir itu harus diisi, Anda tahu, dengan apa pun yang ingin anda isikan,” ujarnya. ”Bagi mereka yang mencari Cat Stevens, mereka mungkin akan menemukannya dalam rekaman ini. Jika anda ingin menemukan Yusuf, pergilah lebih jauh lagi, Anda akan menemukannya,” ujarnya.

*disarikan dari berbagai sumber

Puisi Sufistik

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 15 September 2009 | September 15, 2009


Beberapa tulisan terdahulu di blog sastra radio merekam jejak para penyair sufi dan karyanya. Lalu pagi kemarin, muncul pertanyaan sedikit kritis dalam hati kecil saya. Haruskah Tuhan dibatasi dalam makna puisi sufi? Tulisan ini adalah sebentuk antitesis terhadap beberapa tulisan terdahulu disebabkan pergolakan kecil dalam pemikiran saya. Dalam puisi, mestinya kita mengenal Tuhan dan harusnya semua puisi adalah puisi sufistik. Jangan-jangan yang kita kenal dengan puisi sufistik sekarang hanyalah pemaknaan sempit yang berkembang di jagad sastra.

Secara massif makna puisi sufi mengacu pada tasawuf di mana puisi yang bertemakan tentang tasawuf saja. Jadilah puisi sufi yang dikenal selalu diidentikkan dengan tasafuw muslim yang telah sangat populer digunakan selama berabad-abad. tasawuf atau sufisme sendiri sering dimaknakan bermacam-macam arti, asalnya dari tiga huruf Arab, sha, wau dan fa, ada yang bilang dari sha wa fa. Ada yang berkata berasal dari shafa yang berarti kesucian, ada pula yang berucap dari kata kerja bahasa Arab safwe yang berarti orang-orang terpilih.

Dari ranah puisi sufistik mungkin kita hanya akan berani menjelajahi para penyair sufi Persia Ibnu Arabi, Hafiz, Jalaluddin Rumi, dan Al-Hallaj. Lalu di Indonesia, Hamzah Fansyuri dengan Syair Perahu, atau misalnya Amir Hamzah dengan sajak romantik-religius.
Karena ranah puisi sufistik bersifat esoterik, universal dan dapat melampaui batas-batas agama maka seharusnya kita mengenal penyair reformasi Hindu Rabindanath Tagore dan penyair Kristen Khalil Gibran. Untuk mendalami puitika sufistik, ternyata seseorang tak harus menjalani tarikat sufi atau ikut mazhab sufi tertentu untuk melahirkan karya sufistik. Kesufian ditentukan cara berpikir tentang kehidupan di dunia dalam olah batin dan sistem nilai dalam penguasaan jiwa guna dituangkan dalam karya sastra.

Saya pernah berpikir siapa tahu karya-karya Negarakeragama karya Empu Prapanca di Majapahit pada 1350-1389 yang mengenal Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa pun sebuah telaah pikir Ketuhanan yang dahsyat yang justru tidak pernah kita kelompokkan karya ini dalam sastra sufistik bukan? Puisi Chairil Anwar yang berjudul "Aku" semestinya juga tercatat di buku pelajaran anak-anak sekolah sebagai puisi sufi. Haruskah ada pelabelan puisi sufistik? Jangan-jangan itu hanyalah hasil kerjaan para kritikus dan pengamat sastra?

Sajadah Panjang Taufik Ismail

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 14 September 2009 | September 14, 2009


Secara umum keadaan Sistem Industri Budaya di Indonesia terbagi menjadi dua kubu, kubu pertama adalah sistem industri yang market oriented dimana secara jelas mengejar pengembangan modal dan kubu kedua adalah sistem industri yang tidak mengejar pengembangan modal. Dua hal ini memiliki watak yang berbeda. Salah seorang sastrawan Indonesia yang getol berjuang di kubu kedua bisa disebut nama Taufik Ismail. Religiusitas karya-karyanya bukan sekedar penegasan melainkan telah menjadi sebuah bendera yang diusungnya di jagad seni tanah air.

Taufik Ismail bergerak ke sana kemari melintasi seni musik dan sastra. Mungkin anda pernah dengar salah satu puisinya yang dinyanyikan oleh kelompok musik Bimbo pada era 80-an.

Ada sajadah panjang terbentang
dari kaki buaian
sampai ke tepi kuburan hamba
kuburan hamba bila mati
Ada sajadah panjang terbentang
hamba tunduk dan sujud
di atas sajadah yang panjang ini
diselingi sekedar interupsi
Mencari rezeki mencari ilmu
mengukur jalanan seharian
begitu terdengar suara adzan
kembali tersungkur hamba
ada sajadah panjang terbentang
hamba tunduk dan rukuk
hamba sujud tak lepas kening hamba
mengingat dikau sepenuhnya.

Bendera religiusitas Taufik Ismail tetap berkibar sampai hari ini. Karyanya ibarat sajadah panjang yang bukan untuk diproduksi menjadi uang yang merupakan bendera kapitalisme. Sajadah panjang Taufiik Ismail adalah selimut penghangat bagi semangat berkarya anak bangsa maupun nafas religiusitas umat.

Jalan Panjang Ini

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 11 September 2009 | September 11, 2009



Jalan Panjang ini

kadang sekelumit debu hinggap di kelopak matamu. kami meniupnya diam-diam.
agar berubah menjadi debu surga. sebab airmata bagi kita hanya untuk diteteskan pada telaga sukacita. di hari yang lain seonggok waktu yang menjemukan merampas tenagamu. kami mengurainya diam-diam. agar kita sedikit lebih lega.
dan cinta? dia mengurai hati kita sepanjang jalan ini.


Pertemanan adalah sebuah jalan panjang menuju persahabatan. Dia bisa abadi karena didasari ketulusan, persaudaraan dan cinta. Beberapa orang sahabat blogger dari berbagai penjuru mengekpresikannya ke dalam bentuk award berikut ini. Terimakasih sedalam-dalamnya buat Mbak Nura, Ibnu Mas'ud, Hani Hizboel, dan Bunda Elly Suryani yang telah memberikan award ini.

Empat buah award cantik buatan Mbak Nura di Al Jubail Arab Saudi. Keren dan sangat kreatif:

Friendship Award dari Ibnu Mas'ud:


Friendship Award dari Hani Hizboel:


Koin Emas Indonesian Blogger dari Bocah Pemimpi:

The Hottest Male Blogger Award dari Bunda Elly Suryani:


Semua award ini saya persembahkan lagi kepada semua sahabat yang telah menjadi pembaca setia (followers) Sastra Radio. Terimakasih ya telah menjadi followers blog saya. Diambil ya. Boleh diboyong semua. Semoga ke 8 award ini kian memperat tali persahabatan dan ukhuwah di antara kita. Amin. Salam budaya.

Puisi-Puisi Cak Nun

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 09 September 2009 | September 09, 2009


Cak Nun, dia masih sebuah oase. Puisi-puisinya tak pernah tidur di Indonesia. Ada yang menyebutnya kyai. Lebih banyak lagi yang meyakininya sebagai satu-satunya penyair tanah air dengan karya-karya islami yang masih bertahan. Puisi-puisi yang berisi dari Cak Nun tetap terdepan di pelataran karya seniman dan budayawan Islam di negeri ini.

ANTARA TIGA KOTA

di yogya aku lelap tertidur
angin di sisiku mendengkur
seluruh kota pun bagai dalam kubur
pohon-pohon semua mengantuk
di sini kamu harus belajar berlatih
tetap hidup sambil mengantuk

kemanakah harus kuhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga ?

Jakrta menghardik nasibku
melecut menghantam pundakku
tiada ruang bagi diamku
matahari memelototiku
bising suaranya mencampakkanku
jatuh bergelut debu

kemanakah harus juhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga

surabaya seperti ditengahnya
tak tidur seperti kerbau tua
tak juga membelalakkan mata
tetapi di sana ada kasihku
yang hilang kembangnya
jika aku mendekatinya

kemanakah harus kuhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga ?

BEGITU ENGKAU BERSUJUD

Begitu engkau bersujud, terbangunlah ruang
yang kau tempati itu menjadi sebuah masjid
Setiap kali engkau bersujud, setiap kali
pula telah engkau dirikan masjid
Wahai, betapa menakjubkan, berapa ribu masjid
telah kau bengun selama hidupmu?
Tak terbilang jumlahnya, menara masjidmu
meninggi, menembus langit, memasuki
alam makrifat

Setiap gedung, rumah, bilik atau tanah, seketika
bernama masjid, begitu engkau tempati untuk bersujud
Setiap lembar rupiah yang kau sodorkan kepada
ridha Tuhan, menjelma jadi sajadah kemuliaan
Setiap butir beras yang kau tanak dan kau tuangkan
ke piring ke-ilahi-an, menjadi se-rakaat sembahyang
Dan setiap tetes air yang kau taburkan untuk
cinta kasih ke-Tuhan-an, lahir menjadi kumandang suara
adzan

Kalau engkau bawa badanmu bersujud, engkaulah masjid
Kalau engkau bawa matamu memandang yang dipandang
Allah, engkaulah kiblat
Kalau engkau pandang telingamu mendengar yang
didengar Allah, engkaulah tilawah suci
Dan kalau derakkan hatimu mencintai yang dicintai
Allah, engkaulah ayatullah

Ilmu pengetahuan bersujud, pekerjaanmu bersujud,
karirmu bersujud, rumah tanggamu bersujud, sepi
dan ramaimu bersujud, duka deritamu bersujud
menjadilah engkau masjid

1987

DARI BENTANGAN LANGIT

Dari bentangan langit yang semu
Ia, kemarau itu, datang kepadamu
Tumbuh perlahan. Berhembus amat panjang
Menyapu lautan. Mengekal tanah berbongkahan
menyapu hutan !
Mengekal tanah berbongkahan !
datang kepadamu, Ia, kemarau itu
dari Tuhan, yang senantia diam
dari tangan-Nya. Dari Tangan yang dingin dan tak menyapa
yang senyap. Yang tak menoleh barang sekejap.

    Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO,

            1997

KITA MASUKI PASAR RIBA

Kita pasar riba
Medan perang keserakahan
Seperti ikan dalam air tenggelam

Tak bisa ambil jarak
Tak tahu langit
Ke kiri dosa ke kanan dusta

Bernapas air
Makan minum air
Darah riba mengalir

Kita masuki pasar riba
Menjual diri dan Tuhan
Untuk membeli hidup yang picisan

Telanjur jadi uang recehan
Dari putaran riba politik dan ekonomi
Sistem yang membunuh sebelum mati

Siapakah kita ?
Wajah tak menentu jenisnya
Tiap saat berganti nama

Tegantung kepentingannya apa
Tergantung rugi atu laba
Kita pilih kepada siapa tertawa

1987


DITANYAKAN KEPADANYA

Ditanyakan kepadanya siapakah pencuri
Jawabnya: ialah pisang yang berbuah mangga
Tak demikian Allah menata
Maka berdusta ia

Ditanyakan kepadanya siapakah penumpuk harta
Jawabnya: ialah matahari yang tak bercahaya
Tak demikian sunnatullah berkata
Maka cerdusta ia

Ditanyakan kepadanya siapakah pemalas
Jawabnya: bumi yang memperlambat waktu edarnya
Menjadi kacaulah sistem alam semesta
Maka berdusta ia

Ditanyakan kepadanya sapakah penindas
Jawabnya: ialah gunung berapi masuk kota
Dilanggarnya tradisi alam dan manusia
Maka berdusta ia

Ditanyakan kepadanya siapa pemanja kebebasan
Ialah burung terbang tinggi menuju matahari
Burung Allah tak sedia bunuh diri
Maka berdusta ia

Ditanyakn kepadanya siapa orang lalai
Ialah siang yang tak bergilir ke malam hari
Sedangkan Allah sedemikian rupa mengelola
Maka berdusta ia

Ditanyakan kepadanya siapa orang ingkar
Ialah air yang mengalir ke angkasa
Padahal telah ditetapkan hukum alam benda
Maka berdusta ia

Kemudian siapakah penguasa yang tak memimpin
Ialah benalu raksasa yang memenuhi ladang
Orang wajib menebangnya
Agar tak berdusta ia

Kemudian siapakah orang lemah perjuangan
Ialah api yang tak membakar keringnya dedaunan
Orang harus menggertak jiwanya
Agar tak berdusta ia
Kemudian siapakah pedagang penyihir
Ialah kijang kencana berlari di atas air
Orang harus meninggalkannya
Agar tak berdusta ia

Adapun siapakah budak kepentingan pribadi
Ialah babi yang meminum air kencingnya sendiri
Orang harus melemparkan batu ke tengkuknya
Agar tak berdusta ia

Dan akhirnya siapakah orang tak paham cinta
Ialah burung yang tertidur di kubangan kerbau
Nyanyikan puisi di telinganya
Agar tak berdusta ia

1988
 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday