Home » » Swara Kebun yang Santun

Swara Kebun yang Santun

Posted By Redaksi on Minggu, 12 Maret 2023 | Maret 12, 2023

Sebuah catatan kecil dari pertunjukan seni eksperimental "Swara Kebun" Al Farabi Bulukumba pada Sabtu, 4 Maret 2023.

Swara Kebun Al Farabi Bulukumba

Bukan rumah mewah. Ruang paling kaya dan merdeka adalah kebun. Para -perempuan itu menari dalam wilayah yang bisa kita sebut sebagai area tandus bagi moralitas. Lantaran mereka memang sengaja menari di bagian kebun yang tanpa rumputan. 

Sebuah periuk tanah liat yang tergantung di tiga batang bambu yang sebenarnya bisa saja ada api di bawahnya  itu harusnya menyentak kita. Simbol pangan itu tanpa api. Manusia sedang berada di ujung tanduk. Tak ada yang tahu apa isi periuk itu. Tak ada nyala api. Kita seharusnya bersiap menghadapi krisis pangan. Di sisi lain, krisis moral.

Sebelum terjadi Perang Dunia I banyak orang di dunia tak percaya bakal terjadi huru hara itu. Mereka harus mengungsi dan kembali ke alam. Pengulangan terjadi saat Perang Dunia II. Padahal banyak yang tak percaya akan terjadi karena kehancuran di Perang Dunia I. Kini, banyak yang tak bersiap terhadap Perang Dunia III. Lebih tepatnya, tak bersiap kembali ke alam ketika itu terjadi. Kita mau tak mau mencari 'kebun-kebun yang aman' di pelosok-pelosok saat huru hara terjadi. Adakah pesan itu dalam pertunjukan seni eksperimental Swara Kebun oleh Al Farabi Squad? Secara tegas, ya. Keseluruhan pertunjukan ini menunjukkan satu benang merah: kembali ke alam. Saat itu mungkin tak ada lagi internet dan kita harus menguasai cara bertani hingga berburu.

Lalu perempuan yang membawa kipas? Angin sejuk adalah kepunyaan kebun! Seharusnya para penjilat kekuasaan merasa tersindir. 

Ada pula perempuan yang meletakkan kursi kayu ke atas kepalanya. Dia terus menari. Ah, kekuasaan memang serakah. Entahlah, oligarki ataukah 'raja-raja  kecil" yang dia maksud melalui adegan itu? 

Musik magis yang ritmis, gitar akustik yang berdenting ditingkahi tiupan alat musik dari kerang, menambah keyakinan kita bahwa kekuasaan memang kerap lupa moral. Apakah terlalu rumit untuk mendengarkan senandung lirih dari simbol itu? Pertama, seni eksperimental dibawa ke dalam kebun karena ruang berkesenian semacam ini nyaris sulit ditemukan di kota. Apalagi mau berbicara tentang gedung kesenian. Kedua, musik etnis adalah ritual paling estetis dalam menghirup bunyi.

Dengarkan iramanya yang tanpa lirik. Terjemahannya secara eksperimental berbunyi: "Barangkali ada air yang sudah tidak lagi bisa mengairi persawahan petani akibat pengerukan tambang galian C di sungai?" Dan ini hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang pernah tenggelam dalam etnomusikologi.

Penegasannya bisa kita lihat pada gerak meliuk-liuk seorang lelaki di atas sebuah kursi. Lalu mengapa hanya dia yang berbaju warna putih? Warna semiotis itu benar-benar menampar kita yang lebih doyan mengagungkan jabatan. 

Peradaban manusia telanjur meletakkan kebun sebagai awal mula manusia mengenali hidup yang disokong  pangan. 

Begitulah, dari kebun -  simbolnya mewakili juga sawah dan ladang-  hidup kita pun beranjak penuh semangat saat rerumputan masih dibasahi embun. Bukan sebagian besar dari kita, melainkan petani kopi di kebun kopi, petani teh di kebun teh, petani cabe di kebun cabe, dan seterusnya. 

Entah dari mana awalnya, kebun tetiba saja menjadi simbol keserakahan penguasa. Lebih tepatnya simbol kekayaan. Sesiapa pun tahu, kebun adalah ruang bagi pangan. 

Kebun pun adalah ruang paling tematis bagi manusia yang mencari arti dan merekonstruksi realita, sebagaimana yang diperbuat seniman-seniman Al Farabi Bulukumba. Mereka menyindir hidup melalui bunyi dan gerak tapi mereka terlalu 'santun'.

Share this article :
Komentar

0 apresiator:

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday