Latest Post

Mahrus Andhis, Penyair-Birokrat yang Langka

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 30 Juni 2009 | Juni 30, 2009


Dialah Mahrus Andhis. Satu-satunya penyair-birokrat yang langka, demikian penulis menyebutnya diam-diam. Gaya penulisan yang prosais dan ritmis mejadi pilihan manis bagi pengungkapan puitiknya. Beranjaknya usia kadang menggiringnya ke arah penulisan puisi-puisi sufistik. 

Usianya tak lagi muda dan kini paling dituakan di kalangan seniman di Bulukumba. Keakraban Mahrus Andhis dengan lingkungan alam kerap membuatnya mahir menuai kata beraroma khas perkampungan dalam sebahagian puisinya. Baca saja salah satu puisinya Di Atas Pematang kala masih mahasiswa.

Di Atas Pematang


menapak rengkah pematang
cicit burung pipit merenyuh
jauh ke ceruk gua

(lenguh sapi di kandang belakang
mengiris duka bukit
mengepul asap
retak dalam doa Wak Sule

menapak bencah pematang
ribuan ekor katak berlompatan
ke jantung sungaiku
bunga-bunga rumput dan bau walangsangit
meredam dukarindu gadis tetangga

(lahan siang malamku merekah
dan Halimah
mencuci rambut di atas batu)

Bulukumba, 1988

Sungguh sebuah puisi yang selalu memaksa orang-orang yang lebih dulu beranjak ke kota untuk segera pulang menengok kampung halaman. Mahrus Andhis adalah salah satu sosok penyair produktif yang lahir di Ponre Kabupaten Bulukumba, 20 september 1958. Pemilik nama lengkap Drs. Andi Mahrus Syarief ini pernah mengasuh acara Serambi Budaya di RRI Makassar dan Apresiasi Budaya di TVRI stasiun Makassar (1982-1984). Konon amat energik semasa menjadi aktivis mahasiswa di Universitas Hasanuddin Makassar. Sempat menjadi asisten dosen kemudian memutuskan pulang kampung. Salah satu tempat mangkalnya dulu adalah Dewan Kesenian Makassar hingga 1986.

Mahrus banyak menulis puisi, cerpen, naskah drama dan artikel budaya. Beberapa bukunya yang telah terbit dan bahkan beredar sampai Malaysia dan Brunei di antaranya Sajak Sajak Panrita Lopi, Bulukumbaku Gelombang Berzikir (2001) dan beberapa antologi bersama penyair lainnya. Sejak 2005, puisi-puisinya selalu menghiasi program Ekspresi di RCA 102, 5 FM Bulukumba. Cuma, satu hal yang kurang adalah penyair senior ini belum pernah punya waktu untuk diwawancarai atau baca puisinya sendiri di radio. Agak aneh juga sebab beliau orang Bulukumba. Entahlah nanti setelah tulisan ini dibaca sendiri oleh beliau.

Satu hal lagi yang aneh. Mahrus Andhis sampai kini justru tak habis-habis berkarya meski telah menjadi pejabat sebagai Asisten I di lingkup Pemerintah Kabupaten Bulukumba. Sebaliknya karyanya mengucur deras dari lantai birokrasi. Mantan Camat Ujungbulu, Sekkab, anggota DPRD, dan kepala Dinas Sosteklinmas ini juga dikenal sebagai seorang muballigh kondang. Memang sangat sibuk tapi tak mengusik kegiatan lainnya di antaranya sebagai kolumnis di harian Radar Bulukumba. Puisi-puisinya terus mengucur dari lantai birokrasi. Namun tetap kritis, romantis dan memaksa pembacanya merindukan alam yang lampau. Salah satu puisinya yang pernah penulis bacakan di radio adalah Batuppi. Sebuah nama kampung di Bulukumba.

Batuppi
kemana lengkingan anak-anak
telanjang
memainkan gemerincing batu kecil
cekikikan membayang
wajahnya terseret ke hulu

kemana perempuan naima
yang selalu tersipu membawa cucian
ketika ia tahu
siul salengke menghadangnya
di kelopak bunga-bunga rumput

kemana desahku mengalir
ketika sungai pasir menampung luka
dan mesin gerobak kian gemuruh
berpacu dengan keringat matahari

Bulukumba, 1999.

Hingga kini, penulis
secara diam-diam
masih tetap menyebutnya sebagai penyair-birokrat yang langka. Mungkin juga saking langkanya, maaf jika tulisan ini tidak menyertakan foto Mahrus Andhis sebab memang sungguh sulit menemukan fotonya yang asli.



Basing Suku Kajang, Pantun Sunyi Kematian di Zaman Bising

Di tengah larut malam sunyi mengelam di atas sebuah rumah panggung terdengar Basing yang melarutkan pedih. Terlihat dua perempuan dan dua lelaki berpakaian serba hitam melantunkan pantun yang diiringi alunan seruling bambu yang disebut Basing. 

Tercium aroma magis dan suasana menyayat dari pantun elegi berbahasa daerah Konjo. Suara seruling dan nyanyian elegi semakin mengiris di tengah malam. Udara basah melengkapinya dengan hawa dingin sekitar kebun kelapa dan semak belukar. Kampung semakin sunyi. Hanya suara pantun purba dan seruling meningkahi gemerisik daun-daun dan atap rumbia pada rumah-rumah kayu yang sederhana milik penduduk.

Itulah Basing seperti yang sempat tertangkap dalam jepretan suasana di atas. Basing adalah pantun meratapi kematian secara elegan dan estetis yang membedakannya dengan ratapan biasa pasca kematian manusia. Basing adalah ritual seni sebab justru dimainkan dengan penuh aturan estetik. Salah satu bentuk pantun milik suku Kajang di Sulawesi Selatan ini adalah nyanyian dan suling yang dimainkan oleh empat orang, dua orang pria memainkan suling Basing dan dua orang perempuan sebagai penyanyi. Seruling Basing yang mereka gunakan terbuat dari bambu kecil berdiameter 3 sentimeter, panjang 50 sentimeter.

Dalam sejarah masyarakat suku Kajang pada mulanya Basing hanya dimainkan dalam suasana kematian untuk mengiringi sebuah elegi nyanyian ratapan dari keluarga yang ditinggalkan. Basing yang dilantunkan untuk kematian itu disebut Basing Tempa Sorong. Ada pula jenis Basing bernama Tabu yang dilantunkan disembarang waktu, boleh dinyanyikan pada saat tidak ada kematian.Seiring perubahan zaman Basing telah dimainkan dalam upacara adat, menyambut tamu, dan lain-lain. Bahkan Basing sudah sering ditampilkan dalam acara-acara seni budaya tingkat nasional. Termasuk pernah dipentaskan dalam Pantun Nusantara di Jakarta pada 2007. Sayang sekali penulis belum sempat melacak nama-nama para seniman Basing yang pernah ataupun masih eksis.

Sebenarnya berbagai bentuk pantun masih dapat dijumpai pada banyak suku di nusantara selain Basing di Kajang. Mungkin kita kenal Upacara Nelu Bulanin (Bali), Kayat (Riau), Panas Pela (Ambon), dan Belian Sentu (Kutai), Pantun Meminang (Kepulauan Riau), Sebuku Gayo (Aceh), Kacar-Kucur (Jawa tengah), Malake-an Gala (Sumatra Barat), Nenggung (Palembang), Jantuk (Betawi), Kaganti (Buton), dan masih banyak lagi yang tidak dapat lagi dilacak oleh penulis (siapa tahu ada pembaca yang ingin membantu melacak pantun suku-suku lainnya). Produk tertua dari budaya kita sesungguhnya adalah pantun. Beragam jenis pantun di tanah air telah berusia ribuan tahun termasuk Basing dari Kajang.

Nilai-nilai dan cita rasa tinggi dalam kesantunan, keindahan, dan keunikan berbahasa pada pantun berbagai suku di tanah air menunjukkan ketinggian budaya sejak berabad-abad lampau pada bangsa ini. Entahlah jika beberapa dekade lagi kekayaan semacam ini tak dikenali lagi oleh anak-anak bangsa. Mungkinkah misalnya Basing dari Kajang akhirnya benar-benar hanya akan menjadi pantun sunyi kematian di tengah zaman yang bising?

Gandrang Bulo: Panggung Perlawanan Rakyat

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 29 Juni 2009 | Juni 29, 2009


Semenjak masa kanak-kanak, kenangan tentang Gandrang Bulo masih melekat kuat di benak penulis sampai hari ini. Ketika zaman bergeser dan beringsut pelan meninggalkan berbagai kesenian tradisional, justru Gandrang Bulo masih jawara dalam katalog ingatan penulis. 

Gandrang Bulo adalah kesenian rakyat yang terdiri dari musik, tarian, dialog kritis dan kocak. Tapi luar biasa, konsep dialog di atas panggung tanpa naskah skenario sama sekali. Bagi para senimannya, panggung menjadi tempat berkisah mengenai masalah hidup mereka sehari-hari. Para penonton bisa terpingkal-pingkal oleh joke-joke segar para pemain sampai larut malam. Gandrang Bulo sejak awal adalah cara rakyat desa mengkritik para penguasa melalui seni. Tak heran jika tema-tema yang diangkat mulai dari politik hingga berbagai peristiwa yang mereka alami sehari-hari.

Sejak dulu sebagian besar seniman Gandrang Bulo berasal dari masyarakat pinggiran yang acapkali menghadapi kesulitan-kesulitan saat berhadapan dengan para pejabat seperti kepala desa, tentara, dokter atau oknum-oknum pemerintah yang tak menghiraukan mereka. Berbagai ketidakberdayaan dengan cerdas mereka tampilkan penuh improvisasi di atas panggung.

Pada awalnya Gandrang Bulo sebenarnya sekadar tarian yang diiringi oleh gendang. Seiring waktu tarian ini diiringi pula lagu-lagu jenaka, dialog-dialog humor namun sarat kritik dan ditambah gerak tubuh yang mengundang tawa. Kadangpula diselipkan Tari Se’ru atau Tari Pepe pepeka ri makka yang acap kali tampil sendiri di berbagai panggung pertunjukan, namun oleh masyarakat sekitar tetap saja ia dikenal sebagai bagian pertunjukan Gandrang Bulo. Grup-grup Gandrang Bulo di Sulawesi Selatan masih dapat dijumpai di berbagai tempat seperti Gowa, Makassar, Maros, dan Takalar. Gandrang Bulo, menjadi tempat bebas seniman kampung mengekspresikan problem mereka sehari-hari. Ya, suara kaum marginal dalam bentuk humor.

Ketika masa penjajahan, Gandrang Bulo disulap bukan sekadar tari-tarian, melainkan tempat pembangkit semangat perjuangan dengan mengejek dan menertawakan penjajah dan antek-anteknya. Gandrang Bulo, ketika itu, lantas menjadi kesenian rakyat yang amat populer. Rakyat dan seniman membangun basis-basis perlawanan dari atas panggung.

Pada akhir dekade 1960-an, Gandrang Bulo mengalami kreasi ulang. Seorang seniman asal Bontonompo, Gowa, Dg Nyangka mempelopori kreasi baru. Mulai saat itu Gandrang Bulo dikenal dalam pentas-pentas tarian dan acara-acara seremonial. Gandrang Bulo macam inilah yang belakangan ini kerap tampil di acara-acara resmi pemerintah maupun partai-partai politik. Salah satu upaya agar tidak tergerus oleh zaman, Gandrang Bulo juga masih terus dipertahankan oleh generasi muda dalam pertunjukan anak-anak sekolah di panggung-panggung seni budaya.

Anis K. Al Asyari, Cerpenis Gerilya

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 28 Juni 2009 | Juni 28, 2009


Anis K. Al Asyari, satu dari sebaris cerpenis di Sulawesi Selatan. Satu-satunya cerpenis Makassar yang diundang di program penulisan cerpen Majelis Sastera Asia Tenggara (Mastera) 28 Juli-2 Agustus 2008 di Cisarua Bogor. Penulis rutin mengendapkan dalam ingatan akan beberapa kalimatnya setelah berulang kali bertemu dengan cerpenis muda kelahiran Batukaropa Bulukumba,1982 ini. Misalnya Anis pernah melontarkan," Masihkah cerita pendek memadati ruang pembaca? Ruang mencipta bagi sejumlah cerpenis? Atau ruang yang memikat untuk semacam pengantar diskusi di keseharian kita?"

Lalu masih sejuta pertanyaan lainnya yang mengendap dan menguap ke mana saja. Salah satunya mungkin di studio RCA 102, 5 FM ketika beberapa kali cerpenis ini jadi tamu berbincang di program sastra Ekspresi. Alhasil bukan cuma berbincang. Bahkan Anis pernah ditodong untuk baca puisi di radio. Aneh, dia sendiri tidak pernah mau membaca cerpennya sendiri di radio. Padahal beberapa cerpennya setiap ada yang baru pernah dan akan selalu dibacakan oleh orang lain.

Cerpen, artikel dan esainya mengalir ke harian Fajar Makassar dan beberapa media lokal dan nasional. Beberapa bukunya telah diterbitkan di antaranya Ingin Kukencingi Mulut Monalisa Yang Tersenyum (2003); sebuah kumpulan cerpennya bersama puisi Andhika Mappasomba, Wajah dan Wajah (2008). Besok, mungkin masih lebih banyak lagi. Setelah menikahi gadis pilihannya pada 2008 dan kini telah dianugerahi momongan, semoga Anis tak habis-habis.

Penulis sendiri menyebutnya sebagai cerpenis yang bergerilya. Kadang tiba-tiba menyergap dan lalu menghilang kembali secara tiba-tiba. Lalu biasanya kadang muncul sesekali lalu raib lagi.


Arisan Sastra Ala Sastrawan Makassar


Ketika muncul kekhawatiran akan karya-karya sastra yang hanya mengungkapkan perasaan penulisnya, temanya cinta, tidak lagi kritis, pencerdasan kepada masyarakat agak berkurang bahkan produktivitas karya menurun maka lahirlah Arisan Sastra. Menyebutnya saja sudah agak aneh. Tapi bukankah memang sastrawan selalu punya cara aneh memaknai kata. Biasanya kita mendefenisikan arisan sebagai tradisi berkumpul khas ibu-ibu Indonesia dengan mengumpulkan orang dan uang dengan jumlah tertentu lalu diundi hingga semua anggotanya mendapat giliran.

Namun, segerombolan seniman dan sastrawan Makassar, sepakat menggunakan arisan sebagai kata kerja yang berarti giliran. Jika arisan ibu-ibu punya jadwal waktu, misalnya berkumpul tiap pekan pertama awal bulan, di rumah yang naik undiannya di arisan sebelumnya, maka defenisi itu tak berlaku bagi komunitas ini. Para anggota arisan sastra inipun tidak tanggung-tanggung. Mereka adalah Ahyar Anwar, dosen Budaya dan Filsafat UNM, , Aktor Monolog Suprapto, Nur Alim Djalil, esais dan kolomnis, penyair Aslan Abidin, Luna Vidia, Anil Hukma, Muhary Wahyu Nurba yang bernama asli Muhammad HariyantoAan Mansyur, Hendra Gunawan, Alim Prasasti, Anis Kaba, dan masih banyak lagi.

Jika, arisan konvensional mengumpulkan uang, maka bisa ditebak Arisan Sastra ini hanya mengumpulkan ide, baca puisi dan semacamnya. Arisan Sastra ala sastrawan Makassar ini semoga saja tidak menjadikan sastra dan sastrawan Makassar justru makin terpojok ke arah alienasi. Sebaliknya masih ada harapan semoga mereka tidak membangun menara gading yang baru. Siapapun pasti enggan berada di puncak menara gading sendirian sementara sekelilingnya tak mampu menangkap atau menikmati keberadaannya akibat tempatnya terlalu tinggi dan mewah.

Michael Jackson, Budaya Pop dan Kita

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 27 Juni 2009 | Juni 27, 2009


Perbincangan tentang budaya pop mulai mencuat lagi setelah kepergian Michael Jackson pada 25 Juni 2009. Jacko sebagai ikon budaya pop ditangisi di banyak sisi. Ada dua sisi utama yang paling kehilangan. Pertama, penggemar musik dari King of Pop di seantero dunia yang merupakan lingkaran massif budaya pop dunia. Kedua, dunia Islam yang tentu mau tak mau harus merasakan kehilangan salah satu aset penting. Michael Jackson atau Mikail (namanya setelah masuk Islam) adalah seorang pemeluk Islam yang tidak biasa, sebab meski muallaf tapi almarhum Jacko adalah fenomena istimewa bagi umat Islam di planet ini.

Michael Jackson sebagai ikon budaya pop selama empat dekade terbukti mampu menghipnotis siapapun termasuk mereka yang berada di luar mainstream budaya pop. Dunia islam juga berada di luar mainstream itu. Tapi kedekatan religius yang merekatkan hubungan itu meski baru berjalan kurang lebih setahun.

Penggagas utama dari kategori budaya pop yakni Theodore W. Adorno seorang filsuf memperlihatkan dengan tajam kaitan antara kultur industrial dengan gaya hidup nge-pop secara luas. Kehidupan ekonomi konsumerisme yang selama ini membelenggu jiwa masyarakat kita memang telah menanamkan sifat fetitistik dan itulah inti utama gaya hidup ngepop. Karena gaya hidup berarti cara berfikir, maka dari perilaku ekonomi ini kemudian menular ke dalam segi lain. Kekacauan ekonomi juga banyak ditularkan dari budaya pop.

Dalam dunia seni contohnya, terlihat gejala menjamurnya genre pop-art seperti bidang desain grafis, estetika mural, graffiti, seni lukis. Watak seni pop adalah kecenderungan untuk mengeksploitasi hal-hal profan dari manusia, seperti erotisme tubuh, keliaran hasrat atau wilayah absurd personal di tengah publik yang kesemuanya tertransfigurasikan lewat media yang dipakai kesenian itu secara khusus. Estetika kesenian pop tidak mengenal nilai transedensi humanitas, tetapi lebih cenderung mengeksplorasi hasrat-hasarat dangkal dan terkadang sisi gelap dalam diri manusia.

Ngepop adalah berarti pola konsumsi yang telah dan akan dibentuk oleh kekuasaan pasar lewat media pencitraannya saat ini. Apapun komoditas tidak dibeli berdasarkan fungsi dan kebutuhan yang sesungguhnya, tetapi berdasarkan rasa tertarik, eye catching dan ukuran-ukuran semu lainnya. Saat ini, Semua hal tengah dikomoditaskan, tak terkecuali ilmu pengetahuan. Buku-buku diperdagangkan dengan mengedepankan citra dan unsur-unsur artifisial dan bukan karena fungsi atau memang kualitas diskursifnya yang patut dibutuhkan.

Seorang blogger sahabat penulis pernah menceritakan keraguannya tentang idealismenya sebagai penulis blog. Karena di blognya sekarang bertumpuk iklan, kini dia merasa curiga dirinya tergerus dengan ide-ide yang dianggapnya ngepop. Penulis hanya mampu menghiburnya dengan kalimat,"Teruskanlah menuliskan ide-idemu. Ide juga layak dibayar sebab ide itu mahal harganya. Yang terpenting adalah niat baik. Yakinkan bahwa updating bukanlah semata untuk kepentingan traffic dan semacamnya."

Arena Wati, Sastrawan Besar di Negeri Orang

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 26 Juni 2009 | Juni 26, 2009


Sampai hari ini beberapa daerah di tanah air masih terlalu kecil untuk dipetakan dalam peta sastra Indonesia. Tidak bisa dipungkiri sentralisasi sejak orde lama ke orde baru hingga kini berhasil mentradisikan keterpencilan sastra di daerah-daerah. Mungkin bukan masalah waktu tapi lebih pada niat untuk bangkit. Minimnya produktifitas karya sastra di daerah bisa jadi juga adalah buah dari periode panjang invasi sastra di pusat ke segala penjuru nusantara. Tapi tidak bijak menyalahkan sejarah semata.

Hari ini adalah juga sejarah yang mesti dibangun sendiri selama masih ada energi untuk menggeliat. Semisal di Sulsel kampung halaman penulis, mungkin hanya ada nama Aslan Abidin, Hendragunawan S.Thayf, Muhary Wahyu Nurba, dan Tri Astoto Kodarie serta beberapa nama lainnya yang bisa dihitung dengan jari. Itupun, Sulsel hanya lebih banyak dikenal sebagai gudang puisi dan penyair. Cerpenis, novelis, dramawan dan lainnya entah di mana.

Nama Arena Wati tentu tak bisa dimasukkan sebab beliau adalah warga Malaysia walaupun lahir dan besar di Jeneponto, Sulsel. Benarkah kultur yang ada di negeri sendiri telah menyebabkan sastrawan besar seperti Arena Wati lebih memilih berkiprah di negeri orang? Memang tidak banyak yang mengenalnya. 

Penulis sendiri baru pertama kali mendengar nama dan jejaknya ketika dikabarkan wafat pada 26 Januari 2009. Arena Wati adalah nama pena dari Muhammad bin Abdul Biang alias Andi Muhammad Dahlan bin Andi Buyung (lahir di Jeneponto, 20 Juli 1925 – wafat di Cheras, Malaysia, 26 Januari 2009 pada umur 83 tahun), sastrawan negara Malaysia asal Indonesia. Ia juga memakai nama pena lain seperti Duta Muda dan Patria. Selama tiga tahun (1986-1989) pernah menjadi dosen tamu di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Masa muda Arena ditempuhnya di Makassar. Ia menjadi pelaut sejak 1943 dan pada usia 17 tahun sudah jadi nahkoda kapal. Sekitar tahun 1954 ia telah menetap di Malaya dan bekerja di lingkungan penerbitan majalah "Royal Press" dan penerbitan "Harmy". Tidak lama kemudian, dia pindah ke Johor Baru bekerja pada penerbitan Melayu Ltd,, selama lima tahun. Tahun 1962-1974 bekerja di Pustaka Antara, Kuala Lumpur.

Novel pertamanya, Kisah Tiga Pelayaran, terbit tahun 1959 di Singapura. Setelah itu menyusul Lingkaran (1962), Sandera (1971), Bunga dari Kuburan (1987), Kuntum Tulip Biru (1987), Sakura Mengorak Kelopak (1987), Panrita (1993), Sukma Angin (1999), Trilogi Busa (2002), Trilogi Armageddon (2004), dan Trilogi Bara Baraya. Ia juga menulis buku-buku kajian sastra dan kebudayaan. Penghargaan tingkat internasional yang diraihnya adalah Penghargaan Sastra Asia Tenggara, SEA Write Award, dari Raja Thailand pada tahun 1985 dan Sastrawan Negara dari Pemerintah Malaysia tahun 1988. 

Arena Wati menikah dengan Halimah Sulong dan dikaruniai enam anak. Ia wafat akibat gangguan pada paru-parunya. Mungkinkah masih banyak sosok mengagumkan di berbagai bidang termasuk sastra selain Arena Wati di luar sana? Ada benarnya kondisi di negeri sendiri yang telah mempersempit mereka dan akhirnya lebih memilih bernafas bebas di negeri orang. Seorang teman yang kebetulan puluhan cerpennya tak pernah berhasil dimuat di koran nasional pernah berbisik,"Jangan pernah berhenti menyerbu kota!"


Aslan Abidin, Satu dari Sedikit

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 25 Juni 2009 | Juni 25, 2009

Penyair yang juga lebih suka menjadi jurnalis ini memiliki buku antologi puisi perdana "Bahaya Laten Malam Pengantin" yang diterbitkan oleh Ininnawa, 2008. Saat itu agak terasa aneh bagi kalangan penyair dan kritikus, sebab 79 sajak yang ada dalam buku tersebut ditulis dalam rentang waktu tiga belas tahun, dari 1993 hingga 2006 saja. Tapi Ahyar Anwar, Doktor Sosiologi Sastra UGM mengatakan, Aslan Abidin adalah satu dari sedikit penyair Sulawesi Selatan yang mendapatkan tempat terhormat dalam jagad sastra nasional hanya dengan dua-tiga sajak.

Realitas dihadirkan Aslan dalam sajak-sajaknya yang erotisme atau lebih tepat disebut erotisme sosial. Apakah Aslan terperangkap dalam sastra pornografi? Kekuatan kata yang menjadikan tubuh sebagai media menjadika Aslan bebas menelanjangi realitas di sekelilingnya. Tidak berbeda dengan para penyair tertentu yang lebih suka menjadikan benda alam sebagai latar. Tapi aslan berhasil dalam hal ini. Entahlah jika memang benar Aslan Abidin termasuk dalam kategori penyair selangkang.

Aslan lahir di kota kalong, Soppeng Sulawesi Selatan, 31 Mei i972. Menuntaskan kuliah di Fakultas Sastra jurusan Sastra Indonesia di Universitas Hasanuddin Makassar tahun 1997. Sajak-sajaknya mengalir di Horison, Basis, Jurnal Puisi, Kompas, Republika, Media Indonesia, Bernas, dan beberapa harian di Makassar. Dibukukan antara lain dalam Mimbar Penyair Abad 21 (1996) Antolog Puisi Indonesia (1997), Sastrawan Angkatan 2000, Kitab Puisi Horison Sastra Indonesia (2002), Puisi Tak Pernah Pergi (2003), dan Tak Ada Yang Mencintaimu Setulus Kematian (2004). Membaca puisi di TIM Jakarta dalam Mimbar Penyair Abad 21 (1996), Pembacaan Sajak Penyair Delapan Kota (1998), dan Cakrawala Sastra Indonesia (2004). 


Mengikuti Program Penulisan Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) Puisi tahun 2002 di Cisarua, Jawa Barat. Mengikuti Ubud Writer and Readers Festiva.tahun 2004 di Bali. Memenangkan beberapa lomba penulisan sajak, antara lain LCPI Tasikmalaya 1999, Art and Peace Bali 1999, dan LCPI Post 2003. Aktif bekerja sebagai wartawan di Makassar. Pernah mengetuai Masyarakat Sastra Tamalanrea (MST) dan lain-lain.

P
enyair yang masuk dalam angkatan abad 21 ini memiliki karakter karya yang khas di antara penyair-penyair Sulawesi-Selatan. Kekhasan itu muncul pada sajak-sajaknya yang kerap kali menggunakan ‘tubuh’ sebagai latar. Lihat saja salah satu puisinya:
Polispermigate


perempuan jalang bertubuh pualam
pada simpang jalan itu menyimpan
bejana di tubuhnya.
ia menjadi tempat minum
para lelaki pejabat yang datang
menghabiskan uang hasil rampokan
perempuan jalang di simpang jalan,
entah mengapa aku suka mengkhayalkan
diriku tersesat di kamarmu.
dan sebagai bentara para penjahat,
kau kisahkan padaku seluruh
riwayat dari negeri subur para perarmpok
“aku seperti nawang wulan dan
mereka adalah beruang yang rakus mengisap
madu tubuhku. mereka takut aku
menemukan baju dan segera
menguap ke udara.”
tapi nawang wulan, aku juga
suka membayangkan kau membuka
celana untukku. dan mungkin aku
akan terkesiap menatap kemaluanmu yang mangap
seperti polisi yang siap menerima suap.


Sebuah puisi yang erotis tapi begitu rapi dalam penyampaian realitas sosial. Sebagaimana rambutnya yang pernah dibiarkan tumbuh panjang lurus tapi selalu diikat rapi. Penulis masih sering mengingat itu saat melihatnya terakhir kali pada sekitar tahun 1997 di kampus merah Unhas Makassar.

Taufik Ismail, Penyair Bertanah Air Puisi

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 24 Juni 2009 | Juni 24, 2009


PRESIDEN BOLEH PERGI
PRESIDEN BOLEH DATANG

oleh : Taufiq Ismail



Sebuah orde tenggelam
Sebuah orde timbul
selalu saja ada suatu lapisan

masyarakat di atas gelombang itu selamat
Mereka tidak mengalami guncangan yang berat
Yang selalu terapung di atas gelombang
Seseorang dianggap tidak bersalah
sampai dia dibuktikan hukum bersalah
Di negeri kami ungkapan ini begitu indah
Kini simaklah sebuah kisah
Seorang pegawai tinggi
gajunya satu setengah juta rupiah
Di garasinya ada volvo hitam
BMW abu-abu, Honda metalik,
dan Mercedes merah
Anaknya sekolah di Leiden,
Montpellier dan Savana
Rumahnya bertebaran di Menteng,
Kebayoran dan macam-macam indah
Setiap semester ganjil isteri terangnya
belanja di Hongkong dan Singapura
Setiap semester genap isteri gelapnya
liburan di Eropa dan Afrika
Anak-anaknya....................
Anak-anaknya pegang dua pabrik
tiga apotek dan empat biro jasa
Selain sepupu dan kemenakannya
buka lima toko onderdil, lima biro iklan
dan empat pusat belanjaKetika rupiah anjlok terperosaok,
kepeleset macet dan hancur jadi bubur,
dia, hah ! dia ketawa terbahak-bahak
kerena depositonya dollar Amerika semua
Sesudah matahari dua kali tenggelam
di langit Barat, jumlah rupiahnya
melesat sepuluh kali lipat
Krisis makin menjadi-jadi
Dimana-mana orang antri
Maka 100 kotak kantong plastik hitam
dia bagi-bagi
Isinya masing-masing : Lima genggam beras,
empat cangkir minyak goreng, dan tiga bungkus
mie cepat jadi.
Peristiwa murah ini diliput
dua menit di kotak televisi
dan masuk koran halaman lima pagi sekali
Gelombang mau datang,
Datang lagi gelombang setiap bah air pasang
Dia senantiasa terapung di atas banjir bandang
Banyak orang tenggelam toh mampu timbul lagi
lalu ia berkata sambil berdiri :
Yaaa..... masing-masing kita kan
punya rejeki sendiri-sendiri
Seperti bandul jam bergoyang-goyang
Kekayaan misterius mau diperiksa
Kekayaan ......tidak jadi diperiksa
Kekayaan ......mau diperiksa
Kekayaan ......tidak jadi diperiksa
Kekayaan ......mau diperiksa
Kekayaan ......tidak jadi diperiksa
Kekayaan ......harus diperiksa
Kekayaan ......tidak jadi diperiksa


Sebagaimana puisi-puisinya yang lain, puisi Taufik Ismail di atas selalu bisa tertangkap apa adanya, jujur namun menghunjam dengan tegas. Nyaris tak ada metafora yang rumit dan mengambang seperti kebiasaan kebanyakan para penyair muda. Penyair yang telah berhasil melintas batas beberapa zaman. Setidaknya itu adalah gambaran pendekar kata-kata yang namanya pasti tertera dan disebut di mana-mana. Di panggung puisi, radio, televisi, internet bahkan panggung musik. Lirik lagu Panggung Sandiwara yang ditulisnya sukses dipopulerkan God Bless di era 70-an dan bahkan melegenda di belantara musik Indonesia. Taufik, satu-satunya penyair yang paling banyak puisinya digubah menjadi lagu populer, seperti yang pernah dinyanyikan Bimbo, Chrisye, Ahmad Albar dan Ucok Harahap. Lagu Pintu Sorga dipercayakan oleh Taufik kepada Gigi band untuk dilantunkan pada 2008.
Taufik adalah seorang sastrawan senior Indonesia yang dilahirkan di negeri pantun, Bukittinggi, 25 Juni 1935. Ia dibesarkan di Pekalongan dalam keluarga guru dan wartawan, hingga profesi itu pun pernah dilakoninya juga. Penyair Angkatan '66 ini tak habis-habis. Buku-buku antologi puisinya dapat dilacak seperti Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tirani dan Benteng, Tirani, Benteng, Buku Tamu Musim Perjuangan, Kenalkan, Saya Hewan, Puisi-puisi Langit, Prahara Budaya:Kilas Balik Ofensif Lekra/ PKI dkk, Ketika Kata Ketika Warna, Seulawah-Antologi Sastra Aceh, Sajak Ladang Jagung dan lain-lain. Taufik remaja memang bercita-cita menjadi sastrawan sejak masih SMA, walau pada akhirnya harus kuliah dii UI Bogor pada 1963 jurusan Kedokteran Hewan dan Peternakan.


Penyair ini selalu rajin memotret dengan sangat jelas berbagai peristiwa zaman di mana ia tulus menjepretnya dengan lensa puitika. Puisi telah menjadi tanah air yang kedua bagi Taufik Ismail. Di tanah airnya yang kedua inilah puisi-puisi Taufik beranak pinak dan menggugat dengan lembut. Tapi, tidak menghujat.

Cerber Nita Si Sekretaris di RCA 102, 5 FM

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 23 Juni 2009 | Juni 23, 2009


Nita, seorang karyawan yang bermimpi punya harapan yang indah di masa depan. Semangat empat limanya dipakai untuk menggempur semua tugas-tugas yang diberikan atasan karena berprinsip teguh untuk selalu memberikan hasil terbaik untuk sang pimpinan.

Menurut ukurannya, apa yang diinginkannya tidaklah muluk-muluk, bahkan dia juga ikhlas dengan jumlah Rupiah yang diterima dari hasil jerih payahnya di kantor.

Nita punya mimpi dan berharap setiap hari. Dalam pengejaran akan mimpi-mimpinya, dia juga harus menghadapi kenyataan bahwa mimpinya tidak dapat diraih semudah ia membalikkan telapak tangannya.


Nukilan di atas adalah sinopsis dari cerber "Nita Si Sekretaris" yang telah dibacakan di program sastra Ekspresi RCA 102, 5 FM pada edisi siar Minggu 21 Juni. Pembacaan untuk lanjutannya yang kedua bisa didengarkan pada edisi minggu depan di waktu dan program acara yang sama jam 11 siang. Seperti biasa siapa pun bisa staytuned secara online di RCA 102, 5 FM.

Cerber yang dimuat secara berkala dalam blog "Cantik Selamanya" milik Dian Manginta ini terpilih untuk diudarakan karena dua alasan utama. Pertama, motivasi dari kisah dan tokoh sentral Nita dapat menjadi inspirasi bagi kaum perempuan dan bahkan siapa saja yang tetap ingin menjadi karang walau diterjang ombak. Kedua, menunjukkan kepada pencinta sastra, bahwa sastra pop juga bisa lebih bermutu sebagaimana sastra kelas berat. Walaupun tim kreatif program ekspresi sebenarnya tidak pernah membeda-bedakan aliran sastra. Cerber ini, oleh Dian Manginta kebetulan juga dianggap tergolong sastra pop tapi kami di RCA tidak menganggapnya seperti itu. Penulis sendiri malah memandang cerber itu sebagai sebuah karya prosa yang revolusioner dalam hal motivasi.

Respon pendengar cukup beragam. Sebahagian besar SMS bernada salut dikirimkan oleh pendengar dari kaum cewek. Ada juga beberapa hal-hal teknis yang mereka kritisi semisal pemilihan musik latar yang mungkin masih kurang mengena dan semacamnya. Tapi secara keseluruhan, pembacaan prosa cerber ini lumayan mendapatkan apresiasi. Seluruh tim kerabat kerja program sastra Ekspresi akan berupaya semaksimal mungkin lebih bagus lagi pada pembacaan cerber Nita Si Sekretaris seri kedua pada minggu depan. Insya Allah.


Harry Potter adalah Jiplakan?

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 21 Juni 2009 | Juni 21, 2009

Dunia sedikit terhenyak dengan isu plagiarisme yang dilakukan penulis terkenal, JK Rowling. Ia harus menghadapi tuntutan plagiarisme dari seorang penulis tak terkenal asal Inggris. Konon, Harry Poter And The Goblet of Fire, yang ditulis JK Rowling adalah jiplakan dari karya Adrian Jacobs yang berjudul THE ADVENTURES OF WILLY THE WIZARD. Entah benar atau tidak. Tapi Adrian Jacobs sendiri tidak bisa membeberkan kesaksian dan bukti-bukti orisinil sebab ia meninggal di tahun 1997 sebelum sempat membaca novel karya JK Rowling yang digilai masyarakat dunia itu.

Kini anak dan cucu dari Jacobs mengajukan gugatan senilai 500 juta Poundsterling karena menganggap novel JK Rowling tersebut adalah jiplakan dari THE ADVENTURES OF WILLY THE WIZARD NO 1: LIVID LAND. Buku cerita setebal 36 halaman ini berkisah tentang seorang anak yang baru menyadari bahwa ia memiliki kekuatan sihir. Pihak Adrian Jacobs mengajukan sejumlah bukti-bukti tentang kesamaan di antara di cerita ini.

Selain itu mereka juga menggugat Bloomsbury Publishing karena menganggap penerbit ini ada sangkut pautnya dengan kasus plagiarisme ini. Kabarnya Adrian Jacobs sempat mengajukan naskah novelnya ke Bloomsbury Publishing namun ditolak. ContactMusic menyebutkan bahwa Bloomsbury Publishing menganggap tuduhan ini mengada-ada karena kemiripan yang disebutkan oleh pihak Jacobs tidak berhubungan dengan inti cerita JK Rowling. "Tuduhan ini sama sekali tak beralasan," papar pihak Bloomsbury Publishing dalam sebuah pernyataan tertulis.

Para pelaku plagiarisme memang setiap saat mengintai di mana-mana. Bila anda seorang penulis, pencipta lagu, pemusik dan sebagainya kini harus lebih berhati-hati. Sesungguhnya perbedaan antara kreativitas dan plagiarisme cukup tipis. Plagiarisme adalah penjiplakan tanpa kompromi, bersifat total dan klaim karya orang lain sebagai karya sendiri. 


Sebuah kutipan, nukilan, referensi atau ide adalah sama sekali bukan plagiarisme selama sumbernya dicantumkan. Penjelajahan ide yang dipicu ide orang lain juga belum tentu tergolong plagiarisme jika ide itu memiliki karakteristik tersendiri yang dapat dipertanggungjawabkan. Kasus-kasus adanya karya yang mungkin kebetulan sama, mirip ataupun nyaris mirip terpulang pada bagaimana cara para pemilik karya itu sendiri menjaga orisinalitas karyanya masing-masing.

Setelah Agama, Seni dan Cinta

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 20 Juni 2009 | Juni 20, 2009


Tiga pilar pencerahan dunia yakni agama, cinta dan seni (termasuk sastra) masih diyakini sebagai sistem nilai yang ampuh di dalam mengawal peradaban dan kebudayaan. Cara membedakan hitam putih masih dapat ditelusuri jika merujuk pada ketiga pilar itu. Yang sering menjadi persoalan hanya terletak pada sejauh mana manusia berminat terhadapnya. Terkhusus sastra, bagaimanakah minat masyarakat kita?

Jika harus jujur, manusia Indonesia sebagaimana di beberapa negara berkembang lainnya masih sangat tertinggal. Salah satu penyebabnya adalah karena masyarakat kita masih menganggap sastra adalah bidang yang hanya harus digeluti para sastrawan. Mereka menganggap sastra hanya wajib dipelajari oleh mahasiswa fakultas sastra, pelajar di kelas-kelas bahasa, para peminat yang yakin bahwa sastra adalah profesinya, amatiran yang menggilainya sebagai sekedar kegemaran, dan sebagainya. Paradigma ini terus berlangsung hingga hari ini. Tanpa sadar bahwa sejak puluhan tahun lampau petani-petani di India menyempatkan diri membaca kitab-kitab sastra kuno sekali seminggu. Tradisi petani India tentunya bukan untuk menjadi sastrawan. Sebaliknya sistem nilai dalam sastra kuno itulah yang selama ini mampu menjaga peradaban dan kebudayaan mereka dari generasi ke generasi.

Beberapa tahun lampau Taufiq Ismail pernah melakukan survei sederhana yakni dengan mewawancarai tamatan SMU dari 13 negara. Apa yang dilakukan Taufiq hanya semacam snapshot, potret sesaat, untuk menangkap gejala yang muncul ke permukaan. Pertanyaan diarahkan pada persoalan seputar kewajiban membaca buku sastra, bimbingan menulis, dan pengajaran sastra di SMU tempat mereka belajar. Hasilnya? Jika siswa SMU di Amerika Serikat menghabiskan 32 judul buku selama tiga tahun, sementara di Jepang dan Swiss 15 buku, serta siswa SMU di negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Brunei Darussalam menamatkan membaca 5-7 judul buku sastra, siswa SMU di Indonesia-setelah era AMS Hindia Belanda-adalah nol buku. Padahal, pada era Algemeene Middelbare School (AMS) Hindia Belanda, selama belajar di sana siswa diwajibkan membaca 15-25 judul buku sastra. Telah gagalkah pengajaran apresiasi sastra di sekolah? Sedemikian parahkah minat baca kaum muda kita terhadap buku-buku sastra?

Ya, setelah masyarakat gagal menjadi kekuatan kontrol terhadap seks bebas, permanisme, kriminalitas, institusi pendidikan idealnya mampu menjalankan fungsinya sebagai benteng terakhir terhadap serbuan segala macam bentuk pembusukan dan anomali sosial. Namun, tampaknya institusi pendidikan kita pun dinilai telah gagal menjalankan fungsinya dengan baik. Pengajaran sastra yang seharusnya lebih banyak mengajak siswa didik untuk mengapresiasi teks-teks sastra, ruang-ruang kelas pun telah berubah menjadi ruang untuk menghafalkan teori sastra dan nama-nama pengarang. Para siswa tidak pernah diajak untuk “menikmati” keindahan dan keagungan nilai luhur yang tersirat dalam teks sastra.

Dalam kondisi pengajaran sastra yang semacam itu, bagaimana mungkin siswa bisa terlatih memiliki kepekaan terhadap segala macam nilai luhur hakiki? Padahal, di dalam teks sastra terdapat berbagai kandungan gizi yang mampu menjadi santapan rohaniah anak-anak bangsa negeri ini sehingga bisa menjadi media “katharsis” dan pencerah peradaban. Bisa jadi, kaum muda kita yang doyan mengumbar selera purba dan nafsu-nafsu primitif, seperti seks bebas, drugs, tawuran, dan ulah-ulah tak terpuji lainnya itu lantaran mereka tak pernah membaca karya sastra. Demikian yang pernah dilontarkan oleh sastrawan Danarto beberapa tahun yang silam.

Setelah agama, seni dan cinta maka tak ada lagi pilar pencerahan lainnya yang bisa dipercaya mengawal peradaban dan kebudayaan besar sebuah bangsa. Terkecuali jika ada pilar baru lainnya yang berhasil ditemukan manusia di masa depan.



Debat Capres Sebagai Peristiwa Seni Budaya

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 18 Juni 2009 | Juni 18, 2009

Muncul sedikit kegelian di hati kecil penulis ketika sejumlah seniman dan budayawan turun berdemo hanya karena KPU tidak memasukkan seni dan budaya dalam materi debat capres-cawapres. Mereka khawatir ranah seni budaya semakin jauh dari perhatian pemerintah mendatang. Mengherankan juga, kemana sejumlah seniman dan budayawan itu jauh hari ketika KPU membutuhkan masukan dari berbagai elemen dalam penggodokan materi debat capres? Penulis baru dapat melihat batang hidung mereka ketika disorot kamera televisi sambil berorasi sembari menyanyikan yel-yel yang anehnya justru tidak mencerminkan nilai-nilai seni dan budaya bangsa. Yel-yel pendemo itu lebih mirip dengan lagu yang pernah diajarkan Karl Marx daripada irama gamelan atau gandrang bulo misalnya.

Di satu sisi ada benarnya seni budaya harus dimasukkan sebagai salah satu materi debat capres. Minimal harus ada item khusus yang mengakomodir itu. Tapi menjadi tidak benar adalah ketika para seniman dan budayawan kita tidak percaya diri lagi menjaga seni dan budaya bangsa ini. Terbukti dengan kelengahan kita termasuk para budayawan itu saat kesenian tradisional reog ponorogo, lagu Si Jali-Jali dan lain-lainnya diklaim oleh Malaysia beberapa waktu lalu. Padahal anak kecil pun juga tahu reog dan Si Jali-Jali adalah asli milik bangsa Indonesia. Cuma, tak seorangpun waspada ketika nyaris dicaplok oleh negara tetangga yang belakangan ini justru namanya semakin populer saja di Indonesia karena berani mengusik Ambalat.

Dimasukkannya materi seni budaya dalam debat hanyalah persoalan teknis belaka. Masalah substansial terletak pada visi misi setiap capres-cawapres. Akankah muncul titik terang dari mereka atau salah seorang dari mereka yang berhasil memuaskan pertanyaan para pemerhati seni budaya? Di sebuah stasiun televisi swasta malam ini akan digelar debat capres secara live. Sebagai anak bangsa tentu kita berusaha tidak akan melewatkan peristiwa penting ini. Bahkan tampilnya Iwan Fals di sela-sela acara debat itu juga menjadikannya sebagai peristiwa yang tidak biasa. Bagi penulis, debat capres adalah juga peristiwa seni budaya. Kita juga akan tahu siapa capres-cawapres yang benar-benar memperhatikan dan peduli seni budaya selain materi penting lainnya.

Ketika hari-hari bergerak cepat dan sebahagian dari kita masih bingung untuk menentukan pilihan maka menonton debat capres adalah kewajiban. Terpulang juga kepada setiap diri kita apakah penilaian kita masih menonjolkan simbolisme dan ideologi nasionalisme layaknya Mega? Atau mungkin hanya lebih cenderung konseptual daripada implementasi secara detil seperti SBY. Ataukah jauh lebih menguasai persoalan secara detil, tegas dan jelas sebagaimana JK?
 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday