Latest Post

Siapakah Presiden Indonesia?

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 12 Maret 2009 | Maret 12, 2009


Judul di atas adalah untuk segala waktu dan cuaca di Indonesia. Mungkin juga untuk semua generasi di tanah air yang pernah bertanya hal sama tapi dengan niat berbeda-beda. Siapakah presiden Indonesia? Secara tidak sengaja pertanyaan itu pernah terlontar dari mulut lugu seorang tukang becak di mulut sebuah gang yang menuju rumahku. Sebenarnya tukang becak itu tidak begitu peduli dengan pemilu. Mungkin juga dia belum terdata sebagai pemilih. Sebab setahuku dia datang ke kota ini tanpa KTP. Bertahun-tahun kemudian dia masih belum memiliki kartu itu yang konon adalah pengenal warga negara yang sah di republik ini.

Tukang becak itu bertanya kepada temannya yang kebetulan bisa menjawab dengan benar. Maka dia pun mengangguk-angguk sambil mencoba mengulang nama yang diucapkan temannya. Daeng Ero' nama tukang becak berusia separuh baya itu masih berusia belasan tahun ketika Bung Karno masih menjadi presiden. Daeng Ero' di masa itu juga masih sangat kuat begadang ketika di kampungnya dia ikut kena giliran jaga malam. Maklum waktu itu hampir semua rakyat ikut terlibat dalam pengganyangan komunis.

Banyak peristiwa di republik ini yang hanya tersisa kenangan di kepala tukang becak berusia tua itu. Rambutnya memutih pertanda beberapa zaman telah dia kunyah bersama waktu. Bung Karno misalnya. Dia masih tak habis mengerti. Sang proklamator tidak mengutang sesenpun dari luar negeri. Tapi negeri ini begitu dihormati dan dihargai oleh segala bangsa di dunia. Negara-negara di asia menjadikan republik ini sebagai kiblat tentang bagaimana cara sebuah bangsa tidak ingin jadi kuli bangsa lain. Konon Amerika pun segan dan tidak berani mendikte republik ini. Tidak seperti sekarang.

Daeng Ero' menghela nafas panjang. Siapakah lagi presiden Indonesia yang bisa seperti Bung Karno? Lelaki tua itu tiba-tiba mengernyitkan dahi. Diingatnya ucapan-ucapan seorang tetangganya yang katanya pengurus LSM, bahwa Bung Karno juga nyaris menenggelamkan bangsa ini. Tapi tentu saja dengan pikirannya yang polos daeng Ero' tidak mempercayainya. Lelaki tua itu lebih meyakini tentang apa-apa yang telah dia kunyah bersama waktu. Banyak peristiwa di republik ini yang terekam jelas di benaknya. Termasuk ketika rumahnya digusur, katanya atas perintah pak walikota. Juga termasuk peristiwa kemarin pagi. Seorang caleg dari partai anu datang ke gubuknya dengan penuh senyum dan cerita berapi-api tentang idealismenya. Senyum itu tak lepas-lepas hingga sang caleg permisi. Heran! Tukang Becak yang lugu dan polos itu tentu saja heran sebab ketika caleg itu masih bertetangga dengannya di kota anu tak sekalipun dia mau bertegur sapa dengan daeng Ero' apalgi seperti kemarin, sebuah peristiwa ajaib sebab justru orang kaya itu yang sudi berkunjung ke gubuk reotnya. Tamunya kemarin menitipkan sebuah kartu nama lengkap dengan foto orang itu. Tapi daeng Ero' menerimanya dengan ikhlas walau dia tidak dapat sama sekali membaca apa saja yang tertulis di kartu itu. Daeng Ero' kebetulan seorang buta huruf. (Ivan Kavalera)

Guru Muda Baca Puisi di RCA


Ismail, S.Pd, seorang guru muda SMK 5 Sampeang Karama Bulukumba, secara ekspresif baca puisi dalam Ekspresi, sebuah program sastra dan budaya di RCA 102.5 FM edisi siar Ahad 15 Maret 2009. 

Tidak tanggung-tanggung 6 buah puisi Wiji Thukul dibacakan live dari studio. Guru muda ini mengaku mulai mencintai puisi semenjak masih kanak-kanak. Dirinya hampir tidak pernah melewatkan program Ekspresi setiap hari Minggu. 

Saya sempat melontarkan pertanyaan tentang sejauh mana geliat sastra di sekolah termasuk SMK 5 tempatnya mengajar. Ismail menegaskan bahwa geliat sastra sangat menggembirakan di kalangan pelajar dan generasi muda di selatan-selatan Sulsel termasuk Bulukumba. Cuma menurutnya ada sebagian elit dan bahkan dari kalangan arus bawah sendiri yang tidak punya kepedulian terhadap seni termasuk kesusastraan. Yang menggembirakan sebab ruang-ruang publik seperti Ekspresi atau pun media cetak tertentu masih setia memberi ruang bagi para penggiat seni dan kesusastraan. Meski tetap saja ada keterbatasan semisal durasi pada radio atau terbit terbatas sekali sepekan di media cetak.

Ismail bersama beberapa siswanya dari SMK 5 juga sempat tampil dalam Deklarasi Bulukumba Kota Penyair beberapa minggu lalu.


Sebuah puisi Andhika Mappasomba yang pernah dibacakan ketika menjadi bintang tamu di program Ekspresi RCA . Dia di Ekspresi setiap kali angin membawanya pulang kampung ke Bulukumba dan air laut diseduhnya ke atas bulan.



Ning, Tidurlah Ning

aku telah mengusir nyamuk pemangsamu
pun jua telah kusiapkan beberapa cerita dan puisi
yang akan kubacakan sebagai pengantar tidurmu
ning, tidurlah
disini, di pangkuangku
katupkan matamu
bukankah rindu yang bertahta kemarin telah terbayar malam ini
ning, tidurlah
izinkan aku mengecup kening dan bibirmu jika kau telah lelap
ning, tidurlah
aku malu mengecupmu jika kau masih terjaga
tapi,
jika kau tak mau tertidur dan aku telah sangat ingin mengecupmu
aku akan menutup kedua matamu dengan cinta

makassar, 10/02/09

ini kutulis setelah perjalanan jauh dari Bulukumba menuju pertemuan pengendara scooter/vespa di bumi nene mallomo, sidrap...Minggu/8/02/09. ketika tubuh masih terhimpit lelah dan tangan yang pegal stelah balik ke makassar..... bersatulah pengendara scooter/vespa indonesia...lawan korupsi .........


Andhika Mappasomba, penyair dan cerpenis, lelaki kelahiran 1980 di Tanah Beru. Salah satu bukunya "Ingin Kukencingi Mulut Monalisa".

Puisi Ujung Gang

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 10 Maret 2009 | Maret 10, 2009

"kapan terakhir kali aku menciumi hatimu,
manis?"
tanyaku di sisi sunyi.
"ketika hujan berhenti berderai di sini," jawabmu
di sisi badai.
kemudian kita bertangkupan
dari jauh
tak lelah-
lelah.

deru



Tangan Buntung

Berjutajuta tanganbuntung
Bergerak menjalar
Menuju barat arahnya
Sambil berseru
“Tuhan, Tuhan beri kami makna”
Mirip serdadu yang melakukan long march
Tetanganbuntungtakbertuan itu
Letih satupersatu menyerah satupersatu
“ooh Perjalanan menuju Tuhan begitu panjang,
Berapa pal lagikah jaraknya?”
Namun hingga titikakhirtenaga
Tuhan masih juga takmemaknai mereka
Lalu dari kejauhan mantan pemilik tetangan
Tampak berunjuk rasa dan protes kepada Tuhan
-nah rasakan sendiri
maknai saja semauMu
karena seakan Kau
tak percaya pada kami
Kau buat mereka susah diatur
Keras kepala semaunya saja-
Tetanganbuntung tak peduli
Mereka kembali neruskan perjalanan
Ke barat, menuju kediaman Tuhan
Sambil berseru “Tuhan, Tuhan beri kami makna”


Puisi Musa Manurung dibacakan pada program Ekspresi edisi ahad 15 Maret 2009, pukul 11.00 wita. Ekspresi adalah program sastra di RCA yang dalam perkembangannya lebih banyak didominasi puisi dan prosa yang lebih 'berat'.

RCA 102,5 FM

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 08 Maret 2009 | Maret 08, 2009


Program acara Ekspresi di RCA 102,5 FM edisi ahad, 8 Maret 2009 diwarnai pembacaan puisi dari Arung Samudera, Arie M. Dirgantara dan Andhika Mappasomba dalam bentuk rekaman audio. 


Sebuah puisi Wiji Thukul begitu ekspresif dibacakan Arie M.Dirgantara. Di sesi akhir, Ivan membaca tiga buah puisi yakni WS Rendra "Pamflet Cinta" dan "Kelelawar." Puisi karya Goenawan Mohamad berjudul "Tentang Seseorang Yang Terbunuh Di Sekitar hari Pemilihan Umum" menjadi pamungkas program.

pojok


Hila Hila Bontotiro

tanah ini adalah ngarai-ngarai puisi
anak-anak petani mengurai bulir-bulir padi kesuburan jiwa
di atas pematang tanpa sawah,
anak-anak nelayan menjala keperkasaan ombak
di atas karang tanpa air laut,
perempuan-perempuan bertangan kokoh menyusui bayi-bayinya
menimang-nimang kecambah kesetiaan,
lelaki-lelaki berkaki hitam legam menghela senyap tanah rengkah
menanam batu-batu hitam di lembah kebijaksanaan.
aku sedang tidak di sini
tapi tanah ini telah memaksa mataku
mengerjap-ngerjapkan kekaguman
sebuah zaman telah mengalirkan sebuah sungai waktu
dari cahaya makam dato ri tiro
ngarai-ngarai puisi, batu-batu sunyi,
di tanah ini aku selalu bermimpi menjadi kanak-kanak lagi
meski kadang hujan tak kunjung turun
berderai-derai.

Bontotiro, 3 Oktober 2008



Desember Setapak Ingatan

-kepada musim


hujan tak henti-henti
ketika waktu dilipat-lipat kenangan
kamarku adalah bercak-bercak ingatan
musim ini adalah aku yang kembali ke masa kecil
berlari telanjang dada

rindu dikibarkan, setapak ingatan menuju sawah
desa adalah masih negeriku yang tersubur dalam hati

pematang-pematang puisi, pancuran-pancuran nurani,

sungai-sungai keikhlasan
sungguh masih jelas mengalir ke hari ini
ingatan tentangnya tak henti-henti.
rindu dibentangkan,
setapak ingatan di tengah ladang
aku ingin menjadi bocah kembali
yang memburu layang-layang di tanah lapang
teriakannya merdeka dengan atau tanpa cinta
atau bahkan tanpa kerja.
desa adalah masih negeriku yang tersubur dalam hati
rindu tak habis-habis,
setapak ingatan menuju sebuah rumah kayu
hujan tak henti-henti
kota yang rengkah menyerbu kamar
dan kepalaku.

Makassar, 27 Desember 2008


Esok Pagi, Masih Boleh Kita Mencicipi Revolusi?

di tanah airku tak ada airmata
di sini orang-orang dilukai bukan dengan senjata
tapi dengan batu bata yang dibangun menjadi kota-kota,
batako adalah hutan rimba.
kami tidak berair mata,
mereka tidak menembaki kami dengan senjata
tapi dengan jutaan kata
dari atas mimbar,iklan dan baliho.
tak akan ada yang berani terang-terangan membunuhi kami
sebab mereka pasti tahu bahwa kamilah yang membeli senjata,
peluru, seragam, kantor bahkan kotak suara untuk pemilu.
mereka bernasib beruntung menjadi orang-orang yang kami
bayar di negeri ini
lalu mereka pun setia mengunjungi kami sekali dalam
lima tahun!
setelah mereka kami bayar dengan pajak
hari ini mereka datang lagi untuk mengemis suara kami
tapi tak ada airmata
sebab kakek nenek kami adalah pejuang-pejuang sejati
di jamannya
yang bertempur gagah berani mencegat musuh
tanpa dibayar sepeser pun!
di tanah airku tak boleh ada airmata
kami hanya menyimpannya diam-diam dalam hati
sebagian kami simpan menjadi puisi dan orasi
sebagian lagi menjadi amunisi
tapi esok pagi,
masih bolehkah mencicipi revolusi?

Bulukumba, 21 Oktober 2008

deru

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 07 Maret 2009 | Maret 07, 2009


Di malam hari ketika langit Bulukumba menghitam biru dengan sedikit bintang. Sebuah sejarah sedang berlangsung. Sejarah itu bernama DEKLARASI BULUKUMBA KOTA PENYAIR di pendopo rujab bupati Bulukumba, Sabtu 7 Maret 2009. 


Di tempat yang tidak terlalu luas tersebut sedang melingkar lebih 500 orang berbaur jadi satu antara pejabat, seniman, mahasiswa dan masyarakat umum. 

Ini semoga menjadi sebuah pijakan awal yang kondusif bagi gerakan seni tersebut. Bulukumba Kota Penyair? Kenapa tidak?

Catatan Mungil Tentang Ibuku




dia perempuan yang kemarin yang memberiku lukisan airmata
pada kebayanya cinta diterjemahkannya sepanjang jalan, sepanjang sisi badai.
dia perempuan yang esok pagi yang menghadiahi aku dengan doa-doa
airmatanya adalah sungai-sungai di surga bagi anak-anaknya.
ibu, ajari aku lagi
tentang cara mengeja cinta.

Bulukumba, Sabtu 7 Maret 2009

Deklarasi Bulukumba Kota Penyair

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 06 Maret 2009 | Maret 06, 2009


Jika sesuai rencana maka beberapa pejabat dan tokoh-tokoh publik akan didapuk untuk ikut baca puisi di acara Deklarasi Bulukumba Kota Penyair. Bupati Bulukumba, AM Sukri A.Sappewali, wabup Drs.H. Padasi, pak kapolres dan Dandim 1411 serta beberapa pejabat lainnya telah menyatakan kesediaan akan tampil membaca puisi. Beberapa komunitas lainnya seperti Teater Kampong Bulukumba, komunitas Rumpun Seni Budaya Kanre Ana'(wadah penggemar program acara Ekspresi dan Sembilu di Radio Cempaka) dan banyak lagi kelompok seni dari daerah lainnya siap tampil memeriahkan acara.

Sebuah Pertemuan Bersejarah

Hari jumat sore selama dua jam lebih di pelataran studio Radio Cempaka Asri berkumpul para anak-anak muda yang akan menggelar DEKLARASI BULUKUMBA KOTA PENYAIR keesokan harinya di pendopo rujab bupati Bulukumba pada sabtu mulai pukul 19.30 Wita.  

Mereka yang hadir sore itu adalah anggota dari komunitas Rumpun Seni Budaya Kanre Ana', Andhika Mappasomba, Arie M.Dirgantara, Rindung Bulan dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu.


Konsep acara digodok bersama untuk mencari gambaran realistis dari gerakan deklarasi yang akan digelar esok harinya.

Shubuh 6 Maret 2009






ternyata
aku mencintaimu di sepanjang jalan
yang ditanami bunga-bunga cahaya
catatan-catatan kecil
di ujung gang, azan
dan grafitty
dinding kota
tak juga mengusir
wajahmu
yang
bulan.

Bulukumba, Jumat 6 Maret 2009

Sajak Kecil Buat Chacha



                                    chacha,
dia seorang gadis kecil
yang menuliskan
sajak-sajak bunga
pada buku harianku
yang ketinggalan di pinggir sungai.
pada musim semi lalu
kami berdua memainkan layang-layang
yang terbuat
dari serangkaian melati.
chacha berlari-lari menuruni
lembah,
dia perempuan kecilku
yang bernyanyi-nyanyi.
dalam hatiku dia bertumbuhan
menjadi bunga matahari.
chacha,
tunggu puisiku di musim semi nanti
mungkin masih sempat kita
berlari
mengelilingi angin,
pohon-pohon trembesi dan sepi,
sekali lagi.

Bulukumba, 15 Februari 2009


 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday