Latest Post
Catatan Kecil
dia temanku yang bercerita
tentang rindunya
yang tak kunjung lengkap.
dikirimkannya melalui halaman-halaman hatinya kepada
lebih dari satu tetes embun. aku pun tak mampu menolongnya. ketika bulan tak muncul.
rindu adalah abjad tak terbaca di atas padang sahara
pada masing-masing hati setiap pencinta.
aku hanya mengirimkannya sebuah kaktus.
ketika bulan tak muncul-muncul.
Sastra Musik atau Musik Sastra?
Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 07 April 2009 | April 07, 2009
Saya tidak dapat membayangkan jika sastra tanpa musik dalam sebuah program acara sastra di radio. Ketika seorang pendengar berpartisipasi membaca puisi karyanya di radio maka sungguh ganjil dan tidak estetis manakala tanpa ilustrasi musik pengiring. Paling tidak mereka memastikan akan muncul sebuah lagu yang liriknya senada dengan puisi aatau prosa yang usai dibacakan. Musikalisasi puisi? Tentu kita bingung mau memasukannya ke kategori mana. Sebab sastra di radio yang pasti diwarnai musik sungguh berbeda dengan musikalisasi puisi. Sastra di radio lebih pas jika tidak diiringi persetubuhan langsung musik live dengan pembacaan naskah sastra. Walau ada juga yang mungkin mencoba musik live kolaborasi dengan puisi di radio.
Sastra tetaplah sastra. Musik tetap disebut musik. Penyebutan genre seyogyanya tidak pernah membingungkan sebab seni semestinya sedarah walau terlahir dengan berbagai genre. Sastra senantiasa adalah sastra walau keterlibatan musik membuatnya lebih elegan. Musik tetaplah musik walau syair lagunya bersumber dari karya sastra. Saya sendiri belum pernah menemukan bahwa Rendra mengklaim puisinya yang berjudul Kesaksian sebagai bentuk musikalisasi puisi manakala dinyanyikan oleh Kantata Takwa. Pencinta musik monumental pun tidak melihatnya sebagai puisi tapi tetap sebagai sebuah lagu yang utuh dari Kantata Takwa. Patutkah hegemoni sebuah cabang seni atas seni lainnya yang kebetulan "diajak" berkolaborasi menjadi induk semang dari sebuah hasil eksplorasi seni?
Haruskah direkonstruksi kembali beragam defenisi dan batasan seni? Terminologi memang kadang menyesatkan saking banyaknya genre yang beranak pinak di jagad seni. Fenomena menarik, para pengrajin seni kelimpungan sendiri dan mentradisikan kepedean mengklaim satu genre baru berdasarkan perkembangan baru yang tanpa batas. Lalu siklus yang biasa terjadi, terjadilah. Semuanya kemudian kembali pulang ke rumah yang sama. Rumah bersama itulah rahim seni yang tanpa pengkotak-kotakan tapi bersaudara kandung. Ke mana sastra musik dan atau musik sastra besok pagi? Saya sendiri belum pernah yakin jika sebuah acara sastra di radio dirancang untuk hegemoni atas cabang seni lainnya. Di salah sebuah radio saya pernah dengar sebuah program sastra berjudul Selaksa (Senandung Lagu dan Karya Sastra). Penempatan "Senandung lagu" yang mendahului 'Karya Sastra' tidak serta merta membuat pendengar menyimpulkan bahwa itu pasti program musik biasa yang bercampur sastra. Pendengar telah yakin bahwa itu pasti acara sastra.
Apa Kabar Seni Rupa Tanah Air?
Posted By Ivan Kavalera on Senin, 06 April 2009 | April 06, 2009
Di belahan bumi manapun termasuk di negeri ini wajah seni rupa ditentukan oleh kondisi masyarakatnya. Kondisi kehidupan masyarakat selalu mempengaruhi pilihan-pilihan tema yang akan diungkapkan di dalam sebuah karya, terlebih-lebih akan amat menentukan siapa sebetulnya masyarakat penikmat (apresiator) seni rupa. Hal ini disebabkan karena di dalam perkembangan seni rupa, apresiator memegang peranan penting. Sesuatu yang omong kosong jika karya seni rupa tanpa masyarakat penikmatnya.
Sungguh pada hakikatnya masyarakat kita, baik penikmat, birokrat, maupun perupa sendiri adalah masyarakat yang marginal. Masyarakat yang berada pada garis margin, antara tradisi dengan modernitas, antara etnis dengan bangsa, antara kota dengan nagari (desa), antara sikap feodal dengan egaliter. Dan pada garis-garis margin lainnya, pada suatu ketika mereka bisa terkesan tradisional sekali dan pada ketika lainnya mereka kelihatannya amat modern sekali. Demikian juga pada suatu ketika mereka kelihatan nasionalis bahkan kosmopolit seraya menjaga atribut-atribut etnisnya, hidup dengan fasilitas kota sementara tetap berpikiran "ndeso", mengagung-agungkan demokrasi tetapi di dalam praktik tetap berjiwa feodal.
Masyarakat marginal yang demikian, meskipun tumbuh dan berkembang menjadi kelas menengah baru, tetapi sifat marginalitasnya tetap bertahan. Masyarakat kelas menengah baru itu adalah masyarakat yang secara signifikan ikut pula memarginalkan dunia seni rupa kita. Pergeseran-pergeseran nilai budaya masyarakat dari agraris ke budaya industri dan kemudian ke budaya informasi telah melahirkan kelompok-kelompok masyarakat sebagai kelas menengah baru yang tidak lagi memberdayakan seni umumnya dan seni rupa khususnya sebagai tempat berkontemplasi rohani mereka.
Indikasi lain menunjukkan kepada kita bahwa kini sebagaian besar masyarakat kita (apalagi pemimpinnya) lebih bangga memiliki harta benda maupun kekuasaan duniawi daripada memiliki sebuah lukisan, kebudayaan, kearifan hidup, kesenian dan sebagainya. Negara-negara maju (AS, Eropah, Jepang, Korea, dan lain-lain) yang akhirnya menjadi negara-negara kaya dalam hal harta benda adalah penyumbang besar situasi yang tidak seimbang ini, karena gaya hidup warganya yang berorientasi kepada bidang matei, dijadikan model atau parameter keberhasilan sebuah kehidupan. Untuk mencapai "keberhasilan hidup"? ini, masyarakat berlomba-lomba mengejar harta benda dan kekuasaan sehingga banyak yang rela meninggalkan masalah-masalah rohani kemanusiaan.
Seni budaya (juga seni rupa) dan aspek kerohanian lainnya tidak lagi menjadi komponen kehidupan yang penting bagi masyarakat kita adalah adanya "ukuran"? untuk apa yang dinamakan "Developed Country dan Under-developed Country"? yang tidak diukur lewat kekayaan budaya seperti lukisan (karya seni) misalnya, tetapi diukur lewat kebendaan, misalnya Indeks Kemiskinan Masyarakat (IKM) atau Indeks Keberhasilan Pembangunan (IKP), income percapita, dan lain-lain yang senada dengan itu.
Hal-hal semacam ini mempengaruhi dunia pendidikan kita yang lebih cenderung mencetak manusia cerdik untuk mengejar kebendaan daripada mendidik manusia sebagai umat yang arif dan bijaksana. Tidaklah aneh kalau para orang tua juga akan lebih bangga bila anak-anaknya jago dalam bidang matematika, sebab dengan bekal ilmu itu ia akan menguasai teknologi canggih sebagai mesin untuk mencetak harta benda dan kekayaan. Sebaliknya, mereka yang anaknya lebih menggeluti seni, termasuk seni rupa, banyak yang kecewa, sebab anak mereka tidak akan mampu bersaing dalam memperebutkan kekayaan dan kekuasaan sebagai ikon keberhasilan sebuah kehidupan. Dengan sikap yang seperti, tidaklah perlu kita berkecil hati, jika dunia seni umumnya, dan seni rupa khususnya menjadi marjinal.
Kecenderungan sikap dan pandangan ini juga merasuk pada jajaran birokrat kita. Mereka secara sengaja atau tidak juga telah ikut memarginalkan seni budaya kita termasuk seni rupa. Padahal, mereka tahu bahwa fondasi sebuah bangsa tidaklah dapat diukur dengan IKM atau IKP semata, tetapi juga pada seni budaya. Namun dalam perlakuannya, seni budaya (seni rupa salah satunya) selalu mereka marginalkan. Fenomena ini terlihat dari sikap dan perlakukan mereka terhadap karya seni. Jarang di antara birokrat kita yang gemar mengoleksi karya lukis, dan jika ada pameran dan pertunjukkan seni lainnya jarang sekali mereka hadir, kecuali diundang untuk melakukan pembukaan. Pembangunan seni budaya kurang mendapat perlakuan yang wajar bila dibandingkan dengan pembanguan dalam sektor lainnya. Hal ini terlihat sekali dalam kebijakkan- kebijakan yang mereka ambil, pembangunan seni budaya selalu mendapat rangking terakhir (dari segi pengalokasian dana), meskipun setakad ini sudah membentuk Departemen Parawisata dan budaya. Mereka sadar bahwa berhasilnya industri wisata amat berkorelasi dengan seni budaya, dapat dijadikan andalan untuk meraih devisa, tetapi tetap (di-) marginalkan.
Keadaan ini diperparah lagi dengan sikap perupa yang cenderung dalam berkarya menjadi terlalu mudah. Ada lukisan yang hanya berupa percikan-percikan warna saja, di samping definisi seni rupa itu sendiri yang semakin hari semakin kabur. Misalnya seorang seniman Italia Piero Manzoni pada tahun 1961 yang membubuhkan tanda tangan di atas tubuh wanita-wanita tanpa busana seraya menyatakan bahwa wanita-wanita itu adalah patung-patung yang siap dipamerkan. Atau karya seniman Perancis Ben Vauteier tahun 1962 yang memajang dirinya sebagai patung di sebuah galeri selama lima belas hari, serta Pi Lind pada tahun 1969 di Stockholm yang memasang landasan-landasan patung di sebuah galeri dengan harapan para pengunjung mau berdiri di atas landasan-landasan itu menjadi patung, dan banyak lagi contoh serupa seperti karya Manzoni, Vautrier untuk menggambarkan betapa definisi seni rupa menjadi kabur. Akibatnya adalah munculnya banyak gaya perseorangan yang tidak begitu menonjol, tidak lahirnya gara periode yang penting, tidak munculnya karya-karya besar, dan terlepasnya seni rupa dari konteks-konteks kehidupan, dan akhirnya karya mereka juga menjadi terpencil. Bahkan keadaan inilah yang membuat sejarawan seni rupa terkemuka seperti Hans Belting mengisyaratkan bahwa sejarah seni rupa telah berakhir; yang berakhir bukan sejarah seni rupa sebagai suatu displin humanistik, tetapi adalah sejarah seni rupa sebagai sebuah rantai perkembangan gaya periode (untung fenomena yang seperti ini tidak kita temui pada perupa kita di daerah ini). Dengan keadaan yang demikian wajar jika tidak lahir karya-karya besar dalam dunia seni rupa kita. Tentu kita tidak mau bahwa kita hidup secara terus-menerus dengan situasi dan kondisi yang seperti ini, tentu kita tidak menginginkan masyarakat kita menjadi masyarakat yang kropos, kering rohani, buta budaya, dan kehilangan nilai rasa. Untuk itu kita harapkan perupa dapat mengasahnya, melalui cipta karya dan ungkapan rupanya.
Benarkah dunia seni kita termasuk seni rupa adalah seni rupa marginal? Sifatnya yang marginal itu selain terlihat dari tema-tema yang diungkapkan juga ditentukan oleh masyarakatnya yang marginal pula. Para cendekiawan, birokrat, dan perupa sendiri yang diharapkan untuk menyuburkan dunia seni rupa dan sekaligus dapat mengayomi masyarakat cinta seni rupa, juga masih bersifat marginal dan belum bisa diharapkan untuk mencerahkan dunia seni rupa kita. Untuk beberapa waktu dunia seni rupa kita mungkin akan tetap terpencil. Seni rupa tanah air, quo vadis?
Sastra Lisan Tradisional
Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 05 April 2009 | April 05, 2009
sastra elegi
Saya terdiam beberapa jenak lalu memutuskan untuk menjawab,"Elegi. Ya sastra elegi. Sebab yang paling sering memaksa orang untuk menulis adalah keperihan. Baik keperihan privat maupun kolektif. Semisal keperihan sebuah bangsa."
Entahlah itu benar atau tidak dan masuk akalnya tapi teman itu hanya manggut-manggut.
Sejam kemudian dia mengirimkan sebuah SMS berbunyi,"Benar katamu. Sastra elegi yang paling sering dibaca orang. Bukan hanya sastra tapi juga dunia sinematografi. Airmata menetes-netes setiap malam di semua sinetron. He he he."
Politisi Kutu Loncat
Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 04 April 2009 | April 04, 2009
Berapa usia demokrasi di republik ini?
Yang Masih Tercecer
Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 03 April 2009 | April 03, 2009
Ladang Puisi
-buat Tantri
terimakasih telah mencuri sekuntum puisiku di sebuah larut malam. tapi tidak usah mengembalikannya. cukuplah rinai-rinai hujan di matamu yang bunga.
yang bidadari. grafity di tembok kota. musik hingar di kamar kost. sejumput matahari yang diletakkan seseorang di muka pintu rumahmu. kertas-kertas lusuh yang urung jadi naskah. terimakasih buat gitar banjonya john lennon. pasti kamu masih menguber-uber salah satu manuskrip asli goresan tangan shakespeare. tapi kapan kau kabarkan lagi cerita tentang matamu yang bunga? masih aku mengajakmu menanami ladang puisi yang dulu.
Bulukumba, Jumat 3 April 2009
Sajak Perjalanan Melayari Batu
Sajak Perjalanan Melayari Batu
-kepada adikku Nila
berangkatlah sebagai burung camar. ini hari adalah terdiri dari tiang-tiang kapal atau jangkar. kutahu kau terbiasa meludahi ombak yang sejak dulu menjadikan pelaut sebagai burung rajawali. sayapnya adalah bendera. dalam perjalanan melayari batu tak usah bersahabat dengan cuaca. pelaut-pelaut ulung akan selalu menemukan pulau. tak pernah jera ditenggelamkan waktu. sebagaimana apa kata badai. sebagaimana langit. sebagaimana cinta. sampai jumpa lagi di tengah jala atau laut sunyi.
Bulukumba, 05 Agustus 2006
Sekali Waktu
sekali waktu aku ingin menjadi riak kecil di telaga matamu
sebab semestinya menurutku
tiada ketenangan utuh dalam pandanganmu
bukan pula keteguhan karang ketika hati kokoh
tertikam rasa sayang
sekali waktu aku adalah lelakimu saat engkau menjadi perempuanku
sebab semestinya menurut rindu, hidup harus dilanjutkan sepanjang
waktu
Bulukumba, hujan yang tak tercatat di 2006
Ikhlas, Setajam Badik Kata dalam Sastra Bugis
banyak tasik dan telaga tempat memancing,
yang penting pulang bawa ikan sekeranjang.
sungguh beragam suku dan budaya di nusantara,
namun pasti kearifan yang sama dalam sastra.
Sastra Bugis adalah sebuah kekayaan literatur yang lebih banyak diabadikan justru dalam versi lisan. Sastra tutur sangat khas dalam keseharian manusia Bugis semenjak berabad-abad lampau. Dengan ciri sastra tutur itulah kearifan lokal budaya Bugis tak lekang oleh waktu.
Arus sejarah perantauan anak-anak Bugis bukan sebuah kebetulan yang telah mendamparkan mereka sampai ke benua-benua asing. Sekedar angin buritan pada perahu phinisi tidak menelantarkan mata hati mengikuti sembarang arah mata angin. Arus keikhlasan adalah bekal yang paling penting dalam kisah-kisah rantau mereka.
Dalam bahasa Bugis, ati mapaccing (bawaan hati yang baik) berarti nia’ madeceng (niat baik), nawa-nawa madeceng (niat atau pikiran yang baik) sebagai lawan dari kata nia’ maja’ (niat jahat), nawa-nawa masala (niat atau pikiran bengkok). Dalam berbagai konteks, kata bawaan hati, niat atau itikad baik juga berarti ikhlas, baik hati, bersih hati atau angan-angan dan pikiran yang baik.
Tindakan bawaan hati yang baik dari seseorang dimulai dari suatu niat atau itikad baik (nia mapaccing), yaitu suatu niat yang baik dan ikhlas untuk melakukan sesuatu demi tegaknya harkat dan martabat manusia. Bawaan hati yang baik mengandung tiga makna, yaitu a) menyucikan hati, b) bermaksud lurus, dan c) mengatur emosi-emosi. Pertama, manusia menyucikan dan memurnikan hatinya dari segala nafsu- nafsu kotor, dengki, iri hati, dan kepalsuan-kepalsuan. Niat suci atau bawaan hati yang baik diasosiasikan dengan tameng (pagar) yang dapat menjaga manusia dari serangan sifat-sifat tercela. Ia bagai permata bercahaya yang dapat menerangi dan menjadi hiasan yang sangat berharga. Ia bagai air jernih yang belum tercemar oleh noda-noda atau polusi. Segala macam hal yang dapat menodai kesucian itu harus dihindarkan dari hati, sehingga baik perkataan maupun perbuatan dapat
terkendali dengan baik. Dalam Lontara’ disebutkan:
Dua kuala sappo, unganna panasae, belo kanukue
(Dua kujadikan pagar, bunga nangka, hiasan kuku.)
Dalam bahasa Bugis, bunga nangka disebut lempu yang berasosiasi dengan kata jujur, sedangkan hiasan kuku dalam bahasa Bugis disebut pacci yang kalau ditulis dalam aksara Lontara’ dapat dibaca paccing yang berarti suci atau bersih. Bagi manusia Bugis, segala macam perbuatan harus dimulai dengan niat suci karena tanpa niat suci (baik), tindakan manusia tidak mendapatkan ridha dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Seseorang yang mempunyai bawaan hati yang baik tidak akan pernah goyah dalam pendiriannya yang benar karena penilainnya jernih. Demikian pula, ia sanggup melihat kewajiban dan tanggung jawabnya dengan lebih tepat.
Kedua, manusia sanggup untuk mengejar apa yang memang direncanakannya, tanpa dibelokkan ke kiri dan ke kanan. Lontara’ menyebutkan:
Atutuiwi anngolona atimmu; aja’ muammanasaianngi ri ja’e padammu rupa tau nasaba’ mattentui iko matti’ nareweki ja’na apa’ riturungenngi ritu gau’ madecennge riati maja’e nade’sa nariturungeng ati madecennge ri gau’ maja’e. Naiya tau maja’ kaleng atie lettu’ rimonri ja’na.
(Jagalah arah hatimu; jangan menghajatkan yang buruk kepada sesamamu manusia, sebab pasti engkau kelak akan menerima akibatnya, karena perbuatan baik terpengaruh oleh perbuatan buruk. Orang yang beritikad buruk akibatnya akan sampai pada keturunannya keburukan itu.)
Kutipan Lontara’ di atas menitikberatkan pentingnya seorang individu untuk memelihara arah hatinya. Manusia dituntut untuk selalu berniat baik kepada sesama. Memelihara hati untuk selalu berhati bersih kepada sesama manusia akan menuntun individu tersebut memetik buah kebaikan. Sebaliknya, individu yang berhati kotor, yaitu menghendaki keburukan terhadap sesama manusia, justru akan menerima akibat buruknya. Karena itu, tidak ada alasan bagi seorang individu untuk memikirkan hal-hal buruk terhadap sesama manusia. Dengan kata
lain, agar setiap individu dapat memetik keberuntungan atau keberhasilan dalam hidup sesuai dengan cita-citanya, ia terlebih dahulu harus memelihara hatinya dari penyimpangan-penyimpangan. Jika menginginkan orang berbuat baik kepadanya, ia harus terlebih dahulu berniat dan berbuat baik kepada orang tersebut.
Ketiga, manusia tidak membiarkan dirinya digerakkan oleh nafsu-nafsu, emosi-emosi, perasaan-perasaan, kecondongan-kecondongan, melainkan diatur suatu pedoman (toddo), yang memungkinkannya untuk menegakkan harkat dan martabat manusia sesuai dengan kodratnya. Dengan demikian ia tidak diombang-ambingkan oleh segala macam emosi, nafsu dan perasaan dangkal. Jadi, pengembangan sikap-sikap itu membuat kepribadian manusia menjadi lebih kuat, lebih otonom dan lebih mampu untuk menjalankan tanggung jawabnya. Dalam Lontara’ Latoa ditekankan bahwa bawaan hati yang baik menimbulkan perbuatan-perbuatan yang baik pula, yang sekaligus menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Dalam memperlakukan diri sebagai manusia, bawaan hati memegang peranan yang amat penting. Bawaan hati yang baik mewujudkan kata-kata dan perbuatan yang benar yang sekaligus dapat menimbulkan kewibawaan dan apa yang diucapkan akan tepat pada sasarannya:
Makkedatopi Arung Bila, eppa tanrana tomadeceng kalawing ati, seuani, passu’i ada napatuju, maduanna, matuoi ada nasitinaja, matellunna duppai ada napasau, maeppa’na, moloi ada napadapi.
(Berkata pula Arung Bila, ada empat tanda orang baik bawaan hatinya. Pertama, mengucapkan kata yang benar. Kedua, menyebutkan kata yang sewajarnya. Ketiga, menjawab dengan kata yang berwibawa. Keempat, melaksanakan kata dan mencapai sasarannya.)
Di samping bawaan hati yang baik sebagai motor pendorong dalam manifestasi perbuatan manusia dalam dunia realitas, terdapat lagi suatu hal dalam diri manusia yang harus dipelihara, yaitu pikiran. Bagi manusia Bugis, hati dan pikiran yang baik merupakan syarat untuk menghasilkan kebaikan dalam kehidupan. Setajam badik, kata-kata yang dihela dari hati kemudian berlayar membelah samudera. Tanpa rasa takut.
referensi: Kearifan Lokal Dalam Sastra Klasik Bugis Part 1
Penyiar Radio
Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 02 April 2009 | April 02, 2009
Apakah penyiar butuh skill dan wawasan khusus? Apakah wajib punya keterampilan berbicara di depan mikrofon dan “tahu banyak” soal dunia radio dan khususnya stasiun radio tempatnya bekerja? Di sinilah perlunya mengikuti diklat siaran radio dan “training internal” begitu Anda diterima menjadi penyiar. Tapi ingat tidak semua orang yang berwawasan luas juga bisa jadi penyiar. Letak perbedaannya ada pada talenta dan kemauan. Di situs wikihow.com bisa ditemukan langkah-langkah yang harus kita lakukan untuk menjadi seorang penyiar. Pertama-tama, kita pilih salah satu stasiun radio sebagai “target lamaran”. Lalu, kenali sejumlah hal penting mengenai radio tersebut, seperti segmen pendengarnya, sejarahnya, format musik atau jenis-jenis lagu yang biasa diputar, dan sebagainya.
1.Tulis dan kirimkan surat lamaran Anda kepada stasiun radio yang sedang anda incar-incar. Sertakan CD dan rekaman simulasi siaran Anda (sample voice). Dalam rekaman itu, tunjukkan “on-air skills” Anda, seperti kepribadian Anda, kemampuan wawancara, memandu talkshow, membaca berita dan sebagainya. Ingat, macam siaran bukan hanya siaran tunggal dan program acara radio bukan hanya melulu requezt lagu. Ada format duet, talk, dan sebagainya. Bahkan ada radio tertentu semisal RCA 102,5 FM yang menyuguhkan program sastra dan budaya.
Menunggu Wiro Sableng Turun Gunung
Nama Bastian Tito terlebuh Wiro Sableng sama sekali tak tertera dalam sejarah sastra, baik dalam khasanah sastra serius maupun sastra populer dan cerita silat. Padahal, karakter Wiro Sableng sungguh populer dan mungkin menjadi karakter tokoh cerita silat yang paling banyak dikenal. Bastian menulis lebih dari 150 serial cerita Wiro Sableng. Jutaan orang Indonesia menggilainya. Bahkan nyaris seperti gilanya pecandu cerita silat terhadap Asmaraman S. Kho Ping Kho. Pencipta Wiro Sableng dan Sinto Gendeng itu layak disebut legenda cerita silat nusantara. Sebagai bacaan yang mudah dijangkau dan bisa didapat dengan harga murah pada era 90'an Wiro Sableng menjadi pemuas dahaga anak-anak pinggiran akan bacaan yang menggoda dan terjangkau.
Sangat mudah didapat di toko manapun dan murah. Wiro Sableng punya kekuatan yang memungkinkannya disukai secara luas, terutama oleh anak-anak dan remaja tanggung. Salah satunya terletak pada kekuatan humornya. Ia hadir untuk menjembatani kerinduan akan cerita silat yang bermutu sekaligus mengakomodasi hasrat remaja dan pemuda tanggung akan bacaan yang bisa memancing gelak tawa.
Karakter tokoh-tokohnya pun tidak selalu hitam putih. Di luar Wiro Sableng yang nyaris selalu lurus (walaupun bertabiat mata keranjang), tokoh-tokoh golongan putih seringkali digambarkan punya kecenderungan (sedikit) hitam. Sinto Gendeng digambarkan punya prilaku hobi membunuh musuhnya dengan amat keji, Tua Gila yang pada masa mudainya doyan meniduri perempuan, kakak beradik Dewa Sedih dan Dewa Ketawa yang mencla-mencle hingga Sabai Nan Rancak yang menjadi kompleks pribadinya karena dendam yang barlarat-larat.
Bastian Tito telah dengan jeli memunculkan tokoh-tokoh dengan karakter-karakter unik, yang keunikannya sudah terperikan dengan baik sejak dari nama dan gelar tokohnya dan terutama lewat laku tindak masing-masing tokoh. Wiro Sableng dikhaskan selalu menggaruk-garuk kepala dan cengar-cengir; Sinto Gendeng dengan bau pesing dan tiga tusuk konde yang menancap di batok kepalanya; Kakek Segala Tahu dengan mata tanpa warna hitam dan suara dari kaleng rombeng yang selalu ia jinjing, dll.
Strategi literer Bastian yang paling menonjol yaitu dalam hal waktu, baik waktu dalam sebagai setting cerita maupun dalam memersepsikan waktu. Berbeda dengan cerita-cerita Khoo Ping Hoo atau SH Mintardja yang lebih jelas setting waktunya, Bastian tak pernah secara eksplisit menyebutkan pada masa apa Wiro melanglangi rimba persilatan. Sesekali Bastian menggunakan setting waktu yang bisa dilacak (misalnya pada masa kerajaan Pajajaran dalam seri Maut Bernyanyi di Pajajaran), tetapi pembaca tetap akan kesulitan melacak karena nama Pajajaran yang disebut itu tidak mencirikan kerajaan Pajajaran-nya Prabu Siliwangi.
Ini memungkinkan Bastian lebih leluasa mengeksplorasi imajinasi. Dalam rangkaian serial Latanahsilam, Wiro Sableng dikisahkan terlempar pada masa 1200 tahun silam dari kehidupan Wiro yang sesungguhnya. Di negeri Latanahsilam itu, Wiro bertemu dengan tokoh-tokoh unik dengan ciri-ciri fisik yang juga unik. Misalnya tokoh Hantu Jati Landak yang merupakan perpaduan karakter tumbuhan (badannya mirip kayu jati yang lurus, kaku dan kokoh) dan hewan (dengan kulit dipenuhi duri mirip landak). Dua bentuk eksplorasi Bastian sukar kita temukan pada cerita silat lain.
Dalam hal pemberian waktu dan jarak, menggunakan satuan yang lebih kontekstual dengan logika cerita, seperti sepeminuman teh, sepenanakan nasi, sepelemparan tombak, sepelemparan batu, dll.
Bastian juga sering membuat seri muhibah Wiro Sableng ke luar Jawa (Sumatera, Madura, Bali) bahkan hingga ke luar negeri (Jepang dan Cina). Itu bisa kita baca pada seri Pendekar dari Gunung Fuji maupun Sepasang Manusia Bonsai. Dari sana lah saya pertama kali mengenal apa itu sake, katana, pangilan san (kakak), tatami, dll.
Ada perserawungan lintas budaya di sana. Tiap kali Wiro ber-muhibah ke luar Jawa, Bastian dengan pas tanpa berlebihan memerikan sejumlah ciri unik kebudayaan non Jawa yang didatangi Wiro, dari mulai kata-kata yang sering diucapkan, jenis senjata, alat musik hingga beberapa bentuk kesusastraannya. Salah satu bentuk “multikulturalisme” ala Bastian yang menarik bisa dibaca dalam seri Gerhana di Gajah Mungkur yang mengisahkan bagaimana semua pendekar kelas satu tanah Jawa dan Andalas (Sumatera) berkumpul dan saling membuka tabir dirinya masing-masing yang ternyata saling berhubungan satu sama lain.
Bastian ternyata juga lihai mengukur kekuatan baca para penggemarnya. Ia bisa membatasi imajinasinya sehingga tidak sampai membuat cerita Wiro Sableng terlalu panjang maupun terlampau pendek. Inilah ciri lain Bastian. Ia sangat jarang menulis lebih dari 130 halaman. Paling banyak Bastian mengakhiri kisahnya pada halaman 128. Saya mencatat Bastian hanya sekali menulis cerita Wiro Sableng hingga lebih dari 140 halaman, tepatnya 148, yaitu dalam seri Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin (itu pun bisa dimaklumi karena ada dua pribadi antagonis yang harus “dihabisi” Wiro).
Misteri Tanggal 2, Bulan 1, dan paduan 212
Paduan angka itu menjadi trade mark Wiro Sableng si Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Angka 212 dipilih dengan argumen yang cukup filosofis. Seperti yang dijelaskan dalam seri pertama Wiro Sableng (Empat Brewok dari Gua Sanggreng), 212 menunjukkan bahwa dunia ini dbangun di atas hamparan dualisme (baik-buruk, panas-dingin, air-api, bumi-langit, laki-perempuan, dll) yang kesemuanya tetap berasal dan akan kembali pada satu sumber: Tuhan yang Maha Esa.
Uniknya, Bastian Tito menjadi wafat juga pada angka dua dan satu, tepatnya pada tanggal dua bulan satu (Januari) tahun 2006. Ini sebuah kebetulan yang sungguh-sungguh pas. Bagaimana jika Bastian dipanggil pulang pada tanggal 21 bulan 2.
Lebih aneh lagi peringkat Bastian dalam indeks pengarang cerita silat maupun cerita populer, Bastian tidak masuk peringkat dua apalagi satu. Bastian Tito jauh lebih “apes” ketimbang Asmaraman Khoo Ping Hoo, misalnya. Ia tenggelam di antara tebaran nama-nama pengarang cerita silat lainnya. Dalam buku Sastra Peranakan Tionghoa yang ditulis Leo Suryadinata, lagi-lagi, nama Bastian Tito juga tak terendus jejaknya.
Om Bastian Tito, kapan turun gunung lagi? Siapa tahu di antara anda ada yang pernah jadi muridnya Bastian? Atau siapa tahu salah satu murid Wiro Sableng? Saya sangat mengharapkan anda agar segera memasuki rimba cerita persilatan. Anak-anak Indonesia sekarang membutuhkan pendekar yang bisa diadikan anutan, bukan play station. Anak-anakIndonesia menyenangi pendekar yang realistis tapi menghibur. Meski imajinatif.
Sastra Marginal
Hal yang juga menarik adalah perubahan perlakuan yang tentunya ada sesuatu dibaliknya. Siapakah mereka yang "di sastra pusat" itu? Jawabannya masih sangat kabur. Seorang Andrea Hirata pun tentu tidak akan mau dijuluki sebagai sastrawan elit yang berada di pusat. Sebab sastra tidak mengenal selebritas. Kecuali mungkin persona yang mendadak narsis dan terjebak hedonisme yang diciptakannya sendiri. Wiji Thukul yang "dihilangkan" secara misterius oleh rezim orba pastilah berkali lipat lebih dikagumi orang-orang idealis ketimbang seorang cerpenis yang baru saja menerbitkan antologi cerpen remaja yang ke 17. Wiji Thukul tentu akan mengaku di sastra pinggiran.
Sastra pinggiran? Saya masih yakin jumlah pembacanya masih jauh lebih banyak dibanding sastra pusat atau entah apa namanya. Ingin buktikan? Sebuah puisi iseng sederhana berbentuk SMS yang ditulis seorang pelajar tidak dikenal sangat bisa jadi lebih banyak dibaca orang sebuah negara karena kebetulan beranting dari ponsel ke ponsel. Bandingkan dengan sebuah buku antologi puisi yang diterbitkan dalam waktu bersamaan. Mungkin bukan persoalan harga hingga kalah jumlah pembaca. Lalu di mana letak perbedaannya? Jika sebuah cerpen ataupun esai berbicara dan menohok kekuasaan, lantas layakkah ia sebagai sastra pinggiran? Manakala sebuah karya booming karena memang lagi musimnya dan kecendrungan trend tertentu maka perlu sebuah musyawarah untuk mengklasifikasikannya sebagai yang terpinggir ataukah elit. Defenisi, hari ini semua orang sedang membentuk dan mencari defenisinya sendiri.