Latest Post

praliterasi versus postliterasi.

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 24 Mei 2009 | Mei 24, 2009


Sebelum terbit di media cetak maka pasti ada seleksi redaksi yang kita kenal sebagai praliterasi bagi sebuah karya sastra maupun bentuk tulisan lainnya. Sejak dulu tidak bisa sembarang teks sastra bisa lolos dari seleksi ketat sang redaktur sebuah media cetak. Tapi hari ini jika ada yang menganggap media cetak menjadi satu-satunya sumber untuk membentuk seseorang menjadi sastrawan maka itu opini yang menyesatkan. Akan muncul resistensi.

Sastra adalah dunia imajiner yang bebas diinterpretasikan oleh siapapun. Persoalan sastra cetak dan sastra cyber hanyalah persoalan medianya saja. Kalau sastra cetak selalu mengenal batasan-batasan yang dikendalikan oleh otoritas sang redaksi dan selera pasar, sastra cyber tak mengenal batasan-batasan otoritas itu. Siapa saja bebas memiliki blog gratisan yang bisa dijadikan sebagai media untuk mempublikasikan karya-karyanya. Pembaca koran misalnya hanya kebetulan mereka yang berlangganan dan dibatasi oleh waktu penerbitan. Untuk rubrik sastra dan budaya biasanya terbit setiap hari Minggu yang acapkali hanya dijadikan pelengkap kolom-kolom dan rubrik konvensional. Berbeda dengan sebuah blog gratisan di mana updating bisa saja dilakukan setiap detik. Seorang penggemar puisi tidak perlu menunggu seminggu lamanya untuk bisa membaca sebuah puisi terbaru.


Kini hampir setiap orang bisa mempublikasikan teks-teks sastra ciptaannya. Karya sastra atau apapun yang berbau sastra secara online di ratusan bahkan ribuan blog yang gratisan bisa dijumpai setiap detik. Bicara masalah kualitas? Sastra cyber sesungguhnya dilahirkan dari kepekaan nurani, hasil kreativitas yang mengembara jauh dan malah ada yang berdarah-darah. Mereka tidak harus dicurigai sebagai makhluk hipokrit yang menuruti kepuasan selera dan sekadar memperturutkan liarnya imajinasi di rimba hitam gelap dunia maya.


Nasionalisme, Sastra dan Kemungkinan Baru

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 23 Mei 2009 | Mei 23, 2009

Nasionalisme sebagai ideologi akan selalu menjadi sumur gagasan yang menarik bagi terciptanya karya sastra. Nasionalisme menjadi unik dan menarik ketika mengembara ke dalam ranah seni dan budaya. Sebahagian di antaranya menjadi propaganda. Sastra, salah satu ranah subur bagi nasionalisme manakala anak-anak bangsa sangat membutuhkan literatur yang mampu mencekoki otak mereka tentang paham -paham kebangsaan.

Banyak karya sastra dunia yang membicarakan nasionalisme. Karya-karya semacam Nyanyian Lawino (Okot P Bitek, Afrika Selatan), dan A Woman Named Solitude (Andre Schwarz-Bart, Perancis), Nolimetangere (Yoze Rizal, Philipina), Dr Chivago (Boris Paternact), The Banished Negroes (Wordsorth, Perancis), Ourika (Claire de Durass, Perancis). Di Indonesia pun tak terhitung jumlahnya karya sastra yang bermain di wilayah nasionalisme. Ada sedikit perbedaan dengan yang terjadi di Indonesia. Idealisme di satu sisi sesuai zaman yang memang menuntut keberanian. Tapi heroisme sastra terbukti tergerus saat nasionalisme dicomot sesuai rezim siapa yang sedang berkuasa.


Chairil Anwar, Rendra, Toto Sudarto Bachtiar, Pramoedya Ananta Toer adalah beberapa sastrawan Indonesia dari zaman yang berbeda namun bisa ditelusuri nafas nasionalisme dalam karya mereka. Tentu berbeda caranya dengan sejarawan, negarawan, atau politikus. Dan pemikiran mereka berikut cara ungkapnya akan menjadi pembanding yang menarik, bahkan bisa sebagai wacana tandingan bagi arus-arus pemikiran yang berkait dengan persoalan nasionalisme. Nasionalisme adalah cara menyatakan kesetiaan dan pengabdian individu harus diserahkan pada bangsa. Kelahiran nasionalisme bisa dari kesadaran kolektif, bisa pula kesadaran akibat rekayasa oleh yang berkuasa kepada yang direkayasa. Moralitas sastra menjadi penentu kadar apakah sebuah karya layak bernafas nasionalisme yang direkayasa atau tidak.

Sastra yang mencomot ideologi nasionalisme sebenarnya bukan hal baru bagi kesusastraan dunia. Lebih ekstrim dari itu bahkan nasionalisme dalam sastra kini tengah menuju kepada pemahaman baru bahwa nasionalisme bukan saja terdiri dari Indonesia tapi lebih besar dari itu. Nasionalisme kini mulai dipahami sebagai universalitas dunia yang mengglobal. Persoalan-persoalan bersama di tengah berbagai nation menggerakkan idealisme sastra yang baru. Mereka tengah menuju ke arah itu. Mungkin tak akan ada lagi sastra yang terpencil? Jawabannya terletak di kepala para sastrawan sendiri. Selama mereka mau membuka diri dan membuka ruang bagi segala kemungkinan baru.

Kudeta Sastra

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 22 Mei 2009 | Mei 22, 2009

TAPI

aku bawakan bunga padamu
tapi kau bilang masih

aku bawakan resahku padamu
tapi kau bilang hanya

aku bawakan darahku padamu
tapi kau bilang cuma

aku bawakan mimpiku padamu
tapi kau bilang meski

aku bawakan dukaku padamu
tapi kau bilang tapi

aku bawakan mayatku padamu
tapi kau bilang hampir

aku bawakan arwahku padamu
tapi kau bilang kalau

tanpa apa aku datang padamu
wah!

1976

Sutardji Calzoum Bachri, O AMUK KAPAK ,1981

BATU

batu mawar
batu langit
batu duka
batu rindu
batu jarum
batu bisu
kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati janji?

Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan
hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan
seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh?
Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampai mengapa
gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk
diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai se-
dang lambai tak sampai. Kau tahu?

batu risau
batu pukau batu Kau-ku
batu sepi
batu ngilu
batu bisu
kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati janji?

Sutardji Calzoum Bachri, O AMUK KAPAK ,1981 1

HERMAN

herman tak bisa pijak di bumi tak bisa malam di bulan
tak bisa hangat di matari tak bisa teduh di tubuh
tak bisa biru di lazuardi tak bisa tunggu di tanah
tak bisa sayap di angin tak bisa diam di awan
tak bisa sampai di kata tak bisa diam di diam tak bisa paut di mulut
tak bisa pegang di tangan takbisatakbisatakbisatakbisatakbisatakbisa

di mana herman? kau tahu?
tolong herman tolong tolong tolong tolongtolongtolongtolongngngngngng!

Sutardji Calzoum Bachri, O AMUK KAPAK ,1981 1

TANGAN

seharusnya tangan bukan hanya tangan tapi tangan yang memang tangan tak cuma tangan tapi tangan yang tangan pasti tangan tepat tangan yang dapat lambai yang sampai salam

seharusnya tangan bukan segumpal jari menulis sia se kedar duri menulis luka mengusap mata namun gerimis tak juga reda

walau lengkap tangan buntung walau hampir tangan bun tung walau satu tangan buntung walau setengah tangan buntung yang copot tangan buntung yang lepas tangan buntung yang buntung tangan buntung

segala buntung segala tak tangan hanya jam yang lengkap tangan menunjuk entah kemana

1976

Sutardji Calzoum Bachri, O AMUK KAPAK ,1981 1

WALAU

walau penyair besar
takkan sampai sebatas allah

dulu pernah kuminta tuhan
dalam diri
sekarang tak

kalau mati
mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat
jiwa membumbung dalam baris sajak

tujuh puncak membilang bilang
nyeri hari mengucap ucap
di butir pasir kutulis rindu rindu

walau huruf habislah sudah
alifbataku belum sebatas allah

1979

Sutardji Calzoum Bachri, O AMUK KAPAK ,1981 1


Puisi-puisi Sutardji adalah magma tersendiri dalam jagad sastra Indonesia. Penulis tak akan menyentuh tentang puisinya yang kata orang adalah puisi mantra. Penulis hanya ingin menuliskan sebuah puisi berisi dua kata kepada Sutardji Calzoum Bachri (entahlah jika kebetulan dia sempat menemukan blog dan tulisan ini):

Kakek Tardji

kudeta

sastra

!?

Bulukumba, 22 Mei 2009


Penyair berwajah brewok ini pernah memproklamirkan diri sebagai presiden penyair Indonesia pada dekade 1980-an. Sungguh, dia sebongkah ide bagi siapa saja yang pernah belajar puisi atau sekedar pernah mampir di buku sejarah puisi tanah air. Sutardji pernah mengkudeta makna kata hingga kata terbebas dari belenggu makna. Bisa dipastikan, perbuatannya bukan termasuk subversif.


Sutardji menggali mantra dari rahim bumi nusantara. Lahirlah puisi-puisi mantra. Tidak terlalu banyak orang yang suka dengan puisi Sutardji. Juga tak ada mantra untuknya dari penyair angkatan muda. Itu pasti, Barangkali ada juga beberapa orang anak muda yang pernah menganyam sebait pengharapan bercampur kegamangan: kapan lagi ada kudeta sastra seperti yang pernah dilakukan kakek Tardji?


Puisi Laci

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 21 Mei 2009 | Mei 21, 2009


Orgasme (mengenang reformasi)

reformasi adalah orgasme dari persetubuhan poligamis bangsa dengan kebenaran, kejujuran, keadilan

tapi tak ada cinta
tak ada nafsu birahi

semenjak akad nikah mei yang lalu
sang istri
--kebenaran, kejujuran, keadilan itu--
tak pernah merasakan dekapan mesra sepenuh jiwa
kesepian dalam lembaran-lembaran teks pidato
yang diucapkan dengan berapi-api
penuh janji-janji

sang suami lebih senang serong
berselingkuh dengan pelacur-pelacur jalanan
rumah tangga jadi berantakan
sarat perselisihan dan sengketa

sekawanan gagak mengendus bau darah pembantaian
siap berpesta dengan menu bangkai
anak bangsa yang sia-sia

reformasi adalah orgasme yang nikmat
namun tak mungkin tercapai
tanpa persetubuhan dengan nurani


Puisi di atas adalah karya Muhammad Amri. Dia salah seorang penyair yang berani mengakui bahwa puisinya mungkin hanya layak disimpan dalam laci. Dia bahkan menyebutnya memang sebagai puisi laci. Sebelum itu ditolak oleh media cetak dan lalu memlih dikuburkan di sebuah blog. Puisi di atas adalah salah satu puisi yang akan dibacakan dalam Ekspresi, program sastra dan budaya di RCA 102, 5 FM pada edisi Minggu, 24 Mei 2009.


Puisi laci bisa dibayangkan sebagai sebuah benda berharga sebab dia diletakkan di tempat yang aman. Tapi tidak semua orang belum tentu dapat melihat atau menikmati. Di suatu waktu, di sebuah tempat, mungkin tiba-tiba saja muncul. Ada yang muncul dengan sederhana. Namun, biasanya menghardik. Puisi laci, siapa tahu ada yang terlupa di dalam rumah atau kamar kita selama ini? Hari ini, hari di mana Soeharto meletakkan jabatan pada 21 Mei 1998 lampau. Seperti puisi laci, pasti masih terlalu banyak yang tersimpan diam-diam. Tidak ketahuan oleh orang banyak di tengah bangsa ini. Sejarah bergerak. Diam, adalah juga bagian sejarah.



Kebangkitan Nasional ataukah Rasional?

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 20 Mei 2009 | Mei 20, 2009


Dengan gigihnya seorang ulama bernama KH. Firdaus AN bersikukuh dengan pendiriannya bahwa tanggal 20 Mei bukan kebangkitan nasional karena katanya, “Budi Oetomo tidak memiliki andil sedikit pun untuk perjuangan kemerdekan, karena mereka para pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang dilakukan tuannya atas Indonesia. 

"BO tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemedekaan, karena telah bubar pada tahun 1935. BO adalah organisasi sempit, lokal dan etnis, di mana hanya orang Jawa dan Madura elit yang boleh menjadi anggotanya. Orang Betawi saja tidak boleh menjadi anggotanya,” tegas KH. Firdaus AN.

Kilas balik jauh ke zaman lampau. BO didirikan di Jakarta tanggal 20 Mei 1908 atas prakarsa para mahasiswa kedokteran STOVIA, Soetomo dan kawan-kawan. Perkumpulan ini dipimpin oleh para ambtenaar, yakni para pegawai negeri yang setia terhadap pemerintah kolonial Belanda. BO pertama kali diketuai oleh Raden T. Tirtokusumo, Bupati Karanganyar kepercayaan Belanda, yang memimpin hingga tahun 1911. Kemudian dia diganti oleh Pangeran Aryo Notodirodjo dari Keraton Paku Alam Yogyakarta yang digaji oleh Belanda dan sangat setia dan patuh pada induk semangnya. 


Di dalam rapat-rapat perkumpulan dan bahkan di dalam penyusunan anggaran dasar organisasi, BO menggunakan bahasa Belanda, bukan bahasa Indonesia. Tidak pernah sekali pun rapat BO membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka ini hanya membahas bagaimana memperbaiki taraf hidup orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu Belanda, memperbaiki nasib golongannya sendiri, dan menjelek-jelekkan Islam yang dianggapnya sebagai batu sandungan bagi upaya mereka.

Lalu siapakah yang benar? Sebahagian ahli berpendapat bahwa Hari Kebangkitan Nasional seharusnya diperingati setiap tanggal 16 Mei. Wallahualam. Nampaknya para ahli sejarah memiliki tugas berat untuk menelusuri kebenarannya. Sebagai salah seorang anak bangsa yang kebetulan tidak pernah mengalami zamannya Budi Oetomo, penulis sendiri bingung.

Seorang teman chatting dengan penulis ketika online di facebook. Ada sedikit tema tentang Hari Kebangkitan Nasional. Teman saya berkata,"Buat apa mempersoalkan kapan hari tepatnya? Yang seharusnya dipersoalkan dan dipikirkan adalah sudah sejauh manakah makna dan aplikasi dari Hari Kebangkitan Nasional itu? Malah saya punya ide untuk mengubah namanya menjadi Hari Kebangkitan Rasional. Agar bangsa ini lebih rasional dalam berpikir dan menyelesaikan persoalan-persoalan besar. Sosial, politik, seni budaya, ekonomi dan macam-macam lagi."

Puisi Pamflet di Bulan Mei

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 19 Mei 2009 | Mei 19, 2009

Sikap kepala batu para anggota DPR RI menjelang lengsernya Soeharto pada bulan Mei 1998 memantik reaksi keras di mana-mana. Mahasiswa dari berbagai kota di Indonesia menduduki gedung MPR/DPR RI kala itu. Harmoko sang ketua DPR masih enggan untuk mengabulkan permintaan kaum reformis untuk segera memaksa Soeharto menanggalkan jabatan presiden. Tak ketinggalan, kalangan penyair angkat bicara. Di berbagai arena demonstrasi selalu saja puisi-puisi perlawanan ditulis dan dibacakan dengan sangat kerasnya.

Sebab batu harus dilawan dengan air maka WS Rendra menulis pamflet Sajak Di Bulan Mei 1998:

Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja/ Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan /Amarah merajalela tanpa alamat /Kelakuan muncul dari sampah kehidupan/ Pikiran kusut membentur simpul-simpul sejarah O, zaman edan! O, malam kelam pikiran insan!/ Koyak moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan /Kitab undang-undang tergeletak di selokan /Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan O, tatawarna fatamorgana kekuasaan! O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja! /Dari sejak zaman Ibrahim dan Musa Allah selalu mengingatkan bahwa hukum harus lebih tinggi dari ketinggian para politisi, raja-raja, dan tentara /O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan! /O, rasa putus asa yang terbentur sangkur! /Berhentilah mencari Ratu Adil! Ratu Adil itu tidak ada/Ratu Adil itu tipu daya! /Apa yang harus kita tegakkan bersama adalah Hukum Adil Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara/ Bau anyir darah yang kini memenuhi udara menjadi saksi yang akan berkata: Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya / Wahai, penguasa dunia yang fana!/ Wahai, jiwa yang tertenung sihir tahta! /Apakah masih buta dan tuli di dalam hati? /Apakah masih akan menipu diri sendiri?/ Apabila saran akal sehat kamu remehkan berarti pintu untuk pikiran-pikiran kalap yang akan muncul dari sudut-sudut gelap telah kamu bukakan!/ Cadar kabut duka cita menutup wajah /Ibu Pertiwi Airmata mengalir dari sajakku ini. (Sajak ini dibuat di Jakarta pada tanggal 17 Mei 1998 dan dibacakan Rendra di DPR pada tanggal 18 Mei 1998)


Para mahasiswa yang aktif turun ke jalan pada masa itu pasti juga sangat akrab dengan puisi-puisi perlawanan yang dibacakan kawan-kawan mereka, para penyair kampus di tengah aksi orasi. Gaya, bahasa, tema dan tujuan semuanya sama. Satu kata, turunkan Soeharto, tumbangkan orde baru. Isinya lebih mirip semacam pamflet. Mungkin bukan suatu kebetulan. Puisi pamflet yang dipelopori Rendra telah sejak lama menginspirasi penyair-penyair muda di kampus-kampus. Banyak di antara karya mereka yang hanya bisa dinikmati di mading fakultas ataupun koran kampus. Rezim orde baru yang represif mengakibatkan karya sastra mahasiswa yang beraliran keras hanya berceceran di kampus-kampus. Selebihnya di jalanan saat mereka turun berdemo.

Jauh setelah masa itu, setelah kebebasan berekspresi lebih memungkinkan dieksplorasi justru puisi-puisi pamflet kini jarang ditemukan di mading fakultas. Penerbitan koran dan majalah kampus lebih banyak memuat karya-karya sastra yang agak lebih jinak. Ada apa dengan perubahan? Tapi syukurlah kalau begitu, mungkin artinya negeri ini benar-benar sudah menuju perubahan.




Seniman Sulsel

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 18 Mei 2009 | Mei 18, 2009

Setelah membaca tulisan pada Daftar Nama sastrawan Indonesia, seorang teman mengernyitkan kening. Dia bertanya dengan agak gelisah,"Kapan-kapan tulis juga dong tentang daftar sastrawan Sulawesi Selatan." Saya berusaha meluluskan permintaannya. Agak berat juga sebab referensi tentang itu memang langka. Kelangkaan itu karena dua hal. Pertama karena memang jumlahnya sedikit. Kedua karena memang banyak tapi tidak pernah terkoordinasi dengan tepat. Paling cuma sekelebatan makhluk bernama Celebes Award atau apalah namanya.

Di depan teman yang gelisah itu saya mencoba mengingatkannya akan beberapa nama seniman, sastrawan dan budayawan yang mungkin juga pernah hinggap di kepalanya. Basri Baharuddin Sila dari Bone, seorang seniman musik, Andi Abu Bakar Hamid (seniman tari), Mike Turusi dari Tator (perupa), Badaruddin Amir dari Barru (sastra), Ahmad Dharsyaf Pabottingi dari Bulukumba (seni teater).

Sementara yang berdedikasi di bidang kebudayaan, bisa disebut Andi Anton Pangerang dari Palopo, H A M Ali dari Bone, AM Mappasanda dari Enrekang, Anwar Ibrahim dari Makassar, Drs Muhannis dari Sinjai, dan Akhyar Anwar.

Mungkin masih banyak lagi. Saya masih mencoba menguras ingatan tapi teman di hadapan saya terlanjur menguap karena mengantuk. Mungkin dia juga tak akan menyangka bahwa perbincangan kecil itu bahkan telah memproduksi sebuah ide kecil untuk mencoba mengabsen mereka yang masih tersisa di Sulawesi Selatan. Seniman dan budayawan yang pernah memperoleh Celebes Award, hampir pasti tak dikenali atau kurang dikenali oleh sekampungnya sendiri. Teman itu pernah bertanya dengan nada gusar,"Sebenarnya siapakah paling yang berhak untuk mendefenisikan bahwa seseorang adalah seniman?" Giliran saya yang mengantuk setelah mendengar kegusarannya.


..:: Berita Lengkapnya ::..

Daftar Nama Sastrawan Indonesia

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 17 Mei 2009 | Mei 17, 2009

Sebuah pagi beranjak dengan ayunan langkah kecil anak-anak dusun menuju sekolah. Matahari perlahan meninggi. Seseorang dari gerombolan bocah berseragam putih merah itu tiba-tiba mampir di beranda rumah dengan senyum malu-malu. "Om bisa bantu saya nggak?"suaranya sedikit tersipu dengan rambut masih basah. Khas anak dusun yang pasti selalu mandi pagi di pancuran. Dia lalu memaparkan dengan singkat maksudnya pagi itu. Lalu saya bergegas ke belakang. Berselang beberapa menit saya keluar lagi dengan selembar kertas hasil print berisi daftar sastrawan Indonesia yang pernah tercatat dalam sejarah.
Pagi itu saya agak tercenung dengan kejadian kecil itu. Bukan lantaran telah berhasil menyelesaikan kewajiban membantu sesama apalagi menolong seorang anak bangsa. Bahkan dalam pikiran saya tadi pasti sahabat kecil itu bisa saja dihukum oleh gurunya jika ketahuan tidak mampu menyelesaikan tugas sekolah dengan mengumpulkan daftar nama sastrawan Indonesia. Saya tertegun sebab saya menyadari kemampuan diri yang belum tentu bisa menyamai keberanian anak kecil itu. Entah ilham darimana pula dia tiba-tiba meminta bantuan saya. Bahkan, jujur saya sendiri sudah banyak lupa dengan nama-nama sastrawan penting bangsa ini. Sebaliknya bocah kecil itu masih punya daya hapal kuat yang mampu mengisi memorinya otaknya dengan pengetahuan tentang sastrawan tanah air.
Dengan secangkir kopi susu dan beberapa batang rokok mulailah saya menjelajahi isi kopian kertas yang berhasil diperoleh bocah itu pagi tadi.
Inilah daftar sastrawan Indonesia


Penyair Indonesia

Cerpenis

Novelis

Kritikus/Eseis

Matahari meninggi. Sejak kejadian kecil pagi itu semakin bermunculan gelembung-gelembung ingatan saya terhadap puluhan sosok yang menancapkan tonggak penting di pelataran sastra tanah air. Namun masih terlalu banyak yang tak kunjung berhasil saya transfer ke dalam otak tentang biograpfi, sepak terjang, asal usul dan siapa saja mereka itu. Mereka dari sastra cetak, tentunya. Sebagian besar telah dikuburkan tapi tidak dengan karyanya. Siapa tahu ada seseorang yang mau membantu saya untuk mendapatkan daftar sastrawan cyber, sastrawan jalanan, sastrawan radio atau apapun namanya?

Referensi: *Wikipedia Bahasa Indonesia
*Pamusuk Eneste, 2001; Buku Pintar sastra Indonesia

Capres: dari Blog hingga Puisi

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 16 Mei 2009 | Mei 16, 2009

Pada kampanye pilpres 2004 di Amerika para pengguna internet pasti tak akan melupakan John Kerry. Kerry adalah capres pertama di dunia yang memusatkan salah satu media kampanye melalui blog. Walau pada akhirnya Kerry kalah tapi teman-temannya dari kalangan blogger tak berkurang malah bertambah. Kemudian Barack Obama juga ngeblog dan memasuki facebook. Hillary Clinton tak mau kalah meski kalah juga di pilpres dan akhirny digaet menjadi menteri luar negeri oleh Obama, pemenang pilpres.Itu di Amerika. Bagaimana di Indonesia? Jusuf Kalla pun punya blog. Capres lainnya pun juga mungkin punya blog. Entahlah. Sejak dulu banyak elite politik ngeblog. Yuzril Ihza Mahendra juga ngeblog. Amien Rais pun punya blog. Sederhananya, blog alias web-blog adalah catatan harian tentang apa saja yang dipublikasikan berkala melalui jaringan internet.

Blog menjadi pilihan sebab ia bisa menjelma menjadi media publikasi yang efektif. Blogger yang sastrawan, penulis, politisi, mahasiswa, sampai tukang kebun dan pemulung bisa memposting ide-idenya melalui blog dan bahkan dapat memiliki penggemar di internet.

Blogger yang politisi bisa melakukan banyak hal jika ia memiliki blog pribadi. Ia bisa menyajikan gagasan-gagasan maupun pandangan sikap atas peristiwa, kasus, atau isu yang sedang marak dibicarakan. Politisi yang ngeblog bisa menyajikan profil pribadinya, mempromosikan gaya hidupnya yang sederhana, memoar pengalaman hidupnya yang bisa memberi inspirasi, dan macam-macam lagi yang bisa menarik simpati dan perhatian. Blog bisa menjelma sebagai media kampanye politik untuk menggalang suara.

Bagi masyarakat di negara maju semisal masyarakat AS, blog sudah barang tentu bisa efektif. Internet singgah di setiap rumah bahkan merasuki usia dini. Bagaimana di Indonesia? Jumlah pengguna internet yang masih sedikit tentu adalah persoalan tersendiri. Tapi peningkatan jumlah pengguna internet setiap saat di Indonesia bisa jadi memang sudah dipikirkan oleh seorang Jusuf Kalla, misalnya. Mungkin ada pemikiran jangka panjang dari aktivitas ngeblog pak JK. Lebih dari sekedar postingan kampanye. Pasti sama dengan blogger lainnya ketika pertama kali ngeblog. Ada yang lebih luhur dari itu semua. Lagian,memang seorang capres tidak boleh sama sekali gaptek.

Selain tidak boleh gaptek ternyata para capres juga mencoba merambah dunia seni. Dunia yang satu ini tentu agak lebih mudah menembus masyarakat grassroot. Lumrah saja jika seorang capres mendadak menjadi penyair. Keesokan harinya malah bisa menjadi pemain piano di hadapan banyak orang. Bahkan ada politisi yang sempat menjadi pemain film semisal Yuzril Ihza Mahendra. Tapi, esensi kecintaan terhadap seni masih merupakan barometer untuk bisa menilai kedekatan seorang capres dengan seni. Ada sedikit kekhawatiran siapa tahu hanya kamuflase untuk menggaet kalangan pencinta seni tapi kemudian melupakan seni? Bangsa yang besar inilah yang bisa menilai calon pemimpin yang benar-benar tulus.





Ketika Sastra Menjadi Sunyi

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 15 Mei 2009 | Mei 15, 2009

Beberapa hari yang lalu ada yang sungguh terlupa dalam tulisan saya "Dari Cihampelas Hingga Sastra Sunda" yang merupakan sedikit oleh-oleh dari tanah parahyangan. Saya tidak sempat mencatat sedikit hal tentang geliat sastra di Bandung. Padahal beberapa bulan lalu tepatnya tanggal 25 Januari 2009 di Gedung Indonesia Menggugat Jalan Perintis Kemerdekaan 5 Bandung, Majelis Sastra Bandung didirikan. Majelis itu ditegakkan oleh Matdon, seorang penyair sekaligus jurnalis bersama penyair muda lainnya yang sering malang melintang di tiap sudut kota Bandung. Pada hari itu juga dibuka temu ide dan bicara yang bertajuk "Menengok Tradisi Sastra di Jawa Barat."

Memang banyak Matdon-Matdon lainnya di banyak kota di tanah air. Matdon adalah contoh tipikal anak muda yang punya kegigihan untuk berbuat sesuatu yang dirasa sebagai penyelamatan seni, atau sastra pada khususnya. Ketika sastra dirasakan menjadi sunyi maka anak muda semacam Matdon akan muncul. Tapi tentunya siapapun tidak boleh berharap terlalu banyak akan selalu ada anak muda semacam ini. Jangan-jangan Matdon hanya terdapat di beberapa kota saja di tanah air.

Matdon melihat kehidupan sastra di kota Bandung telah berada pada titik menjemukan. Miskin apresiasi dan ruang diskusi. Karya-karya para penyair mudanya pun masih terhitung sedikit. Mereka sibuk sendiri-sendiri. Kenyataan ini berbeda dengan ruang seni lain yang lebih aktif dan memiliki komunitas yang kuat serta infrastruktur yang bagus. “Situasi sastra kita yang menjemukan ini harus diubah. Penyair muda harus mau berdarah-darah untuk membuat sebuah karya,” kata Matdon. Maka ia bersama para penyair lain di kota Bandung mendirikan Majelis Sastra Bandung. Tujuannya sederhana saja, bahwa para penyair Bandung tak akan punya alasan kekurangan ruang apresiasi dan ruang bertukar pikiran.

Bilamanakah sastra menjadi sunyi? Yang jelas bukan ketika para sastrawan senior telah meninggal dunia semua. Sastra bisa jadi adalah tugu kematian di dalam sebuah festival, kampung budaya dan semacamnya jika memang sastra kebetulan hanya berupa ruh gentayangan. Secara fisik dia tak ada lagi. Tapi syukurlah, masih banyak yang mau berbuat seperti Matdon secara fisik. Bahkan mampu berdarah-darah untuk itu semua. Sastra di Indonesia tak akan menjadi sunyi selama masih ada anak-anak muda yang paling tidak tetap rajin menulis karya sastra meski tak kunjung dimuat juga oleh penerbit manapun. Yang tidak bisa disepelekan juga adalah sastra cyber yang sebahagian besar malah tak mau bergantung kepada sastra cetak sebab internet adalah rumah yang nyaman bagi mereka.

Bagaimana dengan anda? Tetaplah menulis di mana saja. Yakinlah selalu ada yang mau membaca karya anda. Dengan demikian sastra tak akan menjadi sunyi.




 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday